to live is to share
Saturday, March 1, 2025
Kejujuran, Ketertindasan dan Penghiburan dalam QS. Al-Kautsar
Friday, February 28, 2025
Mengetuk Lawang Langit di GKJW Lawang
Lawang adalah bahasa Jawa dari pintu. Selama 3 jam ratusan orang menggedor lawang langit dalam acara Haul Gus Dur.
***
Aku agak kaget saat Dani mengundangku sebagai salah satu narasumber Hau Gus Dur di gerejanya, GKJW Lawang Malang. Gereja tersebut dilayani istrinya, Pdt. Sevi. Kekagetan itu muncul saat tahu gereja tersebut sebagai inisiator utama, sekaligus menjadi tempat berlangsungnya acara haul, Minggu (23/2).
Selama ini, biasanya keterlibatan gereja dan agama non-Islam dalam acara haul GD hanya sebatas pelaksana dari aliansi besar acara: gereja ditunjuk sebagai lokasi acara dan menjalankan perintah aliansi. Biasanya begitu. Namun untuk kasus GKJW Malang, situasinya berbeda; gereja ini menjadi inisiator dan mengajak organisasi-organisasi lainnya.
Inisiatif seperti ini sungguh mulia sekaligus tidak mudah. Inisiator akan bertanggung jawab pada semua hal, terutama kesuksesan acara. Salah satu ciri kesuksesannya seberapa banyak dan beragam tokoh-tokoh lintas agama/kepercayaan, tak terkecuali pesertanya.
Menurutku ada banyak yang hadir. Sekitar seratusan orang. Semuanya lesehan, mirip acara di kalangan NU. Selain aku, ada 3 narasumber di flyer; Ilmi Najib -- aktifis senior GDian Malang, Pdt. Sevi, dan Kiai Mahpur -- PCNU Kota Malang.
Namun demikian, di panggung, ada cukup banyak tokoh selain kami berempat. Sebagai host acara, menurutku Pdt. Gideon telah melakukan tugasnya dengan sangat baik. Ia bisa mengayun pertanyaan sehingga hampir semua yang di panggung mendapat kesempatan berbicara.
Tidak hanya ada banyak representasi kelompok Penghayat, forum tersebut juga dihadiri kawan-kawan dari GPIB, GKA, dan gereja Protestan lain. Dari Katolik ada romo cum aktifis, Romo Gani, dari Paroki St. Theresia Pandaan.
Selain itu, hadir juga Habib Hasan bersama rombongan Ahlul Bait Indonesia (ABI) Malang dan kawan-kawan Bahai dipimpin mbak Susi. Perwakilan dari Forkopimcam Lawang juga hadir beserta utusan dari kelurahan setempat.
"Apa sih problem utama yang dirasakan masyarakat Indonesia yang patut direfleksikan dalam haul Gus Dur tahun ini?" tanya Pdt. Gideon padaku.
"Ketidakadilan," jawabku pendek.
Dalam hal toleransi antaragama, konflik senantiasa muncul akibat ketidakadilan yang memanfaatkan satu perasaan psikilogis.
"Apa itu, gus?"
"Perasaan lebih unggul, lebih benar, lebih suci ketimbang kelompok lain," ujarku.
Menurutku, pola pendidikan agama selama ini, harus diakui, masih mendasarkan dirinya pada keinginan "merasa dirinya paling benar," Padahal perasaan ini senantiasa meminta tumbal kelompok lain sebagai pihak yang dianggap lebih rendah, alias inferior.
Perasaan peng-inferior-an ini selanjutnya memicu kelompok superior melakukan penindasan. Akibatnya, tambahku, kelompok inferior kerap dikuyo-kuyo.
Aku kemudian meminta Ipda Hartono, wakil Kapolsek Lawan, bercerita model pendidikan di kepolisian. Ia menceritakan pengalamannya bagaimana pembauran terjadi saat pendidikan. Semua agama dan entis membaur jadi satu, belajar hidup bersama.
Diskusi berlangsung gayeng, berjalan sekitar 3 jam. Doa lintas agama dipanjatkan di akhir acara. Aku pun kembali ke Pandaan, nebeng Romo Gani, menuju parokinya.
Terima kasih GKJW Lawang. Semoga kita bersua kembali pada haul tahun depan.(*)
https://medium.com/@gantengpolnotok/mengetuk-lawang-langit-di-gkjw-lawang-581ada06f3f8
Thursday, February 20, 2025
Di Balik Dapur Perumusan Pancasila dan Syariat Islam: Latuharhary Berteriak Diredam Soekarno, Agoes Salim dan Wahid Hasyim
Tuesday, February 11, 2025
Cinta Dua Dunia
Untuk bisa masuk dalam dunia manusia, Joe, si malaikat "meminjam tubuh" manusia yang sudah mati, diperankan Brad Pitt yang masih sangat unyu. Peminjaman ini merupakan hal tak terelakkan. Jika tidak, bagaimana mungkin yang tak kasat mata bisa direngkuh oleh yang kasat mata? Dalan teologi, mungkin ini disebut inkarnasi.
Thursday, February 6, 2025
Kardinal Benitez, "Pope Innocentia" yang Memiliki Rahim
Dalam film Conclave (2024) besutan Edward Berger, gelar Innocentia dipilih Kardinal Benitez saat ia dinobatkan sebagai Paus terpilih, pemimpin tertinggi Katolik di Vatikan.
Meski tentu saja Conclave merupakan film fiksi, namun dalam realitasnya tercatat setidaknya ada 13 Paus bergelar Innocent. Yang terakhir adalah Pope Innocent XIII (1721-1724)
“..it’s a name of purity without any preconceptions," kata sutradara Berger ketika ditanya alasan memilih gelar Innocentia bagi Kardinal Benitez yang diperankan Carlos Diehz, seperti dikutip Vanity Fair (10/2024).
Film Conclave dengan keberaniannya mendeskripsikan keunikan Benitez. Ia digambarkan memiliki rahim, meski "tampilan luar"nya terlihat sedemikian maskulin.
Dalam percakapan personal dengan Kardinal Lawrence, Benitez mengakui dirinya pernah diminta khusus, bahkan dibiayai secara personal, oleh Paus sebelumnya untuk melakukan apa yang disebut histerektomi laparoskopi.
Istilah ini merujuk pada prosedur pembedahan minimalis-invasif. Sayatan kecil dibuat di perut untuk memasukkan alat yang dilengkapi kamera (laparoskopi), untuk tujuan mengangkat rahim (histerektomi). Laparoskopi juga dikenal dengan sebutan bedah teropong.
Dalam dunia medis, pengangkatan rahim setidaknya bisa dilakukan menggunakan tiga prosedur; histerektomi vaginal, histerektomi abdominal dan histerektomi laparoskopi.
Prosedur terakhir tadi diklaim memiliki beberapa keunggulan, misalnya; waktu pemulihan lebih cepat, rasa sakit yang lebih sedikit, serta risiko infeksi yang lebih rendah. Kardinal Benitez disarankan Paus sebelumnya memilih prosedur ini. Namun ia tidak melakukannya. Artinya ia membiarkan dirinya memiliki rahim.
Pertanyaan pentingnya; bagaimana mungkin seorang kardinal, yang wajib berjenis kelamin secara biologis, ternyata memiliki rahim -- yang kita tahu merupakan perangkat biologis wanita (female).
Di sinilah inti dari film Conclave. Kita tengah disuguhi berbagai kemungkinan terjadinya peristiwa yang selama ini sangat jarang kita pikirkan.
Aku haqqul yakin Kardinal Benitez merasa dirinya laki-laki (man). Namun demikian ia tidak bisa menolak anugerah organ reproduksi wanita (female) dalam bentuk rahim dari Gusti. Identitas yang ia rasakan dan yakini tidak linear dengan karakteristik seksual yang ia miliki.
Dalam dunia gender dan seksualitas, Kardinal Benitez dapat disebut sebagai seorang interseks, yang memiliki situasi female to male transsexual (FtM) -- yakni mereka yang dianggap berjenis kelamin wanita (female) saat lahir -- biasanya karena dianggap memiliki ciri biologis wanita-- namun saat dewasa pemilik tubuh merasa dirinya laki-laki -- baik karena ia merasa jiwanya laki-laki dan/atau karena ia meyakini punya ciri seksual laki-laki (male).
Salah satu pakar yang mendedikasikan diri meriset terkait hal ini adalah Aaron Holly Devor, University of Victoria British Columbia Kanada. Ia, pada 1997, menerbitkan buku berjudul "FTM : female-to-male transsexuals in society ," Isinya, memuat pengalaman hidup 45 orang yang dianugerahi keunikan seperti Kardinal Benitez.
Yang aku ketahui, biasanya saat dewasa, pemilik tubuh menginginkan adanya kepastian dan, untuk itu, ia memilih operasi penyesuaian jenis kelamin (sex reassigment surgery).
Saat meneliti berbagai dokumen dua tahun terakhir ini, aku menemukan lebih dari 25 orang Indonesia memiliki kondisi FtM. Dengan berani mereka memutuskan maju ke pengadilan untuk "merebut" identitas yang diinginkannya. Hanya saja, aku belum menemukan mereka yang melakukan histerektomi laparoskopi.
Ada satu nama muncul dari data Mahkamah Agung. Namanya Dela, terlahir perempuan --setidaknya menurut identitas jenis kelamin di KTP dan Akta Kelahiran -- pada 1992. Ia melakukan proses histerektomi; tidak jelas apakah laparoskopi, vaginal atau abdominal.
Dela melakukan transisi FtM sebagai bagian menjadi dirinya seutuhnya. Setelah operasi histerektominya selesai ia mengakukan permohonan perubahan identitas -- dari perempuan menjadi laki-laki -- ke PN. Jakarta Timur Oktober 2020.
Permohonan Dela dikabulkan. Ia mengubah namanya menjadi Rafardhan.
Tidak perlu berimajinasi Kardinal Benitez akan maju ke pengadilan, menegaskan identitas yang diinginkan sebagaimana Rafardhan. Sebab, pilihan Benitez mempertahankan rahimnya sudah merupakan ketegasan yang harus dihormati setiap orang, termasuk kita.(*)
Tuesday, February 4, 2025
CONCLAVE (2024): HARUSNYA MASUK KATEGORI FILM "PENISTAAN AGAMA"
Sebagai sutradara, Edward Berger bisa dikatakan nyaris sempurna mengadaptasinya ke layar lebar. Musik dan sinematografi berpadu serasi. Para pemainnya sangat optimal berakting.
Dan yang paling utama; alur ceritanya! Berger membuat fim ini sanggup menahan penonton berdebar-debar; siapa yang akhirnya terpilih menjadi Paus.
Tentu saja Conclave adalah film fiksi. Ceritanya tidak benar-benar terjadi. Namun pengetahuan penulis novel dan sutradara terhadap rumah tangga Vatikan tidak bisa disepelekan.
Conclave bercerita seputar pemilihan Paus yang penuh intrik. Dalam imajinasi Harris, forum Katolik paling sakral untuk memilih wakil Tuhan digambarkan begitu manusiawi; mirip kontestasi politik elektoral.
Money politik, black campaign, dan aneka intrik politik lainnya ditampilkan cukup benderang meski tidak vulgar.
Satu per satu para kandidat ia rontokkan karena dianggap tidak pantas menduduki orang nomor satu di Vatikan.
Cerita film ini dipusatkan pada sosok Kardinal Lawrence dan upayanya memastikan Paus terpilih tidak menyisakan masalah di kemudian hari.
Conclave menurutku menawarkan ketegangan tersendiri. Aku belum pernah merasakan ketegangan unik seperti ini. Ketegangan serupa pernah aku rasakan ketika menonton film Katolik lainnya, Spotlight.
Keteganganku sebenarnya sudah cukup terpuaskan atas terpilihnya Kardinal Benitez, uskup agung Kabul Afghanistan, yang unik kemunculannya sejak awal.
Bayangkan saja, ia tiba-tiba muncul ke Vatikan, dengan pakaian lusuh, mengaku sebagai seorang kardinal dan, tidak ada satupun dari seratusan lebih kardinal yang mengenalnya, termasuk Kardinal Lawrence sendiri.
Lawrence tak bisa berbuat banyak karena Benitez menunjukkan surat pengangkatan resmi yang ditandatangi Paus terdahulu.
Dalam catatan Vatikan, Benitez dianggap memiliki masalah kesehatan. Ia pernah diminta Paus sebelumnya pergi ke Swiss terkait hal itu.
Saat Lawrence menanyai kesediaan Benitez memangku jabatan barunya sebagai Paus, ia tidak langsung menjawabnya.
Lawrence menanyakan lagi dan akhirnya dijawab Benitez. Paus baru memilih "Innocentia" sebagai gelar barunya.
Aku pikir semua sudah selesai. Ternyata tidak.
Monsinyur Ray yang selama ini menjadi tangan kanan Lawrence mendatangi Lawrence dengan tergopoh-gopoh.
"I wonder if I could have a word in private. I should have told you this morning when I found out, but with everything that-- and I didn't dream that Cardinal Benitez
would become..." kata Ray dengan muka tegang dan galau.
"I found out.. Switzerland..." ujar Ray terbata-bata terlihat menanggung perasaan bersalah yang cukup berat.
Sontak aku tergeragap, memelototkan mata, padahal laptop sudah hampir aku matikan karena film aku anggap sudah usai.
Aku merasa ada yang salah dengan Kardinal Benitez, Paus terpilih. Aku menebak-nebak sekuat tenaga namun tak pernah menduga Benitez mengalami situasi unik dan komplek seperti ini.
Kepada Kardinal Lawrence, Benitez buka-bukaan atas situasinya, tak terkecuali kenapa Paus terdahulu memintanya melakukan 'pengobatan" ke Swiss -- meski ia memilih tidak melakukan hal tersebut.
Kamu boleh percaya boleh tidak. Aku sempat mempause film sejenak, hanya untuk menggoogling istilah yang disampaikan Benitez. Tidak hanya itu, aku pergi ke Youtube untuk lebih memahami prosedur teknis dari istilah tersebut.
"...Laparoscopic hysterectomy. I am what God made me. And perhaps it is my difference that will make me more useful. I think again of your sermon. I know what it is to exist," ujar Benitez kepada Lawrence yang telihat masih syok dengan pengakuan Benitez.
"..there is one sin which I have come to fear above all others. Certainty. Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance. Even Christ was not certain at the end. He cried out in his agony at the ninth hour on the cross. Our faith is a living thing precisely because it walks hand in hand with doubt. If there was only certainty and no doubt, there would be no mystery. And therefore no need for faith. Let us pray that God will grant us a pope who doubts. And let him grant us a pope who sins and asks for forgiveness and who carries on."
Conclave menurutku menawarkan kemungkinan --bahkan terhadap sesuatu yang selama ini telah kita anggap bersifat pasti sekalipun; termasuk dalam hal kepastian jenis kelamin. Kemungkinan hanya bisa terjadi kalau kita kita tidak mengunci semuanya dengan label "kepastian,"
Tidak ada yang pasti, bahkan terhadap jaminan keselamatan yang selama ini, katakanlah, ditawarkan oleh agama/keyakinan kita.
Keyakinan bahwa semua bersifat pasti akan membuat kita tidak toleran dan mematikan peradaban. Harris dan Berger telah melakukan "kekurangajaran yang sempurna" dengan cara menawarkan kemungkinan radikal di tubuh kepausan.
Jika tidak ingin mengalami misteriusitas yang intens dalam beragama, sebaiknya tidak perlu menonton Conclave. Sangat mungkin film ini akan dilabeli menista agama seandainya terjadi di agamaku.
CONCLAVE (2024): HARUSNYA MASUK KATEGORI FILM "PENISTAAN AGAMA"
Imajinasi Robert Harris memang liar, namun patut diacungi jempol. Meski tidak membacanya, aku benar-benar menikmati ketegangan film Conclave. Film tersebut diambil berdasarkan novel dengan judul sama karya Harris.
Sebagai sutradara, Edward Berger bisa dikatakan nyaris sempurna mengadaptasinya ke layar lebar. Musik dan sinematografi berpadu serasi. Para pemainnya sangat optimal berakting.
Dan yang paling utama; alur ceritanya! Berger membuat fim ini sanggup menahan penonton berdebar-debar; siapa yang akhirnya terpilih menjadi Paus.
Tentu saja Conclave adalah film fiksi. Ceritanya tidak benar-benar terjadi. Namun pengetahuan penulis novel dan sutradara terhadap rumah tangga Vatikan tidak bisa disepelekan.
Conclave bercerita seputar pemilihan Paus yang penuh intrik. Dalam imajinasi Harris, forum Katolik paling sakral untuk memilih wakil Tuhan digambarkan begitu manusiawi; mirip kontestasi politik elektoral.
Money politik, black campaign, dan aneka intrik politik lainnya ditampilkan cukup benderang meski tidak vulgar.
Ada kandidat yang meraup suara terbanyak dalam pemilihan awal, akhirnya mundur dari kompetisi. Ia nangis sesunggukan saat Kardinal Lawrence, pemimpin pemilihan, mendatanginya sembari mengungkit aib kandidat yang terjadi 30 tahun lalu.
Satu per satu para kandidat ia rontokkan karena dianggap tidak pantas menduduki orang nomor satu di Vatikan.
Cerita film ini dipusatkan pada sosok Kardinal Lawrence dan upayanya memastikan Paus terpilih tidak menyisakan masalah di kemudian hari.
Conclave menurutku menawarkan ketegangan tersendiri. Aku belum pernah merasakan ketegangan unik seperti ini. Ketegangan serupa pernah aku rasakan ketika menonton film Katolik lainnya, Spotlight.
Keteganganku sebenarnya sudah cukup terpuaskan atas terpilihnya Kardinal Benitez, uskup agung Kabul Afghanistan, yang unik kemunculannya sejak awal.
Bayangkan saja, ia tiba-tiba muncul ke Vatikan, dengan pakaian lusuh, mengaku sebagai seorang kardinal dan, tidak ada satupun dari seratusan lebih kardinal yang mengenalnya, termasuk Kardinal Lawrence sendiri.
Lawrence tak bisa berbuat banyak karena Benitez menunjukkan surat pengangkatan resmi yang ditandatangi Paus terdahulu.
Dalam catatan Vatikan, Benitez dianggap memiliki masalah kesehatan. Ia pernah diminta Paus sebelumnya pergi ke Swiss terkait hal itu.
Benitez yang awalnya tidak diperhitungkan dalam kompetisi ini berhasil mencuri perhatian di menit-menit terakhir pemilihan. Ia akhirnya terpilih menjadi Paus baru.
Saat Lawrence menanyai kesediaan Benitez memangku jabatan barunya sebagai Paus, ia tidak langsung menjawabnya.
Lawrence menanyakan lagi dan akhirnya dijawab Benitez. Paus baru memilih "Innocentia" sebagai gelar barunya.
Aku pikir semua sudah selesai. Ternyata tidak.
Monsinyur Ray yang selama ini menjadi tangan kanan Lawrence mendatangi Lawrence dengan tergopoh-gopoh.
"I wonder if I could have a word in private. I should have told you this morning when I found out, but with everything that-- and I didn't dream that Cardinal Benitez
would become..." kata Ray dengan muka tegang dan galau.
"Ray, please tell me what's troubling you." sahut Kardinal Lawrence.
"I found out.. Switzerland..." ujar Ray terbata-bata terlihat menanggung perasaan bersalah yang cukup berat.
Sontak aku tergeragap, memelototkan mata, padahal laptop sudah hampir aku matikan karena film aku anggap sudah usai.
Aku merasa ada yang salah dengan Kardinal Benitez, Paus terpilih. Aku menebak-nebak sekuat tenaga namun tak pernah menduga Benitez mengalami situasi unik dan komplek seperti ini.
Kepada Kardinal Lawrence, Benitez buka-bukaan atas situasinya, tak terkecuali kenapa Paus terdahulu memintanya melakukan 'pengobatan" ke Swiss -- meski ia memilih tidak melakukan hal tersebut.
Kamu boleh percaya boleh tidak. Aku sempat mempause film sejenak, hanya untuk menggoogling istilah yang disampaikan Benitez. Tidak hanya itu, aku pergi ke Youtube untuk lebih memahami prosedur teknis dari istilah tersebut.
"...Laparoscopic hysterectomy. I am what God made me. And perhaps it is my difference that will make me more useful. I think again of your sermon. I know what it is to exist," ujar Benitez kepada Lawrence yang telihat masih syok dengan pengakuan Benitez.
Benitez memang tidak salah merujuk khotbah Kardinal Lawrence saat membuka acara pemilihan Paus. Ia sempat membuat kehebohan gara-gara khotbah kontroversialnya -- aku tersengat ketika mendengarnya.
"..there is one sin which I have come to fear above all others. Certainty. Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance. Even Christ was not certain at the end. He cried out in his agony at the ninth hour on the cross. Our faith is a living thing precisely because it walks hand in hand with doubt. If there was only certainty and no doubt, there would be no mystery. And therefore no need for faith. Let us pray that God will grant us a pope who doubts. And let him grant us a pope who sins and asks for forgiveness and who carries on."
Conclave menurutku menawarkan kemungkinan --bahkan terhadap sesuatu yang selama ini telah kita anggap bersifat pasti sekalipun; termasuk dalam hal kepastian jenis kelamin. Kemungkinan hanya bisa terjadi kalau kita kita tidak mengunci semuanya dengan label "kepastian,"
Tidak ada yang pasti, bahkan terhadap jaminan keselamatan yang selama ini, katakanlah, ditawarkan oleh agama/keyakinan kita.
Keyakinan bahwa semua bersifat pasti akan membuat kita tidak toleran dan mematikan peradaban. Harris dan Berger telah melakukan "kekurangajaran yang sempurna" dengan cara menawarkan kemungkinan radikal di tubuh kepausan.
Jika tidak ingin mengalami misteriusitas yang intens dalam beragama, sebaiknya tidak perlu menonton Conclave. Sangat mungkin film ini akan dilabeli menista agama seandainya terjadi di agamaku.
Featured Post
Kejujuran, Ketertindasan dan Penghiburan dalam QS. Al-Kautsar
"(1) Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. (2) Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebaga...
-
Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya ( was thofaki ‘ala nis...
-
Seperti yang pernah aku tulis sebelumnya di Facebook, mengisi acara seminar di sekolah menengah pertama (SMP) merupakan pengalaman pertamaku...
-
Dalam cara pandang purifikasi ajaran, dunia ini dipilah secara arbitrer --semena-mena; hitam-putih. Yang satu merasa lebih superior sembari ...