Ada JM dan JT Dibalik Sengkarut Penolakan GKI Citraland

Dua inisial ini tiba-tiba "terseret," dalam pusaran ruwetnya pendirian GKI Citraland. Siapa dan bagaimana ceritanya?

Tulisanku berjudul "Jangan Menyerah, GKI Citraland!" mendapat respon beragam. Ada yang senang namun tidak sedikit yang merasa terusik kenyamanannya.

Aku sendiri tidak menyangka Pdt. Samuel dkk. di GKI Citraland memilih berani mengizinkanku menulisnya. Sebab, konsekuensinya berat.

Aku meyakini mereka tidak akan mudah menghadapi konsekuensi dari tulisanku, yang berisikan "aib," dan "kerapuhan," GKI Citraland memperjungkan gerejanya.

Bagaimana tidak rapuh; sudah lebih dari 11 tahun GKI Citraland berjuang dengan segala cara agar mampu mewujudkan gereja di lahan yang telah disediakan pihak developer.

JANGAN MENYERAH, GKI CITRALAND!

Senang sekali akhirnya bisa menjejakkan kaki lagi ke GKI Citraland; bertemu lagi dengan Pdt. Samuel dan Ce Susan. 

Kami sempat "terpisah," cukup lama. Mungkin 5 tahunan lebih. 

Pertemuan terakhir kami saat Samuel masih menjalani proses menjadi pendeta. Ia bersama Ce Susan dan puluhan jemaat mudanya berkunjung ke Pesantren Darul Ulum Rejoso Peterongan. 

GKI Citraland sendiri terletak di kawasan elit Citraland. Masih jadi satu dengan deretan ruko-ruko di sana. 

MUKTAMAR DAN DESYIRIKISASI YESUS


Saat begitu banyak kawan NUku menyerbu Lampung untuk menyemarakkan Muktamar NU, aku, sebagai orang NU, memilih jalan lain; menghormat Muktamar dengan caraku sendiri. Yakni, terus mencoba mendesyirikasi sosok Yesus. 

Kenapa aku memilih ini. Pertama, Lampung terlalu jauh untukku. Budgetku terbatas. Selain itu, aku tidak yakin dapat melakukan sesuatu yang berarti di sana, berbeda dengan kebanyakan temanku.

DEDIK KETUA PANITIA


Namanya Dedik. Anak paling depan, yang berbaju telur asin. Dia mungkin bukan anak sembarang. Namanya akan tercatat dalam sejarah sebagai pioneer. Tidak hanya di kampusnya namun juga di luar.

**

Dua Ujian


Sabtu ini, 4/12, untuk pertama kalinya aku akan ke Jakarta setelah pandemi mengurung Indonesia selama dua tahun. Di sana, aku akan diuji dua kelompok Kristen yang berbeda; akademisi dan warga jemaat.

Entah, apakah aku bisa melalui dua ujian ini. Jika boleh, tidak harus mendapat cum laude. Yang penting, pokoknya lulus. Itu sudah cukup bagiku.

Ujian itu Bernama Saksi Yehuwa

Betapa kagetnya aku membaca kabar dari portal KompasTV. Tiga orang bersaudara, semuanya belajar di sekolah dasar negeri yang sama, mengalami peristiwa diskriminasi berlapis-lapis dan berkepanjangan.

Mereka diperlakukan demikian hanya karena ia tidak berkristen seperti Kristen pada umumnya. Kejadiannya di Juata Krikil Tarakan Utara.

Adakah Keselamatan di luar Agamaku?

Berkali-kali aku menulis dan berbicara topik ini dalam banyak kesempatan. Tak terkecuali dalam kelas Religions N kampus Ciputra, pagi ini, Jumat (26/11/2021).


Hari ini adalah hari terakhir presentasi kelompok. Mungkin kelompok kesepuluh. Sejak masuk kuliah September lalu, kami mendiskusikan banyak topik; dari konsep ketuhanan, penderitaan, hidup sesudah mati, agama dan sains, hingga simbol, ritual dan kekerasan agama.

KE NGANJUK; BAHAGIA SEKALIGUS TERLUKA

INI JUDUL yang queer, paradoks, dan aneh. Mencampurkan dua hal yang kontradiktif. Aneh tapi nyata.

Contoh sederhananya; kita bahagia sekaligus terluka, misalnya, saat melihat orang yang kita sayangi memilih hidup bersama orang lain. Kita bahagia karena ia, orang yang kita sayangi bahagia. Sekaligus, kita terluka karena kebahagiaannya, ternyata, tidak disongsong bersama kita dalam satu biduk.

Kejadian ini agak mirip menimpaku beberapa hari lalu di Nganjuk. Aku bahagia sekaligus terluka saat mengunjungi kota angin tersebut.

Kebahagiaanku membuncah saat tiba di Klenteng Hok Yoe Kiong. Lokasinya di daerah Sukomoro Nganjuk.

Aku kesana bersama rombongan Surabaya. Ada mas Irianto, mbak Sita --istrinya, serta Cahaya Purnama --aktifis muda GKJW.

Di klenteng tersebut aku dan mas irianto memantik diskusi offline lintasagama dan entis. Seputar 9 nilai Gus Dur, serta bagaimana menjadikan nilai tersebut sebagai bahan bakar menjaga kebinekaan Indonesia.

Negara ini memang sedang terbakar oleh intoleransi, khususnya yang dilakukan oleh banyak orang Islam. Gereja dibakar, disegel, dihambat pendiriannya. Bahkan, beberapa dibom, seperti kejadian di Surabaya dan Makassar.

Aku bahagia semua peserta tampak memiliki kegairahan dalam hal ini. Gairah tersebut merupakan modalitas penting memperbaiki banyak hal.

Setelah acara selesai, kami berempat diundang makan siang mas Wijaya, ketua PSMTI Nganjuk.

Sembari menikmati nasi becek yang sangat terkenal itu, ia bercerita tentang banyak hal. Yang aku ingat ada dua; seputar pembantaian Tionghoa di Nganjuk pada masa Bersiap, serta buruknya pembangunan pedestrian a la Malioboro di Nganjuk.

Pedestrian itu merentang panjang di jalan utama areal pertokoan Nganjuk, termasuk depan tokonya.

"Lihatlah gus, pedestrian ini lebih tinggi dari posisi toko. Kalau hujan, airnya masuk membanjiri toko-toko," katanya sembari menunjuk bekas genangan di salah satu toko..

"Gugat ae mas. Class action," kataku ngompori. Dia hanya nyengir saja.

Mas Wijaya dan puluhan pemilik toko di kawasan tersebut jelas dirugikan oleh pemkab Nganjuk. Uniknya, mereka tidak sendirian. Ada puluhan orang yang juga dirugikan oleh ketidakbecusan pemkab.

Mereka adalah jemaat Rumah Doa GSJA Kanaan Loceret Nganjuk. Dipimpin oleh gembala sidangnya; Pdt. Demsi Salmon Tamunu.

Setelah selesai makan, kami berempat mengunjungi "tempat ibadah," sementara milik rumah doa tersebut.

"Tempat ibadah," ini adalah bangunan tidak terpakai yang kabarnya milik Dinas Pekerjaan Umum Pemkab Nganjuk.

Namanya saja tidak terpakai, otomatis tidak terawat. Mirip rumah hantu. Nyamuk mendengung menyambut kedatangan kami. Bau apek.

Debu di mana-mana. Jendela belakangnya omplang-omplang tidak ada daunnya. Tidak ada air di kamar mandinya. Mbak Sita yang kebelet pipis terpaksa harus numpang di toko sebelah.

"Kami tidak diperkenankan mengubah apapun yang ada di sini. Begitu bunyi perjanjiannya dengan pemkab," kata Demsi.

Melas banget.

Demsi dan jemaatnya memang mengalami penderitaan panjang terkait rumah ibadah. Beberapa tahun lalu, ia sudah membeli sebuah rumah untuk ibadah di daerah DI. Panjaitan Loceret Nganjuk.

Rumah ibadahnya didemo berkali-kali. Sempat heboh di media sosial.

Aku sendiri pernah ke rumah ibadah di Loceret bersama beberapa kawan GUSDURian di sana. Bahkan pernah shalat di sana.

Seingatku, Natal dua tahun lalu, aku meminta Gus Arif ikut natalan di sana. Dan mengajak Pdt. Demsi memperkuat GUSDURian Nganjuk, hingga sekarang.

Setelah suasana kembali kondusif, beberapa warga mendemo rumah ibadah itu lagi. Kali ini lebih keras dan memaksa pemkab turun tangan memediasi.

Hasilnya, pemkab berhasil "memaksa," GSJA Loceret menandatangi perjanjian menjual rumah ibadah tersebut ke pihak desa.

Menurut Demsi, pemkab juga berjanji akan membantu proses relokasi ke tempat baru. Namun janji tinggal janji.

Pembeli rumah tersebut terus mndesak Demsi agar mengosongkan rumah dangan alasan akan dipakai. Padahal Demsi belum mendapat lokasi pindah yang tempat.

Setelah menekan pemkab, Demsi akhirnya diungsikan ke rumah hantu tersebut. Secara permanen? Tentu tidak!

GSJA Loceret "dipaksa," lagi menandatangani perjanjian yang pada prinsipnya; keberadaan GSJA Loceret di rumah hantu bersifat sementara. Jika tidak salah hanya 3 bulan saja.

Selama 3 bulan Demsi dan jemaatnya diminta mencari lokasi baru sendirian. Jika tidak berhasil menemukan maka Demsi dan jemaatnya diminta bergabung dengan GSJA terdekat, di kota Nganjuk.

"Sedih aku, gus," katanya.

Raut mukanya bercampur aduk. Antara sedih, marah, jengkel. Berkumpul jadi satu.

Aku sempat melihat raut muka Mas Irianto, Mbak Sita dan Cahaya. Raut muka yang penuh kedukaan. Aku sempat meminta Cahaya untuk mendiskusikan dengan kawan-kawan di PGIW Jawa Timur.

"Tidak harus nyari solusi, cukup sambangilah Demsi. Lawatlah. Tawarkan bahu untuk meratap," pintaku.

Kesedihan kami seketika buyar saat beberapa anak muda, jemaat GSJA datang ke rumah hantu, bersama istri dan anak Demsi.

"Kami mau persekutuan di tempat lain. Kalau di sini nggak bisa. Ini sudah menjelang senja. Tidak ada lampu di sini," kata Demsi.

Mendengar ini, hatiku terasa makin diiris-iris. Lukanya makin menganga, dikucuri jeruk nipis.

Sebelum pamit pulang, kami sempat berdoa di depan "rumah hantu," ini. Demsi juga harus mengantar mereka ke persekutuan doa.

Doa dipimpin secara Katolik oleh Mas Irianto. Doa ini membawa kami pulang ke Surabaya, dengan perasaan bahagia sekaligus terluka. (*)

BERTEMU MERLYN BERTEMU BERLI(A)N

Mungkin judulnya terlalu lebay. Namun itu adalah diksi yang terlintas dibenakku untuk menggambarkan perasaanku setelah mengundang perempuan ini ke kelasku.

Aku senang sekali. Aku bahagia.

Kebahagiaan itu hampir paripurna setelah aku membaca refleksi mahasiswa/iku pascapertemuan dengan Merlyn.

Merlyn adalah waria --diksi yang ia pilih sendiri ketimbang transgender atau transpuan. Aku sudah lama mendengar namanya, terutama saat menggeluti isu minoritas gender dan seksualitas, sekitar 5-7 tahun lalu.

Jika ada yang bertanya kenapa aku yang hetero dan cis-gender ini menggeluti isu yang sangat berbahaya ini, jawabnya; aku nggak tahu.

Yang aku rasakan, aku selalu merasa isu tersebut "memanggilku," --ia seperti mengatakan "Jangan kelamaan membela isu pluralisme agama, sudah waktunya kamu menghampiri kami,"

itu yang aku rasakan.

Perasaan tersebut sebenarnya mengalami gejolak yang tidak mudah. Sebab, seperti yang diduga banyak orang, aku menemukan kesukaran-kesukaran dalam hidupku.

Tak terhitung lagi berapa banyak kawanku yang, aku rasakan, mulai menjauhiku. Keluarga besarku juga berkomentar, termasuk anak dan istriku.

Aku masih tidak bisa lupa sebuah peristiwa. Saat itu aku di bis Damri, dari Soekarno-Hatta menuju sebuah hotel --tempat syuting ILC -- di mana aku diundang untuk pertama kalinya.

Saat di bis, aku ditelpon seorang kawan. Ia mengaku membawa pesan dari orang yang sangat aku hormati, imamku dalam gerakan. Pesannya, aku diminta tidak menyebutkan organisasiku sebagai afiliasi saat di ILC.

"Tahu sendirilah, isunya terlalu beresiko bagi organisasi kita," ujarnya.

Aku tidak mendebatnya. Untuk apa? Ia hanya pembawa pesan saja. Tidak lebih.

Aku akan menjadi tidak dewasa jika menanggapinya secara emosional.  Santai saja. Namun demikian aku tidak habis pikir kenapa tidak boleh.

Aku harus jujur, keterlibatanku dalam isu ini, bagi organisasi tersebut, rupanya cukup menyulitkan posisi organisasiku tersebut. Khususnya di hadapan para elders; para tetua; yang memiliki cukup kuasa atas republik ini.

Namun demikian jangan salah, aku merasa semua kawan di organisasiku adalah pribadi yang memiliki komitmen memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini kami hayati. Mungkin ini hanya terkait strategi.

Dari berbagai pergulatanku dengan hal seperti ini, aku semakin menghayati betapa tidak nyamannya disalahpahami, dieksklusi, dikucilkan, dan semacamnya.

Penghayatan ini semakin meneguhkanku untuk berusaha mencegah orang agar tidak salah paham atas suatu yang kurang mereka pahami. Kesalahpahaman adalah langkah awal kehancuran.

Banyak orang Islam membenci rumah ibadah agama lain, khususnya gereja, karena faktor ketidaktahuan. Menurutku.

Tidak sedikit orang membenci LGBT , juga, karena kekurangpahaman atasnya. Menurutku.

Ini membuatku sedih.

Itu sebabnya, dalam beberapa tahun in, aku senantiasa berusaha mengajak sebanyak orang Islam untuk lebih memahami Kekristenan dan agama lain, serta, kelompok minoritas gender dan seksualitas.

Merlyn termasuk kelompok yang aku sebut terakhir tadi.

Meski tidak pernah bertemu secara fisik, aku semakin "intens," dengan Merlyn melalui salah satu filmnya, "Perempuan Tanpa Vagina," --diproduksi tahun 2019.

Film ini aku jadikan semacam film wajib dalam kelas yang aku ampu sejak 2019 lalu. Baik kelas Pancasila maupun Religions.

Hampir semua mahasiswa/i yang aku ajar di UC pasti pernah menontonnya. Itu sebabnya, jika suatu saat kalian ketemu alumni UC dan mengaku pernah menonton film tersebut selama kuliah, aku yakin ia pernah ikut kelasku.

Sangat mungkin aku adalah satu-satunya dosen yang menjadikan film Merlyn tersebut sebagai materi pembelajaran. Belum pernah aku tahu ada dosen lain "sengawur," aku --membawa isu minoritas gender dan seksual ke dalam kelas.

Keberanianku membawa isu ini ke kampus didorong oleh apa yang sudah aku jelaskan di awal. Aku seperti merasa bertanggungjawab jika menemukan orang yang memiliki kesalahpahaman berkaitan dengan isu identitas. Aku juga merasa spirit Gus Dur hadir mendongkrak keberanian tersebut.

Keberanian mengundang Merlyn ke kampus aku lakukan juga karena posisiku sebagai dosen Pancasila. Aku tidak mau jika suatu saat sejarah mengadiliku, "Aan, kenapa kamu tidak berupaya mendidik mahasiswa/imu agar berhenti membenci, padahal kamu memiliki kapasitas dan kesempatan untuk itu lho?"

Betapa aku akan gelagapan saat aku tidak melakukannya.

Dengan memanfaatkan posisi sebagai dosen aku mengambil resiko mengundang Merlyn, tanpa terlebih dahulu berembug dengan kordinator matakuliah maupun dekan. Aku merasa tidak perlu karena ini menyangkut kewenanganku sebagai dosen. Cukup aku saja yang menyelesaikan dan bertanggung jawab. Aku digaji untuk itu.

Aku juga sangat sadar jika suatu saat dituding mengkampanyekan isu LGBT di kampus. Aku mungkin dengan enteng menjawab; bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat. 

Pancasila mendidik kita agar berani bertumbuh dengan kemanusiaan yang adil dan beradab  dan menjaga persatuan Indonesia. Pancasila mendorong kita, sebagai warganegara, untuk senantiasa bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Di titik ini aku akan berhenti sembari bertanya balik, "Bagaimana mungkin kita akan mewujudkan hal tersebut jika kita bisa memahami orang-orang yang ada di dalamnya?

Menudingku mengkampanyekan LGBT di kampus akan sia-sia. Sebab aku tak pernah mengatakan, "Mari kita menjadi gay, lesbian atau transgender," Yang aku kampanyekan justru dorongan kepada para mahasiswa untuk melihat dan memperlakukan manusia sebagai manusia. Nothing more nothing less.

Aku baru saja selesai membaca refleksi pendek --lebih tepatnya semacam kesan-- yang dibuat oleh hampir seratus mahasiswaku yang hadir bersama Merlyn. Semuanya mengapresiasi positif acara tersebut. 

Terdapat banyak dari mereka mengaku mendapat pencerahan setelah mendengarkan langsung dari Merlyn. Bertemu Merlyn seperti menemukan berli(a)n.(*)

MERAH-PUTIHKAN MUI!

RILIS Jaringan Islam Antidiskriminasi terkait penangkapan elit Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan dugaan terlibat terorisme


JIAD tidak cukup kaget dengan penangkapan beberapa petinggi Majelis Ulama Indonesis (MUI) pusat terkait dugaan keterlibatannya dengan terorisme.

Hal ini didasarkan pada kecenderungan MUI, selama ini, yang terlihat tidak progresif mendukung empat pilar kebangsaan. Alih-alih, organisasi ini justru mencitrakan dirinya sedemikian kuat sebagai penjaga konservatifme Islam.

Konservatifme Islam sendiri, kita tahu, tidaklah sehat. Ia sangat terobsesi menyeret Indonesia sebagai negara islam dalam bingkai Pancasila. 

Pancasila --yang awalnya dimaksudkan sebagai landasan bersama (kalimatun sawa) semua agama/kepercayaan untuk keharmonisan, oleh kelompok di MUI-- telah ditelikung untuk menghalalkan tegaknya formalisasi Islam di Indonesia.

Penelikungan ini sangatlah berbahaya jika tidak diantisipasi dan direspon sesegera mungkin. Sebab, secara politik, keberadaan MUI dalam memengaruhi model keislaman di Indonesia masih sangat strategis. 

JIAD sangat mengapresiasi kerja-kerja Densus 88 yang bekerja cukup serius "mejaga," MUI dari anasir-anasir terorisme dan radikalisme berbasis Islam. 

Sungguhpun demikian, JIAD mendesak aparat keamanan tetap bekerja profesional, transparan, dan akuntabel dalam kasus ini, berpatokan pada hukum dan aturan yang berlaku.

Penangkapan ini, menurut JIAD, tidak bisa dikatakan sebagai upaya politik rezim Jokowi merepresi Islam maupun ulama. Tudingan seperti itu tidaklah pas dan cenderung emosional.. Sebaliknya, implementasi keislaman butuh kontrol semua pihak agar tetap dalam relnya; rahmatan lil 'alamin.

Bagi JIAD, Islam tidak sama dengan "politik Islam," maupun "kelompok Islam," Ada banyak kelompok Islam Merah-Putih yang cukup serius berseberangan dengan kelompok yang ditangkap Densus 88. 

Namun demikian, sayangnya, kelompok "Merah-Putih," di MUI terasa tidak berkutik, kikuk, dan keok hadapan kelompok radikal di sana.  Padahal di sana terdapat NU yang dikenal sebagai tulang punggung Islam moderat. 

Kekikukan seperti ini, menurut JIAD, tidak bisa lagi ditolerir mengingat hal tersebut justru akan merobohkan MUI sebagai salah satu pilar penjaga Pancasila di tubuh kelompok Islam. 

Oleh karena itu, kelompok Merah-Putih di MUI, bersama dengan pemerintah, perlu melakukan seleksi ketat terkait siapa yang bisa duduk di kepengurusan MUI. Tidak asal terima. 

Untuk keperluan ini, JIAD mendorong MUI Merah-Putih berani melakukan otokritik dan bahkan, kalau perlu, melakukan reassessement bagi seluruh pengurus MUI --untuk mengetahui mana yang bersetia pada Pancasila dan mana yang lamis.

Dengan demikian JIAD tidak setuju dengan gagasan dan pemikiran pembubaran MUI. Karena, hal tersebut bertabrakan dengan semangat demokrasi. 

Sebagai institusi sipil, peran MUI sama dengan peran organisasi sipil lainnya. Malfungsi MUI hanya bisa diperbaiki dengan cara melakukan pembenahan orang-orang yang ada di dalamnya.

Reviitalisasi MUI menjadi lebih Merah-Putih merupakan jawaban yang perlu direalisasikan. Semua komponen, termasuk Densus 88, wajib mendorong realisasi tersebut.

Seandainya MUI menolak berbenah,  pemerintah bisa menghentikan dukungan kepada lembaga ini, sampai ia benar-benar merah-putih. 

Oleh karena, untuk apa mendukung institusi yang malah justru menggangsir eksistensi Merah-Putih? 


Jombang, 17 November 2021


Aan Anshori
Kordinator
aan.anshori@gmail.com
089671597374
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

https://kempalan.com/2021/11/17/merah-putihkan-mui/

MALES NYETATUS

Hanya saja, aku harus menuliskannya agar aku bisa menziarahi kembali kenanganku. 



Malam ini aku terkantuk-kantuk di Stasiun Jombang. Menunggu kereta Wijayakusuma yang akan membawaku ke Jember. Dari sana, sekitar jam 03.00 dini hari aku akan dijemput sopir. Membelah pekatnya pagi menuju Bondowoso. 

Di kota itu, aku akan menghadiri penahbisan ---semacam pelantikan dalam tradisi gereja-- seorang teman. Namanya Pdt. Martin Krisanto Nugroho. 


Dia akan menyandang status baru di lingkungan Gereja Kristen Indonesia (GKI) wilayah Jawa Timur sebagai; pendeta tugas khusus. 

Entah apa kekhususannya. Aku tidak tahu. 

Yang aku pahami, jabatan barunya ini semacam penegasan bahwa Martin sangat mungkin bukan lagi pendeta sembarangan.Kan sudah berstatus khusus? Kalau mobil, mungkin platnya RFS.😝

"Datang yo, gus. Offline," undangnya. 

Aku menyanggupi dengan perasaan agak berat. Pandemi telah membuatku terkena virus "enak mager," --malas pergi jauh-jauh. 

Apalagi, pasanganku juga sedang keluar kota untuk beberapa hari. Praktis anak-anakku di rumah sendirian. 

Hanya saja, aku merasa perlu hadir sebab Pdt. Martin bukanlah figur sembarangan. Ia tidak hanya cerdas namun juga progresif. 

Aku pernah menjajalnya sendiri saat ia dan beberapa pendeta muda GKI membikin "kejutan," pada event BBVC di Banyuwangi. 

Keberanian mereka membuat jagat gereja mereka horek, terutama setelah aku menulis liputannya di FB. Bahkan, sampai saat ini, tulisan tersebut masih berstatus "only me," --temporary self-suspended.

Menurut beberapa kawan, peristiwa tersebut merupakan langkah mundur. Mungkin mereka benar.

Hanya saja, yang jarang kita sadari; agar bisa maju lebih progresif, seseorang perlu mundur, mengambil ancangan. Semakin ia mundur, lentingannya akan semakin yahut. Persis seperti ketapel.

Tampaknya GKI wilayah Jawa Timur akan melenting lebih jauh ke depannya. Aku mendengar Pdt. Martin akan tandem dengan Pdt. Leo. Pendeta kedua ini akan menjadi nakhkoda baru di sinode wilayah Jawa Timur. 

Mas Leo tidak hanya terkenal dengan ketekunan akademiknya. Lebih jauh, ia juga tak kalah progresifnya dengan Martin.

"Gus Aan, terima kasih telah mensupport dan bersama GKI Yasmin selama ini," ujarnya suatu ketika. 

Perjalanan ke Bondowoso, aku yakini, akan membawa gairah baru padaku. Setidaknya gairah nulis status ini. (*)

Ayat Keramat


"Iku ayat keramat," kata Gus Mujib, kawanku saat mondok di Tambakberas 33 tahun lalu, barusan.

Ia mengatakan itu saat aku ngomong sendiri, dengan perasaan heran, saat qori' (pelantun al-Quran) membacakan QS. Al-Imran 169-170. 

Aku memang tidak menyangka ayat tersebut dilantunkan dalam acara haul (commemoration) KH. Ach. Nasrullah Abd. Rohim dan 100 hari bu Nyai Zubaidah, belahan hatinya, malam ini, Rabu (11/11). Mereka berdua adalah kiai dan bu nyaiku.


Sepanjang perjalanan motoran menuju Tambakberas, aku berpikir keras, bagaimana menempatkan ulang sosok yang telah meninggal dunia, yang kita anggap penting dalam galaksi spiritualitas kita; apakah mereka benar-benar telah meninggalkan kita, atau bagaimana. 


Aku langsung teringat ayat keramat tersebut. Aku mewiridnya terus sembari berusaha membenamkan dan menghayati maknanya; bagi sebagian orang, kematian itu tidak berlaku. Yang ada adalah hidup terus menerus. 

"Kalau orang yang sudah mati, ya sudah, ndak usah dipikirkan lagi. Mati ya mati. Nggak usah diratapi, apalagi diglorifikasi sedemikian rupa," kata seorang kawan beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, tambah kawan itu, yang mati tidak butuh doa. Justru yang harus didoakan adalah yang masih hidup.

Mungkin ia benar; berkeinginan agar kita tidak dibebani aneka perasaan yang malah justru berpotensi membuat kita tidak bisa move on. 


Mungkin ia berfokus pada yang hidup ketimbang yang telah mati. Dan itu, menurutku, hal yang sangat masuk akal. 

Namun bagaimana jika yang telah mati tidak sepenuhnya mati, ia sebenarnya masih hidup --mungkin dalam dimensi lain, mungkin dalam memori orang-orang yang tidak ingin membiarkannya mati? Mungkinkah? 

Ayat keramat yang disebut Gus Mujib tadi memuat eksposisi ilahi seputar ketidakmatian para jihadis, crusader, para kekasih Tuhan yang gugur di medan lagi. 

"Tidak. Tidak. Mereka yang terbunuh di jalanKu sebenarnya tidak mati. Sebaliknya, mereka hidup di sampingku bergelimangan anugerah," kira-kira seperti itu Allah berfirman.

Haul malam ini bisa dianggap sebagai upaya merawat memori kolektif kami atas sosok Abah Nas dan Bu Nyai Dah. Beliau berdua diposisikan sebagai figur yang hidup --alih-alih dianggap mati. 

Keduanya, juga jutaan tokoh yang telah meninggal, perlu dihidupkan untuk membimbing yang masih hidup agar menjadi lebih baik. Kalau mereka dimatikan oleh yang hidup, aku merasa hal itu justru merugikan kita semua.  

Menghidupkan yang sudah mati adalah strategi utama bagaimana agama dan kepercayaan beroperasi memengaruhi para pengikutnya. Tanpa strategi ini, agama dan kepercayaan akan kesulitan menemukan dan merawat mereka, pengikutnya.

Sekarang Nabi Musa sudah tidak bisa kita jumpai  --begitu juga dengan Siddharta Gautama, Yesus, Athanasius, Nabi Muhammad, Imam Ghazali, Luther, Calvin dan yang lain. Namun mereka terus dihidupkan oleh para pengikutnya demi memperkuat spiritualitas dan komunitasnya.

Terkait ini, ada cerita unik. Sekira 3 jam sebelum ke Tambakberas, aku berdiskusi di sebuah WA grup. Anggotanya cuma 4 orang. 

Salah duanya adalah aku dan alm. Mas Steve Suleeman. Grup ini berkaitan dengan GKI Yasmin. 

Aku masih berusaha "menghidupkan," mas Steve. Mengajaknya ngobrol dan me-mention-nya --seperti tidak ada peristiwa kematiannya.

Ia tentu tidak bisa mereply percakapan kami dengan gaya normatif. Namun kami percaya ia menjawab kami dengan caranya --dan itu bersifat personal. 

"Yesus itu secara fisik kan ya ndak ada, namun dunia kan tidak hanya cukup disokong oleh fisik saja. Sebagaimana Yesus, Mas Steve akan selalu ada, hadir bagi yang merasakan 😁😁," begitu jawabku pada kawan bicaraku. 

Semua karena ayat keramat.

Lamat-lamat aku mendengar Kiai Marzuki Mustamar menyampaikan gagasannya di forum haul.(*)

Penyaliban Yesus/Isa di GKJ Bhayangkara


Seorang ibu, warga jemaat GKJ Bhayangkara Purwokerto , mengaktifkan mikrofonnya. Ia bertanya padaku seputar penyaliban Yesus yang kontradiktif antara ajaran Kristen trinitarian dan pandang Islam mainstream. Mana yang benar? Bagaimana mendamaikannya?
**

Aku akhirnya mengisi katekisasi internal di GKJ Bhayangkara Purwokerto. Teman baikku, Pdt. Maria, melayani di sana. 

Gereja ini adalah tempat singgahku setiap kali ke Purwokerto --selain sekretariat GUSDURian di dekat alun-alun kota itu. Aku mengenal banyak jemaat maupun pengurusnya. Aku merasa mereka adalah keluargaku.

Itu sebabnya saat dikontak Maria untuk mengisi katekisasi Senin (18/10) jam 18.00, aku sulit menolaknya. Padahal aku sudah ada acara pada waktu yang sama.

"Beri aku waktu sampai besok untuk memutuskannya ya, M" tawarku padanya.

Selain faktor kedekatan dengan gereja tersebut, topik yang ditawarkan padaku cukuplah menantang -- topik apa sih yang lebih hot ketimbang sengkarut ketuhanan Kristen dalam benak orang Islam? Tidak ada. 

Nah Pendeta Maria memintaku menyampaikan gagasan, pandanganku terkait trinitas a la Islam moderat. Maria mengklasifikasikanku sebagai kelompok moderat. Aku berterima kasih untuk itu.

"Gus Aan, saya ini dulunya Islam, ada hal yang cukup mengganggu saya," ujar bu Wince --bukan nama sebenarnya, ketika sesi tanya jawab berlangsung.
"Soal apa ya, mbak?" tanyaku balik.

Ia kemudian memapar kegalauannya seputar kontradiksi  penyaliban Yesus antara Alkitab dan pemahaman Islam pada umumnya.

Aku kemudian dengan santai mengajaknya membayangkan ia memiliki suami tentara, yang terbunuh secara sadis di tangan musuh. Tubuhnya dicincang musuh setelah terlebih dahuu mengalami penyiksaan sangat pedih. 

Saking tragisnya, kematiannya tidak perlu digambarkan. Menggambarkannya dengan kata-kata justru malah akan "merendahkan," martabat almarhum.

"Mbak, aku sangat bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan secara detil kematian tersebut ketika ditanya anak-anak mbak yang masih kecil menanyakannya," kataku.

Detil kematian ayah mereka, jika dipaksaceritakan, tambahku, sangat mungkin justru akan memengaruhi kondisi psikologi mereka; dapat membuat mereka trauma dan kehilangan konfidensi atas ayah mereka.

Pilihan untuk tidak menceritakan detil kematian merupakan keinginan mulia yang muncul sebagai konsekuensi watak baik tiap manusia. Pilihan ini juga dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kehormatan pemilik tubuh agar tidak tercoreng oleh aib. Kematian dengan cara seperti itu adalah aib, harus disembunyikan.


"Lihatlah bagaimana tradisi Kristen Indonesia memperlukan orang yang sudah mati. Diberikan pakaian terbaik, diawetkan, dimake over habis-habisan agar ia bisa menghadap Gusti dengan sebaik--baiknya, sehormat-hormatnya," ujarku.

Seandainya ada bekas luka di wajah jenazah, maupun di bagian lain tubuhnya, sangat kecil kemungkinan hal itu akan dibiarkan tampil begitu saja. Perawat jenazah pasti akan mengintervensi hal tersebut. Demi menjaga kehormatan jenazah.

Menjaga kehormatan, dalam konteks ini, dirasa lebih penting ketimbang "bersikap jujur," menampilkan jenazah yang sesungguhnya. 


"Maka, mbak, nalar seperti inilah yang dipilih kristologi Islam dalam meyakini penyaliban Yesus," ujarku.

Yesus/Isa bagi orang Islam, tambahku, adalah sosok yang sangat suci. Kehormatan sosok seperti ini tidak boleh dinodai sedikitpun. Yesus/Isa yang disiksa --dan akhirnya meregang nyawa di kayu salib adalah aib yang sangat berat, yang harus ditutupi, demi menjaga kehormatannya.

"Kami sangat mencintai Yesus. Itu sebabnya kami tidak akan membiarkan kehormatannya tercoreng ---sungguhpun peristiwa penyaliban itu benar-benar terjadi. Dari sini kira-kira bisa dipahami kan, mbak?"

Yesus, tambahku, kami anggap "terlalu suci," untuk "dikotori," oleh penghinaan dalam bentuk penyiksaan, penderitaan dan penyaliban. 

Posisi keimanan kami atas Yesus yang "tidak pernah disalib," --jelasku-- kira-kira sama persis dengan pilihan tradisi kekristenan dalam memperlakukan jenaazah secara positif sebagaimana di atas. 

Forum katekisasi begitu sunyi saat aku menjelaskan hal ini. Entah apa yang ada dalam benak para peserta atas responku. Yang aku pedulikan hanyalah bagaimana aku mampu menjelaskan kejujuranku.

Aku juga tidak yakin seberapa banyak orang Islam mengetahui dan menerima rasionalisasi seperti yang aku jelaskan di atas. Kebanyakan dari kami selama ini, sejujurnya, telah dididik untuk bersikap taken for granted atas doktrin antipenyaliban. Sami'na wa atho'na, pokoknya.

Akan tetapi Siapapun yang pernah belajar sejarah gereja, pasti tahu ada doktrin docetism yang sangat memengaruhi sekte Monofisit pada masa kekristenan awal. Doktrin yang menitikberatkan pada aspek ketuhanan Yesus ini secara otomatis menyangkal kemanusiaan Yesus. Dengan demikian, doktrin ini menyangkal realitas kelahiran, ketubuhan, penderitaan, dan juga penyaliban Yesus. Semua aspek kemanusiaan Yesus adalah ilusi belaka.  Doktrin ini secara sederhana ingin menyatakan; Yesus adalah 100 persen tuhan dan 0 persen manusia.

Doktrin ini berbeda dengan doktrin trinitas yang mengimani bahwa Yesus merupakan tuhan sepenuhnya dan manusia sepenuhnya. 

Docetism dan monofisit selanjutnya dianggap sebagai ajaran heterodoks, bidat, murtad, dan sesat. Tidak boleh diajarkan.

Kelompok ini, bersama sekte-sekte  non-trinitarian lainnya, selanjutnya menyingkir ke semenanjung Arab, hidup di sana, termasuk di Makkah dan Yathrib (Madinah) lebih dulu sebelum kemunculan Islam. Beberapa sekte lain, misalnya, Ebionite, Gnostic, Arian, dan Nestorian.

Bisa dikatakan, Islam tumbuh dan "dibesarkan,"  dalam tradisi dan doktrin sekte-sekte tersebut. Itu sebabnya, pengaruh mereka sangat kuat membentuk kristologi Islam yang sangat antitrinitarian, termasuk dalam isu penyaliban.

"Mbak, saya percaya fakta sejarah. Jika Yesus secara historis telah dibuktikan mati di kayu salib, saya tidak bisa menyangkal hal tersebut. Namun saya juga bisa memahami seandainya mbak memilih tidak menceritakan ke anak-anak seputar detil kematian ayah mereka. Semoga poinku bisa dipahami ya," kataku.

Di akhir forum, aku mendorong peserta merenung; apakah memang Yesus pernah menyatakan secara jelas dan tegas bahwa trinitas merupakan satu-satunya jalan keselamatan; apakah memungkinkan semakin seseorang fanatik terhadap trinitas semakin ia bisa menerima semua cara menuju Yesus?

Lamat-lamat aku teringat sebuah kalimat; kali kecing kali bening, segoro wajib nompo.

MENANTANG KEWARGANEGARAAN DI PADJADJARAN

Matakuliah umum (MKU) seperti Pancasila, Ilmu Sosial dan Budaya, Agama, maupun kewargaan, sering dianggap remeh. Seringkali, matkul tersebut dijadikan tempat pembuangan dosen-dosen, di beberapa kampus.

Padahal, MKU merupakan "jantung," perubahan cara pandang mahasiswa/i. Melalui MKU, para mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, namun juga mendialogkannya dengan nilai (value) --supaya terjadi perubahan perilaku.


Jika kita pernah dengar Seven Deadly Sins, maka, menurutku, di MKUlah tempatnya; kita boleh menjadi kaya namun tidak boleh rakus; kita bisa pintar namun terlarang meninggalkan kemanusiaan, dan yang lain.


Nah, kerapkali --aku ambil contoh matakuliah Kewarganegaraan-- tidak bisa optimal mengubah cara pandang seseorang, misalnya, terkait toleransi dan intoleransi.


Sangat mungkin hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya, teknik/metode maupun paradigma mengajar. Seandainya pengajaran matkul tersebut lebih "didaratkan ke bumi," ketimbang dibiarkan "gentayangan di atas langit," --maka bisa jadi hasilnya berbeda.


Di video ini, saat diundang oleh FISIP Universitas Padjadjaran (30/10/2021), aku menawarkan sedikit cara bagaimana idealitas pengajaran MKU kewarganegaraan (civics).


Selama lebih kurang 30 menit, aku coba menjelaskannya, disertai basis teori dan implementasinya, berdasarkan pengalaman kelasku Pancasila di kampus Ciputra. Berikut videonya.


Nah yang menurutku menarik, saat itu, aku juga melakukan polling pada mahasiswa yang hadir. Aku namai pollingnya; tes wawasan kewarganegaraan.


Isinya, menelusuri sejauhmana penerimaan mereka terhadap kelompok berlatar belakang agama dan identitas berbeda dengan mereka. Misalnya, apakah kamu memiliki teman LGBT; apakah keberatan pacaran beda agama; apakah keberatan jika ada dosen/staff/karyawan/mahasiswa LGBTIQ di kampusmu.


Pokoknya seru!

Jika tidak percaya, silahkan melihatnya sendiri di SINI.


Dari jawaban-jawaban yang masuk, kita jadi tahu seberapa akut kadar bias identitas bercokol dalam pikiran mereka.


Aku berpikir, instrumen ini bisa terus dikembangkan supaya kita lebih akurat mendapat gambaran tentang diri dan lingkungan kita. Gambaran ini kemudian bisa dijadikan milestone untuk intervensi lanjutan; mau diperparah atau disembuhkan.


Dengan model yang aku tawarkan, kini pembelajaran matakuliah kewarganegaraan tidak lagi mengawang dan membosankan. Sebaliknya, ia dipenuhi gebrakan dan, tentu saja, tantangan.(*)


13+16+7


Ini adalah kombinasi baru berkaitan dengan sosok yang dihormati ratusan juta orang Islam. Termasuk bagiku.

Bagi mereka mengetahui lebih dalam sosok yang dianggap suci dalam sebuah agama adalah hal fundamental, termasuk dalam Islam. Darinya diharapkan kita bisa mengambil teladan (uswah) agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Nabi Muhammad (NM), oleh para pengikutnya, telah dipercaya sebagai profil sempurna. Sosoknya dianggap representasi utama untuk menuju Tuhan.

Itu sebabnya, semakin banyak pengetahuan yang dicecap darinya, semakin seseorang lebih mengenalnya. Dan, semakin dalam pengetahuan terkait dirinya semakin terbuka peluang seseorang bisa menjadi rahmatan lil 'alamin.

Beberapa waktu lalu aku telah menuliskan sekitar 13 perempuan yang pernah hidup di sekeliling Nabi --baik sebagai istri maupun selir. Sembilan dari mereka, dalam tradisi Muslim-Sunni, dikenal sebagai ummahat al-mu'minin (mothers of believers). Tiga orang meninggal sebelum Nabi. Satu yang lain adalah Maria Qibtiyyah (Koptik).

Aku berusaha menuliskan mereka supaya pengetahuanku bertambah dan, yang paling penting, agar lebih mengingat mereka. Menulis adalah salah satu cara terbaik untuk mematri dalam ingatan.

Selama ini, yang aku ingat dari para perempuan dalam rumah tangga Nabi adalah mereka yang berstatus istri maupun selir. Jumlahnya sudah aku sebutkan di atas.

Yang baru aku tahu, setelah membaca karya Montgomery Watt, Muhammad at Medina, masih ada cukup banyak perempuan yang ada di sekeliling Nabi.

Dalam buku tersebut, tepatnya di bagian Excursus L, Watt menjadikan beberapa buku sejarah dan tafsir yang tergolong babon sebagai sumbernya. Misalnya, karya Ibn Hisyan, al-Tabari --Tarikh al-Rusul dan Tafsir Jami' al-Bayn-- serta kitab milik Ibn Sa'ad, Tabaqat. Selain itu, Watt melengkapinya dengan catatan dari Caetani, Annali dell' Islam; G.H. Stern, Marriage in Early Islam; Wellhausen, Die Ehe bei den Arabern.

Siapapun yang mempelajari sejarah Islam pasti tahu buku-buku rujukan tersebut. Watt memang dikenal bukan sarjana kaleng-kaleng. 

Ia adalah professor studi-studi Arab dan Islam di Universitas Edinburg. Penerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen ini juga tercatat sebagai pendeta di Gereja Episkopal Skotlandia. Oleh beberapa media Islam, Watt dijuluki sebagai Orientalis Terakhir. 

Mendengar kata "orientalis," biasanya akan banyak orang Islam yang ancang-ancang membuang muka, menyepelekan apapun hasil kinerja mereka. Tidak peduli seakademik apapun karya mereka dihasilkan. 

Kritisisme mereka akan selalu dianggap merongrong Islam. Aku sendiri pernah lama dididik untuk berpikir seperti itu juga, sampai akhirnya aku merasa malu mempertahankan nalar itu.

Mungkin, keterusterangan Watt mengupas para perempuan di sekeliling NM akan dimaknai sebagai penggangsiran kredibiltas sosok paling suci dalam agama Islam. Hanya saja, menurutku, justru melalui tulisan dan analisisnya, setiap orang bisa memutuskan bagaimana ia akan bersikap.

Saat menelisik para perempuan, selain yang berjumlah 13 tadi, Watt tidak cukup yakin berapa jumlah persisnya. NM pada waktu sangatlah berkuasa. 

Itu sebabnya, banyak suku (tribe) ingin menjalin relasi dengannya melalui jalur perkawinan. Aku menjadi teringat bahwa model seperti ini mirip dilakukan oleh pesantren-pesantren untuk memperkuat jaringan antarmereka. 

Anak kiai pesantren x dikawinkan dengan anak kiai dari pesantren lainnya, ditautkan sedemikian rupa sehingga membentuk pola seperti sarang laba-laba. 

Watt mencatat terdapat setidaknya 16 perempuan yang kabarnya memiliki relasi (civil union) dengan NM namun tidak bertahan sampai selesai (berpisah). 

Siapa saja mereka?

Dari Banu (keluarga) Kindah, terdapat dua nama. Pertama, Asma bint Nu'man, menikah Juni 630 Masehi. Menurut cerita, Asma berpisah sebelum sempat dinikahi. 

Ada yang berpandang Asma termasuk "mothers of believers," namun ada sebagai versi cerita yang menolak statusnya ini. Ia dikabarkan menikah lagi setelah berpisah dengan NM. 

Kedua, Qutayla bint Qays, saudari al-Ash'ath bin Qays yang pernah memberontak terhadap Abu Bakar sebelum akhirnya bergabung dengan Islam dan menjadi pemimpin. Rencana perkawinan Qutayla gagal karena NM meninggal dunia.

Perempuan ketiga dari Banu Layth, bernama Mulaykah bint Ka'b (Layth). Terdapat beberapa kabar yang menyatakan; pertunangan tidak berlanjut ke jenjang perkawinan (consumation); keduanya menikah Januari 630 dan meninggal; serta ada kabar yang menyatakan NM tidak pernah melakukan perkawinan dengan perempuan dari keluarga Kinanah --dimana banu Layth menjadi bagiannya.

Perempuan keempat yang disebut Watt adalah Bint Jundub binn Damrah, keluarga Kinanah. Terdapat cerita yang menyatakan perkawinan keduanya terjadi namun juga ada yang menyangkal.

Perempuan kelima hingga kesembilan berasal dari Banu Kilab, yakni: Fatimah bint ad-Dahhak, 'Amrah bint Yazid, 'Aliyah bint Zabyan, Saba bint Sufyan, dan Nashah bint Rifa'ah.

Perempuan kesepuluh adalah Ghazlyah bint Jabir, atau terkenal dengan nama Umm Sharik. Terdapat kesepakatan luas diantara sejarawan Islam bahwa ia adalah sosok yang disebut dalam Q. 4. 25/29), yakni perempuan yang mengajukan dirinya untuk diperistri NM. 

Ada versi yang menyatakan, NM yang mengajukan lamaran. Sharik diceraikan sebelum keduanya "berkumpul," (consumate).

Sedangkan perempuan kesebelas hingga lima belas adalah Fatimah bint Shurayh; Sana atau Saba bint (Asma' b.) as-Salt (Sulaym),  meninggal sebelum perkawinan dilangsungkan; ash-Shanba' bint 'Amr dari Banu Ghifar sekutu Banu Qurayza --diceraikan karena menyampaikan perkataan yang skeptis terkait kematian Ibrahim putra NM dengan Maria Qibtiyah; Khawlah bint al-Hudhayl dari Banu Taghlib, meninggal sebelum perkawinan berlangsung; dan, 
Khawlah bint Hakim dari Banu Sulaym. 

Kabarnya, saat Khawlah meninggal "posisinya," digantikan Sharaf bint Khalifah dari Banu Kalb), yang merupakan bibinya dari garis ibu. Dengan demikian Sharaf merupakan perempuan keenambelas dalam cerita romansa NM.

Apakah berhenti sampai di sini? Ternyata tidak. 

Watt menemukan tujuh nama perempuan lain yang pernah diperbincangkan akan dikawinkan dengan NM. Namun, tidak ada rencana tindak lanjut setelahnya. Mereka adalah Habibah bint Sahl dari kelompok Ansar -- keluarga Malik b. an-Najjar; Layla bint al-Khatim dari kelompok Ansar -- keluarga Zafar;  Umm Hani' bint Abi Talib dan Umm Habib bint al-'Abbas, keduanya dari Banu Quraysh -- keluarga Hashim); Duba'ah bint 'Amir dari keluarga 'Amir b. Sa'sa'ah); Safiyah bint Bashshamah dari Banu Tamim -- keluarga al-'Anbar); dan yang terakhir adalah 'Ammarah (atau Umamah) bint Hamzah dari Banu Quraysh -- keluarga Hashim.

Maka, total jumlah perempuan yang dikabarkan pernah berada dalam kehidupan personal-romansa NM adalah 36 orang. 

Pertanyaan krusial yang mungkin mengemuka dari pemaparan di atas; bagaimana kita, baik orang Islam atau bukan, menyikapinya? 

Semoga ada waktu menuliskan hal ini. Wallohu a'lam.(*)

ANGGRA DAN PACARAN BEDA AGAMA

Cukup sering aku merasa hidupku seperti dikelilingi de javu --semacam perasaan menempuh dan mengalami hal sama. Salah satunya, peristiwa yang terjadi pada Jumat (27/8).

Aku bersama anak-anak muda, mahasiswa/i, menonton film yang pernah aku tonton bersama anak muda lainnya 9-10 tahun lalu. Judulnya 3 dunia 2 hati 1 Cinta.

Film jadul yang dibintangi Reza Radian dan Fira Basuki ini bercerita tentang lika-liku asmara beda agama antara Rosyid dan Delia; Islam dan Katolik.

BBukan tanpa sebab aku dan puluhan anak=anak Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Univ. Darul Ulum dan Univ. Wahab Chasbullah memilih film ini.

Aku ingin mendorong mereka berani mengeksplorasi isu terlarang ini.

Dalam benak mereka, aku yakin, pacaran beda agama bukanlah hal yang patut dibanggakan. Alih-alih, hal tersebut bisa dianggap sebagai tanda penggelinciran iman; mencari kesengsaraan.

"Lha wong pacaran seagama saja belum tentu lancar apalagi beda agama," kira-kira-kira demikian yang ada dalam benak mereka.

Setelah tuntas menonton lebih dari 1,5 jam, kami pun berdiskusi. Forum dimoderatori Tama, kader PMII transpuan asal kampus Wahab Chasbullah.

Dia tampak agak gugup saat mengelola forum. Sangat mungkin karena di hadapan banyak peserta yang bukan dari kampusnya. Acara memang diselenggarakan di selasar Fakultas Ekonomi Univ. Darul Ulum.

Malam itu, ada dua narasumber yang hadir dari tiga yang telah direncanakan; Anggrani, pendeta GKJW Mutersari Bareng dan aku sendiri. Bill Halan tidak hadir karena kurang sehat badannya.

"Hai Anggra, welcome to my campus," sambutku sebelum acara. Dia datang bersama 3 anak muda, salah satunya adalah Yosia, mahasiswa Teologi UKDW yang sedang stage (baca; stasi) di gerejanya Anggra.

Anggra tampil mempesona malam itu. Betapa ia mengagumi uminya Rasyid dalam film tersebut.

Sosok sang umi begitu kuat menjembatani konflik Rosyid dan abahnya terkait Delia, pacar Rosyid yang Katolik. Sang abah sangat menentang pacaran beda agama --sekeras mama dan papanya Delia.

"Selain umi, saya juga sangat memahami betul perasaan yang dialami Delia," ujar Pdt. Anggra.

Aku meyakini dia, sebagai pendeta, memiliki pengalaman mempastorali jemaatnya yang mengalami hal sama. Pastilah tidak mudah.

Baginya, perpindahan agama yang kerap ditempuh banyak orang saat mencari jalan keluar relasi beda agama merupakan keniscayaan. Saat seseorang sampai pada titik tersebut, Anggra berpandangan ia haruslah memiliki komitman beragama secara serius, bukan hanya sekedar karena alasan perkawinan.

Keseriusan ini sekaligus menjadi titik tolak mengeksplorasi sejauhmana komitmen cinta kasih beda agama.

"Mencintai itu memerdekakan bukan memaksa, termasuk dalam urusan agama atau keyakinan," ujarku meneruskan sebagai narasumber kedua.

Jika ada kekuatiran setelah perkawinan beda agama, misalnya; nanti anaknya ikut agama bapak atau ibunya,  bagaimana model beribadah keduanya, satunya makan babi dan lainnya mengharamkan --maka, menurutku, ada ketidakberesan saat pacarannya.

"Jangan-jangan pas pacaran, motifnya adalah penunduan agama satu atas agama lainnya? Kalau benar demikian maka aku meragukan ketulusan relasi tersebut," tambahku.

Penundukan tersebut, lanjutku, merupakan dampak pendidikan seputar agama yang dijejalkan kita sejak lahir. Kita dirawat untuk senantiasa merasa agama kita paling benar.

Kita terus menerus diracuni; bahwa agama lain adalah sesat dan lebih rendah dari kita. Yang paling membahayakan; kita terus diprovokasi bahwa mereka senantiasa membuat plot untuk merongrong agama kita.

Ujungnya, cara terbaik melumpuhkan sekaligus "menyelamatkan," mereka adalah dengan menggiringnya masuk agama kita.

Bahkan jika perlu, dengan cara licik, tipu daya, maupun kekerasan. Rasanya aneh, namun melegakan bagi sebagian orang.

"Bagaimana dengan sikap Islam seputar pindah agama? Bukankah telah jelas disampaikan dalam AlQuran?" tanya seorang peserta.

Alquran adalah kitab pedoman kita, jawabku. Menurutku, kitab ini terlalu suci yang tidak membutuhkan sepasukan orang untuk memaksa orang lain agar percaya ia sebagai kitab petunjuk.

Lemah sekali agama kita seandainya memaksa pengikutnya untuk mempersekusi orang lain agar mempercayainya.

"Tidak ada paksaan dalam Islam," jawabku. Saat banyak orang Islam ikut kerabatnya yang Yahudi meninggalkan Madinah karena pengusiran, Nabi memperbolehkan hal tersebut.

Mereka tidak dipaksa tinggal di Madinah bersama orang-orang Islam. Demikianlah konteks turunnya ayat tersebut.

"Lalu, gus, bukankah telah jelas dalam AlQuran 2:221, seorang Muslim tidak diperkenankan menikahi orang musyrik?" ujar yang lain.

Musyrik itu menyekutukan tuhan, jawabku. Yang percaya Tuhan, dalam ayat tersebut, dinamakan mukmin. Bahasa Inggrisnya; The Believers.

"Sekarang aku akan tanya pendeta Anggra," ujarku sembari langsung menatap Anggra yang duduk di sampingku. "Kamu dan semua orang Kristen, apakah menyekutukan Tuhan?"

"Yo enggak lah, gus," sahutnya sembari tertawa.

Mukmin, menurutku, adalah mereka yang mempercayai adanya Gusti. The Believers. Tidak hanya orang Islam saja, namun juga Kristen, Yahudi, dan agama-agama lainnya.

Dengan demikian, lanjutku di forum, Al-quran QS. 2:221 tidak cukup relevan digunakan untuk mengatur larang perkawinan Islam-Kristen. Apalagi menurutku telah jelas pemeluk Kristen memiliki kitab yang keberadaannya juga wajib diimani oleh orang Islam, merujuk pada QS 2:4.

"Bayangkan, mana mungkin kita tega mengutuk kebahagiaan yang kuat terpancar dari raut muka Tenaya dan Nathanael?" ujarku meyakinkan peserta diskusi sembari menayangkan video pendek "Mesranya Cinta Terlarang," karya Norfa Baroroh, mahasiswiku di Ciputra. https://www.youtube.com/watch?v=kOBSwufNJQw

Malam itu, aku merasa cukup banyak berondongan bersifat teologis dari peserta forum. Begitu banyak ayat-ayat Alquran disemai dan dikutip untuk mempertahankan keyakinan yang selama ini memang dihidupi.

Sejujurnya, aku sangat senang dengan hal itu. Sangat mengasyikkan dapat mendengar mereka berargumentasi menggunakan kitab sucinya.

Namun bagaimana dengan perasaan Pdt. Anggra yang menyaksikan itu semua? Apa yang ada dalam benaknya saat tahu kuatnya resistensi dalam forum tersebut?

Aku memilih membiarkannya, tidak menanyakannya secara khusus saat diskusi usai. Yang justru aku sampaikan adalah rasa senangku melihat kampus ini kembali dikunjungi pendeta GKJW.

"Tahukah kamu kapan terakhir kali pendeta GKJW mengisi acara di kampus ini?" tanyaku
"Kapan, gus?" tanyanya pendek
"Sekitar tahun 2011 atau 2012. Saat itu Nicky yang ke sini," ujarku sembari mengantarkan Anggra ke mobil.

Pelan-pelan kendaraan itu ditelan gelapnya kampus. Balik ke GKJW Mutersari. Thank you Anggra.

I Will Not Make It Easier For You


Sejak kemarin pikiranku agak terganggu dengan peristiwa di Menganti Gresik. Seorang bayi meninggal, agamanya Kristen, dan tidak boleh dimakamkan di desanya.

Dari data kartu keluarga yang aku dapatkan, adik bayi ini adalah satu-satunya anak yang beragama Kristen. Ia punya tiga saudara/i. Semuanya Islam. Ayah ibunya Kristen.

Status tiga anaknya yang Islam menurutku cukup unik. Sangat mungkin orang tuanya sangat memahami situasi yang akan dihadapinya saat mereka tetap berkristen -- situasi yang kini menimpa adik bungsu mereka.

Aku berpikir kenapa ada komunitas Islam setega itu, melarang warganya mendapatkan hak yang setara, gara-gara tidak seagama.

Peristiwa ini sekaligus menambah daftar praktek diskriminasi pemakaman di Jawa Timur. Sebelumnya, dua warga desa Sooko Mojokerto juga dilarang dimakamkan di desanya, karena keduanya bukan Islam.


"Bagaimana terlukanya seandainya orang Islam diperlakukan seperti itu?" batinku. Pastilah sangat menyakitkan.

Meskipun pada akhirnya adik bayi tersebut bisa dimakamkan di pekuburan Kristen namun bukanlah itu masalahnya, kan?

Peristiwa demi peristiwa ini membuatku makin berkomitmen mendorong sebanyak mungkin orang Islam berkenalan dengan Kekristenan. Kurangnya pengetahuan sangat mungkin membawa seseorang tega bertindak intoleran. 

Pagi ini, Minggu (8/8), aku bersyukur bisa mewujudkan komitmen tersebut. Sebanyak lebih dari 20 mahasiswa/i Islam aku ajak mengunjungi Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jombang. 

Mereka adalah adik-adikku, peserta pelatihan kader dasar (PKD) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rayom Tabassam Fakultas Agama Islam Universitas Wahab Hasbullah Tanbakberas.

Aku memang mengajukan syarat ketika diminta mengampu sesi "Berkenalan dengan Teori Perubahan Sosial,"; lokasinya harus di gereja.

Kenapa harus gereja? 

Aku ingin memberikan kesan tak terlupakan pada mereka. Sebuah kesan yang aku yakin mampu mengupgrade keislaman mereka. 

"Selamat datang di gerejaku. Beruntunglah kalian, masuk di PMII dan bertemu denganku. Tak semua organisasi mahasiswa berlabel Islam menyediakan fasilitas masuk ke gereja seperti PMII," kataku saat menyambut mereka. Aku melihat ada larikan bangga di wajah mereka. 

Aku memang memakai kata "gerejaku," sebab aku merasa sangat dekat dengan GKJW Jombang. Sudah dianggap keluarganya sendiri. 

Jika tidak, mana mungkin mas Yono, pendeta GKJW Jombang, memperbolehkanku berkunjung dalam tempo waktu yang singkat. Surat kunjungan aku buat dua hari sebelum acara. Cukup mendadak.


"Mas, aku nyelang grejone yo. Aku mau bawa adik-adikku PMII ke sana," ujarku padanya.

Mas Yono sangat welcomed meski ia sendiri tak bisa menemani pagi ini karena harus ke Banyuwangi. Maka Pak Soleh didapuk untuk menerima kami. Dia adalah salah satu jemaat senior. Guru Injil juga. 

"Apa artinya lambang A dan Omega itu?", "Hiasan itu apa maknanya?", "Itu foto dan lukisan bercerita tentang apa?", "Bagaimana gereja ini merespon konflik?", " Bagaimana gereja mengembangkan dirinya?" 

Itulah deretan pertanyaan yang diberondongkan peserta saat acara penyambutan di ruang ibadah GKJW.  Aku memang secara spesifik meminta mereka menjajal kursi yang biasa digunakan para jemaat beribadah.

Aku ingin mereka --dengan segenap keislaman klasik yang mereka miliki- merasakan sebanyak mungkin pengalaman yang tidak setiap hari ditemui. 

"Mana mungkin kamu bisa masuk gereja seperti ini saat di rumah, ndak mungkinlah.." kataku pada salah satu panitia, cewek, dari Jambi. 

"Hahahaaa, iyaa, kalau nggak di Jombang, nggak bisa kayak gini, gus," ujarnya sumringah. 

Pagi itu semua peserta dan panitia begitu menikmati kunjungan tersebut. Ada beberapa dari mereka aku undang maju menceritakan kesannya pagi tadi. 

Di akhir acara, aku menginjak kencang "pedal gas," dengan cara meminta Pak Soleh menutup acara dengan doa a la Kristen. Biar lebih mantap keseluruhan prosesnya.

"Kalau kamu takut autokristen, silahkan cek kolom agama di KTP kalian. Kalau berubah Kristen, aku sanggup menguruskannya di Dispendukcapil," ujarku guyon. Mereka pun ngakak. 

Dalam hati, aku berkata lirih; silahkan saja membawa agamaku menjadi alat intoleransi but merely keep my promise that I will not make it easier for you!

#pkd1tabassam

Come Sunday; "Korupsi Iman," Jemaat sebagai Taruhan


Apa yang paling menangkutkan seseorang selain kehilangan pengikut? Apalagi jika hampir semua aspek kehidupannya terkoneksi dengan mereka --dari harga diri kehormatan hingga periuk nasi.

Ini adalah tulisan ketiga (terakhir) dari serial "Tiga Korupsi Selama PPKM," Tulisan pertama di https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288208663186/?app=fbl dan ini yang kedua https://www.facebook.com/1561443699/posts/10225288226143623/?app=fbl

Hari Minggu malam, (26/7), aku menonton film apik, "Come Sunday," menceritakan sosok kontroversial Carlton Pearson. Orangnya masih hidup hingga sekarang 

Pearson adalah pendeta dengan jemaat sekitar 6000 orang, melayani di the Higher Dimensions Evangelistic Center Incorporated --sebelum akhirnya berubah menjadi Higher Dimensions Family Church. Gereja ini merupakan salah satu yang terbesar di daerah Tulsa Oklahoma Amerika.

Seperti halnya pendeta pada umumnya, Pearson juga mengkhotbankan ajaran; Yesus sebagai juruselamat; siapapun yang memilihNya berarti terselamatkan. Bagi yang tidak, secara otomatis, tidak akan selamat.

Film tersebut begitu apiknya menggambarkan kepiawaiannya; merangkai kata-kata dan mengaktualisasikannya di atas mimbar. Jadwal manggungnya penuh. 

Almamaternya, Oral Robert University, begitu bangga terhadap alumninya ini. Pendek kata,  tidak ada satupun jemaat yang tidak suka dengannya. Hingga kemudian ia terperosok ke dalam "jurang kesesatan," bernama inklusivisme.

Inklusivisme mengajarkan pemahaman bahwa suatu agama secara eksplisit benar, sementara agama lain secara implisit juga benar dan Tuhan MENERIMA iman implisit sebagai pengganti iman eksplistit di dalam Kristus. 

Sederhananya begini; dalam pandangan Pierson, orang Kristen tidak bisa lagi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya yang terselamatkan. Keselamatan juga ada di agama lain. "Dan itu adalah doktrin Kristus," ujarnya.

Gereja pun geger.

Satu per satu jemaatnya tidak lagi mau bergereja di tempat Pierson. Kursi gereja semakin lama semakin melompong. Jemaatnya tinggal beberapa gelintir saja.

Beberapa rekan sepelayanan dan juga kampusnya meminta Pierson untuk segera "kembali kepada Yesus," 

Kehidupan Piersen, dalam arti sesungguhnya, makin "terpuruk. setelah ia divonis "sesat," sekelompok pendeta beraliran Pentacostal.

“We do hereby declare that the doctrine of Inclusionism is an unorthodox teaching and shall be classified as a heresy by the Joint College of African-American Pentecostal Bishops Congress,” tulis Bishop Cliffort Leon Frazier.

Sebelum "vonis," tersebut dijatuhkan, Pierson diminta melakukan klarifikasi teologis di hadapan forum pendeta, Maret 2003. Alih-alih menyerah, dalam film tersebut, ia malah terlibat debat dengan salah satu pendeta senior di forum tersebut.

“A more careful study of Scriptures will reveal that salvation is also and, perhaps more often or more comprehensively, pictured in a universally inclusive way, in which God is redeemer of the whole world or creation, including all human beings,” ujarnya, sebagaimana aku kutip dari laman aplogeticsindexdotorg.

Namun bagiamana ia sampai pada "belokan tajam," teologis seperti ini? Setidaknya ada dua moment tergambar dalam film tersebut. 

Pertama, kematian Quincy, pamannya, di penjara dengan cara gantung diri. Pierson merasa bersalah karena tidak mampu menyelamatkannya --padahal ia dikenal sebagai juruselamat di gerejanya. 

Sebelum gantung diri Quincy meminta tolong Pierson menulis surat pembebasan bersyarat kepada otoritas penjara. Namun Pierson menolak. Padahal ia sebenarnya bisa melakukan hal itu. 

Kedua, ditengah kekalutan atas kematian Quincy, ia menonton konflik di Rwanda Afrika, yang mengakibatkan ratusan ribu orang dan anak tak berdosa mati.  Ia dengan galau membawa masalah ini ke atas mimbar, di hadapan ribuan jemaatnya.


"God, I don't know how you can call yourself a loving, sovereign God and let these people suffer like this. Oh, God. None of them are saved. They don't know Christ. They're not born again. And when they die, you just suck 'em down into hell. Oh, God." kata Pierson, mencoba menggugat tuhan di hadapan ribuan jemaatnya.

Gugatan kepadaNya makin tajam, setajam silet. "All my life, I've been taught it. Everything I know points to a choice, heaven or hell. Many people I loved... members of my own family went to hell, and they're there for good. Now, I could never reconcile that, but I do accept it, because they had a choice. But when did these people in Africa separate from God? When did they make a choice? And how do they get saved?"

Jemaatnya semakin hanyut dengan khotbah memukaunya dan sangat penasaran apa kira-kira yang akan dijawab Tuhan atas gugatan Pierson. 

"And He (God)  said, 'They don't need to get saved. They're already saved. And I've taken them into my presence. They will all be with me... in heaven.'"

Jemaat pun geger, menganggap panutannya tengah mengkorupsi pemahaman yang sudah lama mapan; Yesus hanya menyelamatkan orang Kristen saja.

------------

Secara personal, aku agak heran apa yang  yang membuat doktrin inklusi menjadi spesial sehingga perlu difilmkan, apalagi kejadiannya berlangsung di zaman modern? 

Aku merasa memiliki banyak teman pendeta yang memiliki pandangan seperti ini, setidaknya saat berdiskusi denganku atau di forum ilmiah terbatas.

"Namun, gus, mana berani mereka ngomong hal itu di mimbar? Bisa-bisa ditanggalkan kependetaan mereka," ujar salah satu temanku, pendeta, saat aku ajak ngobrol soal ini.

Aku percaya setiap orang membutuhkan proses untuk bisa sampai pada inklusi model Pierson. Ia seperti sedang memperluas pemaknaan tentang keberadaan Yesus; dari model ekslusif menjadi inklusif. 

