CERITA HIJRAH 160 MUSLIM(AH)

   
TAHUN lalu, aku "hanya" mampu mengajak sekitar 150an anak muda Islam berkunjung ke gereja-gereja dalam setahun. Yang terbanyak, saat berada di Purwokerto, aku bersama seratusan mahasiswa Studi Agama-Agama IAIN Purwokerto ke GKI Gatot Subroto.

    Namun capaian manis telah sukses aku torehkan awal tahun 2019. Dalam sehari saja, aku telah bisa membawa 160an mahasiswa/i. Yang paling heroik, mereka jalan kaki sejauh 3 kilometer.

    Ada yang sempat kram kakinya! Aku menyebutnya sebagai hijrah; perjalanan dari situasi gelap penuh prasangka menuju kehidupan baru yang meninggalkan prasangka agama.

    ****

 

    Sebenarnya aku berfikir keras apakah harus menerima tawaran mengisi sesi gender dan al-Quran dalam Sekolah Islam dan Gender (SIG) PMII Rayon Sunan Bonang Universitas Islam Malang. Alasanya ada beberapa; aku sudah terlalu sering mengisi di PMII, lokasinya terlalu jauh dari titik terakhir acaraku sehari sebelumnya, durasi sesi yang sangat singkat --hanya 90 menit, dan pesertanya terlalu banyak dengan pemahaman gender yang tidak seragam.

    Aku benar-benar harus menghitung kehadiranku di forum itu. Jika tidak setimpal, dalam arti memastikan mereka akan mendapat pencerahan setidaknya dalam aspek kognitif, afeksi dan psikomotorik, maka kehadiranku tak terlalu berarti.

    Namun aku juga berfikir; kalau bukan aku, siapa lagi yang mau mengisi forum selevel "kompetisi liga kasta ketiga" ini. SIG memang tidaklah terlalu menarik bagi beberapa pemateri karena jauh dari hiruk pikuk pemberitaan. Ibarat kata, KUMnya tidak terlalu banyak.

    Bukan bermaksud sombong, namun jika pertanyaannya "Kenapa harus Aan?" maka dengan mudah bisa aku sampaikan hipotesisku, bahwa fasilitator/pemateri gender dengan perspektif non-binary dan non-conforming gender masih sangat minim di internal elit-elit PMII. Mereka, rata-rata, masih memakai binary-gender, yang menurutku, tidak lagi cukup kompatible dengan semangat kemajuan.

    "Pesertanya sekitar 70-100 orang, gus," jawab Fauzi, laison officer SIG yang terus berkomunikasi denganku. Fauzi adalah salah satu penggerak GUSDURian Malang, lulus KPG, dan termasuk senior di PMII Unisma.

    Aku tak sanggup menolaknya. Mengumpulkan peserta sebanyak itu adalah kerja keras luar biasa yang harus diapresiasi. Maka aku pun menerima tawaran itu sembari terus memutar otak mencari formula tepat untuk memberi yang terbaik bagi mereka dalam konteks pluralisme.

    

Segera setelahnya, aku langsung menginformasikan jadwal kedatanganku ke WA grup GUSDURian Batu. Aku kulo nuwun karena mau masuk wilayah mereka. Ini merupakan fatsoen yang aku coba terapkan di kalangan GUSDURian, sembari mempersilahkan GDian setempat untuk bisa memanfaatkan diriku untuk capacity building. Lumayan kan, mereka nggak perlu repot menyediakan biaya transportasiku.

    "Adakah jaringan kita yang punya gereja di sekitar Villa Sumber Urip 2 Tlikung Junrejo Batu?" tanyaku ke WA grup tersebut. Mbak Yelly, salah satu anggota grup, langsung menjawab gerejanya ada di dekat lokasi. Jaraknya sekitar 3 km dari villa tempat forum berlangsung. Kalau berjalan kaki sekitar 40-50 menit menurut Googlemaps. Lumayan lama.

    Aku punya ide mengajak semua peserta mengunjungi gereja tersebut. Namun bukankah tidak ada hubungannya antara gender-Islam dan kunjungan gereja? Jelas ada.

    Di sana nantinya, peserta akan berdiskusi dengan Mbak Yelly seputar perempuan dan gereja. Namun harus aku akui, tujuanku sebenarnya mengajak mereka ke sana tak lain adalah untuk memangkas kadar kolesterol intoleransi yang menumpuk dalam benak mereka.

    Tingginya kolesterol ini merupakan konsekuensi dari kuatnya dogma kebenaran yang dicekokkan sejak kanak, sehingga menimbulkan dampak negatif dalam bentuk intoleransi.

    "Merasa benar itu baik. Namun merasa paling benar itu berbahaya," kata Mbak Alissa Wahid suatu ketika. Jika diterapkan dalam konteks sekarang maka; meyakini Islam sebagai agama yang benar adalah baik, namun meyakininya sebagai yang paling baik bisa menimbulkan masalah dalam berelasi dengan agama lain. 

    Kata "paling" memuat konsekuensi menganggap "yang lain" lebih rendah. Sehingga, "yang rendah" tidak pantas memimpin maupun mendapat hak yang sama dengan "yang paling," Menghadapi kuncian dogma mematikan seperti ini, yang dipadu dengan pelabelan negatif terhadap nonmuslim, membuatku berfikir ekstra keras menemukan cara melucutinya. 

    Dalam hal ini aku teringat sebuah kata bijak; "Tell me I will forget, show me I will remember, and involve me I will understand," Merujuk pada hal itu, maka mengkhotbahkan pluralisme kepada orang Muslim tidak akan memberikan dampak yang cukup signifikan. 

    Dibutuhkan aspek kedua dan ketiga, yakni menunjukkan sekaligus menciptakan interaksi langsung dengan "yang dianggap salah,"

Jika pertanyaannya adalah kenapa harus ke gereja, maka bisa aku jawab dengan mudah; kenapa tidak. 

    Gereja, dalam hopotesisku, merupakan simbol Kekristenan yang begitu ditakuti oleh sebagian muslim Indonesia. Ketakutan ini didasarkan pada sebuah keyakinan seorang Muslim(ah) akan otomatis menjadi Kristen seandainya masuk gereja.           Keyakinan seperti ini aku anggap sebagai mitos --sesuatu yang tidak bisa verifikasi sebagai kebenaran mutlak. Ratusan orang telah aku bawa masuk gereja dan tidak ada satu pun yang mengalami hal itu. Namun menyampaikan fakta yang aku alami ini secara oral tidak secara otomatis membuat mereka yakin. Mereka harus mengalaminya sendiri. Bagiku, cara terbaik mengusir ketakutan adalah dengan menghadapinya, bukan menghindarinya.

    Setelah mengisi sesi gender selama sejam dengan model duduk ala Bioskop XXI, aku bersama mereka mulai menyusuri jalan beraspal yang menjorok turun. Berjalan kaki. Panitia tidak mempersiapkan angkutan umum. Mungkin karena budgetnya kurang atau faktor lain. "Biar mereka sekalian olah raga pagi, gus," kata Fauzi.

    


Ternyata jalan kaki sepanjang 3 km itu lumayan jauh. Beberapa panitia aku minta kembali ke villa untuk mengambil motor dan mengangkuti mereka satu per satu. Aku sendiri berjalan paling belakang untuk menngantisipasi yang tercecer.         "Angkut temanmu yang terlihat paling kelelahan. Angkut sekaligus dua," kataku ke pengendara motor, tim sweeper. Aku sendiri cukup kuatir akan ada kejadian buruk menimpa peserta. Meminta mereka jalan kaki sejauh itu tanpa dibekali pengetahuan tentang kemampuan fisik seluruh peserta benar-benar beresiko. Aku benar-benar merasa bodoh sekali.

 

JATUH KORBAN

    Mimpi buruk pun akhirnya datang. Aku melihat satu peserta perempuan berdiri lama di hadapanku. Ia dipegangi temannya. "Kram? Sebelah mana?," tanyaku kepadanya sembari memeganginya. Dia menunjuk kaki kiri. Aku minta ia duduk namun ia tidak bisa. Rasa sakitnya begitu hebat. Terlihat dari wajahnya.

     "Aku tahu kamu belum pernah dipegang laki-laki, tapi percayalah padaku ya," kataku sembari memintanya merebahkan punggungnya ke aku untuk aku bantu duduk di pinggir jalan.

    "Aduuuuuuuuhh..." ia kesakitan lagi saat aku menggeser tubuhnya. Temannya yang perempuan membantu terlihat gopoh. Aku mulai memijat kakinya pelan. Dia terlihat malu, sangat khas tipikal kebanyakan perempuan Islam-Jawa-Sunni-konservatif yang hidup di area rural. 

    Aku mengajaknya terus berbincang mengenai banyak hal agar ia lebih rileks dan tidak kikuk menerima pijatan dari laki-laki yang tidak ia kenal sebelumnya. Metode pengalihan-perhatian ini aku pelajari dari film berlatar belakang medis seperti E.R.

    Setelah merasa lebih baik, aku memanggil tim sweeper agar segera mengangkutnya ke lokasi tujuan agar bisa beristirahat lebih baik. Ia kemudian aku bantu naik motor, diapit temannya. Lagi-lagi aku melihat muka malunya duduk sangat mepet dengan tim sweeper laki-laki. "Dik, relaks. Tidak akan terjadi apa-apa. Yang bonceng itu saudaramu sepergerakan. Tidak akan terjadi apa-apa.     Sampai jumpa di gereja," kataku menenangkannya kembali. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Motor pun melesat.

Akhirnya, satu per satu 160 kader PMII masuk ke gereja GPdI sekitar jam 8 pagi. Bertepatan dengan selesainya ibadah Minggu. Suasananya begitu ramai hingga meluber ke jalan besar. Aku melihat beberapa polisi dan tentara ada di depan gerbang. Mukanya agak tegang.

    "Ada kekuatiran gereja akan diserang, mas," kata mbak Yelly sembari tertawa.

Sebelum masuk gerbang gereja aku salami semua aparat yang ada di sana. Aku memperkenalkan diri dan mengatakan sebagai penanggung jawab kelas. Suasana menjadi lebih rileks setelah kami terlibat obrolan santai.

    Acara dimulai sesaat kemudian, setelah aku mempersilahkan semua duduk dan meminta perwakilan PMII, GUSDURian, kepolisian dan wakil GPdI maju ke depan.

    "Ini anugerah luar biasa bagi gereja kami. Dapat dikunjungi oleh saudara-saudara Muslim kami," kata Pdt. Xxx memberi sambutan setelah nyanyian Indonesia Raya.

    "Siapa di antara kalian yang baru kali ini masuk gereja?" tanyaku melengking. Hampir separuh lebih yang mengangkat tangannya. Sebagian beaar mereka pemah tinggal di pesantren antara 3-5 tahunan.

    Aku selanjutnya mempersilahkan peserta menyampaikan kesannya. Sekitar 7 orang mengangkat tangannya. Satu per satu mereka menyampaikan perasaannya. Semuanya dengan jujur menyatakan kekagetan bisa masuk gereja dan diterima dengan baik.

    "Saya menyangka orang Kristen itu jahat. Memusuhi kami. Nyatanya kok nggak. Saya jadi heran,"

    "Impian saya akhinya terkabul. Bisa masuk gereja. Sejak dulu saya pengen sekali masuk namun dilarang orang tua. Berdosa katanya,"

    "Saya sempat ragu saat mau masuk. Kuatir murtad,"

 

    Begitulah yang bisa aku ingat dari testimoni mereka. Ucapan terima kasih selalu meluncur di setiap testimoni. Sulit untuk tidak menganggapnya tulus.

    Aku percaya pengalaman ini akan menguatkan mereka menghadapi derasnya gencetan intoleransi. Kunjungan mereka bak antibiotik tidak hanya membentengi mereka dari ajakan berprasangka negatif, namun juga terlebih dahulu berhasil menetralisirnya.

    "Kalian telah menjadi manusia Islam yang baru. Muslim tanpa kecurigaan pada Kekristenan. Namun ingatlah, akan banyak cibiran dan perisakan terhadapmu. Semoga kalian kuat," kataku menutup acara.

    Hijrah 160 Muslim(ah) adalah ikhtiar yang telat. Harusnya persentuhan seperti ini telah disemai sejak awal di bangku sekolah dasar agar radikalisme tidak menjalar seperti sekarang.

    Sudah berapa orang yang telah kamu ajak berhijrah? (*)

Membawa Jokowi dan Nadiem ke Arena Trinitas

"Dalam analogi tadi, tambahku, Jokowi dianalogikan seperti Tuhan Bapa. Niat mengangkat Nadiem Makarim adalah roh kudus. Sedangkan keppres itu adalah Yesus,"
 

*****
Dua minggu lalu, ada seorang kawan yang mengontakku. Aku tak pernah kenal sebelumnya, apalagi berjumpa fisik. Tidak pernah.

Ia hanya menyebutkan dirinya alumni sebuah program exchange pemerintah Amerika Serikat --di mana aku juga salah satunya. Beberapa alumni lainnya antara lain, Ahok, Gus Dur, Megawati, Anies Baswedan, dan banyak lagi. Bagiku, password "alumni,"  sudah cukup. Tak perlu harus ketemu langsung.

"How can I help you, mas?" tanyaku pada Karyana.

Dia lantas menceritakan tentang pasangannya, perempuan, yang masih memiliki pandangan kurang pas menyangkut agama yang dipeluk Karyana.

Karyana Kristen, pasangannya Muslimah. Mereka menikah di luar negeri sekitar 5-6 tahun lalu, sebelum akhirnya menetap di Jakarta. Keduanya memilih berada dalam jalur agamanya masing-masing --yang menurutku itu bagus.

Aku sempat berfikir; kenapa keberatan pasangannya diletupkan saat usia perkawinannya sudah berjalan cukup lama; apakah ini akan menuju pada akhir sebuah perkawinan; apakah ada masalah lain yang lebih besar, lebih laten ketimbang diskursus polemis khas Islam-Kristen; dan yang terpenting, apakah keduanya berbahagia.

Begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Berdesak-desakan dengan keinginan "menyelamatkan," perkawinan mereka.

"Kenapa istriku tidak memiliki pandangan kekristenan sebagaimana yang mas Aan share di FB dan instagram? Aku ingin istriku juga bisa memiliki cara pandang seperti itu," katanya.

Aku terus berfikir apa yang sebenarnya dimaui Karyana atas pasangannya; apakah ia ingin istrinya masuk Kristen?

"Nggaklah mas, aku baik-baik saja dengannya seperti sekarang," jawabnya.

Memang, seperti yang sering aku singgung dalam tulisan maupun zoom, kristologi Islam dan Kristen (trinitarian) memiliki beberapa hal yang terlihat mustahil dipersatukan, jika tidak tahu caranya. Beberapa hal itu, misalnya, doktrin monoteisme trinitas, penyaliban Yesus, inkarnasi dan penebusan dosa.

Aku sendiri sedang berupaya memahami hal-hal tersebut --sebagaimana aku, pengguna sistem operasi Windows puluhan tahun, berusaha mengerti logika dan jerohannya Linux. Aku tak pernah mengklaim telah berhasil. Bagiku proses memahami adalah kenikmatan tersendiri; seperti asiknya mencari kaitan marga satu dengan lainnya.

"Bolehkah kami berkonsultasi secara online?" tanya Karyana. Aku tidak keberatan.

Namun yang tidak aku sangka adalah ia juga mengajak pasangannya, Mike. Kami bertiga ngezoom. What a very awkward moment. Mereka ngezoom serumah namun beda ruang.

Aku bertanya-tanya dalam hati; apakah mereka telah pisah ranjang; sudah berapa lama; kapan terakhir mereka bercinta, dan lain-lain. Aku memang kerap mengukur kualitas relasi perkawinan dengan pertanyaan terakhir tadi.

Karyana lebih banyak diam. Aku memilih mengambil inisiatif untuk menghangatkan suasana, bertanya pada keduanya agar lebih tahu apa yang sesungguhnya terjadi; pada bagian mana dari islam-Kristen yang mereka persoalkan.

Dan aku merasa telah menemukannya dari pemaparan sekilas Mike seputar apa keberatannya. Ia tentu membungkus dengan puluhan kata standard, sangat berhati-hati agar tidak menyakiti suaminya. Namun aku bisa menangkap apa yang sebenarnya ia ingin pahami dari doktrin Kristen suaminya.

Aku paham dan, tentunya, sudah tahu jawaban serta bagaimana menjelaskannya. Panjelasanku tidak aku sampaikan melalui zoom karena memiliki keterbatasan. Aku harus bertemu keduanya di Jakarta. Face to face.

"Aku besok lusa mau ke Jakarta, kita bisa melanjutkan ngobrolnya kalau mau," kataku pada Karyana. Ia terlihat sangat senang. Dalam urusan kristologi seperti ini, aku katakan pada Karyana, biasanya orang Islam akan lebih mudah dijelaskan oleh orang Islam sendiri.

Perjumpaan singkat di zoom memberikan kesan lain pada diriku. Mike, menurutku, adalah perempuan cerdas dan berpikiran terbuka. Juga, tak bisa dianulir; ia begitu sayang Karyana. Demikian pula sebaliknya. Ini membuatku lega.

**
Tiba di rumah Karyana, aku disambut dua anjing lucunya; Lady dan Princess. Tak seberapa lama, muncullah Mike dari balik pintu. Perempuan ayu ini berpenampilan sederhana dengan jilbabnya. Menyambutku dengan ramah.

Kami bertiga ngobrol di meja makan sembari menikmati masakan yang telah disediakan. Sejak menit pertama masuk rumah aku sudah memasang radarku untuk menyerap apapun yang tak begitu nampak dari relasi mereka berdua.

Gesture, model komunikasi, pandangan mata, bahkan hingga pada bagaimana cara mereka berjalan berdua. Pokoknya semua.

Obrolan selanjutnya bergeser ke ruang meeting. Ada white boardnya. Aku memang sengaja meminta agar ada perlengkapan tersebut. Aku butuh untuk mencoret-coret karena membuatku nyaman dalam menjelaskan.

"Jokowi berniat mengangkat Nadiem Makarim sebagai salah satu menterinya. Lalu ini menerbitkan keppres --keputusan presiden. Menurut kalian berdua, kertas keppres itu Jokowi atau bukan?" tanyaku pada keduanya.

Mereka terdiam.

"Jangan tergesa-gesa menjawab. Dipikir dulu. Aku beri waktu 5 menit," sergahku sembari meninggalkan mereka berdua, ke toilet.

Entah sudah janjian atau tidak, keduanya sepakat jika keppres tersebut bukan Jokowi. Keppres itu adalah kertas. Jokowi bukan kertas.

Aku membenarkannya seraya menyatakan itu adalah salah satu dari tiga cara pandang. "Cara pandang kedua adalah menganggap keppres itu sepenuhnya Jokowi. Kertas dan tinta yang ada di dalamnya bukanlah apa-apa. Nothing. Mereka luruh dan terserap ke dalam apa yang disebut sebagai 'Jokowi'," kataku.

Cara pandang ketiga adalah jalan tengah dari yang pertama dan kedua. Yakni, mereka yang mempercayai bahwa keppres adalah seutuh-utuhnya kertas serta tinta, dan sepenuh-penuhnya Jokowi.

Mereka berdua terdiam. Sangat mungkin tengah mencerna penjelasanku.

Aku kemudian meminta Karyana mengeluarkan KTPnya. Lalu aku menunjukkannya pada Mike, "KTP ini suamimu bukan?"

Ia menggeleng.

"Kalau dia pergi ke bandara tanpa identitas ini, ia diakui sebagai Karyana atau tidak?" aku menyodori pertanyaan lanjutan.

"Tidak," ia menjawab pendek.

Betul, kataku, Karyana tidak bisa masuk pesawat atau membuat rekening bank tanpa identitas yang ia miliki. Sia-sialah kalau ia memaksakan kehendak. KTP hanyalah sebuah kertas namun dalam saat bersamaan ia adalah Karyana itu sendiri.

"Apa kaitannya dengan Yesus dan trinitas?" tanyaku pada mereka tanpa bermaksud menemukan jawaban dari mereka.

Keppres itu ibarat Yesus/Isa.

Cara pandang pertama adalah model aliran utama bagaimana islam klasik memandang Yesus. Ia bukan Tuhan, sama seperti keppres yang bukan Jokowi. Cara pandang ini tidak salah karena lebih menitikberatkan pada kekertasan keppres dan kemanusiaan Yesus.

Dalam analogi tadi, tambahku, Jokowi dianalogikan Tuhan Bapa. Niat mengangkat Nadiem Makarim adalah roh kudus. Sedangkan keppres itu adalah Yesus.

"Nah, suamimu, yang kamu sayangi hingga sekarang, memilih cara pandang ketiga, yang menurutku juga sangat masuk akal," kataku pada Mike sembari tersenyum.

Kami pun larut dalam diskusi lanjutan yang tak kalah serunya, terutama kenapa Islam memilih cara pandang pertama.

Aku tidak tahu bagaimana relasi mereka berdua setelah "kuliah." singkat tadi. Semoga mereka makin menyayangi.

** warkop-Guees

Gegeran Saksi Ahli di Persidangan Eljibiti (Bag.1)

"Majelis Hakim, dengan melihat kualifikasi yang kami dengar, kami menyatakan keberatan dengan calon saksi ahli yang diajukan Penggugat," kata salah satu perwakilan Tergugat. Aku yang telah duduk di tengah persidangan, di hadapan tiga hakim dan di antara penggugat dan tergugat, agak kaget. "Mudah banget orang ini menganggapku tidak cukup kompeten ngomong soal gender dan seksualitas hanya dengan melihatku kurang dari 10 menit?" rutukku kecut.

Pengacara Penggugat, Maruf Bajamal, langsung merespon keberatan Tergugat. Pria ini menyatakan diriku merupakan aktifis yang telah lama berkecimpung dalam urusan gender dan seksualitas.

"Aktifitas dan pandangannya mengenai gender dan sekualitas, akan sangat berguna bagi persidangan ini untuk lebih mengetahui duduk perkara yang kami ajukan," katanya kepada majelis hakim -- dua lelaki dan satu perempuan.

Ruangan sidang hening. Krik...krik..

Dadaku berkecamuk. Pikiranku membayangkan aku tidak jadi bersaksi di persidangan ini. Padahal sudah berkereta lebih dari 7 jam dari Jombang ke Semarang. Ingatanku tiba-tiba melayang ke pak Mahfud MD ketika gagal jadi wapres, padahal sudah santer dikabarkan media dan dikontak Jokowi langsung. MMD sudah menunggu dekat lokasi pertemuan tempat Jokowi berada, menunggu kabar baik, sampai kemudian diminta menjauh karena koalisi partai meminta Jokowi memilih Ma'ruf Amin.(1)

"Apakah aku akan terusir dari kursi ini?" batinku terus bertanya-tanya. Pandanganku terus menatap ke meja para hakim. Aku melihat ketua majelis hakim tampak berfikir keras. Ia kemudian berbisik sebentar ke masing-masing hakim anggota, kiri dan kanan.

***

Seorang polisi, sebut saja XX, tidak terima dirinya dipecat karena orientasi seksualnya. Ia bukan seorang heteroseksual. Kesatuannya menganggap yang bersangkutan menyalahi kode etik dan tidak layak lagi berproses. XX bersama pengacaranya dari LBH Masyarakat menggugat pemecatan tersebut ke PTUN Semarang.(2) Dari sinilah keterlibatanku bermula, hingga aku duduk di kursi persidangan PTUN Semarang, 18 November 2020.

Sekitar seminggu sebelumnya, sebuah WA dari nomor yang tidak aku kenal masuk ke gadgetku, Pengirimnya seorang perempuan, Aisyah, dari LBH Masyarakat. Ia meminta bantuanku agar hadir dalam persidangan kasus gugatan XX kepada Kapolda Jawa Tengah.

"Saya dapat nomor Gus Aan dari #&&^@*@," katanya sembari menyebut nama temanku, seorang petinggi di Komnas Perempuan.

Aku tidak langsung menyetujuinya. Butuh waktu untuk memikirkannya. Aku memang pernah diuji beberapa kali di ILC dan persidangan akademik saat mempertahankan tesis 4 tahun lalu. Namun, aku belum pernah diuji di persidangan formal yang melibatkan hakim, tergugat dan penggugat.

"Why me? begitu tanyaku pada anak-anak LBH Masyarakat. Aku merasa, masih banyak ahli gender dan seksualitas yang jauh lebih mumpuni dariku. Juga, yang memiliki kemampuan menjelaskannya dalam perspektif Islam.

"Mayoritas sumber-sumber kami mengarahkan ke Gus Aan," kata Maruf.

Aku tentu saja merasa terhormat sekaligus gelisah. Kegelisahanku lebih karena aku tidak memiliki pengalaman secuilpun bersaksi di forum persidangan. Bukankah berbicara di aneka forum pada dasarnya sama saja? Secara teknis iya. Namun secara psikologis, tentulah sangat berbeda. Striker nomor wahid di turnamen sepak bola antarkampung belum tentu moncer saat berlaga di stadion level kabupaten, maupun provinsi. Apalagi jika harus berlaga di Gelora Bung Karno atau Old Trafford.

Sekiranya dua jam kemudian, aku membalas WA Aisyah; tidak keberatan untuk datang. Aisyah kemudian menjelaskan singkat apa yang harus aku lakukan di hadapan persidangan. Intinya, aku diminta menjelaskan pandanganku terkait gender dan seksualitas, termasuk dalam perspektif Islam dan hukum positif ---sebuah hal yang sering aku lakukan di banyak forum

***

"Begini, kami memutuskan menerima saudara calon saksi ahli bisa bersaksi. Jika Tergugat keberatan, itu haknya. Tidak bertanya juga tidak apa-apa. Begitu ya. Untuk itu kami persilahkan saudara calon saksi ahli maju ke depan untuk disumpah. Ikuti perkataan saya," kata ketua majelis hakim.

Aku beranjak dari kursi dan maju ke depan. Di belakangku, ada seorang petugas menyorongkan buku tebal, mirip Al-Quran, dekat kepalaku -- buku yang akan digunakan membela dan melawan XX, polisi gay yang diberhentikan secara tidak hormat dari kesatuannya.

(BERSAMBUNG)

-----

(1) Simak testimoni MMD di https://www.youtube.com/watch?v=W4Dbd3b9GSo

(2) Apa Kabar Gugatan Polisi yang Dipecat Gegara Kasus LGBT di Semarang,” https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5214812/apa-kabar-gugatan-polisi-yang-dipecat-gegara-kasus-lgbt-di-semarang

YESUS DI TANGAN MAHASISWI BERJILBAB

Kubaca berkali-kali lembar jawaban UTS yang ada di gadgetku. Milik Talitha Sani --mahasiswiku kelas Religion Ciputra. Benarkah ini ditulis oleh seorang muslimah? Jika iya, mungkin ia adalah satu-satunya mahasiswi Muslim yang cukup berani menulis apresiasinya atas kekristenan selama UTS.

Ia menjuduli tulisan pendeknya, "Pengorbanan Yesus Menebus Dosa Manusia," sekitar 2,5 halaman kuarto.

Karena tak terlalu percaya dengan dirinya aku mengontak Liechel, mahasiswi yang paling aku kenal di kelas. Dia mengkonfirmasi Talitha seorang muslimah. "Ia tenglang, Chel?" tanyaku lagi. Liechel malah tidak tahu apa itu tenglang.

Kelas online selama semester ini memang sedikit memaksaku menginvestigasi profil mahasiswa lebih mendalam. Aku tak pernah bertemu fisik dengan mereka. Nama dan penampilan profil pic di kelas maya tidak menjadi jaminan aku dapat menebak agama mereka secara akurat.

Tidak sedikit dari mereka yang sengaja tidak memasang profil pic foto mereka --baik di aplikasi Line maupun Moodle. Aku memang tidak memaksa mereka untuk memasang. Kecuali dalam kondisi terpaksa, seperti dalam kasus Talitha.

"Tha, aku barusan membaca tulisan UTSmu," aku mengechatnya personal.
"Oooh... Apakah ada masalah, Pak?" tanyanya balik. Aku membayangkan ia kuatir.



Aku baru sadar jika sebelum UTS kami pernah terlibat dalam sebuah percakapan. Arsip percakapan kami di Line ,masih ada. Saat itu ia mengusulkan topik yang akan ia tulis untuk UTSnya. Namun aku tolak karena ia menulis tentang sesuatu yang kurang pas.

UTS matakuliah Religion semester ini memang mengajak mahasiswa menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan pemeluk agama lain, dan ajaran dari pemeluk tersebut.

Ajaran apa saja yang menarik minat mahasiswa. Tulisan tersebut tidak hanya bersifat appreciative inquiry namun juga tetap memberikan ruang mahasiswa untuk memasukkan analisanya atas apa yang ia ceritakan.

Misalnya tidak sedikit dari mahasiswaku, Kristen dan Katolik, yang menulis apresiasinya terkait Saksi Yehuwa. Sekte yang kerap dianggap sesat tidak sedikit orang Kristen trinitarian ini memang diundang khusus dalam kuliah umum kampusku semester ini, bersama Millah Ibrahim, Ahmadiyyah, dan Kristen Ortodok Syiria.

Dari banyak mahasiswa yang menulis tentang SY, ada dua orang yang menggunakan kata 'Iblis," dan "sesat," untuk mengasosiasikannya dengan SY. Aku sangat kaget saat membacanya. Tak pernah aku mengajari kelasku untuk menggunakan atribut seperti itu agi orang/kelompok yang berbeda.

Alih-alih menghubungi dua mahasiswa tersebut, aku memilih mengirim pesan umum ke grup Line kelas, agar dibaca semuanya.

"Guys, selamat pagi. Aku sedang membaca tulisan UTS kalian. Menurutku bagus. Ada beberapa diantara kalian menggunakan diksi yang terlalu tajam dan emosional saat membahas Saksi Yehuwa, misalnya, iblis dan sesat. Please, do not use those words again to describe those who differed from your beliefs. It hurts as well as when it stabbed you. Happy Sunday,"

Tidak ada yang menjawab postinganku. Namun tak seberapa lama, ada pesan personal Line masuk; dari salah satu mahasiswa yang menggunakan kata iblis. Ia meminta maaf dan mengakui hal tersebut merupakan dampak dari kuatnya doktrin dari pendetanya. Ia berjanji tidak akan melakukannya lagi, Aku tersenyum sembari mengucapkan terima kasih dan "Happy Sunday," Ia mengirimkan emoticon lega.

**

"Tha, jika tidak keberatan, bolehkah aku melihat foto profil picmu?" pintaku pada Talitha --permintaan yang tentu saja berpotensi disalahpahami. Dosen kok meminta foto diri mahasiswinya.

Aku hanya ingin memastikan seperti apa Talitha mencitrakan dirinya di etalase terdepan personalnya. Aku merasa penting untuk mengetahuinya. Profil pic Linenya memang kosong. Aku coba lacak ia di Instagram namun akunnya berstatus private, padahal aku ingin stalking.

'Ini profil saya pak," jawabnya sembari mengirimkan foto diri. Tak menyangka ia berjilbab relatif rapat.

Aku lantas meminta ijin untuk mengunggah tulisan dan fotonya sekalian. Ia tidak keberatan.

Deru KALABAHU

Kalabahu singkatan dari Karya Latihan Bantuan Hukum -- sebuah elemen pengkaderan milik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga hukum bereputasi mentereng ini memiliki puluhan kantor LBH seantero Indonesia, termasuk Surabaya.

"Saya Aan Anshori. Silahkan googling nama saya. Barusan lulus dari S2 Hukum Keluarga Islam Universitas Hasyim Asy'ari Tebuireng," kataku membuka perkenalan.

"Siapa di sini yang di ahwal al-yakhsiyyah?" tanyaku. Itu adalah nama Arab dari prodiku. Entah berapa gelintir dari mereka yang tahu.

"Saya, mas," kata peserta perempuan, yang tentu saja berjilbab.


Aku memang merasa perlu menandaskan latar belakangku, khususnya kampus Tebuireng karena beberapa hal.

Pertama, banyak yang memakai jilbab. Kedua, begitu banyak diksi Madura dari peserta laki-laki. "Jilbab," "NU," dan "Madura," memang harusnya familiar dengan kata "Tebuireng," -- kebangetan kalau tidak.

Ketiga, topik yang aku bawakan relatif berat, khususnya jika dihantam dari perspektif keagamaan. Aku memang diminta mengampu topik problem struktur keadilan gender, dan memilih untuk menggenjot mereka dengan pilihan non-binary dan non-conforming gender a.k.a LGBTIQ. Keempat, mereka memandangku dengan heran saat aku masuk kelas dengan celana pendek dan berbatik. Sorot mata mereka terasa ingin mengiris-irisku.

Aku memang sengaja tidak membawa celana panjang. Sudah aku niati untuk bercelana pendek dari rumah ke hotel Arcadia hingga balik lagi ke rumah.

Seingatku, sudah dua kali aku mengisi Kalabahu LBH Surabaya dengan memakai celana pendek. Panitia tidak pernah mengirimkan surat keluhan resmi padaku. Tidak juga kami pernah membicarakannya. Mereka tahu aku tidak pernah berniat secuilpun merendahkan forum.

"Aku akan mendorong kalian mampu seperti para Hakim Konstitusi yang bertugas mereview hukum, bukan sekedar pemakai hukum,"


Selama satu jam lebih aku mengocok-ocok pikiran mereka seputar gender, hukum, agama, dan seksualitas. Berkali-kali aku menanyakan pada peserta apakah mereka memahami apa yang aku sampaikan. "Aku terbuka jika kalian memiliki dissenting opinion terhadapku," ujarku.

Kelas terasa semakin panas saat ada peserta --laki-laki berlatar belakang pesantren dengan logat Madura kental-- mulai tersulut. Ia mengemukakan pandangannya soal cerita kaum Luth dari perspektifnya. Aku mengamini ceritanya yang mencampuradukkan nrasi Alquran dan sumber lain.

"Menurutmu, dalam ceritamu tadi, aktifitas kaum Nabi Luth berkategori pemaksaan kehendak atau suka-sama-suka," tanyaku
"Iya juga sih. Pemaksaan," ujarnya sambil tertawa.

Aku juga ikut tertawa.

"Nah kawan-kawan, sekarang bayangkan, aku memperkosa Irkhas," kataku pada mereka sembari mendekati Irkhas, peserta perempuan. "....maka yang salah adalah pemerkosaannya atau karena aku suka perempuan?"

"Perkosaannyaaaaaaaaaaa..." mereka berkoor.

Aku gembira mereka mulai semakin dapat berfikir jernih menyangkut kabut kelam kaum Nabi Luth. Aku mendengar ada suara peserta yang menyatakan ia baru menyadari hal ini meski telah mendengar cerita kaum nabi Luth sejak lama. Bagiku ini sungguh kemajuan yang berarti.

Agar suasananya semakin panas, aku selanjutnya mengajak mereka bermain debat terbuka, antarpeserta. Aku belah mereka menjadi dua kelompok; jaksa penuntut umum dan pengacara.

Aku beri mereka sebuah kasus; seorang prajurit TNI terancam dipenjara dan pecat karena dianggap LGBT.

"Tugas kalian adalah membela dan menghukumnya," kataku.

Kelas Kalabahu selanjutnya berubah seperti arena demonstrasi. Argumentasi saling bersahutan, dengan penuh deru.

PENGUSIRAN ARWAH DAN EMMANUEL MACRON

Kemarin malam aku nonton The Exorcism of Emily Rose. Entah sudah yang keberapa kalinya. Aku suka banget film itu. Film bersetting Katolik yang kabarnya didasarkan pada kejadian nyata Anneliese Michel dan Linney.

Ceritanya, ada romo yang dibawa ke pengadilan gara-gara dituding melakukan pembunuhan saat proses pengusiran arwah yang merasuki Emily, salah satu jemaatnya. 

Perempuan ini mati sangat mengenaskan. Tubuhnya sangat kurus dengan penuh luka. Tragis. 

Pemerintah kota merasa perlu menegakkan keadilan. Harus ada yang dihukum atas peristiwa ini. 

Oleh karena tidak mungkin mengadili Lucifer dan 5 setan lain yang merasuki Emily, maka tentu saja romo tersebut yang harus menanggungnya. 

Duel menarik pun terjadi antara sang pengacara  dan jaksa penuntut. Yang menarik, pengacara romo adalah agnostik, perempuan. Tau sendirikan orang agnostik? Rasionalitasnya membumbung ketimbang hal-hal yang bersifat absurd. Iman masuk dalan kategori itu.

"Romo, apakah Emily termasuk orang yang taat beragama?" tanya si pengacara.
"Sangat taat,"
"Lalu kenapa Tuhan sampai setega itu membuatnya sengsara dan menderita?" si loyer terus memburu kliennya di kursi pesakitan.

Lalu si Romo membacakan surat yang ditulis Emily sehari sebelum meninggal --setelah proses pengusiran arwah yang sangat apik dan melelahkan. 

Dalam surat itu Emily bercerita. Ia mimpi ketemu Holy Mary dan mengajukan pertanyaan persis seperti yang diajukan loyer tadi ke romo

Aku sejak awal sudah galau, dag-dig-dug menduga-duga apa persisnya jawaban Holy Mary. Sebab, menurutku, ini merupakan pertanyaan kelas berat secara teologis.

Holy Mary menawarkan dua pilihan kepada Emily; tetap menderita untuk hal yang lebih besar dari penderitaannya, atau mengakhiri penderitaan dari "gangbang-an" kuasa gelap 5 rajanya setan. 

"I choose to stay," kata Emily kepada Holy Mary. Maka ia pun mati dengan cara menyedihkan dan mengenaskan.

Aku belajar banyak dari film ini, khususnya menyoal penderitaan yang selalu ditawarkan realitas dan begitu banyak dari kita memilih menghindarinya. 

Emmanuel Macron termasuk seperti Emily. Lelaki ini menurutku memilih tidak mau menyerah meski tengah didera penderitaan hebat. Dicaci maki jutaan orang Islam, termasuk teman-temanku sendiri.

Ia memilih menderita menjaga hal paling fundamental dalam demokrasi; kemerdekaan berekspresi, meskipun sangat mungkin ia bisa dengan mudah menghindarinya. 

Diakhir film, romo tadi mengunjungi makam Emily bersama si pengacara. Saat melihat nisan Emily, sang pengacara membaca tulisan yang tergurat di sana. 

Bunyinya; work out your own salvation with fear and tremblings --- petikan surat Paulus ke jemaat Filippi, yang hingga kini aku simpan rapi dalam memori dan sanubariku, bersama ayat serupa di Alquran.

JAMBI DIPERSEKUSI, PMII MALAH KE GKI

Oleh Aan Anshori

Dari dulu, aku selalu mempercayai Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII), almamaterku, adalah salah satu kawah candradimuka gerakan Islam toleran. Dengan mempertahankan keyakinan tersebut aku sekaligus mengimani; MENYELAMATKAN PMII akan MENYELAMATKAN KEBHINEKAAN INDONESIA.

"Coba kamu cek, organisasi mahasiswa mana, yang mengusung label 'Islam', yang kader-kadernya paling banyak bergerak di isu antariman? Rasanya hanya PMII," ungkapku di hadapan puluhan kader PMII yang sedang mengikuti pengkaderan tingkat lanjut (PKL) yang diselenggarakan PMII Sidoarjo, Jumat (8/9) di Pesantren al-Falah Siwalan Panji Buduran Sidoarjo.

Aku sebenarnya hanya mengampu sesi normatif, "Antropologi Masyarakat Indonesia," Tidak ada kaitan langsung dengan dinamika intoleransi di Indonesia. Namun aku sengaja mengambil sudut pandang itu. 

Saat di atas kereta Jenggala, terbersit gagasan untuk mengadakan kunjungan "mendadak" ke gereja terdekat. Yang ada dalam pikiranku adalah rumahku sendiri; Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo! 

Aku tahu, GKI adalah institusi yang tidak hanya sangat well prepared administrasinya, namun juga sangat terencana programnya. Kunjungan dadakan seperti ini jelas akan menyulitkan mereka. 

"Tapi....mana mungkin mereka kuat menolak rengekan dan pesonaku?" batinku menghibur.

Segera aku mengirim WA ke adikku, Pdt. Yoses. Centang dua tapi lama tak berbalas. Aku kemudian mengirim pesan ke seniornya di sana, Pdt. Leo. Dan benar dugaanku, aku diterima dengan tangan terbuka. Tanpa surat, tanpa rapat, just WA.

[9/28, 08:03] Aan Anshori: Mas, pagi.
[9/28, 08:03] Aan Anshori: Nanti siang di gereja kah?
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Aku ngisi training di Sidoarjo. Pengen ngajak peserta dulin nang GKI, biar lebih mengasah sensitifitas mereka.
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Ini mampir saja.. Nggak formal..
[9/28, 08:06] Leo GKI Sidoarjo: Dengan senang hati. Jam berapa nanti mau mampir?
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Sekitar jam 11 ya mas..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Maaf mendadak..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Terlintas di benakku baru saja soal ini.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Hanya dengan sebanyak mungkin membawa muslim ke gereja, kesalahpahaman akan terlucuti.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 09:26] Leo GKI Sidoarjo: Ok. Trims mau mampir. Hal yg sebaliknya juga harus dilakukan teman2 kristen ke komunitas muslim dll. Sampai nanti ya.."

Tak seberapa lama Pdt. Yoses membalas chatku sembari meminta info jumlah yang akan hadir. "Ojo repot-repot ya. Kami cuma bertiga puluh," balasku. Aku tahu GKI pasti tidak menggubris permintaanku supaya tidak repot. Tapi kan nggak sopan kalau terlalu straight dan demonstratif. 

Aku membayangkan para tamu akan dibelikan makan siang. Lucky them!

Saat aku menawarkan jam tambahan mengunjungi gereja, hampir semua peserta menyambut gembira. Namun aku merasakan ada beberapa orang yang enggan. Bahkan ada satu orang yang menunjukkan resistensinya secara terbuka sejak di forum. Namanya J. 

Aku tentu kalem saja. Mempersuasi dalam soal ini adalah keahlian Gemini. Apalagi yang pernah membaca strategi William Lynch saat menjadi maestro pengelolaan budak dalam sejarah Amerika masa lalu. "I will take 'no' for answer" batinku. 

Akhirnya semua kader ikut ke GKI. Kami berarak-arakan memakai motor. Berboncengan tiga. Lengkap dengan jaket PMII. Situasinya mirip orang berkampanye atau demonstrasi. 

Beberapa orang di dekat GKI tampak heran melihat rombongan ini masuk pelataran GKI. "Mas, ini mau ada apa kok banyak anak pakai peci dan jilbab nggruduk gereja? Ada masalah apa?" tanya Pak RT yang kebetulan fotokopi di depan gereja, kepada Dedi penatua GKI. Dedi pun menjawab bahwa mereka ingin silaturahmi saja. Ia menceritakan peristiwa ini saat di forum.

Kami duduk melingkar. Kursi tempat ibadah yang telah tertata rapi, tentu saja, aku acak-acak. Disesuaikan dengan model yang aku kehendaki. "Perjalanan ini bagian dari kelas yang saya ampu. Saya bertanggung jawab 100%, tidak saja di sini namun juga di 'sana' nanti," kataku sembari menunjukkan jari ke atas. "Sana" bermakna akhirat. 

Forum berjalan sangat gayeng. Saat aku bertanya apakah ada peserta yang baru pertama kali masuk gereja, 5-6 orang mengangkat tangannya. Aku benar-benar kaget dan senang. Ternyata banyak juga. Kemudian aku tawarkan ke mereka untuk berbagi perasaan seperti apa yang berkecamuk di batin mereka. Mereka diam. Forum hening. Aku tak sabar. 

"Saya sudah katakan, kalian ini adalah perwira tinggi di komisariat masing-masing. Rajawali! Bertindaklah seperti perwira," kataku agak meninggi sedikit. " Jadi, adakah yang mau mulai menceritakan perasaannya?" tuturku lembut. Lembut sekali.

Satu per satu mereka bercerita. Ada yang sampai tak mampu menguasai perasaannya. Nafasnya agak tersengal-sengal. Aku membiarkannya. Ada juga yang mengungkapkan kemarahan. Aku diam saja sembari mengaktifasi kuda-kuda. Mempersiapkan yang terburuk. 

"Saya awalnya heran. Ini PKL macam apa kok disuruh ke gereja. Saya awalnya sudah malas ikut ke sini. Namun saya mau melihat apa yang akan terjadi," kata pria di sampingku dengan logat Madura yang sangat kental. Rupanya dia dari PMII Bangkalan. 

Entah bagaimana, ia kemudian menceritakan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang dipenuhi kebencian terhadap Kekristenan karena menganggapnya sebagai musuh. 

"Saya sudah mau membakar gereja di tempat saya bersama teman-teman namun dicegah kiai," ujarnya. Kalau kalian menghancurkan gereja, ia mengutip perkataan kiainya, kabupaten ini yang justru hancur.

Aku melihat sendiri puluhan wajah-wajah lelah namun gembira. Setelah Pdt. Leo menutup forum dengan doa yang dimengerti yang hadir, mereka kemudian semburat ke bagian-bagian ruang Ibadah; mencoba mimbar, menunjuk replika roti, berselfie ria dan memegang kantong-kantong persembahan.

"Matur suwun, Gusti. Aku bahagia dengan ini semua. Tak sia-sia aku naik motor 60 km dan berkereta. Berangkat jam 7 pagi, sampai rumah jam 19," batinku sambil mendupai tubuh agar bisa menutup defisit BPJS. Rokok aku apit jari tangan kiri, mengepalkannya ke muka, sembari mewiridkan lirih mars kami.

"Inilah kami wahai Indonesia. Satu angkatan dan satu jiwa. Putera bangsa, bebas merdeka, tangan terkepal dan maju ke muka"

Kegagalan yang Menggairahkan

Gagal kok menggairahkan? Mungkin itu yang Anda lontarkan pada judul ini. Namun iya, aku benar-benar merasakan gairah atas kegagalan tersebut. 

Ceritanya, barusan aku dikontak salah satu, katakanlah, adikku. Sebut saja Juwita. Ia calon pendeta di sebuah gereja. Bukan gereja kalian kok. 

Dalam pandanganku, Juwita termasuk calon pendeta yang cukup progresif. Passionnya terhadap gerakan lintasiman begitu menggelora. Ia nampak dengan mengagumkan mempercayai kuatnya persekusi terhadap agamanya lebih dikarenakan minimnya perjumpaan. 

“Kalau jarang berjumpa, orang bakal terperosok pada prasangka, gus. Prasangka adalah akar dari segala kekerasan,” katanya pada suatu ketika. Ia telah lama berencana mengundangku di katekisasi. Dimintanya aku memberikan pandangan kepada anak-anak muda gerejanya seputar maraknya kekerasan berbasis agama. 

Sungguh mulia sekali bukan? Namun demikian kemuliaan terkadang seperti merpati; ia jinak tapi mudah pergi jika didekati.

**

“Gus, aku habis berperang, berusaha mempertahankanmu di katekisasi. Tapi sepertinya aku gagal,” tulisnya. 

Aku tidak melihat wajahnya. Namun dugaanku, kesedihan telah nangkring lama di pelupuk matanya.

“Duh Juwita, betapa kamu membuatku terharu dan tidak enak. Aku terharu karena kamu melakukan hal yang cukup berani. Tidak enak; karena kamu harus berperang melawan saudara-saudaramu di internal. Thank you ya,” ujarku.

“Ga papa Gus.. Tugasku kan memang. Dan yang membuatku prihatin sih sebetulnya. betapa di tahun 2020 saudaraku masih berfikir dengan sangat eksklusif. Tidak mudah sangat, tapi ya ini tantanganku Gus, cuma untuk saat ini aku belum cukup kuat punya fondasi. semoga kelak ketika fondasiku sudah lebih kuat, kondisi bisa lebih baik ya.” balasnya.

“Ta, sebagaimana pernah aku singgung; kondisi seperti ini adalah imbas dari kuatnya doktrin tertentu tanpa mengenalkan doktrin lainnya. Termasuk doktrin atas trinitas. Sebenarnya aku tahu sejak lama di internal islam; betapa kejamnya dampak doktrin unitarian atas trinitarian. But to be honest, aku tidak menyangka hal ini juga berdampak relatif sama di kalangan trinitarian.” timpalku. “… Too much love will kill you. Too much unitarian will kill Trinity. And too much Trinity will kill unitarian as well? Gelap rasanya dunia ini, Ta,” aku terus nyerocos di whatsapp.

Aku melanjutkan, “Kadang aku mikir; apa Arianus, Tertullian dan St. Athanasius merumuskan doktrin unitarian dan trinitas yang sangat spektakuler ini agar pengikutnnya membenci pengikut ajaran lain? Sedih aku,”

“Bukannya Arius dan Athanasius juga dua pihak yg saling bersengketa demi klaim doktrin terbenar? Bukannya konsili yang memutuskan doktrin-doktin itu sarat dan sangat kental dengan politik yg kejam? jadi wajar, bila hasil dari keributan dan kebencian adalah kebencian lebih lanjut,” Juwita terus menderu. Terlihat sekali kematangannya dalam berteologi. Jujur. Emoh bersilat lidah khas teologia-apologetik.

Aku terus membalasnya sembari tiduran, “Iya, harusnya kita meletakkan perseteruan teologis dan politis mereka seperti halnya dalam insiden Daud dan Betsyeba. Yakni, nggak boleh ditiru..😓

“Yup.. dan disalahpahami. Menyedihkan. bahkan kemudian menggunakan bahasa2 yg sangat agamis untuk mendukung gagasan ini. Tapi rasanya sudah terlanjur gus. Mengubah apa yg sudah dihidupi puluhan tahun itu tidak mudah sama sekali,” ia dengan cepat membalas chatku.

“Iya, Ta, namun aku selalu percaya perubahan aku datang; semakin Kristen/Islam seseorang, semakin ia mempercayai adanya keselamatan di luar keyakinannya. Terasa aneh memang. But it worked for me at least.😬

“Iya gus, sangat paham aku dengan itu. Sedihnya lagi, menurutku dialog tidak akan pernah bisa terjadi bila semua berangkat dengan prasangka.. dan orang-orang ini berangkat dengan prasangka. khawatir sekali mereka kalau kamu akan mengislamkan anak-anak katekisanku. Betapa sebuah pandangan yang sangat dangkat tentang indahnya jalan bersama,” Juwita tak kalah sengitnya membalas pesanku.

Rasanya makjleb ketika membaca diksi “islamisasi,” di kalimatnya. Uluhatiku terasa ditusuk peniti. Aku tak menyangka itu akan ada dalam benak teman-teman Juwita. Diksi itu termasuk hal yang membuatku tidak nyaman, Diksi yang sangat kuat aura kolonialnya, sekuat kata “normalisasi,” yang disemburkan untuk intensi mengubah orientasi seksual seseorang. “Jahat,” --meminjam istilah Cinta pada Rangga.

“Juwita, aku merasa ada kekuatiran kuat di internal gerejamu. Aku bisa memahami hal itu meski tidak ada niat seupil pun terbersit di pikiranku untuk islamisasi. I don't want to convert anyone because I love the way they choose their religion. Sometimes love shows itself so dangerous, don't you think? ☺” aku terus membalas chatnya.

“Hehehe... its okey Gus.. Tugas kita yang sudah paham dan siap berjalan bersama walau tak sama untuk terus bergerak to? Yang penting kita saling support, kelak akan ada masanya dimana orang mulai membuka mata dan sadar pentingnya menikmati hidup bersama,” ia membalas dengan penuh optimisme. Betapa beruntungnya gerejanya mendapat calon pendeta sepertinya. Betapa bangganya kampus almamaternya. Betapa senangnya ibu dan bapaknya. Dan yang terpenting, betapa beruntungnya Indonesia memiliknya.

“Juwita, aku pasti senang jika kita terus berjalan beriringan. I promise you,” pungkasku.

Ya, kami berdua gagal mengantarkanku. Namun percakapan ini menggairahkanku untuk tidak patah. Sayup-sayup aku mendengar suara di pikiranku; fight, win, fight, win, fight, lose, fight harder!

 

Menderita di Kelas Agama

Sudah tiga hari ini aku menikmati waktu membaca tulisan para mahasiswaku kelas religion. Aku minta mereka menulis bebas, seputar penderitaan yang paling "berkesan," dalam kehidupan mereka.

Bagaimana jluntrungannya hingga tiba-tiba mereka menulis tentang itu? Topik apa sebenarnya yang sedang kami bahas?

Inilah uniknya kelas Religion di salah satu kampus yang barangkali paling mahal seantero Jawa Timur.

Di kelas ini, agama diajarkan secara agak liberal dan progresif. Yang paling kentara, dosen pengajarnya belum tentu punya agama sama dengan mahasiswanya.

Aku misalnya, Muslim-Jawa, mengajar matakuliah ini di kelas dengan populasi Kristen-Tionghoa lebih dari 90%. Sisanya, Tionghoa Katolik, Khonghucu, Buddha, Jawa-Islam, dan yang menyenangkan, beberapa mahasiswaku mengaku atheis. Paling tidak, agnostik.

Itu sebabnya, topik-topik di kelas Religion kami terbilang cukup berbeda dari pengajaran umumnya di institusi-institusi pendidikan. Misalnya, seputar konsep ketuhanan, simbol dan ritual, agama dan sains, kematian, dan tentu saja; penderitaan.

Kelompok yang mempresentasikan penderitaan telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik minggu lalu. Presentasinya memantik pembicaraan hangat di dua kelas yang aku ampu.

"Bukannya penderitaan sebenarnya menjadi bukti Tuhan tidak ada? Atau setidaknya tengah mempermainkan kita, guys? Cobalah kita pikir lagi; kalau dia sayang kita, kenapa ia biarkan kita menderita," kata Jon, nama samaran, mulai memprovokasi kelas. Aku langsung ngakak.

Menurutnya, banyak orang beragama merasa diminta Tuhan untuk membelaNya dalam hal ini. Yakni, dengan menyatakan Tuhan ingin kita menganggap penderitaan ini sebagai ujian, bukan ketidakmampuan Tuhan atau ketidakadaan Tuhan.

Pendapat Jon mendapat respon beragama dari beberapa temannya, yang beragama. Uniknya, mereka tidak marah atau memintaku memarahi Jon atas pendapatnya.
Jon dan siapapun di kelas mendapat perlakuan sama dariku; tak peduli mengakui Tuhan atau tidak; tak peduli beragama atau tidak.

Di kelasku, kami sebisa mungkin menganut freedom to believe or not to believe. Justru yang tidak kami anut adalah kebolehan mempersekusi orang yang tidak sama dengan yang lain.

"Dalam kitab suci, potret penderitaan muncul dalam dua gambar besar; yang tampak dan disadari, serta yang tersembunyi dan kadang tidak disadari," kataku.

Contoh pertama misalnya kisah Ayub atau pekerja seks yang dibela Yesus saat dilempari batu orang-orang kampung. Sedangkan contoh kedua, menurutku, adalah mereka yang mendapat peran jelak dan jahat dalam kitab suci.

"Mereka yang sombong, gemar mengumbar kekerasan dan berprilaku melawan keadilan dan kesensitifan, sebenarnya sedang dalam penderitaan," kataku.

Hanya saja, tambahku, mereka tidak menyadarinya. Mereka merusak reputasinya, dan menjadi contoh sepanjang hayat, agar kita tahu hal itu merupakan perbuatan jelek dan kita berhenti menirunya.

Penderitaan selanjutnya aku tautkan dalam narasi postkolonial, betapa cukup banyak dari kita yang dulu menjadi korban dan menderita. Namun ketika sudah merdeka, mereka malah justru balik membuat orang lain menderita.

"Kini, aku undang kalian untuk menuliskan penderitaan yang pernah kalian alami. Ini undangan lho ya. Ndak wajib. Yang nulis akan dapat nilai," kataku setelah aku terlebih dahulu menceritakan salah satu penderitaanku di Stasiun Senen.

Aku awalnya tak menyangka jika undanganku akan direspon dengan riang gembira. Aku tidak tahu apa motivasinya. Bisa jadi soal nilai, namun aku ragu karena ini matakuliah yang "tidak terlalu penting," menurutku.

Hampir semua mahasiswa mengirimkan tulisan refleksi. Ada yang memberi catatan dalam tulisannya; tidak untuk disebarkan, tidak untuk didiskusikan dalam kelas. Untuk bapak saja.

Namun ada juga yang menuliskan ia tidak keberatan kisahnya dipublikasikan; "supaya tidak ada yang mengalami lagi seperti saya," -- kata Joyce, samaran. Perempuan ini beberapa kali ingin bunuh diri, tidak kuat karena menjadi bahan risakan teman-temannya.

Joyce tidak sendirian. Ada banyak yang menjadi korban serupa saat kecil. Dibully karena agama, fisik, atau sikapnya yang pendiam. Aku membacanya dengan perasaan galau dan teraduk.

Ada juga yang menceritakan penderitaannya, nangis hampir seminggu, kala anjingnya mati. Padahal aku berfikir sebaliknya setelah kejadian dua minggu lalu. "Pak, tolong doain Holy ya. Ia tiba-tiba muntah. Saya harus bawa ke dokter. Saya nggak ikut kelas sampai tuntas ya pak," kata Fara

Soal nangis, bukan Fara saja yang mengalami. Beberapa mahasiswi mengaku kerap menangis karena begitu banyak tugas di kampus.

Tugas seringkali memerangkap mereka, tereksklusi dari teman, rutinitas, dan orang tua. "Orang tua saya kerap marah-marah kenapa saya tak lagi membantu kerjaan mereka. Saya sudah katakan namun tidak dimengerti," kata Annabel, juga bukan nama asli.

Namun yang membuat keningku berkerut sembari tersenyum justru ketika membaca tulisannya Judith.

"...dan penderitaan terakhir yang paling berkesan adalah ketika my dad got caught cheating and had a lover. It was such a heartbreaking thing for us cos he’s actually a very bad person and we didn’t know about it. It was so chaotic and my mom was very stressed and was depressed. It was a very dark memory for our family,"

Kisah-kisah mereka mengingatkanku pada Denzel Washington. Dalam The Equalizer 2, pria ini menyatakan; there are two kinds of pain in this world. The pain that hurts, the pain that alters.

Aku percaya mereka berada dalam kuadran kedua.

Misteri Sebuah Foto Kafir


Duh gustine jagat, betapa susahnya menemukan foto orang sekaliber Prof. Marilyn Robinson Waldman. Aku hanya ingin melihat wajahnya. Wajah seseorang yang aku anggap sebagai guruku pertama belajar terstruktur memahami soal perkembangang kata KAFIR dalam Islam, khususnya al-Quran.

Perempuan berdarah Yahudi ini merupakan murid Marshall G.S. Hodgson yang tersesohor dengan studi Islamnya. Saking takdzimnya pada Hodgson, Marilyn menyebut namanya dalam paper yang tengah aku baca " The Development of The Concept of Kufr in The Qur'an,"

Begini ia menyebut gurunya, tertulis tepat di bawah judul paper yang terbit di Journal of the American Oriental Society, Vol. 88 tahun 1968, "In memory of Marshall G.S. Hodgson, with whose guidance this was written,"

Aku sejak tadi senyum-senyum sendiri sambil garuk-garuk kepala; bagaimana mungkin aku belajar kitab suciku dari orang yang secara dogmatis (kalisk) terlarang menyentuh --dan apalagi-- mempelajarinya.
Aku sendiri belum selesai membaca paper Waldman, namun secara singkat ia mendalilkan konsep Kafir dalam al-Quran mengalami perkembangan, bersifat adaptif, seiring dengan dinamika yang dialami umat Islam saat Nabi Muhammad hidup.

Awalnya, konsep Kafir merupakan konsep untuk melabeli siapapun yang menjadi lawannya saat di Makkah. Juga pada saat itu, konsep Kafir digunakan sebagai lawan tanding dari konsep Amin (dapat dipercaya?). Amin sendir merujuk pada NM dan para pengikutnya.

Konsep Kafir selanjutnya secara teoritik mengalami perkembangan, khususnya ketika bersinggungan dengan konsep shirk (penyekutuan tuhan/idolatry). Hingga pada akhirnya, saat pewahyuan terakhir alQuran, konsep Kafir terkonsolidasi menjadi sebuah label untuk menyebut siapa saja yang harus diperangi oleh kaum mukmin (mukmin dianggap sama dengan muslim).

Lantas di mana letak kelompok Kristen dalam tahapan evolusi Kafir ini? Nah ini menarik, kekristenan (trinitarian) dianggap sebagai kelompok shirk karena menyekutukan keesaan Tuhan. Persis sebagaimana yang banyak dipahami orang Islam saat ini.

Itu artinya, aku menduga kuat berdasarkan pengalaman didikanku, bisa dikatakan seluruh bangunan pengajaran Islam saat ini menyangkut kekafiran masih menggunakan model ini, model klasik.

Aku terus berpikir apakah evolusi konsep ini telah usai seiring dengan berakhirnya pewahyuan? Nampaknya tidak, sebab menurutku, pewahyuan boleh berakhir namun penafsiran atas wahyu masih akan terus bergerak tak terelakkan. Contoh konkritnya, saat PBNU mencoba memapras runcingan kafir menjadi muwaththinun beberapa waktu lalu.

Sembari memikirkanmu, aku juga terus bergerak untuk dapat menemukan foto Professor Marilyn Robinson Waldman. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya, meski sejak tadi telah mengirim Fatihah padanya.

Thank you, Marilyn R. Waldman!

Saragih Nomor Berapa? 16? 17? 18?

"Aku ucapkan selamat bagi kalian yang sudah sampai pada level ini. Jangan sampai nggak lulus ya. Ikuti setiap prosesnya dengan baik," kataku menyapa peserta katekisasi GKI Pandok Indah Jakarta, Sabtu (8/8).

"....and you should be proud of yourself. Sebab bisa jadi kalian adalah angkatan pertama katekisasi yang sangat unik karena ternodai orang yang dianggap tidak selamat dalam doktrin klasik kekristen," lanjutku tertawa cekikikan di forum.

Aku tidak tahu perasaan mereka kala itu. Niatku hanya guyon. Menertawakan batas-batas teologi antara Kristen dan Islam, yang terkadang sangat nggilani. Nggilani adalah bahasa Jawa dari disgusting. Jika diucapkan dengan penuh emosi a la Jombangan, tulisannya; nggguuuuuuuuilani. 

Menurutku, adalah nggilani jika seorang muslim merasa kecewa atau bahkan marah, saat menemukan teman, saudara atau bahkan pacarnya, memilih keselamatan melalui agama lain --misalnya Kristen. Begitu juga sebaliknya. 

Jika kamu ke Jakarta naik pesawat dan geram,gemes, marah melihat yang lain naik kereta api atau bahkan jalan kaki, pertanyaannya; kamu sehat?

"Gus, gimana pandangannya terkait pacaran beda agama?" kata salah satu satu katekisan. Cewek --entah Tionghoa atau Batak, lupa aku. Aku baru tahu kalau banyak orang Batak di GKI PI.

"Pacaran beda agama itu bagus jika dilakukan dengan kedewasaan tinggi. Namun tentu tidak mudah karena mensyaratkan kedewasaan dua belah pihak," kataku. Tidak banyak orang yang benar-benar sukses berelasi campur oleh karena  niatnya tidak tulus sejak awal. 

"Tidak sedikit pemuda islam yang model beragamanya seperti sales MLM, mencari pacar Kristen untuk diislamkan. Jika ketemu yang seperti ini, sebaiknya hindari. Pikirkan ulang. Cinta  sebenarnya kan memerdekakan, bukan malah menjajah. Just follow your heart," kataku.

Aku senang sekali  berdiskusi dengan mereka. Mengetahui gairah mereka yang menggebu-gebu tentang Islam adalah hal yang menyenangka. Mereka seperti kakak yang terpisah sangat lama dengan adiknya, dan akhirnya bertemu. Jasa Pdt. Joas dan Pdt. Bonnie begitu besar.


"Dik, jihad dan mati syahid itu apa sih?"
"Dik, kabarnya nabimu menikahi gadis di bawah umur. Gimana sih cerita sebenarnya?"
"Dik, gimana sih sebenarnya pandanganmu dan kawan-kawanmu seputar model bertuhan a la tritunggal yang dianut kakak? Tuhanku satu lho, dik, bukan tiga,"
"Dik....
"Dik....

Begitu banyak pertanyaan mengemuka --dari seorang kakak yang telah lama terluka oleh adiknya. Pertanyaan yang tulus campur geregetan.

"Dik, katakan padaku, kenapa teman-temanmu nakal banget kalau ketemu teman-temannya kakak? Kakak harus bagaimana?"

Aku meminta maaf sembari memohon mereka senantiasa tidak kehilangan harapan.

 "Hanya kalian yang bisa menyadarkan. Jika kami tantrum dan kalian menyerah pada kami, nggak peduli, kami tidak akan sembuh. Aku tahu banyak dari kalian yang jengkel, marah dan nggak peduli, bahkan takut. Mari kita berani," kataku.  

Keberanian bagiku bukanlah sebatas menunjukkan rasa tidak takut. Lebih jauh, "Daring is to do what is right in spite of the weakness of our flesh," -- aku mengutipnya dari film The Help. 
***

Meski hanya 1,5 jam namun aku senang sekali bersama mereka. Semoga mereka juga. Aku berharap bisa ketemu mereka kembali.  Jika tidak salah lihat, ada 112 orang yang ikut katekisasi GKI Pondok Indah, Sabtu (8/8), via Zoom. Rata-rata anak-anak muda. Millenial. 

Saat masuk aku langsung disapa Alex, calon pendeta di gereja tersebut yang selama ini bertindak sebagai laison officer. Tiba-tiba muncul seorang perempuan di layar besar zoom. Terlihat senior. Aku menduga ia orang penting di GKI PI. Sekelas penatua. Aku tahu dia Batak dari nama yang tertera. 

"Hai mbak... Apa kabar? Saragih nomor berapa? 16? 17? 18?" aku langsung  menyapanya. Ia terlihat begitu keras mengingat kembali berapa nomor punggungnya.(*)


Laaafff



UJI NYALI KATEKISASI

Selama hidup, dua kali aku mengisi katekisasi. Dua-duanya dilaksanakan oleh GKI Sidoarjo. 

Katekisasi bisa dikatakan semacam forum internum. Fungsinya, sebagai penguat iman kristen. Jika tidak salah, katekisasi adalah tahapan sangat penting bagi orang Kristen untuk memantapkan pilihan beragama mereka. 

Saat di GKI Sidoarjo, aku diminta mempresentasikan Yesus dalam perspektif Islam. Dan, pada katekisasi kedua, aku membincang soal ibunya, the Virgin Mary. 

Dua katekisasi tersebut dilaksanakan secara terbuka di gereja. Terbuka artinya siapapun boleh ikut. Seingatku, banyak sekali peserta dari luar. Tidak hanya Protestan, namun juga Hindu, Islam, Penghayat dan Katolik. 

Katekisasi ketiga rencananya berlangsung besok malam, Sabtu (8/8). Penyelenggaranya masih tetap GKI. Kali ini GKI Pondok Indah Jakarta, tempat dua orang temanku yang melayani di sana. 

Aku pernah ke sana. Gerejanya, bagus pakai banget. Sayangnya, katekisasi besok malam tidak bertempat di gereja. Semua digeser ke Zoom dan tertutup --selain Katekisan nggak boleh masuk. Kabarnya, ada live di Youtube. Namun hanya orang internal yang bisa mengakses.

Lalu, apa yang akan aku sampaikan di forum katekisasi besok?

Inilah yang aku anggap sebagai katekisasi paling berat. Sebab, aku diminta menjelaskan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta. 

Pertanyaan sudah dikumpulkan terlebih dahulu dari para peserta. Dan dua jam lalu, Alex, calon pendeta GKI, mengirimkannya padaku. 

Saat aku buka, terserak hampir 50 pertanyaan! Sangat variatif ---dari soal pakaian perempuan, kiblat, alkohol, babi, pembunuhan atas nama agama, kenabian, Yudas, ISIS, pahala dan surga, hingga usia Aisha yang di bawah umur. 


"Ya Alloh, Lex. Banyak banget! Suka aku dengan kekritisan mereka pada agama Islam," kataku sembari meringis.

Aku benar-benar mengapresiasi semangat mereka mengetahui tentang agama yang selama bertahun-tahun digunakan sebagai atas nama untuk mempersekusi Kekristenan. Tidak hanya di Indonesia namun juga di seantero jagad raya. 

Pertanyaan mereka, rata-rata, berisi gugatan meski banyak juga yang tidak. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekali lagi, sangat jelas tergambar keingintahuan mereka tentang Islam. Tidak dalam kerangka, keyakinanku, ingin masuk Islam namun lebih pada; kenapa bisa berwajah demikian. 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya harus dijawab -- agar semakin benderang dan meminimalisir kegalauan yang tak terpuaskan -- namun juga perlu mendasarkan jawabannya dalam tatakan kejujuran. 

Betapa capeknya jika aku harus berapologetika menjawab 50 pertanyaan kaliber ujian master?! Capek dan penat. 

Namun bukan soal capeknya, sebab aku bisa menyembuhkannya dengan pijitan.   Akan tetapi jawaban beraroma apologetika hanya akan menyisakan persoalan baru yang cenderung membebani masa depan. Dan itu tidak cukup dewasa. 

Aku sendiri paling males jika pertanyaanku dijawab dengan model seperti itu. 

Dan yang lebih utama, jika aku menjawab dengan model itu aku merasa kurang menghargai ketulusan dan upaya serius GKI PI mengundangku. Aku yakin mereka telah bersusah payah mewujudkan relasi yang sungguh tidak lazim ini. Salutku untuk kalian.

Semoga ada cukup waktu untukku menjawab seluruh pertanyaan.





Orientasi Seksual; Takdir atau Konstruksi? Belajar dari Chrisye

Ini pertanyaan klasik seputar seksualitas yang hingga kini belum ada kata sepakat. Para ahli kejiwaan dan masyarakat awam sepertiku terbelah menjadi dua kubu. Kubu konstruksi sosial mencibir lawannya --kubu takdir-- malas berfikir. 


Ya, jawaban "takdir," memang seperti response jalan pintas. Persis seperti orang yang gagal mengoptimalisasi akalnya. Kenapa orang menjadi miskin? Takdir! Kenapa perempuan tidak boleh melampaui laki-laki? Takdir! Kenapa orang Kristen kerap tertindas di tengah mayoritas Muslim? Takdirnya memang seperti itu! 

Pendekatan "takdir," sangat beda dengan kubu konstruksi sosial. Kubu kedua ini bersusah payah menelisik, membongkar dan menyatukan kepingan untuk mencari penjelasan ilmiah atasnya. Kerapkali cara ini berhasil pada banyak persoalan. 

Namun untuk urusan orientasi seksual, menurutku, kedua kubu harus berdamai dan  menerima kenyataan mereka tidak bisa egois untuk menang secara mutlak dan binerik. 

Belajar dari Chrisye"

Kalian tahu siapa ini?" tanyaku sembari menampilkan foto penyanyi legendaris Indonesia yang sudah meninggal.

"Bukannya itu Chrisye?" jawab Lidya Kandowangko yang malam itu menjadi moderator Zoominar "Haruskah Kita Memusuhi LGBT," Selasa (14/6).

Aku membenarkan tebakan Lidya. Namun apakah kita pernah menyangka Chrisye adalah Tionghoa? Jika Anda tidak pernah berpikir demikian, maka sama denganku. Tak pernah terlintas dibenakku penyanyi bersuara emas ini ternyata keturunan Tionghoa.

Aku baru tahu ketika salah satu kawan Tionghoa, peneliti, mengabarkan kisah dramatis bagaimana Chrisye memberi pengakuan. Chrisye dikabarkan mengaku Tionghoa kepada penulis biografinya di detik-detik terakhir proses penyelesaian buku tersebut. Dengan perasaan sangat berat, Chrisye menceritakan alasan kenapa ia selama ini cenderung tidak mau terbuka ke publik menyangkut ketionghoaannya. Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk yang pernah ia terima. 

"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye, sebagaimana ditulis tirto.id "Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas,"

Chrisye kecil pernah mengalami perundungan hebat pada suatu siang. Segerombolan anak meneriakinya "Cina Lo," setelah sebelumnya menyambit kepala Chrisye dengan batu hingga berdarah. Chrisye memilih tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Ketionghoaannya dikunci rapat belasan tahun hingga ia tidak lagi kuat menahannya. Ambrol di depan penulis biografinya.

"Lalu apa hubungannya Chrisye, orientasi seksual, takdir dan konstruksi sosial?" tanyaku kembali di forum.

Orientasi seksual, dalam pendapatku, sama seperti identitas ketionghoaan Chrisye, atau kejawaanku. Identitas kesukuan maupun orientasi seksual tidak bisa dipilih atau dinegosiasikan. Ia sepenuhnya given. Langsung datang dari Tuhan. 

Yang tidak kalah penting, sebagaimana halnya Chrisye, setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengakui --atau tidak mengakui-- atas identitas tersebut. Selama kurang lebih 30 tahun Chrisye memilih menyembunyikan jatidirinya. 

Ia mungkin berfikir dan merasa tidak aman manakala ketionghoaannya diketahui publik. Konstruksi sosial senyatanya telah begitu memengaruhi keputusan Chrisye, baik saat menyembunyikan diri maupun ketika memutuskan berterus terang, pada akhirnya.

Begitu pula terkait orientasi seksual. Tuhan selama ini telah memasangnya pada setiap orang. Kebanyakan memang heteroseksual. Konstruksi sosial telah menyebabkan individu yang diberi anugerah orientasi non-heteroseksual mengalami persekusi selama 1.973 tahun lamanya -- bahkan hingga sekarang. Selama itu pula mereka dilabeli sebagai pendosa dan mengidap penyakit jiwa. 

Label ini kemudian di review para psikiater di Amerika pada 23 Desember 1973 dan, melalui voting ketat, telah menghasilkan konsensus baru terkait orientasi seksual. Heteroseksual tidak lagi dianggap supreme, sebagai satu-satunya yang benar, karena homoseksualitas dan orientasi seksual lainnya telah diakomodasi. Para agamawan juga mulai melihat dan menyesuaikan kembali tafsiran teks kitab suci mereka 

Namun demikian, meski secara legal orientasi non-heteroseksual telah dinyatakan bukan sebagai penyakit, namun tidak berarti individu non-heteroseksual bisa merdeka dengan sendirinya. Konstruksi sosial yang dialami masing-masing dari mereka sangat menentukan apakah mereka mau terbuka atau tidak dengan identitas yang ia miliki. 

Tuhan telah memberi orientasi seksual kepada kita semunya. Kita sepenuhnya memiliki kemerdekaan untuk mengakui dan merayakannya, seperti halnya Chrisye dengan ketionghoaannya.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler