MENANTANG KEWARGANEGARAAN DI PADJADJARAN

Matakuliah umum (MKU) seperti Pancasila, Ilmu Sosial dan Budaya, Agama, maupun kewargaan, sering dianggap remeh. Seringkali, matkul tersebut dijadikan tempat pembuangan dosen-dosen, di beberapa kampus.

Padahal, MKU merupakan "jantung," perubahan cara pandang mahasiswa/i. Melalui MKU, para mahasiswa tidak hanya belajar tentang ilmu pengetahuan, namun juga mendialogkannya dengan nilai (value) --supaya terjadi perubahan perilaku.


Jika kita pernah dengar Seven Deadly Sins, maka, menurutku, di MKUlah tempatnya; kita boleh menjadi kaya namun tidak boleh rakus; kita bisa pintar namun terlarang meninggalkan kemanusiaan, dan yang lain.


Nah, kerapkali --aku ambil contoh matakuliah Kewarganegaraan-- tidak bisa optimal mengubah cara pandang seseorang, misalnya, terkait toleransi dan intoleransi.


Sangat mungkin hal ini disebabkan banyak faktor, salah satunya, teknik/metode maupun paradigma mengajar. Seandainya pengajaran matkul tersebut lebih "didaratkan ke bumi," ketimbang dibiarkan "gentayangan di atas langit," --maka bisa jadi hasilnya berbeda.


Di video ini, saat diundang oleh FISIP Universitas Padjadjaran (30/10/2021), aku menawarkan sedikit cara bagaimana idealitas pengajaran MKU kewarganegaraan (civics).


Selama lebih kurang 30 menit, aku coba menjelaskannya, disertai basis teori dan implementasinya, berdasarkan pengalaman kelasku Pancasila di kampus Ciputra. Berikut videonya.


Nah yang menurutku menarik, saat itu, aku juga melakukan polling pada mahasiswa yang hadir. Aku namai pollingnya; tes wawasan kewarganegaraan.


Isinya, menelusuri sejauhmana penerimaan mereka terhadap kelompok berlatar belakang agama dan identitas berbeda dengan mereka. Misalnya, apakah kamu memiliki teman LGBT; apakah keberatan pacaran beda agama; apakah keberatan jika ada dosen/staff/karyawan/mahasiswa LGBTIQ di kampusmu.


Pokoknya seru!

Jika tidak percaya, silahkan melihatnya sendiri di SINI.


Dari jawaban-jawaban yang masuk, kita jadi tahu seberapa akut kadar bias identitas bercokol dalam pikiran mereka.


Aku berpikir, instrumen ini bisa terus dikembangkan supaya kita lebih akurat mendapat gambaran tentang diri dan lingkungan kita. Gambaran ini kemudian bisa dijadikan milestone untuk intervensi lanjutan; mau diperparah atau disembuhkan.


Dengan model yang aku tawarkan, kini pembelajaran matakuliah kewarganegaraan tidak lagi mengawang dan membosankan. Sebaliknya, ia dipenuhi gebrakan dan, tentu saja, tantangan.(*)


No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler