JAMBI DIPERSEKUSI, PMII MALAH KE GKI

Oleh Aan Anshori

Dari dulu, aku selalu mempercayai Pergerakan Mahasiswa Indonesia (PMII), almamaterku, adalah salah satu kawah candradimuka gerakan Islam toleran. Dengan mempertahankan keyakinan tersebut aku sekaligus mengimani; MENYELAMATKAN PMII akan MENYELAMATKAN KEBHINEKAAN INDONESIA.

"Coba kamu cek, organisasi mahasiswa mana, yang mengusung label 'Islam', yang kader-kadernya paling banyak bergerak di isu antariman? Rasanya hanya PMII," ungkapku di hadapan puluhan kader PMII yang sedang mengikuti pengkaderan tingkat lanjut (PKL) yang diselenggarakan PMII Sidoarjo, Jumat (8/9) di Pesantren al-Falah Siwalan Panji Buduran Sidoarjo.

Aku sebenarnya hanya mengampu sesi normatif, "Antropologi Masyarakat Indonesia," Tidak ada kaitan langsung dengan dinamika intoleransi di Indonesia. Namun aku sengaja mengambil sudut pandang itu. 

Saat di atas kereta Jenggala, terbersit gagasan untuk mengadakan kunjungan "mendadak" ke gereja terdekat. Yang ada dalam pikiranku adalah rumahku sendiri; Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sidoarjo! 

Aku tahu, GKI adalah institusi yang tidak hanya sangat well prepared administrasinya, namun juga sangat terencana programnya. Kunjungan dadakan seperti ini jelas akan menyulitkan mereka. 

"Tapi....mana mungkin mereka kuat menolak rengekan dan pesonaku?" batinku menghibur.

Segera aku mengirim WA ke adikku, Pdt. Yoses. Centang dua tapi lama tak berbalas. Aku kemudian mengirim pesan ke seniornya di sana, Pdt. Leo. Dan benar dugaanku, aku diterima dengan tangan terbuka. Tanpa surat, tanpa rapat, just WA.

[9/28, 08:03] Aan Anshori: Mas, pagi.
[9/28, 08:03] Aan Anshori: Nanti siang di gereja kah?
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Aku ngisi training di Sidoarjo. Pengen ngajak peserta dulin nang GKI, biar lebih mengasah sensitifitas mereka.
[9/28, 08:04] Aan Anshori: Ini mampir saja.. Nggak formal..
[9/28, 08:06] Leo GKI Sidoarjo: Dengan senang hati. Jam berapa nanti mau mampir?
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 08:07] Aan Anshori: Sekitar jam 11 ya mas..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Maaf mendadak..
[9/28, 08:08] Aan Anshori: Terlintas di benakku baru saja soal ini.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Hanya dengan sebanyak mungkin membawa muslim ke gereja, kesalahpahaman akan terlucuti.
[9/28, 08:09] Aan Anshori: Thank mas..
[9/28, 09:26] Leo GKI Sidoarjo: Ok. Trims mau mampir. Hal yg sebaliknya juga harus dilakukan teman2 kristen ke komunitas muslim dll. Sampai nanti ya.."

Tak seberapa lama Pdt. Yoses membalas chatku sembari meminta info jumlah yang akan hadir. "Ojo repot-repot ya. Kami cuma bertiga puluh," balasku. Aku tahu GKI pasti tidak menggubris permintaanku supaya tidak repot. Tapi kan nggak sopan kalau terlalu straight dan demonstratif. 

Aku membayangkan para tamu akan dibelikan makan siang. Lucky them!

Saat aku menawarkan jam tambahan mengunjungi gereja, hampir semua peserta menyambut gembira. Namun aku merasakan ada beberapa orang yang enggan. Bahkan ada satu orang yang menunjukkan resistensinya secara terbuka sejak di forum. Namanya J. 

Aku tentu kalem saja. Mempersuasi dalam soal ini adalah keahlian Gemini. Apalagi yang pernah membaca strategi William Lynch saat menjadi maestro pengelolaan budak dalam sejarah Amerika masa lalu. "I will take 'no' for answer" batinku. 