Pearson mengingatku pada almarhum Gus Dur yang pernah mengatakan kelahiran Yesus tidak hanya untuk orang Kristen saja. Alih-alih, putra biologis Maria ini merupakan penyelamat (savior) bagi semua orang; baik yang mau mengakuinya atau tidak.

Model pemikiran Gus Dur maupun Pierson berangkali berpijak pada refleksi sederhana; Tuhan tidak membutuhkan pengakuan sebagai syarat bagiNya untuk memberikan kasih.

Kasih Alloh seperti halnya matahari. Sinarnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Tidak peduli apakah manusia mempercayai atau mengkhianatiNya. 

Tidaklah mungkin sinar matahari --yang dianggap berada dalam kontrol penuh tuhan-- bersinar secara diskriminatif, hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang percaya padaNya saja.

Logika kemahapemurahan Tuhan sangat mungkin berlaku juga bagi surgaNya. 

Dalam keyakinanku, surga akan memiliki banyak pintu, yang bisa diakses siapa saja, seperti halnya Gelora Bung Karno yang memiliki banyak pintu. Pintu surga nanti bisa jadi jumlahnya ribuan --sejumlah agama/kepercayaan yang ada di dunia

Tuhan bertindak seperti itu karena Dia mampu untuk itu --sekali lagi, atas dasar kemurahan dan pengampunanNya. 


Dua hal itulah yang menjadi kunci kenapa ia berstatus sebagai Tuhan. Sebab jika dia manusia maka niscaya ia akan bertindak seperti kebanyakan dari kita; cenderung berpandangan dan bersikap bias. 

Nah Pearson, dalm film tersebut, masuk dalam level pemahaman ini. Baginya, kemurahan hati Yesus, dimaknai secara lebih luas --tidak hanya terbatas pada mereka yang berstatus formal sebagai Kristen/Katolik.

Pearson mengingatkanku pada seminar dan lokakarya di mana aku pernah terlibat di dalamnya. Temanya cukup menohok; De-centering perspective on Evangelism. Acaranya di Jakarta 2018 diselenggarakan oleh Council for World Mission, full bahasa Inggris. 

Seperti judulnya, kegiatan ini berkehendak menegaskan "arah baru," penginjilan; dari model klasik --konversi agama-- menuju penginjilan yang lebih luas -- melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan, termasuk minoritas gender dan seksual. 

Penginjilan bermakna konversi, tidak hanya dianggap telah usang namun juga dipenuhi oleh kuasa imperialisme-kolonialistik, setidaknya demikian yang aku cerna dari presentasi Dr. Gladson Jathanna, "Post-colonial Perspectives on Evangelism: Evangelism as Violence, Sinful Evangelism,"

Jathanna sangat mungkin memahami pergulatan orang-orang seperti Pearson. Atau bahkan, ia juga mengalaminya sendiri.

Di film tersebut Pearson memang benar-benar berada dalam sebuah pergumulan dahsyat, tidak hanya secara imani namun juga dalam kesehariannya. Para mantan jemaatnya memandang pria ini dan keluarganya dengan tatapan sinis dan perasaan iba. 

Aku merasa ia tengah disalib seperti halnya Yesus, tuhannya. Pearson "disalib" demi menemukan esensi kekristenan yang ia yakini selama puluhan tahun; pemaham kekristenan yang terkorupsi. 

Dan seperti yang sudah bisa diduga, "penyaliban," itu tidaklah sia-sia, setidaknya dalam film tersebut.

Bagaimana dengan dinamika telogis-praktis seperti ini di agama lainnya --khususnya Islam? Wallohu a'lam.(*)

WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO

Press Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur

"WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO"


Jaringan Islam Antidikriminasi (JIAD) Jawa Timur mendukung upaya serius GUSDURian Mojokerto dalam upaya pemberian keadilan akses pemakaman bagi warga non-Islam desa Sooko kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto.

Upaya ini merupakan rentetan terjadinya diskriminasi jenazah bu Emi dan Pak Totok yang tidak bisa dimakamkan di desanya sendiri karena alasan agamanya (cek beritanya di https://tinyurl.com/yhsdhvm2)

Beberapa hari lalu, GUSDURian Mojokerto secara resmi mengirimkan surat ke otoritas desa Sooko. Isinya, terkait klarifikasi seputar status tanah makam desa; apakah khusus untuk warga Islam saja atau terbuka bagi semua warga desa. 

Hingga saat ini surat tersebut belum direspon oleh Kepala Desa tanpa alasan yang jelas. Padahal sebenarnya masalah ini tidak perlu terjadi manakala pemerintahan desa bersetia pada empat pilar bangsa; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Sebagai catatan, terdapat lebih dari 100 warga desa Sooko yang beragama selain Islam. Kejelasan nasibnya saat meninggal dunia masih terancam tidak bisa dikuburkan di desanya sendiri. Padahal, saat pengadaan tanah makam tersebut, mereka juga terlibat urunan pembiayaan.

Terkait hal ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung sepenuhnya langkah advokasi GUSDURian Mojokerto terkait hal ini;

2. Mendesak kepada Kepala Desa dan BPD Desa Mojokerto untuk mengeluarkan keputusan yang isinya menetapkan makam desa sebagai tempat pemakaman umum (TPU);

3. Mendesak kepada Bupati Mojokerto untuk memastikan seluruh desa di kabupaten memiliki TPU, bukan hanya Makam Islam saja;

4. Menyerukan kepada semua elemen lintasagama untuk ikut serta memperjuangkan hal ini;

5. Meminta kepada semua pihak mengirimkan pesan dukungan berisi, "Saya Aan Anshori (ganti dengan nama Anda), pengajar Universitas Ciputra (ganti dengan afiliasi Anda), mendukung Kepala Desa Sooko menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) bagi seluruh warga desa -- apapun agama, ras, suku dan etnisnya," Kirim pesan tersebut ke WA Kades Sooko https://tinyurl.com/ydrtp97k dan Camat Sooko https://tinyurl.com/yz9k2ht3 

Jombang, 25 Juli 2021

Aan Anshori


*Narahubung GUSDURian Mojokerto; Imam Maliki (+62 855-3694-0161) Kukun Triyoga (+62 812-3086-0673)

ISMAIL ATAU ISHAQ? TIGA FAKSI ISLAM DAN UPAYA PEMBACAAN ULANG

Dalam drama percobaan penyembelihan oleh Abraham, siapapun yang Anda dukung; apakah Ishaq atau Ismail, aku sama sekali tidak keberatan. Sepenuhnya aku bisa memahami hal itu. Aku sungguh sangat senang seandainya kita bisa tumbuh dan berkembang sampai pada posisi Gus Dur dalam urusan ini;“Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishaq, tidak jadi disembelih. Jadi buat apa diributkan,” Bagi banyak orang, posisi Gus Dur memang terasa lebih menenangkan, lebih rekonsiliatif, ketimbang kita gegeran karena terperosok dalam rezim binerik --Ishaq atau Ismail.

Yang hendak aku tawarkan dalam tulisan ini adalah seputar cara pandangku kenapa Islam terasa lebih memilih Ismail ketimbang Ishaq dalam drama percobaan penyembelihan oleh bapaknya, atas nama perintah Tuhan. Sebagai catatan, aku belum membaca semua karya tulis di Google Scholar berkaitan dengan topik ini. Sehingga bisa jadi telah ada sarjana yag relah menulisnya namun belum aku sebut karyanya. Untuk hal ini, aku minta maaf.

BASIS AWAL

Aku mencukupkan diriku pada teks alquran sebagai sumber primer. Dalam tradisi Sunni-Nadliyyin yang aku tahu, jika ingin mempelajari al-Quran lebih mendalam, seseorang akan sangat disarankan untuk membaca tafsirnya. Namanya juga tafsir, kebenarannya tetaplah relatif dan tidak bisa dianggap sejajar dengan al-Quran. Jumlah kitab Tafsir cukup banyak dan beragam. Tergantung juga pada madzhab keislamannya. misalnya Sunni. Syiah, atau Ahmadiyyah.

ALQURAN DAN PENYEMBELIHAN 

Di kitab suciku, teks seputar upaya percobaan penyembelihan anak Ibrahim, setidaknya, tergambar dalam Alquran Surah 37 (al-Saffat, rombongan/barisan Malaikat) ayat 102. Namun, demi memahami ceritanya lebih utuh, aku akan beberkan ayat 100-113. Aku gunakan terjemahan/tafsir milik Quraish Shihab yang ada di tanzildotnet.

37:100; Ya Tuhan, berikanlah aku keturunan yang saleh yang akan melanjutkan misi dakwah setelah aku.

37:101; Kemudian malaikat memberinya kabar gembira berupa anak yang cerdas dan sabar.

37:102; Anak itu pun lahir dan tumbuh. Ketika anak itu menginjak dewasa dan telah pantas mencari nafkah, Ibrâhîm diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."

37:103; Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Kemudian Ibrâhîm membaringkannya dengan posisi pelipis di atas tanah sehingga siap disembelih.

37:104-105 ; Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, "Wahai Ibrâhîm, sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya. Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena kebaikan mereka."

37:106; Sesungguhnya cobaan yang Kami berikan kepada Ibrâhîm dan anaknya adalah bentuk cobaan yang menjelaskan inti keimanan dan keyakinan mereka kepada Tuhan semesta alam.

37:107; Kami menebus anak itu dengan sembelihan yang besar, sebab datangnya atas perintah Allah.

37:108; Kami abadikan Ibrâhîm dengan pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang setelahnya.

37:109; Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrâhîm.

37:110; Seperti balasan yang menolak bencana itu, Kami akan memberi balasan orang-orang yang berbuat baik dengan melaksanakan semua perintah Allah.

37:111; Sesungguhnya Ibrâhîm termasuk hamba-hamba Kami yang tunduk pada kebenaran.

37:112; Dengan perintah Kami, malaikat memberi kabar gembira kepadanya berupa kedatangan seorang anak, yaitu Ishâq, meskipun istrinya mandul dan sudah putus asa untuk mendapatkan anak. Anak itu nantinya akan menjadi seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh.

37:113; Ibrâhîm dan anaknya Kami berikan keberkahan dan kebaikan di dunia dan akhirat. Di antara anak keturunannya ada yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, dan ada pula yang menzalimi diri sendiri dan jelas-jelas tersesat karena kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukannya.


TIGA FAKSI

Dari berbagai terjemahan al-Quran yang aku bisa akses, hanya terjemahan milik Kementerian Agama RI yang berani menyebut kata “Ismail,”secara gamblang saat menerjemahkan/menafsirkan ayat 102. Selain milik Kemenag, aku juga mengecek beberapa terjemahan berbahasa Inggris dan Indonesia, misalnya; Shahih International, Maududi, Mubarakpuri, Pickthall, Qarai, Qaribullah & Darwish, Sarwar, Shakir, Wahiduddin Khan, Yusuf Ali, dan tentu saja Quraish Sihab. Tidak ada satupun dari mereka yang menyebut nama“Ismail,” Alih-alih, mereka menggunakan kata “anaknya” (anak Ibrahim). 

Di titik ini, untuk mempermudah penggolongannya marilah kita sebut saja mereka ini kelompok netral. Tidak disebutnya nama Ismail oleh mereka bisa jadi merupakan hal wajar karena kata Ismail memang tidak ada dalam atar 100-113. 

Selain kelompok netral, al-Qurtubi (d. 1272) —dalam Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an— saat menjelaskan QS. 37:102 menyampaikan adanya dua kelompok lagi dalam khazanah intelektual Islam; pro-Ishaq dan pro-Ismail. Dibelakang pendukung Ishaq, terdapat nama-nama seperti Ali bin Abi Talib, Abu Zubair, Abdulah bin Mas’ud, Muqatil bin Sulayman, al-Abbas bin Abdul Muthalib, dan Said bin Jabir. Sayangnya, al-Qurtubi sepertinya kurang mengelaborasi lebih jauh argumentasi kelompok pro-Ishaq.

Sedangkan di barisan kelompok pro-Ismail —yang berpandangan bahwa Ismail sebagai sosok pilihan Tuhan yang akan dikorbankan— terdapat nama-nama, diantaranya, Abu Tufail Amir bin Watsilah, Abu Huraira, Ibn 'Arabi, Ibn Kathir, al-Maududi, dan hampir semua orang Islam yang tiap tahun menyelenggarakan Iduladha. 

Jika boleh menduga, argumentasi kelompok pro-Ismail sangat mungkin demikian; jika narasi ayat-ayat di atas dibaca secara kronologis, maka ayat 100-112 menceritakan seorang anak yang akan disembelih. Siapa anak itu? Entahlah. Namun kelompok pro-Ismail sangat mungkin akan berkata; pastilah bukan Ishaq sebab dia baru disebut pada ayat 113. 

"Kan ya tidak masuk akal ada orang disembelih padahal ia belum dilahirkan?," --barangkali demikian afirmasi sederhananya. Maka, dengan afirmasi seperti inilah seluruh bangunan epistemologi pro-Ismail dalam Islam mendapat basis legitimasinya. Namun justru di titik ini, legitimasi tersebut, menurutku, tidaklah sesederhana.

MENYELIDIKI AFIRMASI

Ada hal yang membuatku penasaran kenapa Alquran terasa memilih "jalan lain," --dianggap condong memilih Ismail-- ketimbang narasi Perjanjian Lama yang diyakini Yahudi dan Kristen. Dua agama ini memang unik; bersekutu terkait siapa yang akan dikorbankan Ibrahim, namun dalam banyak aspek, Kristen justru terasa melakukan "pemberontakan," terhadap ajaran Yahudi melalui Perjanjian Baru-nya. 

Kenapa Kristen bisa rukun dengan Yahudi dalam soal Ishaq, seperti Jokowi dan Prabowo-Sandy dalam kabinet Indonesia sekarang? Sangat mungkin karena keduanya berkepentingan menjaga kemurnian garis keturunan Ibrahim dari Sarai ketimbang Hagar. Sarai dan keturunannya dianggap lebih mulia dan terhormat ketimbang Hagar yang hanya seorang budak --sungguh pun keduanya digauli dengan penis yang sama.

"Mbak, kalau aku baca ceritanya Hagar di Alkitab, betapa ia sangat terlunta-lunta. Dia ini budak yang dikondisikan minder dengan majikannya. Saat ia mulai memperoleh konfidensi karena sanggup memiliki anak Ismail. ia harus menerima penindasan dari Sarai sang majikan yang berkomplot dengan Abraham —bapak dari anaknya," kataku pada seorang kawan, pendeta perempuan. 

Hagar, tambahku, laksana“sudah jatuh tertimpa tangga pula,”Dia harus menerima kenyataan Tuhan yang ia cintai justru malah tampak bersekutu dengan Sarai-Abraham. Alih-alih menolong, El-Roi —nama Tuhannya Hagar-- justru meminta perempuan ini kembali ke keluarga Abraham, menerima dengan ikhlas penindasan dari Sarai, nyonyanya. Sungguh, betapa menakjubkannya El-Roi!

Penderitaan Hagar dan Ismail nampaknya belum reda, kataku. Pada saat akhirnya Ismail memiliki adik —Ishaq yang lahir dari rahim Sarai, lihatlah, betapa njomplangnya perlakukan Ibrahim terhadap keduanya. Persis seperti perlakukan Jakarta terhadap Jawa atas Papua. Abraham mengusir Hagar dan Ismail; agar Sarai dan Ishaq bisa hidup tenang bersamanya?

"Menurutku, peristiwa yang terjadi pada Hagar dan Ismail adalah salah satu cerita penindasan domestik berbasis kelas sosial dan gender. Namun yang semakin menggangguku, kenapa ya aku sangat jarang mendengar para pendeta menggunakan cerita ini dalam khotbahnya," kataku. Perasaan ini persis seperti yang aku alami saat menemukan fakta kurang terapresiasinya Yesus dalam komunitas Islam --sungguhpun Alquran menceritakan sosok ini melebihi hampir semua Nabi dan Rasul.

Dalam kasus Hagar dan Ismail. marilah kita bayangkan bagaimana kondisi psikologis keduanya --terutama Ismail. Anak kecil ini senyatanya telah dirawat dalam kurusetra domestik yang sungguh tidak sehat; menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya menganakemaskan Ishaq dan Sarai ketimbang memberikan perlakukan yang setara pada ia dan ibunya. 

Tak perlu gelar psikolog untuk bisa memahami Ismail akan selalu dikurung oleh perasaan marah, terbuang, tertindas, dan diselimuti kobaran kebencian yang meluap. Maka, benarlah adanya jika Perjanjian Lama mendefinisikan Ismail sebagai, "Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua 4 saudaranya,"

SARAI ENVY?

Aku merasa, jangan-jangan masih ada diantara kita yang terjebak Sarai Envy--sebuah kondisi psikologi seseorang yang secara tak sadar meminggirkan peran dan posisi orang atas dasar kecemburuan kelas sosial tertentu (majikan terhadap budaknya) seperti yang dialami Sarai. 

Bagi siapapun yang mengaku sebagai pewaris "keturunan," Ishaq, —baik secara biologis maupun ideologis— Sarai Envy adalah metode dan strategi yang sangat ampuh --sekaligus berbahaya-- untuk menjaga klaim kemurnian pewarisan tersebut. Sarai Envy akan menstimulasi siapapun untuk tidak rela menyaksikan Ismail dan followernya mendapatkan kesetaraan dan kesejajaran rasa hormat.

Itu sebabnya, menurutku, cerita Ishaq yang "terpilih," untuk dikorbankan dan juga disunat lebih bernuansa teologis ketimbang historis. Nuansa teologis tersebut sangat kuat beraroma bias Ishaq terhadap Ismail. 

Dalam imajinasiku, jika cerita ini terus dilanggengkan dengan semangat Sarai Envy maka Hagar dan Ismail —beserta ratusan juta pendukungnya— akan merasa semakin terpinggirkan. Jika ini terjadi, maka resistensi Ismail Cs. dalam menuntut balas akan semakin keras, salah satunya dengan cara melontarkan wacana tanding untuk "mengoreksi klaim telogis yang sudah mapan," terkait siapa yang sesungguhnya terpilih untuk dikorbankan oleh ayahnya saat itu. Aku kuatir dunia Islam-Kristen-Yahudi justru akan terasa tidak semakin membaik. 

TUHAN YANG MEMBAYAR HUTANG

Aku menduga kuat narasi Al-Quran, yang tidak secara tegas menyebut nama Ismail namun meletakkan kelahiran Ishaq dalam ayat lanjutan penyembelihan, sedang menantang kita agar terus berpikir ulang. Misalnya, seperti yang ada dalam pikiranku saat ini; apakah narasi Alquran ini bukan semacam gently reminder Tuhan bagi siapa saja yang pikirannya masih terjangkiti Sarai Envy secara akut. 

Peringatan lunak ini sekaligus bisa jadi merupakan upaya El-Roi "menebus kesalahannya" di masa lalu karena "membiarkan" Hagar dan Ismail hidup dalam ketatnya penindasan domestik kala itu.

Dengan menggunakan Alquran, Tuhan --jika kita meyakini Dia adalah sutradara yang sama dalam drama domestik Ibrahim-Ismail-Ishaq narasi Yahudi, Kristen dan Islam-- seperti sedang menuliskan lanjutan drama ini. Isinya, rekonsiliasi dan romantisme Ibrahim bersama Ismail -- putra yang pernah ia sengsarakan -- saat membangun tempat suci di Makkah (QS 2:124-129) maupun mensejajarkanya dalam galaksi para Nabi/Rasul. 

Pada saat yang bersamaan, sang sutradara ini juga meletakkan relasi Ishaq-Ismail dalam tensi yang jauh dari menenangkan --ketimbang di sekuel Perjanjian Lama. Kata "Ismail," disebut sekitar 12 kali dalam Alquran; enam kali disebut bersamaan dengan Ishaq (dan bapaknya) dalam posisi setara (QS.2:133, 136,140; QS.3:84, QS.4: 163), tiga kali disebut bersama nabi/rasul lain minus adik dan bapaknya (QS.6:86, QS.38:48, QS.21: 85), satu kali disebut sendirian (QS.19:54) dan bersama Ishaq (QS.14:39), serta dua kali disebut bersama bapaknya saat membangun Ka’bah (QS.2: 125,127)

Anda tahu berapa kali nama Ishaq disebut dalam Alquran? 17 kali! --lebih banyak dari Ismail. Dan tidak ada satu pun yang bermuatan konfrontatif; tidak terhadap ibunya, bapaknya, maupun tidak terhadap ibu tiri dan kakak tirinya. 

AKHIR: SIAPA YANG DIKORBANKAN?

Siapa yang (telah) akan dikorbankan oleh Abraham sudah sangat jelas di al-Quran; yakni anaknya! Kita bisa menetapkan pilihan; pro-Ishaq, pro-Ismail, atau netral. Semua pilihan tersebut tidak hanya ditopang banyak tokoh/sarjana Islam namun juga, di sisi lain, memiliki konsekuensi. Salah satunya, ketika pilihan tersebut tercampuri fanatisme maka dunia Islam-Kristen-Yahudi akan semakin gelap. Itu berarti, kita mungkin gagal mengambil hikmat dari drama domestik keluarga Abraham.(*)

--Daftar Bacaan--

1.Alkitab SABDA™, https://www.alkitab.sabda.org/home.php

2.MW Pickthall, The Glorious Qurʼan: Translation. TTQ, INC., 2001.

3.Means, E. G. "Genesis, and: Hagar and Sarai, and: Remembering Being Is Birth, and: Natality." Colorado Review 44.1 (2017): 140-145.

4.Tanzil - Quran Navigator, https://tanzil.net/, © 2007-2021 Tanzil Project

5.Ali, Abdullah Yusuf. English translation of the Holy Quran. Lushena Books, 2001.

6.https://www.englishtafsir.com/Quran/37/index.html#sdfootnote57sym

7.Al-Qurtubi, Abu Abdu Allah. (2003). Tafsir Al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an (Al-Qurtubi's Interpretation of the Holy Quran). Riyadh: Dar Alam Al-kutub.

8.Afsar, Ayaz. "A Comparative Study of the Intended Sacrifice of Isaac/Ismail in the Bible and the Qur'ān." Islamic studies (2007): 483-498.

9.Sayyid Abul Ala Maududi - Tafhim al-Qur'an - The Meaning of the Qur'an, http://www.englishtafsir.com/

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler