Perkawinan Beda Agama; Antara Tawaran Daniel Yusmic dan Teladan Nadiem Makarim


Daniel Yusmic P Foekh adalah hakim konstitusi saat ini. Setahuku perkawinannya seagama, sama-sama kristennya -- GPIB jika tidak salah.

Sedangkan Nadiem Makarim, menteri pendidikan kita, memilih mengikatkan diri dan istrinya melalui perkawinan beda agama (PBA).

Mana yang lebih bahagia diantara Hakim Yusmic dan Nadiem? Menurutku keduanya bahagia. Indikator paling sederhana mengukur kebahagiaan rumah tangga seseorang, menurutku, adalah perceraian.

Bersama dalam ikatan perkawinan belum tentu menunjukkan bahagia. Namun perceraian jelas mengekspresikan ketidakbahagiaan --ketidakbahagiaan sepakat untuk diakhiri.

Mayoritas warga Indonesia meyakini kebahagiaan berkeluarga HANYA bisa terjadi dalam perkawinan seagama. Mereka kemudian memaksakan kehendaknya melalui berbagai cara, diantaranya; melalui insitusi keagamaan dan institusi negara.

Mereka ngotot PBA hanya menawarkan kesulitan dan kerumitan, yang berujung pada ketidakharmonisan dan, akhirnya, perceraian. itu sebabnya harusnya dilarang, tidak bolerh terjadi.

Padahal, cara berpikir seperti ini justru menampar perkawinan seagama. Jika ketidakbahagiaan perkawinan diukur melalui perceraian maka perkawinan seagama harusnya yang pertama kali ditinjau ulang. Perkawinan model ini telah terbukti menjadi model perkawinan dengan rekor terbanyak perceraian, terutama di lingkungan Islam.

Sebagai contoh kecil, di Jombang, jumlah perceraian pada 2023 tembus 2.548 kasus -- didominasi gugat cerai (dari istri). Angka ini sedikit mengalami penurunan dibanding 2021. Pada tahun ini, terjadi 2.534 perceraian -- 1.919 gugat cerai, 615 cerai talak (dari suami).

Menurutku, perbedaan/persamaan agama pasangan bukanlah faktor tunggal yang menentukan bahagia tidaknya sebuah perkawinan. Sebab, kebahagiaan itu misterius; berhasil untuk satu pasangan namun belum tentu bagi pasangan lain.

Lihat saja, Nadiem-Franka tetap bersama namun tidak bagi Jamal Mirdad-Lydia Kandouw; Jokowi-Irina hingga kini memilih bersama sedangkan Prabowo-Titiek sepakat berpisah. Happiness in marriage remains mysterious.


Itu sebabnya, negara yang baik haruslah tidak boleh berpihak dalam menentukan pilihan dalam membentuk sebuah keluarga untuk bahagia; apakah seagama atau beda agama. Negara, idealnya, cukup memfasilitasi warganya dalam memilih model perkawinan seperti apa yang dapat menghantarkannya bahagia.

Kita semua sadar, hingga saat ini Indonesia masih diskriminatif melayani PBA. Model perkawinan ini dihambat sedemikian rupa; dari Dukcapil hingga pengadilan.

Di titik ini, patutlah kita dengar gagasan Hakim Yusmic saat ikut memutuskan uji materiil UU 1/74 tentang perkawinan, yang diajukan E. Petege.

Patege penganut Katolik menggugat UU Perkawinan dengan nomor perkara 24/PUU-XX/2022. Patege merasa UU ini menjegalnya sehingga ia tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan acarnya yang muslimah.

Semua hakim konstitusi sepakat menolak uji materiil Patege dengan berbagai alasan hukum dan sosial yang mahacanggih. Padahal kita tahu, penolakan ini kuat muatan politisnya.

Sangat mungkin semua hakim konstitusi berpikir kelompok Islam, yang terlihat seperti merasa memiliki penuh negara ini, akan marah jika gugatan Patege dikabulkan.

Bisa aku bayangkan kekacauan terjadi di mana-mana. Demonstrasi akan sambung-menyambung dari Sabang hingga Papua. Bangsa ini akan mengalami goncangan hebat manakala kelompok Islam tantrum.

Meski Hakim Yusmic--dan Hakim Suhartoyo--ikut menolak permohonan Patege, keduanya berani menyampaikan alasan berbeda (concurring opinion) dari 7 hakim lainnya.

"Saya berkeyakinan bahwa persoalan perkawinan beda agama adalah sebuah persoalan yang secara nyata ada dan patut diduga terus berlangsung sampai sekarang serta di masa-masa yang akan
datang," ujar Yusmic.

Itu sebabnya ia mendorong perlunya dilakukan upaya dialog, diskusi dan riset secara terus menerus. Upaya ini dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat.

Pemerintah dan DPR dapat menggunakannya untuk menentukan kebijakan di masa mendatang, baik melarang PBA ataupun sebaliknya.

"..atau juga dengan pilihan mekanisme lain di luar dua pilihan tersebut," lanjut Yusmic.

Secara brilian, hakim kelahiran Kupang yang tidak terlalu pintar hingga harus mengulang saat SD ini, mengusulkan dibuatnya 4 jalur pilihan dalam perkawinan.

Pertama, jalur nikah/kawinan sebagaimana kelaziman saat ini, yaitu perkawinan sesama agama Islam dilakukan di KUA dan diberi Buku Nikah. Sedangkan selain-Islam dilaksanakan di Dukcapil, dan diberi Kutipan Akta Perkawinan.

Kedua, perkawinan beda agama; terhadap pasangan ini diberikan dua pilihan; bisa mencatatkan di KUA --jika salah satu mempelai beragama Islam-- dan akan diberi Buku Nikah Beda Agama.

Atau, pasangan bisa mencatatkannya di Dukcapil --jika salah satu atau keduanya non-Islam. Pasangan akan diberi Kutipan Akta Perkawinan Beda Agama.

"Ketiga, untuk warga negara Indonesia sesama penganut kepercayaan," lanjut Yusmic.

Terhadap hal ini, tambahnya, negara juga harus mencatat perkawinan mereka. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, yang mengharuskan pencantuman “penghayat kepercayaan” dalam kartu tanda penduduk, memberikan alasan hukum bagi mereka untuk mendapat Buku Nikah Penghayat Kepercayaan atau Akta Nikah Penghayat.

Sedangkan yang keempat, yang terakhir, adalah perkawinan warga negara Indonesia yang salah satunya menganut agama tertentu dengan pemeluk
penghayat kepercayaan.

Terhadap pasangan seperti ini, jika mereka mau mencatatkan dalam domain Penghayat Kepercayaan maka akan mendapatkan memperoleh Buku Nikah Agama–Penghayat Kepercayaan atau Akta Nikah Agama–Penghayat Kepercayaan.

Dengan demikian, keempat model tadi, tentu saja, tidak mengharuskan salah satu pihak untuk berpindah agama terlebih dahulu. Mereka tidak perlu lagi berpura-pura atau pergi ke luar negeri untuk "menyiasati hukum," demi mencatatkan perkawinannya, seperti yang kerap terjadi saat ini.

Yusmic, dengan perkawinan seagamanya, menawarkan solusi konkrit, memerdekakan dan masuk akal. Sedangkan Nadiem, ia mengekspresikan keteladanannya sebagai salah satu simbol PBA.

**
Daftar Bacaan

Putusan MK 24/PUU-XX/2022, https://mkri.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_mkri_8844_1675141891.pdf
"Kabupaten Jombang Darurat Kasus Perceraian" https://www.pa-jombang.go.id/Kabupaten-Jombang-Darurat-Kasus-Perceraian
"2.548 Pasangan di Jombang Bercerai Sepanjang 2023 di Pengadilan, Mayoritas Karena Gugatan Pihak Istri", https://radarjombang.jawapos.com/nasional/664076164/2548-pasangan-di-jombang-bercerai-sepanjang-2023-di-pengadilan-mayoritas-karena-gugatan-pihak-istri
"Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, S.H., M.H.", https://www.mkri.id/index.php?page=web.ProfilHakim&id=679&menu=3
Peran Ayah dalam Keluarga bersama Nadiem Makarim & Franka Makarim - [CB #54] | Nucha & Ario, https://www.youtube.com/watch?v=rsqnhdRXu28
"Pengaturan Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Kepastian Hukum." Jurnal Intelektualita: Keislaman, Sosial dan Sains 10.1 (2021): 43-49.
Ibadah Syukur Pernikahan Perak Bpk Daniel Yusmic FoEkh & Ibu Sumiaty Ewald Djohan, https://www.youtube.com/watch?v=7cZvG0yJUu4

Wedding Franka & Nadiem, https://www.youtube.com/watch?v=O5h9JQjMWrc

Kristen Ortodoks dan Pisang Rebus agak Gosong



"Mo, selamat datang. Mohon maaf, mau duduk di dalam atau luar? Di luar aja ya, agar aku bisa ngudud," ujarku menyambut Romo Stavros, Sabtu (20/7), sore hari.

Kami sudah janjian bertemu di rumahku. Setelah dari rumahku, ia berencana menjemput putrinya yang les bulutangkis di balai desaku.

Romo Stavros sudah lama aku tahu. Terakhir kali, aku mengundangnya saat buka bersama Bu Sinta Nuriyah ramadlan lalu. Ia berkenan memimpin doa lintas agama.

Ia adalah satu-satunya presbyter (pendeta/pastor/imam) Gereja Orthodoks Indonesia (GOI) di Jawa Timur. Ya, cum satu. Aku membayangkan betapa berat tugasnya merawat kedewasan spiritual ribuan jemaatnya.

"Sudah waktunya kaderisasi imam berjalan lebih masif lagi, Mo," usulku.
"Ya, gus. Kami sedang berusaha ke arah sana. Mohon doanya," jawabnya.

Kesempatan bertemu dengannya aku gunakan menimba ilmu terkait GOI, baik seputar organisasi maupun teologi. Ia sedemikian sabar dan telaten menjawab rasa penasaranku.

"Tapi sebentar, Mo, tolong ceritakan kehidupan sampeyan, hingga sampai menjadi seorang presbiter. Orang tua juga Ortodoks?" tanyaku.
"Tidak, gus,"

Ia kemudian mengisahkan perjalanan hidupnya, termasuk latar belakang keluarganya. Keluarga besarnya termasuk beragam agama. Ia sendiri punya "garis darah" dari kekristenan Jawa Etan dan Islam.

"Nggak pernah mengalami diskriminasi, mo?"
"Oooo jelas, gus. Bahkan ketika mereka sudah tahu saya seorang romo," ujarnya sembari tersenyum kecut.

Ia datang padaku untuk mengabarkan berita gembira. Baru saja ia dan jemaatnya membeli sebuah rumah di pinggiran Jombang untuk rumah ibadah. Selama ini, yang aku tahu, ibadah yang ia selenggarakan berpindah-pindah. Tidak cukup representatif.

Aku menyambut kabar gembira ini dengan senang hati. Pilihan membeli rumah merupakan langkah tepat untuk penguatan dan stabilisasi jemaat.

Dalam pikiranku, sebagai seorang Islam-Sunni-Nahdliyyin yang selama hidup tinggal di Jombang, kabupaten ini memiliki modalitas kuat menampung seluruh agama/keyakinan yang ada maupun yang berpotensi ada, meski dihuni mayoritas Islam.

GOI dan Gusdurian di Jombang terbilang cukup akrab. Saat ramadlan 2023 lalu, GUSDURian Jombang menggelar diskusi lintas agama bertajuk "Puasa dalam Tradisi Agama-Agama," di Pesantren Mambaul Hikam Diwek Jombang. https://www.youtube.com/watch?v=y42kn299Zl4

Dalam acara tersebut, Romo Stavros datang bersama rombongan, dipimpin langsung Arkhirmandrit Romo Daniel BD Byantoro, pemimpin dan pendiri GOI. Romo Daniel bahkan berkesempatan membagi gagasannya seputar topik tersebut.

"Aku dukung, Mo. Undanglah aku dan kawan-kawan lain saat open house rumah ibadah tersebut. Ndak perlu terlalu kuatir, berjalan saja seperti biasanya," aku menguatkannya saat ia mulai membincang kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi.

Kami terus berdiskusi banyak hal, ditemani pisang rebus yang agak gosong gara-gara aku lupa mengangkatnya.(*)

Surat Untuk Muslimah Yang Tak Berjilbab


Saya mendapat banyak curhatan dari Muslimah yang mendapat cibiran, sindiran, risak, ancaman, bahkan dikucilkan karena memilih untuk tidak menutup kepala (jilbab atau sejenisnya). Banyak dari mereka yang tidak kuat, gentar dan surut, sehingga memilih “menyerah” pada kondisi seperti itu. Saya benar-benar prihatin dan simpati saya sepenuhnya untuk mereka.


Sebagai seorang Muslim, saya ingin mengatakan pada mereka bahwa tidak menutup kepala bukanlah tindak kejahatan (jarimah) yang bisa dipidana. Kalian sama sekali tidak melakukan apa pun yang merugikan orang lain. Jilbab sendiri adalah urusan yang masih diperdebatkan dalam hukum Islam. Ada yang mewajibkan, ada juga yang tidak. Keduanya punya argumentasi yang sama-sama kuat.

Sebaliknya, perilaku mencibir, merisak, mengancam, mengucilkan, atau sejenisnya, apalagi sesama Islam, merupakan hal yang bersifat pasti; tidak boleh dilakukan. Menyakiti orang lain sangat tidak diperbolehkan dan merupakan hukum universal yang diterima dalam semua agama. Tidak ada satu pun ulama yang berbeda pendapat terkait hal ini.

Perlu kalian ketahui, asas tertinggi dalam hukum Islam adalah rahmat, sebagaimana QS. 21:107, َ”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Rahmat sepadan dengan kata “blessing,” yang artinya kurang lebih “something that helps you or brings happiness.” Sehingga, bagaimana mungkin cacian, cibiran, perisakan, pengucilan (terhadap Muslimah tak berjilbab) bisa menolong atau membahagiakan orang?

Hukum Islam seharusnya membawa rahmat dan disebarkan dengan cara-cara yang makruf, bukan dengan metode yang menyakiti orang lain. Semudah itu hukum Islam seharusnya, namun sesulit itu banyak orang tidak memahaminya.

Para Muslimah yang tidak berjilbab,

Dalam situasi seperti ini, saya meyakini kalian akan terus-menerus mengalami pencobaan seperti yang sering kamu terima. Untuk itu, yakini dua hal. Pertama, bahwa salah satu ciri orang-orang bertakwa adalah ia yang terus bersabar dalam penderitaan.

“…. dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. 2:177)

Kedua, jangan pernah menyerang balik siapa pun yang menyakitimu gara-gara kamu tidak berjilbab. Jika penyerangmu adalah Muslimah berjilbab, tahanlah dirimu sekuat tenaga–sekali lagi; sekuat tenaga–untuk tidak menghinanya, termasuk jilbabnya.

Sebaliknya, teruslah mewirid ayat ini. Jika tidak bisa membaca bahasa Arab, tak mengapa, cukup hafalkan arti dan resapi artinya.

وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَا طَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَا لُوْا سَلٰمًا

“Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, salam,” (QS. 25: 63)
Akhirnya, jadikan dirimu sebagai model Muslimah yang tidak hanya tangguh, namun juga percaya diri. Jangan pernah minder meski tidak berjilbab, sebab cicit nabi, Sukayna bint Husayn, juga percaya diri tak memakainya.

Berimanlah tanpa rasa takut!

APA SALAHNYA MEREKA KE ISRAEL?



Lima orang kader NU babak-belur, dihujat netizen berjamaah. Gara-garanya, mereka  foto bareng Presiden Israel dan beberapa elit politik Israel, sembari tersenyum pula. 

Situasi ini membuat PBNU buru-buru mengklarifikasi dan memintakan maaf mereka ke publik? Apa sebenarnya kesalahan mereka? 

Dari lima orang kader NU, ada dua orang yang aku kenal agak mendalam --dalam arti pernah berkomunikasi; Munawir Azis dan Nurul Bahrul Ulum. 

Dengan Azis, aku pernah berproses di CEPDES milik alm. Lily Zakiyah Munir. Aku pernah mengisi kelas pemikiran Gus Dur bersamanya, jika tidak salah ingat. 

Sedangkan dengan Nurul, aku pernah ke rumahnya saat Kongres Ulama Perempuan I. Aku kenal Jacky, suaminya. Kami dulu sering ketemu di acara GUSDURian. Nurul kader NU yang cerdas dan kritis. Saat Facebooknya terblokir, aku ikut membantu membukanya.

Aku haqqul yakin  Azis dan Nurul mengidolakan Gus Dur. Begitu pula tiga lainya; Izza, Zainal Arifim dam Syukron Makmun. 

Meskipun belum memiliki bukti yang cukup, aku yakin kelimanya pasti mengingat GD saat ke sana, membela Palestina. Dunia maya rasanya terlalu sesak dipenuhi kritik, hujatan dan cacian terhadap kelimanya. 

Saat tulisan ini diketik, aku belum menemukan satupun dari kelimanya berstatemen. Statemen dari mereka yang ada dalam foto merupakan hal penting, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, minimal; apa motivasi mereka ke sana, apa yang mereka sampaikan saat bertemu elit politik di sana.

Aku mengirimkan pesan ke Nurul dan Azis, sekedar untuk menanyakan apa yang sebenarnya mereka sampaikan saat bertemu elite politik Israel, termasuk presidennya. Pesanku telah centang dua meski belum ada jawaban. Semoga nomornya tidak berubah. Keduanya masih diam.

Kediaman mereka bisa jadi bermaksud baik; agar situasinya lebih adem, tidak terus menerus dikurung kemarahan. 

KENAPA KITA MARAH?
Jika dipilah, ada dua kategori kelompok masyarakat yang mengecam mereka. Pertama, elite NU. 

Mereka berang karena jangan-jangan kelima orang ini menyampaikan sesuatu yang keluar dari rel kebijakan umum NU terkait konflik Israel-Palestina. Hanya saja, saya agak meragukan alasan ini. 

Saya bertaruh; sebodoh-bodohnya kelima kader NU tadi, tidak mungkin mendukung penuh pembumihangusan Palestina dari muka bumi ini. Tidak mungkin! 

Namun demikian, elite NU, bagiku, sudah sewajarnya marah secara organisasi. Kehadiran kelimanya membuat PBNU seperti duduk di kursi pesakitan dihakimi jutaan netizen, dianggap tidak mampu mengendalikan kader-kadernya. Padahal, PBNU sudah cukup kewalahan bertempur soal tambang melawan kekuatan antitambang dari luar dan dalam tubuh NU sendiri. 

Personally, saya amat mengapresiasi Gus Ketum Yahya, yang setelah menjelaskan panjang kronologis keberangkatan 5 orang ini ke Israel, memintakan maaf kelimanya. 

Menurutku Gus Yahya telah menunjukkan kualitas kepemimpinan yang dewasa atas peristiwa ini. Sangat mungkin karena Gus Yahya memahami kelimanya hadir ke Israel dalam kapasitas pribadi mereka, bukan mewakili PBNU. Sangat mungkin Gus Ketum tahu apa saja yang kelimanya sampaikan ke elit Israel. 

Kelompok kedua yang marah atas aksi kelima orang ini adalah "publik non-PBNU dari kalangan politisi,"

Mereka marah --dan itu wajar-- karena secara politik elektoral, kemarahan lebih menguntungkan ketimbang diam apalagi membela kelimanya. 

Politisi pada banyak aspek begitu menuhankan elektabilitas. Pilihan sikap mereka seringkali dihitung berdasarkan pertimbangan keinginan dominan masyarakat.

Jangan melawan arus besar pemilik suara jika masih ingin dipilih dalam pemilu mendatang. Tentu saja mereka, para politisi ini, dapat membungkus argumentasinya dengan berbagai bentuk, tak terkecuali alasan yang terlihat masuk akal. Dalam konteks ini, secara politik, sikap mereka ini bisa aku pahami. 

Dalam kelompok kedua ini, juga terdapat "publik non-PBNU non-politisi," 

Siapa mereka? Ya seperti kalian yang merasa masuk kategori ini. Kalian marah kepada kelimanya karena merasa setiap orang harus satu suara DAN SATU CARA, seperti kalian, dalam membela Palestina. 

Pertanyaan kritisku pada kalian; apakah kalian tahu secara persis apa yang disampaikan kelima orang tersebut kepada elit Israel? 

Mungkin kalian akan jawab, "Itu tidak penting! Yang paling utama, mereka telah memgkhianati perjuangan Palestina karena berfoto sambil tersenyum dengan elit Israel!"

Aku berbaik sangka saja: jangan-jangan, mereka yang masuk kategori ini, sebenarnya memiliki hasrat terpendam untuk dapat menyuarakan pembelaannya terhadap Palestina LANGSUNG di hadapan Presiden Israel dan elit politik di sana. 

Aku berbaik sangka; benarkah kemarahan mereka atas nama pembelaan terhadap Palestina tidak tercampuri unsur-unsur antisemitisme --yakni kebencian mendalam terhadap apapun yang berkaitan dengan Yahudi?

Menurutku sikap Gus Dur dan Israel lebih dari sekedar memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Gus Dur, aku yakini, memiliki visi jauh dan progresif; menurunkan kadar kolesterol antisemitisme yang sedemikian tinggi merasuki tubuh Islam Indonesia.

Ketidakmampuan kelompok ini menerima realitas kelima kader NU ke Israel memantik alam bawah sadarnya untuk mengaktifasi nalar bumi-hangus; jika aku tidak bisa seperti kelimanya, maka yang lain juga tidak boleh bisa. 

Sungguh, cara berpikir seperti ini sangatlah toxic. Perjuangan Palestina, terus terang saja, tidak mendapatkan keuntungan optimal dengan model toxic seperti ini.

KABAR DARI RABBI BARUCH
Setelah mengirim pesan singkat ke dua kawanku di atas dan belum mendapatkan jawaban, aku berinisiatif mengontak Yaakov Baruch, pemimpin Yahudi di Tondano Minahasa. Ia ikut dalam rombongan ke Israel dan ada dalam foto.

Kepadanya, aku mengirimkan pesan sebagai berikut:

"Shalom, brader Rabbi. Saya Aan Anshori, GUSDURian Jombang Jawa Timur, dapat nomor brader dari xxxxx. Aku ikut prihatin atas berbagai risakan kepada 5 orang NU yang sekarang viral karena bertemu dengan elit politik Israel. Dua diantara mereka aku kenal secara personal; Munawir dan Nurul. Mengingat brader nampaknya hadir di sana, jika boleh tahu apa yang sebenarnya disampaikan oleh kelima kawan NU tersebut kepada para elit politik Israel? Secara personal, aku sangat mengapresiasi pertemuan tersebut. Shalom. Aan"

Kira-kira 10 menit kemudian ia membalasnya demikian; 

"Shalom. Kami tidak membahas politik krn Presiden bukan bagian dari Pemerintahan hanya simbol Negara, lebih banyak membahas soal hubungan Yahudi dan Muslim di Indonesia dan Israel. Kami semua menyampaikan harapan yg sama agar kiranya perang segera berhenti dan tercipta perdamaian antara Israel & Palestina dan hal itu diamini oleh Presiden Israel. Sekedar info agenda utama kami bertemu tokoh2 agama Israel & Palestina lalu ada agenda dadakan bertemu Presiden Israel, infonya pun sehari sebelum pertemuan. Tokoh2 muda NU tersebut sangat getol dalam menyampaikan solidaritas terhadap Palestina dalam pertemuan2 dengan tokoh agama Israel dan Palestina dan juga Presiden Israel,"

Awalnya, Rabbi Baruch agak keberatan pernyataannya aku kutip. Alasannya sungguh dewasa; situasinya biar reda dulu. 

Namun demikian, aku agak sedikit ngotot, membalasnya demikian.

"Saya justru berpikir sedikit terbalik; publik perlu tahu yang sebenarnya. Saya sedih publik menyerang begitu membabi buta tanpa tahu dari sumber pertama. Sebagai bagian dari keluarga besar NU, saya merasa berkewajiban menyuarakan dari sumber pertama. Saya berusaha kontak Azis dan Nurul dengan pertanyaan serupa namun belum berbalas. Saya berharap brader Rabbi mengizinkan saya mengutip utuh pernyataan di atas. Namun jika tidak boleh, saya sangat bisa memahami. Terima kasihku kepada brader Rabbi atas upaya mengkampanyekan kemanusiaan dan toleransi," 

Aku sudah agak lemas ia tidak segera membalas responku di atas. Hanya saja Allah berkehendak lain. Ia membalas dan memberikan lampu hijau pada pukul 20.20 kemarin malam (17/7) --atau 32 menit dari pesanku di atas.

Bagiku, semuanya sudah sangat jelas: kelima kader NU datang ke Israel dan Palestina untuk kepentingan Palestina. "Sayangnya," mereka bukan politisi, sehingga tidak perlu merasa tersandera oleh kalkulasi-kalkulasi elektoral sesaat. Mungkin seperti itu yang dialami Gus Dur dan Gus Yahya saat itu, mungkin.(*)

Wayang Potehi Jombang ke Eropa ; Menampilkan Geger Pecinan Hingga Nyanyi Ya Lal Waton


Kiprah internasional Wayang Potehi FuHeAn Gudo Jombang semakin berkibar. Bulan lalu, tidak hanya mementaskan cerita geger Pecinan, mereka juga mengumandangkan Ya Lal Waton, mars kebangsaan milik Nahdlatul Ulama, saat manggung dalam Sidang Umum UNESCO di Paris, 11-12 Juni 2024.

"Kami mendapatkan undangan pementasan ke Eropa melalui Asosiasi Tradisi Lisan," ujar Toni Harsono, pimpinan Potehi FuHeAn, dalam acara syukuran hasil lawatan, Selasa (9/7), di komplek Museum Potehi Gudo Jombang.

Bersama rombongan berjumlah 7 orang, Toni Harsono melakukan dua kali pentas di kampus Università Degli Studi di Napoli "L'Orientale" Italia.

Menurut Profesor Antonia Soriente, pihak pengundang, pementasan wayang Potehi di kampusnya merupakan bagian dari Festival Budaya dan seminar internasional.

"Sambutan civitas akademika di sana sangat luar biasa. Kami mementaskan beberapa cerita, salah satunya Geger Pecinan," tambah Toni.


Menurut Toni, cukup banyak mahasiswa merespon kehadiran wayang Potehi. Mereka agak heran kenapa eksistensi wayang Potehi yang kuat nuansa Tionghoanya bisa dirawat di Indonesia. Keheranan ini mendorong Toni menceritakan suka duka sejarah wayang Potehi dalam keluarga dalam pergulatan politik di Indonesia.

Dalam pementasan tersebut, Toni dan kelompoknya juga menyanyikan lagu-lagu Jawa Timur, misalnya, Rek Ayo Rek. Lagu ini dipilih untuk memperkenalkan Jawa Timur lebih jauh.

Setelah dari Italia, rombongan Potehi bergerak menuju Paris. Di sana, mereka mereka menghadiri Konvensi ke-10 Sidang Umum Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang diselenggarakan UNESCO.

Dikutip dari laman kemdikbud.go.id, dari ratusan WBTB milik Indonesa, terdapat 12 yang telah diakui oleh UNESCO, salah satunya adalah wayang. Sebelas lainnya adalah Keris, Batik, Pendidikan dan Pelatihan Membatik, Angklung, Tari Saman, Noken , Tiga Genre Tari Bali, Kapal Pinisi, Tradisi Pencak Silat, Pantun, dan Gamelan.

"Kami sangat senang bisa tampil di forum internasional ini," kata Catherine Ayin, salah satu kru pesinden, yang juga ikut dalam perjalanan ke Eropa. Perempuan berdarah Tionghoa-Jawa ini juga menyuguhkan tarian khas Potehi Gudo.

Dalam rangkaian Sidang Umum tersebut, Potehi mementaskan cerita perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme Belanda, dalam cerita Geger Pecinan.

Uniknya, sebelum pementasan dimulai, Toni dan Catherine menyanyikan lagu Ya Lal Waton, lengkap beserta teks Arab dan Indonesianya, diiringi alat musik Potehi.

"Terutama di Jombang sebagai basis Nahdliyin, lagu ini sangat terkenal, menyuarakan rasa nasionalisme," papar Toni.


Lagu ini, tambahnya, merupakan apresiasi terhadap umat Islam Indonesia, khususnya warga NU, atas komitmen toleransi mereka menjaga keragaman selama ini.

Dalam pementasan tersebut, tampak hadir Prof. Ismunandar, Duta Besar (Dubes)/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO serta perwakilan diplomatik beberapa negara, antara lain, Dubes Belgia, Dubes Palestina, Dubes Yaman, delegasi Singapura dan Malaysia.

'Supaya bisa ke Eropa, kami menggalang donasi publik. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang mendukung Potehi FuHeAn," kata Toni disambut tepuk tangan para undangan syukuran.

Lebih dari 40 tokoh lintas agama dan masyarakat hadir dalam acara tersebut, salah satunya Mundjidah Wahab, Bupati Jombang 2018-2023.

"Ini sangat membanggakan Indonesia, khususnya warga Nahdliyyin," ujar putri kelima salah satu pendiri NU, KH. Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas Jombang. Acara syukuran diakhiri dengan menyanyikan lagu Ya Lal Waton. (aan)

Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur terkait Upaya Percobaan Penghentian Ibadah Rumah Doa GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo


Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur terkait Upaya Percobaan Penghentian Ibadah Rumah Doa GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo



Setelah dua bulan lalu Jawa Timur diguncang aksi intoleransi di Cerme Gresik, provinsi ini kembali terguncang lagi  Baru saja viral video pendek di media sosial, isinya perdebatan antara dua orang yang diduga pengurus Rumah Doa (RD) GPdI Mergosari Tarik Sidoarjo dan diduga-kepala desa setempat. 

Perdebatan yang disaksikan beberapa warga serta RT/RW setempat berkisar seputar keberadaan RD tersebut. Kades menanyakan izin pendirian RD kepada pengurus, dan meminta agar ibadah dihentikan selama belum ada izin. Para pengurus bersikukuh tetap akan beribadah karena merasa telah memberitahukan keberadaan RD tersebut kepada Kementerian Agama, sembari menyatakan terus berupaya mengurus izin sebagai gereja. 

Terkait peristiwa ini, dalam situsnya, FKUB Sidoarjo telah melakukan mediasi masalah ini di balai desa setempat, 26 Juli 2024. Hasilnya, belum ada titik temu karena warga yang menolak dan pengurus/warga GPdI sama-sama bersikukuh dengan pendapatnya.

Dalam rezim perundangan seputar pendirian rumah ibadah, ambil contoh pendirian gereja, bagi kelompok yang belum bisa mendapatkan izin pendirian karena kekurangan syarat administratif  MASIH TETAP BISA melaksanakan ibadahnya. Lokasi aktifitas ibadah mereka secara formal administratif dinamakan "Rumah Doa/Ibadah," BUKAN gereja. 

Rumah doa ini TIDAK MEMERLUKAN persyaratan seketat pendirian gereja, misalnya, terpenuhinya skema pengumpulan KTP dan tanda tangan dari 90 pengguna rumah ibadah dan 60 warga sekitar rumah ibadah. 

Dalam video tersebut, pengurus RD mengklaim telah mengantongi Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) Rumah Doa ke Kementerian Agama. Untuk mendapatkan surat ini, rumah doa harus mengisi form dan juga melampirkan dokumen administratif dari desa/kelurahan. Artinya, jika SKTL telah dikeluarkan maka rumah doa tersebut telah diketahui pihak desa alias tidak liar. 

Atas peristiwa ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Meminta agar aparat desa dan keamanan menjamin kelancaran ibadah Rumah Doa GPdI setempat, tidak hanya karena rumah ibadah telah melaksanakan kewajiban administrasinya namun, lebih jauh, setiap warga negara memiliki hak mengekspresikan agama/keyakinannya;

2. Mendukung penuh upaya Gus Idham Kholiq beserta anggota FKUB Sidoarjo untuk menyelesaikan persoalan ini dengan berpijak pada keadilan dan kearifan lokal;

3.Meminta kepada semua pihak berhenti memprovokasi warga agar tidak terjadi persekusi horizontal lanjutan terhadap Rumah Doa GPdI tersebut. Sebaliknya, para tokoh agama/masyarakat --khususnya yang beragama Islam-- sebaiknya memilih untuk terus melakukan edukasi kepada warga terkait jaminan negara atas kemerdekaan beragama/berkeyakinan serta urgensi posisi kelompok mayoritas (Islam) dalam melindungi kelompok minoritas --bukan malah memberangusnya.

3. JIAD memandang Sidoarjo selama ini merupakan salah satu kabupaten terbaik di Jawa Timur dalam upaya mempromosikan kehidupan toleransi, khususnya antaragama. Hal ini merupakan modalitas berharga dalam penyelesaian peristiwa ini.

Gusti Alloh bersama kita semua.


Jombang, 1 Juli 2024.

Aan Anshori
Kordinator

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid02DsqJr85kgLJGFi73WaweoFS6STCZGqRM21WeCLsmzFrjbafkvPFLzitwiT9En2Sol/?app=fbl

BERTAHAN DARI TOA DI GPIB HOSEA; AGITATIF DAN EMPATI-PEJORATIF



Selama lebih dari satu jam, sarasehan Pancasila dan Bhinneka tunggal ika di GPIB Hosea menghadapi dentuman toa dari masjid sebelahnya, Jumat (28/7). Suaranya begitu nyaring melindas ruangan, apalagi jika pintunya terbuka. 

Jarak masjid dengan gereja cukup dekat, sekitar kurang dari 10 meter. Diam-diam aku mengagumi kualitas toa tersebut, "Pakai merk apa masjid itu sehingga kualitas suaranya sedemikian dahsyat?" 

Aku merasa cukup gelagapan dengan toa tersebut. Maklumlah, meski rumahku dikepung dua mushalla dan 2 masjid, aku tidak pernah merasa sedemikian "dekatnya" dengan suara toa seperti ini. 

Aku sangat yakin masjid tersebut milik saudara-saudaraku NU meski aku tidak sempat masuk. Keyakinanku ini didasarkan atas apa yang keluar dari toa tersebut, yakni penggalan syair-syair diba'. 


Hanya masjid/mushalla NU saja yang selama ini bergairah mensyiarkan diba'. Aku tahu karena sejak kecil di Kauman, diba'an adalah rutinitasku; dari satu masjid dan mushalla; dari ya rabbi sholli 'ala muhammad, makhallul qiyam hingga ya badro timmin khaza kulla kamali.  

Ketidaknyamananku atas kuatnya suara ini berbanding terbalik dengan puluhan warga GPIB Hosea yang hadir malam itu. Mereka terlihat santai-santai saja. Mungkin mereka sudah relatif mampu beradaptasi dengan hal seperti ini. 

Puluhan tahun gereja ini hidup bertetangga dengan masjid tersebut. Gereja ini terbukti memiliki toleransi sangat tinggi.

Toleransi di sini aku maknai sebagai kemampuan menahan ketidaknyamanan yang bersifat obyektif. Tidak peduli apapun agamanya, kerasnya suara toa, secara obyektif, dianggap sebagai faktor yang membuat seseorang tidak nyaman. Dengan demikian, kerasnya suara toa tidaklah beragama.

Aku membayangkan bagaimana jika kondisinya dibalik; GPIB Hosea memasang toa serupa, termasuk ukuran desibelnya, dan memutar lagu-lagu rohani lima kali sehari semalam. 

Aku bertaruh, dalam waktu kurang dari 24 jam, gereja tersebut pasti akan didatangi tetangga sekitar, meminta agar toa dimatikan. Mengganggu!

"Aku tahu sebagian dari kalian mungkin merasa terganggu dan memilih bertahan dengan hal ini. Itu bagus. Namun jika ada inisiatif untuk mendiskusikannya dengan pihak masjid, menurutku itu menunjukkan upaya menaikkan kualitas relasi gereja dn masjid. Ini PR," ujarku.

Dalam acara sarasehan tersebut, aku blak-blakan menunjukkan beberapa faktor kenapa cukup banyak orang Islam yang memandang kekristenan dalam kerangka yang belum pas; yakni agitatif dan empatif-pejorative.

Agitatif menunjukkan sikap yang menganggap seseorang/kelompok dalam suasana permusuhan, sungguhpun sikap tersebut belum tentu dilandasi oleh pengalaman interaksi langsung. 

Sikap ini, dalam teori kebencian dupleks milik Sternberg, sangat mungkin disebabkan oleh reproduksi narasi tentang kekristenan dalam kerangka permusuhan dengan Islam. 

Di Indonesia, kita tahu Islam-Kristen/Katolik memiliki daftar permusuhan sangat panjang sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Daftar ini bisa dibaca, salah satunya, dalam kumpulan tulisan M. Natsir, "Islam dan Kristen di Indonesia," maupun disertasi Mujiburrahman, "Feeling Threatened. Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order," 

"Selain itu, saat masih berada dalam kuasa intolernasi, aku melihat orang Kristen dengan paradigma kasihan --Kasihan melihat mereka pada akhirnya akan masuk neraka sungguhpun mereka memenuhi hidupnya dengan kebaikan selama di dunia," ujarku. 

Pengakuan ini aku sebut sebagai empati-pejoratif -- kerangka kedua yang pernah aku alami sebagai orang Islam saat berjumpa dengan kekristenan. Empati pejoratif ini tak pelak memantik reaksi peserta sarasehan. Aku melihat ada keragaman raut muka mereka; ada ekspresi tegang, gundah, senyum kecut, dan sebagaimanya.

Ada banyak pertanyaan terlontar dari peserta. Semuanya berbobot. 

Aku merasakan secara umum suasana malam itu sungguh membahagiakan. Apalagi, menurut kabar, sarasehan islam-Kristen seperti ini belum terlalu sering dilakukan GPIB Hosea.

Aku mengucapkan terima kasih, khususnya kepada kawanku, Alva Tomasoa, yang cukup lihai memandu acara dan mempersiapkannya secara umum. Majulah GPIB Hosea dan kehidupan toleransi di Menanggal.(*)

IDUL ADHA: PERAYAAN TERTAWANYA SARAH


Secara etimologi, aku baru tahu ternyata Idul Adha --hari raya yang identik dengan kurban dan penyembelihan-- erat kaitannya dengan tertawanya Sarah, istri Nabi Ibrahim -- ibunya Ishak. 


**

Selama ini aku tidak mempertanyakan, apalagi menyelidiki, kenapa Idul Adha diidentikkan dengan kisa penyembelihan salah satu anak Ibrahim. Aku mengira, semuanya sudah tertata dan terjustifikasi secara teologis maupun historis. bagiku tidak ada yang aneh dengan pengidentikan tersebut. 

Hanya saja, entah kenapa, kemarin aku iseng mencari tahu apa arti kata Adha. Aku berangkat dari memoriku, yang mengatakan kata tersebut ada kaitannya dengan tertawa atau tersenyum, hal-hal berkaitan dengan aktifitas terssebut. Memoriku yang terbatas ini tidak menyimpan arti Adha selain informasi tersebut. 

"Mungkin memoriku belum terupdate," gumamku,

Kata Adha merupakan bentuk Indonesia dari kata arab   أضحى -- (āḌ-Ḥā, dibaca ad-kha). Selanjutnya, kata arab ini aku masukkan dalam aplikasi باحث القرآني yang memungkinkanku menemukan kata ini dalam Al-Quran. 

Ketemu!

Aplikasi tersebut mengarahkanku pada QS. An-Najm 43; وَاَنَّهٗ هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى (bahwa sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis).

Ternyata benar dugaanku, ad-kha berarti tertawa. 

Aku tidak puas, ingin menemukan berapa banyak diksi ad-kha --beserta derivasiya-- dalam al-Quran beserta seluruh artinya. Sebab, setahuku, dalam ilmu kitab suci, satu diksi bisa memiliki makna lebih dari satu. 

Aku kemudian membuka QS. an-Najm 43 di aplikasi Al-Quran milik developer Greentech. Aplikasi keren ini memungkinkanku tahu berapa jumlah sebuah diksi beserta turunan katanya. 

Greentech menunjukkan ada 10 ayat yang mengandung kata ad-kha dalam Al-Quran. Setelah aku cek, semuanya memiliki arti sama; tertawa/tersenyum dalam berbagai cerita dan konteks. Misalnya, QS.27:19-2 yang menceritakan Nabi Sulaiman yang tersenyum gara-gara ia mampu mendengar perkataan seekor semut. 

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّن قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فِى عِبَادِكَ ٱلصَّلِحِينَ 

"Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.” -- Terjemahan Sabiq Company


Kata ad-kha dan turunannya juga digunakan dalam beberapa cerita/konteks lain, sebagaimana disebut dalam QS. 53:43, 80:39, 9:82, 23:110, 43:47, 53:60, 83:29 maupun QS.83:34. Hanya saja, kesemua ayat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa pengorbanan anak Ibrahim secara khusus, maupun kehidupan keluarga Ibrahim.  

Namun demikian, ada satu ayat QS. 11:71 yang merekam jejak ad-kha yang berkaitan dengan keluarga Ibrahim. 

"Wah menarik ini," gumamku. 

Setelah aku periksa, aku merasa ayat ini berkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Yakni, seputar kabar gembira kelahiran Ishak yang disampaikan para malaikat yang mengunjungi Ibrahim dan istrinya. Cerita ini, jika perkiraanku benar, terekam oleh QS.11:69-76. 

Kisahnya demikian; beberapa malaikat mempir ke rumah Ibrahim. Mereka sedang dalam perjalanan menuju Nabi Lut (Kota Sodom).

"Salam," kata mereka.
"Salam juga," balas Ibrahim.

tak lama kemudian Ibrahim datang membawa suguhan daging anak sapi yang dipanggang. Namun sayangnya, makanan tersebut tidak sedikitpun dijawah oleh mereka. Ibrahim curiga dan merasa takut; kuatir, mereka datang untuk menghukumnya.

"Ibrahim, jangan takut! Sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut (untuk menghancurkan mereka)," kata mereka.

Jawaban ini rupanya melegakan Ibrahim dan istrinya. Sang istri berdiri dan tersenyum (fadhakhikat, derivasi dari kata ad-kha). Kemudian mereka menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran Ishaq dan setelah Ishaq akan lahir Ya'qub (putra Ishaq).

“Sungguh mengherankan! Mungkinkah aku akan melahirkan (anak) padahal aku sudah tua dan suamiku ini sudah renta? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang ajaib (qâlat yâ wailatâ a alidu wa ana ‘ajûzuw wa hâdzâ ba‘lî syaikhâ, inna hâdzâ lasyai'un ‘ajîb),” kata istri Ibrahim, sangat mungkin ia adalah Sarah. 

Aku membayangkan ia mengatakan ini sembari tertawa tak percaya, persis seperti kita yang akhirnya lolos seleksi setelah puluhan kali mengirimkan surat permohonan tak berbalas.

Respon Sarah ini, yang juga tercatat dalam Kejadian 18:11-15, rupanya membuat mereka, para malaikat, balik bertanya secara retoris kepada Sarah dan Ibrahim, "Apakah engkau merasa heran dengan ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat dan berkah Allah (yang) dicurahkan kepada kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Mulia.”

Jawaban malaikat tak pelak menghilangkan rasa takut Ibrahim. Setelah lebih tenang, bapaknya Ismail dan Ishak ini selanjutnya berdiskusi dengan mereka seputar rencana penghancuran kota Sodom. 

***

Ketika aku mengabari temuanku ini kepada pasanganku, ia tak sepenuhnya percaya sampai aku bacakan rentetan ayat--ayat al-Quran seputar kisah ini.

"Kamu ternyata masih bisa baca Quran ya," katanya tersenyum. Aku meringis sambil membatin, "Anyiiiiing"

Lebih jauh aku mengatakan pada pasanganku, bahwa Sarah dan Ibrahim adalah contoh konkrit keberhasilan dalam menghadapi kemandulan. Siapapun perempuan, kataku, yang belum dianugerahi momongan padahal ia sangat ingin untuk itu, maka ia perlu meminta Tuhan dengan perantara Sarah dengan cara membaca al-Fatihah 7 kali kepada perempuan ini setiap hari. Serta, jangan lupa bersedekah/memberi makan kepada mereka yang membutuhkan. 

Kita tidak tahu dengan cara seperti Tuhan akan mendengar doa kita serta bagaimana kita akan meresponnya.

"Bisa jadi kita akan meresponnya seperti Sarah, yang tertawa, setengah tak percaya, atas jawaban Allah," kataku pada Amiroh. 

Maka, Idul Adha bagiku, selain untuk menselebrasi ketidakjadian rencana penyembelihan salah satu anak Ibrahim, kita bisa memaknainya pula secara alternatif; yakni perasaan syukur atas tertawanya Sarah karena doanya agar dikaruniai momongan dikabulkan Gusti.(*)

***

ضَحِكَ, https://lexicon.quranic-research.net/data/15_D/022_DHk.html
Genesis 18:12-15, https://www.bible.com/bible/compare/GEN.18.12-15
https://tafsir.app/11/71
https://quran.nu.or.id/hud
https://gtaf.org/apps/quran/

Featured Post

Perkawinan Beda Agama; Antara Tawaran Daniel Yusmic dan Teladan Nadiem Makarim

Daniel Yusmic P Foekh adalah hakim konstitusi saat ini. Setahuku perkawinannya seagama, sama-sama kristennya -- GPIB jika tidak salah. Seda...

Iklan

Tulisan Terpopuler