Akhirnya semua kader ikut ke GKI. Kami berarak-arakan memakai motor. Berboncengan tiga. Lengkap dengan jaket PMII. Situasinya mirip orang berkampanye atau demonstrasi. 

Beberapa orang di dekat GKI tampak heran melihat rombongan ini masuk pelataran GKI. "Mas, ini mau ada apa kok banyak anak pakai peci dan jilbab nggruduk gereja? Ada masalah apa?" tanya Pak RT yang kebetulan fotokopi di depan gereja, kepada Dedi penatua GKI. Dedi pun menjawab bahwa mereka ingin silaturahmi saja. Ia menceritakan peristiwa ini saat di forum.

Kami duduk melingkar. Kursi tempat ibadah yang telah tertata rapi, tentu saja, aku acak-acak. Disesuaikan dengan model yang aku kehendaki. "Perjalanan ini bagian dari kelas yang saya ampu. Saya bertanggung jawab 100%, tidak saja di sini namun juga di 'sana' nanti," kataku sembari menunjukkan jari ke atas. "Sana" bermakna akhirat. 

Forum berjalan sangat gayeng. Saat aku bertanya apakah ada peserta yang baru pertama kali masuk gereja, 5-6 orang mengangkat tangannya. Aku benar-benar kaget dan senang. Ternyata banyak juga. Kemudian aku tawarkan ke mereka untuk berbagi perasaan seperti apa yang berkecamuk di batin mereka. Mereka diam. Forum hening. Aku tak sabar. 

"Saya sudah katakan, kalian ini adalah perwira tinggi di komisariat masing-masing. Rajawali! Bertindaklah seperti perwira," kataku agak meninggi sedikit. " Jadi, adakah yang mau mulai menceritakan perasaannya?" tuturku lembut. Lembut sekali.

Satu per satu mereka bercerita. Ada yang sampai tak mampu menguasai perasaannya. Nafasnya agak tersengal-sengal. Aku membiarkannya. Ada juga yang mengungkapkan kemarahan. Aku diam saja sembari mengaktifasi kuda-kuda. Mempersiapkan yang terburuk. 

"Saya awalnya heran. Ini PKL macam apa kok disuruh ke gereja. Saya awalnya sudah malas ikut ke sini. Namun saya mau melihat apa yang akan terjadi," kata pria di sampingku dengan logat Madura yang sangat kental. Rupanya dia dari PMII Bangkalan. 

Entah bagaimana, ia kemudian menceritakan masa lalunya yang kelam. Masa lalu yang dipenuhi kebencian terhadap Kekristenan karena menganggapnya sebagai musuh. 

"Saya sudah mau membakar gereja di tempat saya bersama teman-teman namun dicegah kiai," ujarnya. Kalau kalian menghancurkan gereja, ia mengutip perkataan kiainya, kabupaten ini yang justru hancur.

Aku melihat sendiri puluhan wajah-wajah lelah namun gembira. Setelah Pdt. Leo menutup forum dengan doa yang dimengerti yang hadir, mereka kemudian semburat ke bagian-bagian ruang Ibadah; mencoba mimbar, menunjuk replika roti, berselfie ria dan memegang kantong-kantong persembahan.

"Matur suwun, Gusti. Aku bahagia dengan ini semua. Tak sia-sia aku naik motor 60 km dan berkereta. Berangkat jam 7 pagi, sampai rumah jam 19," batinku sambil mendupai tubuh agar bisa menutup defisit BPJS. Rokok aku apit jari tangan kiri, mengepalkannya ke muka, sembari mewiridkan lirih mars kami.

"Inilah kami wahai Indonesia. Satu angkatan dan satu jiwa. Putera bangsa, bebas merdeka, tangan terkepal dan maju ke muka"

Kegagalan yang Menggairahkan

Gagal kok menggairahkan? Mungkin itu yang Anda lontarkan pada judul ini. Namun iya, aku benar-benar merasakan gairah atas kegagalan tersebut. 

Ceritanya, barusan aku dikontak salah satu, katakanlah, adikku. Sebut saja Juwita. Ia calon pendeta di sebuah gereja. Bukan gereja kalian kok. 

Dalam pandanganku, Juwita termasuk calon pendeta yang cukup progresif. Passionnya terhadap gerakan lintasiman begitu menggelora. Ia nampak dengan mengagumkan mempercayai kuatnya persekusi terhadap agamanya lebih dikarenakan minimnya perjumpaan. 

“Kalau jarang berjumpa, orang bakal terperosok pada prasangka, gus. Prasangka adalah akar dari segala kekerasan,” katanya pada suatu ketika. Ia telah lama berencana mengundangku di katekisasi. Dimintanya aku memberikan pandangan kepada anak-anak muda gerejanya seputar maraknya kekerasan berbasis agama. 

Sungguh mulia sekali bukan? Namun demikian kemuliaan terkadang seperti merpati; ia jinak tapi mudah pergi jika didekati.

**

“Gus, aku habis berperang, berusaha mempertahankanmu di katekisasi. Tapi sepertinya aku gagal,” tulisnya. 

Aku tidak melihat wajahnya. Namun dugaanku, kesedihan telah nangkring lama di pelupuk matanya.

“Duh Juwita, betapa kamu membuatku terharu dan tidak enak. Aku terharu karena kamu melakukan hal yang cukup berani. Tidak enak; karena kamu harus berperang melawan saudara-saudaramu di internal. Thank you ya,” ujarku.

“Ga papa Gus.. Tugasku kan memang. Dan yang membuatku prihatin sih sebetulnya. betapa di tahun 2020 saudaraku masih berfikir dengan sangat eksklusif. Tidak mudah sangat, tapi ya ini tantanganku Gus, cuma untuk saat ini aku belum cukup kuat punya fondasi. semoga kelak ketika fondasiku sudah lebih kuat, kondisi bisa lebih baik ya.” balasnya.

“Ta, sebagaimana pernah aku singgung; kondisi seperti ini adalah imbas dari kuatnya doktrin tertentu tanpa mengenalkan doktrin lainnya. Termasuk doktrin atas trinitas. Sebenarnya aku tahu sejak lama di internal islam; betapa kejamnya dampak doktrin unitarian atas trinitarian. But to be honest, aku tidak menyangka hal ini juga berdampak relatif sama di kalangan trinitarian.” timpalku. “… Too much love will kill you. Too much unitarian will kill Trinity. And too much Trinity will kill unitarian as well? Gelap rasanya dunia ini, Ta,” aku terus nyerocos di whatsapp.

Aku melanjutkan, “Kadang aku mikir; apa Arianus, Tertullian dan St. Athanasius merumuskan doktrin unitarian dan trinitas yang sangat spektakuler ini agar pengikutnnya membenci pengikut ajaran lain? Sedih aku,”

“Bukannya Arius dan Athanasius juga dua pihak yg saling bersengketa demi klaim doktrin terbenar? Bukannya konsili yang memutuskan doktrin-doktin itu sarat dan sangat kental dengan politik yg kejam? jadi wajar, bila hasil dari keributan dan kebencian adalah kebencian lebih lanjut,” Juwita terus menderu. Terlihat sekali kematangannya dalam berteologi. Jujur. Emoh bersilat lidah khas teologia-apologetik.

Aku terus membalasnya sembari tiduran, “Iya, harusnya kita meletakkan perseteruan teologis dan politis mereka seperti halnya dalam insiden Daud dan Betsyeba. Yakni, nggak boleh ditiru..😓

“Yup.. dan disalahpahami. Menyedihkan. bahkan kemudian menggunakan bahasa2 yg sangat agamis untuk mendukung gagasan ini. Tapi rasanya sudah terlanjur gus. Mengubah apa yg sudah dihidupi puluhan tahun itu tidak mudah sama sekali,” ia dengan cepat membalas chatku.

“Iya, Ta, namun aku selalu percaya perubahan aku datang; semakin Kristen/Islam seseorang, semakin ia mempercayai adanya keselamatan di luar keyakinannya. Terasa aneh memang. But it worked for me at least.😬

“Iya gus, sangat paham aku dengan itu. Sedihnya lagi, menurutku dialog tidak akan pernah bisa terjadi bila semua berangkat dengan prasangka.. dan orang-orang ini berangkat dengan prasangka. khawatir sekali mereka kalau kamu akan mengislamkan anak-anak katekisanku. Betapa sebuah pandangan yang sangat dangkat tentang indahnya jalan bersama,” Juwita tak kalah sengitnya membalas pesanku.

Rasanya makjleb ketika membaca diksi “islamisasi,” di kalimatnya. Uluhatiku terasa ditusuk peniti. Aku tak menyangka itu akan ada dalam benak teman-teman Juwita. Diksi itu termasuk hal yang membuatku tidak nyaman, Diksi yang sangat kuat aura kolonialnya, sekuat kata “normalisasi,” yang disemburkan untuk intensi mengubah orientasi seksual seseorang. “Jahat,” --meminjam istilah Cinta pada Rangga.

“Juwita, aku merasa ada kekuatiran kuat di internal gerejamu. Aku bisa memahami hal itu meski tidak ada niat seupil pun terbersit di pikiranku untuk islamisasi. I don't want to convert anyone because I love the way they choose their religion. Sometimes love shows itself so dangerous, don't you think? ☺” aku terus membalas chatnya.

“Hehehe... its okey Gus.. Tugas kita yang sudah paham dan siap berjalan bersama walau tak sama untuk terus bergerak to? Yang penting kita saling support, kelak akan ada masanya dimana orang mulai membuka mata dan sadar pentingnya menikmati hidup bersama,” ia membalas dengan penuh optimisme. Betapa beruntungnya gerejanya mendapat calon pendeta sepertinya. Betapa bangganya kampus almamaternya. Betapa senangnya ibu dan bapaknya. Dan yang terpenting, betapa beruntungnya Indonesia memiliknya.

“Juwita, aku pasti senang jika kita terus berjalan beriringan. I promise you,” pungkasku.

Ya, kami berdua gagal mengantarkanku. Namun percakapan ini menggairahkanku untuk tidak patah. Sayup-sayup aku mendengar suara di pikiranku; fight, win, fight, win, fight, lose, fight harder!

 

Menderita di Kelas Agama

Sudah tiga hari ini aku menikmati waktu membaca tulisan para mahasiswaku kelas religion. Aku minta mereka menulis bebas, seputar penderitaan yang paling "berkesan," dalam kehidupan mereka.

Bagaimana jluntrungannya hingga tiba-tiba mereka menulis tentang itu? Topik apa sebenarnya yang sedang kami bahas?

Inilah uniknya kelas Religion di salah satu kampus yang barangkali paling mahal seantero Jawa Timur.

Di kelas ini, agama diajarkan secara agak liberal dan progresif. Yang paling kentara, dosen pengajarnya belum tentu punya agama sama dengan mahasiswanya.

Aku misalnya, Muslim-Jawa, mengajar matakuliah ini di kelas dengan populasi Kristen-Tionghoa lebih dari 90%. Sisanya, Tionghoa Katolik, Khonghucu, Buddha, Jawa-Islam, dan yang menyenangkan, beberapa mahasiswaku mengaku atheis. Paling tidak, agnostik.

Itu sebabnya, topik-topik di kelas Religion kami terbilang cukup berbeda dari pengajaran umumnya di institusi-institusi pendidikan. Misalnya, seputar konsep ketuhanan, simbol dan ritual, agama dan sains, kematian, dan tentu saja; penderitaan.

Kelompok yang mempresentasikan penderitaan telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik minggu lalu. Presentasinya memantik pembicaraan hangat di dua kelas yang aku ampu.

"Bukannya penderitaan sebenarnya menjadi bukti Tuhan tidak ada? Atau setidaknya tengah mempermainkan kita, guys? Cobalah kita pikir lagi; kalau dia sayang kita, kenapa ia biarkan kita menderita," kata Jon, nama samaran, mulai memprovokasi kelas. Aku langsung ngakak.

Menurutnya, banyak orang beragama merasa diminta Tuhan untuk membelaNya dalam hal ini. Yakni, dengan menyatakan Tuhan ingin kita menganggap penderitaan ini sebagai ujian, bukan ketidakmampuan Tuhan atau ketidakadaan Tuhan.

Pendapat Jon mendapat respon beragama dari beberapa temannya, yang beragama. Uniknya, mereka tidak marah atau memintaku memarahi Jon atas pendapatnya.
Jon dan siapapun di kelas mendapat perlakuan sama dariku; tak peduli mengakui Tuhan atau tidak; tak peduli beragama atau tidak.

Di kelasku, kami sebisa mungkin menganut freedom to believe or not to believe. Justru yang tidak kami anut adalah kebolehan mempersekusi orang yang tidak sama dengan yang lain.

"Dalam kitab suci, potret penderitaan muncul dalam dua gambar besar; yang tampak dan disadari, serta yang tersembunyi dan kadang tidak disadari," kataku.

Contoh pertama misalnya kisah Ayub atau pekerja seks yang dibela Yesus saat dilempari batu orang-orang kampung. Sedangkan contoh kedua, menurutku, adalah mereka yang mendapat peran jelak dan jahat dalam kitab suci.

"Mereka yang sombong, gemar mengumbar kekerasan dan berprilaku melawan keadilan dan kesensitifan, sebenarnya sedang dalam penderitaan," kataku.

Hanya saja, tambahku, mereka tidak menyadarinya. Mereka merusak reputasinya, dan menjadi contoh sepanjang hayat, agar kita tahu hal itu merupakan perbuatan jelek dan kita berhenti menirunya.

Penderitaan selanjutnya aku tautkan dalam narasi postkolonial, betapa cukup banyak dari kita yang dulu menjadi korban dan menderita. Namun ketika sudah merdeka, mereka malah justru balik membuat orang lain menderita.

"Kini, aku undang kalian untuk menuliskan penderitaan yang pernah kalian alami. Ini undangan lho ya. Ndak wajib. Yang nulis akan dapat nilai," kataku setelah aku terlebih dahulu menceritakan salah satu penderitaanku di Stasiun Senen.

Aku awalnya tak menyangka jika undanganku akan direspon dengan riang gembira. Aku tidak tahu apa motivasinya. Bisa jadi soal nilai, namun aku ragu karena ini matakuliah yang "tidak terlalu penting," menurutku.

Hampir semua mahasiswa mengirimkan tulisan refleksi. Ada yang memberi catatan dalam tulisannya; tidak untuk disebarkan, tidak untuk didiskusikan dalam kelas. Untuk bapak saja.

Namun ada juga yang menuliskan ia tidak keberatan kisahnya dipublikasikan; "supaya tidak ada yang mengalami lagi seperti saya," -- kata Joyce, samaran. Perempuan ini beberapa kali ingin bunuh diri, tidak kuat karena menjadi bahan risakan teman-temannya.

Joyce tidak sendirian. Ada banyak yang menjadi korban serupa saat kecil. Dibully karena agama, fisik, atau sikapnya yang pendiam. Aku membacanya dengan perasaan galau dan teraduk.

Ada juga yang menceritakan penderitaannya, nangis hampir seminggu, kala anjingnya mati. Padahal aku berfikir sebaliknya setelah kejadian dua minggu lalu. "Pak, tolong doain Holy ya. Ia tiba-tiba muntah. Saya harus bawa ke dokter. Saya nggak ikut kelas sampai tuntas ya pak," kata Fara

Soal nangis, bukan Fara saja yang mengalami. Beberapa mahasiswi mengaku kerap menangis karena begitu banyak tugas di kampus.

Tugas seringkali memerangkap mereka, tereksklusi dari teman, rutinitas, dan orang tua. "Orang tua saya kerap marah-marah kenapa saya tak lagi membantu kerjaan mereka. Saya sudah katakan namun tidak dimengerti," kata Annabel, juga bukan nama asli.

Namun yang membuat keningku berkerut sembari tersenyum justru ketika membaca tulisannya Judith.

"...dan penderitaan terakhir yang paling berkesan adalah ketika my dad got caught cheating and had a lover. It was such a heartbreaking thing for us cos he’s actually a very bad person and we didn’t know about it. It was so chaotic and my mom was very stressed and was depressed. It was a very dark memory for our family,"

Kisah-kisah mereka mengingatkanku pada Denzel Washington. Dalam The Equalizer 2, pria ini menyatakan; there are two kinds of pain in this world. The pain that hurts, the pain that alters.

Aku percaya mereka berada dalam kuadran kedua.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler