Dekri dan Eljibiti di Warkop Cak Cip


Jangan ngaku mahasiswa Univ. Darul Ulum (Undar) jika tidak kenal Cak Cip. Bagiku, ia adalah mahadosen semua jurusan untuk matakuliah kerendahan hati melalui secangkir kopi. Warkopnya tak pernah sepi meski kampus ini pernah sekarat gara-gara dualisme kepemimpinan.

Sedangkan Dekri? Ia adalah salah satu selebritis gerakan mahasiswa Undar pertengahan 90an saat aku masuk kampus ini. Nama lengkapnya Chalid Tualeka. Silahkan digoogling nama itu.

Kami beda jurusan. Jika ingatanku masih kuat, ia dulu sospol, sedangkan aku nyantri di menejemen informatika dan komputer, meski tidak rampung karena faktor ekonomi.

Dekri bukanlah orang lain bagiku meski kami beda organisasi ekstra kampus. Pasangannya, Pipit, punya dua almamater denganku; di PMII dan sama-sama pernah nyantri di Tambakberas.

Pagi tadi, Minggu (24/12), aku menemuinya di Cak Cip. Kebetulan tengah ada reuni akbar para alumni Undar. Aku sendiri meski tidak lulus D3 Mikom kampus ini tahun 95, namun aku kembali belajar pada 2010 di Fakultas Hukum, dan selesai. Tidak tanggung-tanggung, aku memegang dua ijazah, masing-masing ditandatangani Gus Luk dan Ning Eyik. Dualisme rektor yang berkepanjangan memaksaku menapaki rumitnya belantara politik warisan di tubuh keluarga pendiri Univ. Darul Ulum, Kiai Musta'in Romli.

Kerumitan ini nampaknya berimbas pada topik yang ingin dibincang Dekri denganku, apalagi kalau bukan soal eljibiti (LGBT). Mungkin ia menyaksikanku di ILC kemarin saat membahas isu ini. Maka dengan senang hati aku datang, meskipun tujuanku ketemu dengannya lebih karena kami sangat lama tidak bertemu, begitu juga dengan Pipit.

Aku sudah menduga nalar pikiran Dekri mengenai topik ini; tidak begitu berbeda dengan kebanyakan yang lain. Tidak ada argumentasi baru dari yang pernah aku dengar. Namun aku tetap menikmatinya sebagai _intellectual discourse_ berbalut kredo persekawanan antaraktifis jaman old.

Ia memintaku menunjukkan pijakan quranik yang aku percaya dalam isu ini. Aku tunjukkan satu, di al-Nuur 31. Ia pun langsung mengeceknya di androidnya, tidak membantah.

Aku kemudian menawarkan pembacaan alternatif menyangkut kisah Luth di al-Quran -bahwa peristiwa itu adalah hal yang sangat spesifik menyangkut percobaan perkosaan lelaki ke lelaki. "Itu perkosaan, Dek. Bukan hubungan seksual berbasis mutual consent. Kamu tahu to bedanya?" ujarku.

Namun ia tetap kekeuh soal Luth. Tetap dengan argumen yang sudah pernah aku dengar sebelumnya. "Mereka, Aan, tidak seharusnya mendemostrasikan relasinya di hadapan publik karena norma masyarakat tidak bisa menerima," ujarnya seingatku.

Aku manggut-manggut saja mendengarnya berapi-berapi bicara. Sungguh, sempat terlintas di benakku yang bicara ini adalah ustadz yang barusan dicekal oleh pemerintah Hongkong. Wajahnya mirip, sekilas.

Aku kemudian mengajaknya memahami persoalan ini dari sudut pandang idealitas kesetaraan antara mayoritas dan minoritas. Berkali-kali aku terpaksa harus gunakan analogi.

"Dek, jika dalam partaimu, jaringan Jawa menguasai seluruh elit dan mengharamkan politisi non-Jawa masuk di struktur, hal itu fair atau tidak? Jika tidak fair, kamu diam atau melawannya?" tanyaku. Aku sengaja menggesernya ke arah yang lebih personal karena tahu ia bermarga Tualeka. Darah muslim-Ambonnya kental.

"Kalau syarat agar bisa masuk elit partaimu adalah mengharuskan kamu mengganti identitas yang kamu yakini sebagai kebenaran, bersediakah kamu?" tanyaku menimpali.

Aku menjelaskan bahwa orientasi seksual itu _given_, tidak bisa berubah. Kalau ada yang pernah mengaku telah berhasil mengubahnya, itu harus dilihat sebagai proses menjadi dirinya, bukan sesuatu yang boleh dipaksakan, apalagi diancam penjara. "Yang nggak boleh itu adalah memaksa. Dalam konteks Luth adalah perkosaan," jelasku.

Namun Dekri adalah Dekri, kawan lamaku yang gigih mempertahankan pendapatnya. Aku salut terhadapnya. Mendengar penjelasannya adalah kehormatan bagiku.

Ia kemudian mendapat telpon. Entah dari siapa. Sangat mungkin dari Pipit, pasangannya. "An, kita geser yuk diskusinya ke Cempaka. Ada Pipit di sana," ajaknya. Kami pun selanjutnya menuju Cempaka, sebuah homestay elit tidak jauh dari kampus kami.

Di Cempaka, kami tidak terlalu meneruskan diskusi tentang LGBT. Aku ketemu Pipit dan Nella -anak PMII lawas yang dulu pernah satu angkatan di kawasan Gajayana, salah satu gang di Wersah tempat berkantornya Lakpesdam NU dan ICDHRE. Ia membantu di Lakpesdam, aku di lembaga satunya.

Kami bertiga ngobrol ngalor-ngidul soal banyak hal, dari urusan GUSDURian di Riau hingga rumah tangga. Dekri sendiri sibuk riwa-riwi dan akhirnya menyodorkan 3 biji durian yang telah dikupas. "Durian, An," tawarnya.

Kami pun ngobrol, tetap menghindari soal eljibiti.

Namun tetap saja kami tak bisa menahannya. Ia kemudian menyerempet isu ini. Aku mendengarkannya sembari menikmati durian, di hadapan Pipit dan Ella.

"Jadi, LGBT itu penyakit yang perlu disembuhkan menurutmu, Dek" tanyaku.

"Tidaaaakkk... Itu bukan penyakit. Nggak perlu disembuhkan. Mereka punya hak yang sama dengan kita. Namun norma kita masih belum bisa menerimanya," ia selanjutnya menimpali panjang. Aku mendengarkan seperti sedia kala.

Tak seberapa lama, aku pamit karena harus ke Cukir berkunjung ke keluargaku yang merayakan Natal. Dekri juga harus berkemas karena akan berganti hotel.

Dari lantai 2 tempat kami berdiskusi, ia mengantarkanku hingga parkiran motor. Dekri memang kawan yang baik.

Thank Dekri, have a nice vacation!

Note. Thank to Yaya Zakiyah yang mengabadikan kami berdua.

Donasi untuk Pembangunan Gereja GKJW Sumbermbag Malang


Kawan-kawan,

Beberapa hari lalu, saya dikontak oleh kawan saya, Cahyo Saputro, pendeta GKJW Sumbermbag Sitiarjo Sumbermanjing Malang bagian selatan. Ia menceritakan usahanya membangun sebuah pepantan (pos) dari gereja induk beberapa tahun ini.

Jauhnya lokasi gereja induk dengan rumah warga merupakan alasan pendirian pepantan tersebut. Para jemaat sudah membuat rencana dan prosesnya pembangunannya telah mencapai sekitar 75%.

Mereka sedang berusaha mendapatkan dana publik untuk menutup kekurangan biaya sekitar 20 jutaan, dari total anggaran sekitar Rp. 120 juta. Sudilah membantunya jika punya kelebihan rejeki.











Jika ada pertanyaan lebih lanjut, silahkan kontak ke Pdt. Cahyo Saputro (Mbing) +62 812-3552-7946 081804325682 - 085334341225, atau Facebook Cahyo Saputro.


Terima kasih,


Aan Anshori
08155045039

Hitam-Putih di GKI Pondok Indah

Dalam cara pandang purifikasi ajaran, dunia ini dipilah secara arbitrer --semena-mena; hitam-putih. Yang satu merasa lebih superior sembari menista yang lain sebagai "yang lebih rendah".  Seluruh bangunan pengetahuan kemudian dibangun untuk mengokohkan itu.

Agama langit datang mendaku sebagai yang superior. Kepercayaan lokal yang lebih dulu datang dituding menjadi yang sesat.

Oleh yang "putih", " hitam" adalah gelap --musuh dari terang. Tidak boleh ada percampuran. Sebab, percampuran berarti pengkhianatan yang berakibat timbulnya berbagai konsekuensi, termasuk eksklusi, perdikan, ekskomunikasi, dan alienasi.

Malam itu, Senin (27/11), dalam peneguhan Pdt. Bonnie, kawan saya yang bertugas di GKI Pondok Indah, saya menabraki itu semua. Hitam bercampur putih. Gelap mengkhianati takdirnya; menelusup di antara yang hitam. Anehnya, oleh yang hitam, saya yang putih tidak dipandang sebelah mata. Sebaliknya, saya dirangkul dengan hangat tanpa dipaksa menjadi hitam.

Saya pernah mengikuti berbagai macam upacara ritual kekristenan, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan pernah begitu dekat dengan aliran kepercayaan. Namun saya tidak pernah merasa sedemikian dekat seperti malam itu.

"Gus, nek awakmu nyaman pakai sarung, gaween wae," ujar Bonnie di lantai tiga. Saya memang membawa sarung di ransel yang memang sudah seperti rumah kedua saya. Saya datang memakai celana hitam, hem putih mengkilat pemberian orang, dan peci hitam kebanggaan saya.

Sejak dalam perjalanan ke Jakarta, saya sudah berniat memakai sarung dalam acara itu, namun saya agak ragu, takut terlalu demonstratif di rumah orang lain. Saya perlu menjaga perasaan. Namun permintaan Bonnie merupakan konfirmasi sebagai pemilik rumah.

Saya kemudian berbaris bersama puluhan pendeta perempuan dan laki-laki. Hampir semua dari GKI. Ada juga kawan saya, Pdt. Palti Panjaitan dari HKBP dan kawan sebangku saya, Pdt. Eben dari GKJ --ternyata ia adalah "adik" Pdt. Ratih GKJ Manahan. Ah betapa dunia sempit sekali seperti metromini.

Setelah hampir seribuan tamu undangan duduk rapi dalam gereja yang berarsitektur lumayan artistik itu, saya dan para pendeta diminta masuk ruangan, berjalan dengan gagah membelah ruangan, seperti sepasukan Musa. Semua pasukan berseragam hitam, kecuali saya, satu-satunya yang putih.

Saya edarkan pandangan ke seluruh ruangan saat kami membelah lautan manusia. Saya merasa tidak sedikit sorot mata ditubrukkan ke saya. Perasaan saya campur aduk membayangkan apa yang ada di benak mereka. "Kenapa kesucian hitam harus dikotori oleh slilit berwarna putih pada momen ini?", "Kok bisa orang Islam itu diletakkan pada posisi setinggi itu? Berbaris bersama para laskar Kristus yang punya kuasa melakukan sakramen"

Saya berusaha menerka-nerka benak mereka.

Anda mungkin tidak percaya, namun tidak mudah menjadi yang liyan di tengah sebegitu banyak orang. Apalagi saya diperbolehkan duduk di atas panggung bersama para laskar pilihan.

Ada sekitar dua fotografer resmi yang mengambil gambar selama acara berlangsung. Dan saya tahu ia berkali membidik saya dari berbagai angle, candid. Saya melirik mereka.

Setelah melalu serangkaian acara duduk-berdiri-duduk-berdiri, tibalah puncak penahbisan Pdt. Bonnie dan emiritasi Pdt. Purbaya. Kami para laskar berkumpul di depan mimbar menyaksikan keduanya saling "mengeksekusi" -- Pak Purbaya meneguhkan Bonnie sebagai penggantinya, Bonnie mengangkat Pak Purbaya dalam jabatan emeritusnya.

Saya melihat proses itu dalam jarak kurang dari semester.

Mungkin banyak orang menganggap  saya sebagai asesoris pemanis, seperti warna putih dalam kue black forrest. Namun hal itu tidaklah cukup tepat.

Keputihan saya adalah a blatant public statement --that is it is absolutely normal to be part of sacred different faith moment.

Saya sendiri secara diam-diam meyakini, sebagai penggerak GUSDURian, perlu ikut meneguhkan Bonnie sebagai kader penggerak keragaman. GKI Pondok Indah adalah area formal pelayanannya nanti, namun sesugguhnya tanggung jawab Pdt. Bonnie adalah kemanusiaan secara luas di Indonesia.

Bagi saya, ia hanya "dititipkan" di Pondok Indah, sebagaimana Pdt. Palti yang ditempelkan di HKBP. Penitipan dan penempelan itu sifatnya mutahawwil (berubah), sedangkan tugas utamanya menjaga Indonesia berstatus tsubut (permanen).

Selamat berkiprah, Bonnie!

*warkop depan stasiun Mojokerto 29/11/2017.
* credit photo Pdt. Palti

Undangan Berpartisipasi Menerbitkan Buku Narasi Memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia"


KAWAN-KAWAN, setelah melalui proses panjang akhirnya kami bisa mengumpulkan sekitar 70an tulisan  narasi memori Tionghoa. Penulisnya datang dari latar belakang yang sangat beragam; pendeta, santri, bhante, seniman, guru, ustadz, dosen, teolog, pengacara, ibu rumah tangga, aktifis, mahasiswa, Kristen, Islam, Buddha, Khonghucu, agnostik, hetero, homo, Jawa, Madura, Tionghoa, campuran, dll. Tumplek blek.

Sebagian nama penulis, bisa dicek di sini. Dan menariknya, mereka menulis secara sukarela alias tidak dapat honor.

Tulisan-tulisan itu merupakan cerita personal masing-masing penulis kala bersinggungan dengan TIONGHOA. Ada suka, namun kebanyakan bercerita tentang duka.
Kini tulisan ini tengah dalam proses editing dan layout.
Jika Anda memandang proyek ini akan bermanfaat bagi peradaban, kami mengundang Anda untuk bisa lebih terlibat dalam penerbitan dan kampanye buku ini.

Caranya? Silahkan donasikan sebagian rejeki anda melalui BCA Prapen Surabaya nomor rekening 5120458304 a/n Sujoko Efferin atau Rovien Aryunia (qq). Tidak harus banyak, Rp. 10.000 pun akan kami terima.

Selain itu, kami juga terbuka menerima bantuan selain berupa uang. Sungguh, jangan sungkan menghubungi kami melalui Rovien Aryunia +62 821-3926-0077 atau Sujoko Efferin +62 855-3008-789.

Nama penyumbang akan dicantumkan dalam lampiran di buku tersebut. Dengan donasi ini, kami berusaha agar buku ini bisa didapat dengan biaya sangat murah, bahkan gratis.
Thank
Love you

Aan Anshori
08155045039
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori
FB aan.anshori@gmail.com
http://www.gusdurianjombang.id
http://www.aananshori.web.id

Ave Maria dan Rumitnya Cicit Perempuan Nabi

Saya trenyuuuh menonton video yang viral dibagikan oleh akun FB Boedi Suhardi. Dalam video berdurasi 01:39 detik itu, seorang perempuan berjilbab sedang menyanyi Ave Maria di misa requirem, di Gereja Katedral Bogor. Perempuan yang tidak disebut namanya itu, menurut pengunggah status, adalah kawan dari almarhumah, Chatarina Suyanti. Entah siapa dia, saya tidak kenal.

Yang saya tahu, dari ratusan komentar di status tersebut hampir semuanya menyatakan kekagumannya. Terhadap apa pastinya, saya juga tidak yakin.

Namun hipotesis saya mengatakan, mereka tersihir oleh dua hal; keberaniannya menyanyikan Ave Maria dengan seluruh atribut muslimah yang ia kenakan di Katedral, serta suaranya yang sangat menyayat-nyayat. Nampak jelas ia begitu berduka dan mampu meluapkannya melalui nyanyian itu.

Islam, perempuan, nyanyi dan pemakaman merupakan  diksi yang tidak bisa akur. Jika anda perempuan, jangan pernah berfikir untuk berani menyanyi lagu sedih di pemakaman orang Islam. Kenapa bisa demikian? Saya tidak tahu pasti. "Memang begitulah adanya. Kita berbeda," demikian kira-kira jawaban yang akan saya sampaikan jika ada pertanyaan.

Namun demikian, saya ingin bercerita tentang Abd Malik, laki-laki yang pernah dipercaya menyanyikan lagu kematian (funeral song) saat wafatnya Muhammad al-Hanafiyyah di Masjid Nabawi, 25 Februari 700. Muhammaf al-Hanafiyyah adalah anak dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Khaula bint al-Ja'far al-Hanifah.

"Dia melakukan tugasnya dengan luar biasa. Tidak sedikit perempuan yang hadir saat itu menangis tersedu-sedu. Ratapannya sungguh emosional," tulis A. Arazi dalam entri "Sukayna bt al-Husayn" di Encyclopaedia of Islam. Tidak dijelaskan lagu apa yang dinyanyikan oleh Abd Malik kala itu.

Lantas, siapa sebenarnya Abd. Malik ini? Catatan Arazi hanya menyebutkan ia adalah aeorang budak yang bekerja di rumah Sayyidah Sukayna, cicit Nabi Muhammad, putri pasangan Husayn bin Ali dan Sayyidah al-Rabab bint al-Kays al-Kalbiyyah. Kakek Sukayna dari jalur ibu, Imru al-Kays bin 'Adi, meski Kristen, pernah diangkat sebagai komandan pasukan di wilayah Quda'a oleh Umar bin Khattab.

Talenta menyanyi Abd Malik pertama kali diketahui oleh Sayyidah Sukayna. Selanjutnya ia dikirim untuk belajar kepada Ibn Surayj --musisi Persia spesialis elegi dan improvisasi. Mungkin itu sebabnya Abd. Malik dengan suaranya mampu mengaduk-ngaduk perasaan perempuan saat pemakaman al-Hanafiyyah.

Yang menarik, musisi Persia yang awalnya adalah budak ini meyakini dirinya adalah anak didik (protege) Sayyidah Sukayna. Surayj begitu tawaddlu' pada perempuan ini. Setiap kali menciptakan karya baru, dia selalu menyerahkannya kepada Sayyidah Sukayna untuk dikritisi. Perempuan ini juga kerap mengirim teks-teks kepada Surayj agar dihamonisasi menjadi sebuah lagu.

Meski telah masuk Islam, Surayj kerap mengunjungi rumah gurunya tersebut. Mereka masih sering olah vokal bareng di rumah Sukayna, bahkan selama tiga hari berturut-turut, bersama Azza al-Mayla, penyanyi perempuan kondang di Hijaz (Madinah).

Begitu sentralnya sosok Sayyidah Sukayna di antara para penyanyi bukanlah hal yang mengherankan, sebab ia sendiri adalah penyanyi yang cukup terpandang di Madinah. Selain menyanyi, dia dikenal sangat jago berpuisi.

Kegemarannya adalah kongkow-kongkow bersama para seniman (bohemian) Madinah yang semuanya adalah laki-laki. Dia sendiri aktif membuat forum pertemuan para seniman di rumahnya.

Sayyidah Sukayna memang dikenal punya tempat khusus di dalam rumahnya untuk nongkrong para seniman. Di sana mereka beradu karya dan gengsi sebagai penyair. Puisi-puisi yang berkualitas kerap ia apresiasi dengan hadiah berupa uang. "Was it you who wrote the following verses?" katanya sebagaimana dikutip Arazi dari Kitab al-Aghani.

Kepiawaiannya dalam menyiasati puisi begitu terlihat, terutama saat otoritas Madinah menerapkan sensor ketat terhadap penyair yang puisinya bergenre ghazal (baca: Guzzle) --- sejenis puisi yang mengekspresikan rasa kehilangan dan cinta. Mungkin saat itu para penyair dianggap terlalu vulgar dalam mengekspresikannya.

Anda bisa bayangkan; cicit nabi, perempuan, jago nyanyi dan puisi, tidak berjilbab, --mengorganisir para seniman Madinah pada rentang 690-700 masehi!

Sebagai seorang seniman, Sayyidah Sukayna digambarkan berkepribadian terbuka dan kerap berpenampilan eksentrik. Cara dandannya melawan arus kebanyakan perempuan Islam Madinah waktu itu. Rambutnya dibiarkan terurai ikal tanpa penutup kepala.

Mungkin itu sebabnya banyak laki-laki yang antri mengharap cintanya. Namun tentunya hal itu tidaklah mudah karena Sukayna kerap mengajak debat siapapun yang berniat memperistrinya. Mungkin banyak laki-laki yang berfikir; diajak kawin kok malah ngajak debat dulu.

Sukayna setidaknya menetapkan 4 syarat berat bagi siapapun calon suaminya: dia tidak mau dibebani urusan domestik, tetap diperbolehkan beraktifitas sebagaimana sebelum menikah, memiliki hak nusyuz (membangkang --dalam term perkawinan hetero patriarki-misoginis), serta tidak mau diduakan --baik oleh istri lain atau budak (jawari).

Dari sini, betapa sangat terlihat ia memiliki keberanian mengontrol tubuh dan hidupnya sendiri, tidak seperti kebanyakan perempuan pada masa awal Islam atau jaman now.

Jiwanya yang bebas membuat Sayyidah Sukayna  berbeda 180 derajat dengan Fatima, kakak tirinya, yang kabarnya lebih pendiam. Ketika ditanya kenapa kepribadian mereka sangat kontras, ia menjawab --sebagaimana temuan Leila Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam, "...because she (Sukayna) had been named after her pre-Islamic great-grandmother, whereas her sister (Fatima) has been named after her Islamic grandmother,"

Dari garis ibu, penelusuran sementara saya menunjukkan Sayyidah Sukayna adalah putri Rubab binti Hind al-Hunud binti Safiyyah bint Umayyah.

Saya hampir tak percaya jika ada darah Hind al-Hunud mengalir dalam diri Sayyidah Sukayna, namun situs wikishia.net menyebut demikian. Hind al-Hunud adalah nama lain dari Hind bint Uthbah, ibu tiri Ummu Habibah Ramlah bint Abi Sufyan.

Nenek Sukayna bukanlah tipikal perempuan yang mau diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Dalam History of the Caliphs, milik al-Suyuti dan Jarrett, Hind pernah ditendang suaminya, Al-Fakah, karena dianggap selingkuh. Meski Hind kukuh menolak tuduhan itu namun alFakah ngotot menceraikannya.

Ayah Hind sangat marah mendengar anaknya diperlakukan demikian. Dia berjanji akan membunuh menantunya. Namun sebelum itu, ia meminta Hind dan al-Fakah menemui dukun dari Yaman; untuk memastikan Hind berbohong atau tidak.

"Ngadeko, nduk. Kowe suci, ora nglakoni zino. Kowe bakal nduwe anak sing dadi rojo," kata sang dukun. Mendengar hal ini al-Fakih langsung mengulurkan tangan ke Hind, ingin mengajaknya berbaikan. "Nyingkrio, mas. Gak sudi aku. Tak golek wong lanang liyo ae," ujarnya ketus sembari mengibaskan uluran tangan suaminya.

Di kemudian hari, Hind menikah dengan Abu Sufyan dan diberkahi bayi laki-laki bernama Muawiyah, khalifah kedua Dinasti Umayyah setelah Utsman bin Affan.

Nenek Sukayna ini juga sangat tersohor sebagai komandan perang Bani Qurays yang epos keberaniannya tak akan hilang dalam sejarah Islam awal.

Anda mungkin tidak percaya, ia kerap membaca puisi, bernyanyi dan menari secara berjamaah setiap kali memimpin pasukan atau menyemangati mereka yang terjun ke medan perang. Dalam pertempuran Uhud, begini yang ia lantunkan sebagaimana yang dicatat al-Waqidi dalam Islamic Conquest of Syria/Futuh al-Syam.

Night star's daughters are we,
who walk on carpets soft they be
Our walk does friendliness tell
Our hands are perfumed musk smell
Pearls are strung around these necks of us
So come and embrace us
Whoever refuses will be separated forever
To defend his women is there no noble lover?

Dan setelah pindah menjadi muslim, nenek Sukayna juga terlibat dalam peperangan Yarmuk melawan Romawi, dan ia tak pernah lupa menyanyi

O you who flees from his loyal lady!
She is beautiful and stands firmly.
You're abandoning them to the Romans to let them the forelocks and girls seize.
They will take what they want from us to the full and start fighting themselves.

Watak pemberani dan kemampuan Sukayna dalam berolah suara maupun berpuisi jelas merupakan warisan moyangnya dari jalur ibu. Serpihan ini sekaligus menantang kita sebagai Muslim untuk memikirkan ulang konsep Jahiliyah --sebuah era yang didogmakan sangat tidak ramah perempuan.

Terlalu banyak perempuan hebat dalam kerangka feminisme yang punya afiliasi historis dengan era itu. Sejarahnya lamat-lamat semakin terkubur dan sekilas seakan muncul kembali dalam bentuk yang sangat mencengangkan; perempuan berjilbab yang melantunkan Ave Maria di Katedral Bogor.(*)

* Halte depan STFT Jakarta*

Yang Terhormat Ibuku


Lihatlah perempuan yang aku lingkari. Itu adalah ibuku, Alfiyah. Ia putri kedua alm. Abdul Wahab, kiai kampung di Plemahan Sumobito Jombang yang pernah menjadi anggota DPR kabupaten dari Partai NU hasil Pemilu 1955.

Ibuku adalah kembang desa, suaranya merdu, dan sangat mandiri secara ekonomi. Ia bekerja menjaga toko pracangan yang ia bangun sejak dari nol di Pasar Mojoagung. Dalam aspek ekonomi, bapakku yang lebih fokus ngurusi politik dan perLSMan sangat beruntung mendapatkannya.

Entahlah, kenapa ibuku memilih dia dari sekian banyak laki-laki yang mengejarnya. Ibu tidak pernah bercerita padaku, kecuali bahwa hubungan mereka tidak direstui oleh ibu dari bapakku. Nenekku, disamping sudah punya calon istri untuk bapakku, nampak cukup terancam dengan kosmpolitanisme ibuku.

Ibuku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Yang aku ingat, setiap kali berjalan, ia selalu menyapa orang yang dikenalnya -bahkan ketika yang disapa itu tidak sedang melihatnya sekalipun. Ia tidak segan berteriak hanya untuk mendapat perhatiaannya. Aku kadang sampai malu, "Nek wonge mboten semerap mbok nggih mboten usah diceluk, buk," kataku suatu ketika menahan malu.

Alfiyah muda juga merupakan vocalist grup samroh di kalangan perempuan NU di kecamatan Mojoagung. Grupnya manggung di mana-mana; dari Seketi hingga Suwaru, dari Jonggrong hingga Klampisan.

Saat beromantika dengan bapakku, ibuku adalah seorang janda. Ia dicerai suaminya karena dianggap mandul setelah perkawinan mereka berlangsung 12 tahun. Kata orang-orang yang sezaman dengan ibu, ibuku nangis tanpa henti, tak mau diceraikan.

Bapakku juga berstatus duda dengan dua orang anak; Agus Rifai dan Alifah. Saya menduga, keduanya bertemu melalui kakekku Abdul Wahab, karena bagaimanapun ayah ibuku dan bapakku sama-sama orang politik. Pasti nyambung lah kalau ngomongin Golkar. Aku bisa membayangkan.

Di tengah ketidaksetujuan ibu dari bapakku, bapak akhirnya melamar ibu. Jadilah mereka pasangan suami istri. Tidak lama kemudian lahirlah jabang bayi yang sedang menulis cerita ini.

Ibu dan bapakku saling mencintai, namun tetap saja mertua perempuan ibuku (nenekku) tidak kunjung bisa menerima ibu, bahkan ketika aku telah lahir sekalipun.

Bapakku benar-benar bingung dalam realitas yang bertabrakan ini. Ia begitu mencintai istri dan aku namun di sisi lain ia harus berbakti pada ibunya. Bisa dikatakan ibu adalah menantu yang tidak diinginkan.

Itu juga yang membuat ibu tidak hidup serumah dengan mertua. Hidup berpindah dari satu kos ke kos yang lain. Aku bisa membayangkan betapa stressnya bapakku kala itu. Pernah aku mendengar bapakku diminta menceraikan ibuku. I think you know who gave him the order, right? But he said no.

Ditengah relasi yang tidak ideal seperti itu, pernah suatu ketika ada laki-laki yang ingin bermain api dengan ibuku ---cantik dan supel memang terkadang bisa menjadi semacam kutukan. Mungkin maksud laki-laki itu sekedar berteman saja. Dia baik padaku, suka memberi uang jajan.

Mendengar hal itu, bapakku yang lebih sering ke rumah orang tuanya jadi naik pitam. Ia membawa senjata tajam dan datang ke kontrakan kami di daerah Pekunden, tetangga desa Kauman.

Otoritas daerah Pekunden pun jadi heboh dan berusaha menenangkan bapakku. Aku sendiri masih ingat diungsikan ke tetangga kontrakan, rumah wak polo (kadus).

Relasi ibu dan bapakku terus mengalami pasang surut hingga suasananya membaik pascawafatnya nenekku. Kami semua kemudian pindah ke rumah Kauman; berkumpul bersama dua kakakku. Keluarga kami semakin lengkap dengan kehadiran adikku, Lail, yang lahir saat aku berusia 8 tahun.

I love you!

*ditulis saat kehujanan di pos siskamling Nanggalan Watugaluh Diwek dan teras CU Semangat Warga

Analisis Pendek Cawabup Jombang --untuk Anggi Radar


Jombang ke depan butuh kepemimpinan yang lebih baik dari duet Nyono-Munjidah karena kabupaten ini punya berbagai persoalan, terutama layanan publik di hampir semua sektor.

Realitas politik hari ini masih menempatkan Nyono Suharly sebagai figur sentral yang punya kesempatan memenangkan pilkada. Peluang yang sama juga dimiliki oleh Munjidah -sungguhpun harus diakui keduanya termasuk bagian dari rezim hari ini.

Keduanya selama lima tahun telah menunjukkan kelemahan fundamental, yakni tidak mampu mengelola birokrasi yang bekerja dalam koridor tata pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

Bagi saya, keduanya perlu memikirkan secara serius siapa yang akan digandengnya dengan cara menempatkan kepentingan perbaikan kabupaten ini sebagai prioritas -bukan sekedar hitungan politik menang-kalah.

Cawabup yang harus mendampingi haruslah figur kuat yang mampu memperkuat soliditas birokrasi dalam melayani kepentingan publik dengan sensitifitas terhadap keberadaan Jombang sebagai Kota Toleransi. Sosok cawabup seperti ini haruslah yang bisa berdiri dan melayani semua golongan --tanpa diskriminasi.

Dari beberapa nama yang muncul di permukaan saat ini, saya melihat dua nama yang berpeluang untuk digandeng, yakni Subaidi dan Sumrambah. Keduanya sama-sama politisi yang punya latar belakangan nasionalisme dan rekam jejak aktif di gerakan mahasiswa kelompok Cipayung. Saya melihat mereka juga punya komitmen kuat membesarkan Jombang sebagai kabupaten yang mampu bersaing dengan kabupaten yg lain dalam hal ekonomi, sosial dan budaya.

Namun demikian keduanya masih perlu diuji secara terus-menerus komitmennya, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas kekayaannya, misalnya sejauhmana mereka taat melaporkan harta kekayaannya ke publik dan penegak hukum.

Parpol yang akan bertarung di pilbup nanti tidak seharusnya egois dalam upaya mengusung calonnya. Pengabaian aspirasi warga akan semakin membuat kabupaten ini lebih lama dalam cengkeraman oligarki politik yang tidak mensejahterakan mereka.

Tembok Ratapan di GKI Krian Sidoarjo


Sekuat memori ini mengingat, sudah lebih dari lima tahun saya keluar-masuk gereja --sebuah aktifitas tidak biasa untuk ukuran komunitas Islam-Sunni-Jawa. Ketertarikan saya dalam isu lintas iman barangkali menjadi faktor utamanya. Setiap aktifis tentu punya fokus ketertarikan pada isu yang berbeda. Ada kawan yang menemukan chemistry-nya pada persoalan agraria dan sumberdaya alam, buruh migran, kemiskinan, antikorupsi, hingga isu popok bayi di Sungai Brantas.

Sebagai muslim sejak baby, saya melihat kekristenan merupakan entitas unik dan rumit dalam belantara memori yang ditancapkan dalam kontestasi keagamaan -Islam vs non-Islam. Saya merasa Islam menaruh perhatian khusus terhadap kekristenan. Yakni, alih-alih meletakkannya dalam kerangka persekawanan, Islam cenderung memposisikan agama ini sebagai seteru abadi, setidaknya di Indonesia.

Coba tunjukkan, di negara mayoritas Islam mana yang punya rekor melampaui Indonesia dalam hal persekusi rumah ibadah Kristen dalam 17 tahun terakhir ini? Saya ragu ada yang bisa mengalahkan negara ini.

Ini kenyataan pahit, apalagi refleksi seperti ini datang dari saya -orang dengan status Islam di KTP. Sebagian besar dari kami lebih suka tidak mengusik isu sensitif ini; just don't ask, don't tell.

Oleh karena itu, saya selalu kerap mendorong orang Islam bisa mengunjungi dan mengenal orang maupun ajaran Kristen -juga agama lain. Harapan saya, dengan mengenalnya lebih jauh, kita bisa melucuti prasangka dan sikap antipati.

Tadi pagi (22/10), saya mengajak puluhan peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Sidoarjo mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Krian Sidoarjo. Mereka kebanyakan adalah santri dan santriwati. Ada banyak diantara mereka mengaku ini merupakan kunjungan pertama mereka ke gereja.

Saya tahu mereka tidak bohong. Wajah dan sikap mereka sangat kelihatan; muka agak tegang, ke mana-mana bergerombol dan bergandengan tangan kawan dekatnya -seakan takut diculik.

"Haloo Gus.. Apa kabar? Selamat datang di gereja kami," sapa Eliya, dan beberapa pengurus. Eliya, perempuan mungil ini, adalah seksi acara saat Bu Sinta menghelat sahur Ramadlan lalu di Klenteng Krian. Saya takkan lupa gadis ini karena pernah saya semprot gara-gara kerjaannya tidak tepat. Padahal saat itu saya nggak kenal dia. Itulah "keistimewaan" saya, bisa sangat judes saat ketegangan menghandle acara menjalari.

Kami lalu berkenalan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu pemimpin rombongan, saya berusaha keras memastikan peserta didik saya merasa nyaman saat mengikuti sesi saya. "Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang kalian rasakan selama kunjungan ini. Dzohiron wa batinan," kata saya.

Saya selalu memosisikan diri sebagai 'penjamin' atas nasib orang-orang yang saya bawa masuk ke gereja. Itu saya sadari sejak awal. Entah kenapa saya mau berposisi seperti itu. Mungkin hal ini didorong oleh keinginan kuat saya melihat prasangka mereka bisa terlucuti segera.


Kami lalu dipersilahkan masuk ke ruang ibadah GKI Krian. Sejak awal saya sudah katakan ke peserta bahwa pagi ini kita akan melihat bagaimana orang Kristen beribadah dan menjajal masuk gereja untuk pertama kalinya. "Nikmati pompaan adrenalin kalian. Jantung kalian akan memompa lebih cepat. Perasaan bersalah dan dosa akan menjalari sanubari. Itu hal wajar. Nikmati saja. Jika tidak kuat, angkatlah tangan kalian, dan saya akan mengevakuasi kalian keluar dari gedung ini," saya menjelaskan.

Alhamdulillah, saya tidak sampai harus menelpon ambulan karena mereka semua baik-baik saja. Tidak ada satupun yang pingsan. Kalimat tanya "are you all right?" selalu saya lontarkan kepada peserta yang terlihat resah. Saya benar-benar seperti gembala atas puluhan domba.

Anda yang membaca tulisan ini harusnya ikut menyaksikan; betapa rasa kaget bercampur senang sangat nampak terlihat di banyak raut muka jemaat GKI. Wajah mereka nampak seperti tengah bilang "It is too damn good to be true!" Gereja mereka tiba-tiba didatangi banyak orang dengan ciri muslim Jawa; peci, sarung, jilbab, dan wajah-wajah agak tegang.

Saya melihat banyak jemaat yang mengabadikan moment itu melalui smartphonenya. Ceprat-cepret.

Meski terbilang singkat, kami disambut dengan superhangat. Ada tiga peserta yang saya minta mengungkapkan perasaannya. Mereka bertiga baru pertama kali mengunjungi gereja. "Ndak nyangka, kalian ini ternyata baik banget ya," kata salah satu dari mereka.

Acara formal kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri secara berjamaah, dan diakhiri dengan makan nasi bungkus dan es krim. Mereka melayani kami dengan begitu bersemangat dan gembira.

Saat makan dalam posisi mengelilingi meja, ada seorang jemaat, ibu baya, yang duduk dalam jarak 4 meteran dari kami. Saya perhatikan dia terus melihat kami dengan pandang seperti tengah menemukan anaknya yang telah lama hilang. Raut mukanya mengatakan itu. Saya tahu.

"Guys, saya akan bagikan kertas dan spidol. Tulislah apa yang ingin kalian ungkapkan atas perasaan kalian. Masing-masing satu kertas. Sebelum pulang, kita akan tempelkan kertas tersebut ke tembok GKI. Anggap saja itu tembok ratapan," teriak saya kepada peserta. Mereka kemudian menuliskan perasaan masing-masing. Rata-rata seputar optimisme dan kegembiraan. Namun ada satu yang mengagetkan saya, yakni permintaan maaf yang ditulis oleh BeeBee. Saya tercenung agak lama saat membacanya.

"Saya mewakili Saudara-saudara Muslim lain ( yang mungkin pernah menyakiti Saudara Kristiani) memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak yang "salah pikiran" segera dipertemukan juga dengan orang-orang baik seperti saudara. Amin. #KPGSidoarjo @Bsofranita"

Puas rasanya menggembalakan mereka selama 1 jam di gereja itu.

@aananshori

Tembok Ratapan di GKI Krian Sidoarjo


Sekuat memori ini mengingat, sudah lebih dari lima tahun saya keluar-masuk gereja sebuah aktifitas tidak biasa untuk ukuran komunitas Islam-Sunni-Jawa. Ketertarikan saya dalam isu lintas iman barangkali menjadi faktor utamanya.

Setiap aktifis tentu punya fokus ketertarikan pada isu yang berbeda. Ada kawan yang menemukan chemistry-nya pada persoalan agraria dan sumberdaya alam, buruh migran, kemiskinan, antikorupsi, hingga isu popok bayi di Sungai Brantas.

Sebagai muslim sejak baby, saya melihat kekristenan merupakan entitas unik dan rumit dalam belantara memori yang ditancapkan dalam kontestasi keagamaan
Islam vs non-Islam. Saya merasa Islam menaruh perhatian khusus terhadap kekristenan. Yakni, alih-alih meletakkannya dalam kerangka persekawanan, Islam cenderung memposisikan agama ini sebagai seteru abadi, setidaknya di Indonesia.

Coba tunjukkan di negara mayoritas Islam yang punya rekor melampaui Indonesia dalam hal persekusi rumah ibadah Kristen dalam 17 tahun terakhir ini? Saya ragu ada yang bisa mengalahkan negara ini.


Ini kenyataan pahit, apalagi disampaikan oleh seseorang yang beragama sama dengan pelaku persekusi tersebut. Kebanyakan dari kami lebih suka mendiamkannya; don't ask, don't tell.

Oleh karena itu, saya selalu kerap mendorong orang Islam bisa mengunjungi dan mengenal orang maupun ajaran Kristen juga agama lain. Harapan saya, dengan mengenalnya lebih jauh, kita bisa melucuti prasangka dan sikap antipati.

Tadi pagi (22/10), saya mengajak puluhan peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Sidoarjo mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Krian Sidoarjo. Mereka kebanyakan adalah santri dan santriwati. Ada banyak diantara mereka mengaku ini merupakan kunjungan pertama mereka ke gereja.

Saya tahu mereka tidak bohong. Wajah dan sikap mereka sangat kelihatan; muka agak tegang, ke mana-mana bergerombol dan bergandengan tangan kawan dekatnya
seakan takut diculik.

"Haloo Gus.. Apa kabar? Selamat datang di gereja kami," sapa Eliya, dan beberapa pengurus. Eliya, perempuan mungil ini, adalah seksi acara saat Bu Sinta menghelat sahur Ramadlan lalu di Klenteng Krian. Saya takkan lupa gadis ini karena pernah saya semprot gara-gara kerjaannya tidak tepat. Padahal saat itu saya nggak kenal dia. Itulah "keistimewaan" saya, bisa sangat judes saat ketegangan menghandle acara menjalari.

Kami lalu berkenalan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu pemimpin rombongan, saya berusaha keras memastikan peserta didik saya merasa nyaman saat mengikuti sesi saya. "Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang kalian rasakan selama kunjungan ini. Dzohiron wa batinan," kata saya.

Saya selalu memosisikan diri sebagai 'penjamin' atas nasib orang-orang yang saya bawa masuk ke gereja. Itu saya sadari sejak awal. Entah kenapa saya mau berposisi seperti itu. Mungkin hal ini didorong oleh keinginan kuat saya melihat prasangka mereka bisa terlucuti segera.

Kami lalu dipersilahkan masuk ke ruang ibadah GKI Krian. Sejak awal saya sudah katakan ke peserta bahwa pagi ini kita akan melihat bagaimana orang Kristen beribadah dan menjajal masuk gereja untuk pertama kalinya. "Nikmati pompaan adrenalin kalian. Jantung kalian akan memompa lebih cepat. Perasaan bersalah dan dosa akan menjalari sanubari. Itu hal wajar. Nikmati saja. Jika tidak kuat, angkatlah tangan kalian, dan saya akan mengevakuasi kalian keluar dari gedung ini," saya menjelaskan.

Alhamdulillah, saya tidak sampai harus menelpon ambulan karena mereka semua baik-baik saja. Tidak ada satupun yang pingsan. Kalimat tanya "are you all right?" selalu saya lontarkan kepada peserta yang terlihat resah. Saya benar-benar seperti gembala atas puluhan domba.

Anda yang membaca tulisan ini harusnya ikut menyaksikan; betapa rasa kaget bercampur senang sangat nampak terlihat di banyak raut muka jemaat GKI. Wajah mereka nampak seperti tengah bilang "It is too damn good to be true!" Gereja mereka tiba-tiba didatangi banyak orang dengan ciri muslim Jawa; peci, sarung, jilbab, dan wajah-wajah agak tegang.

Saya melihat banyak jemaat yang mengabadikan moment itu melalui smartphonenya. Ceprat-cepret.

Meski terbilang singkat, kami disambut dengan superhangat. Ada tiga peserta yang saya minta mengungkapkan perasaannya. Mereka bertiga baru pertama kali mengunjungi gereja. "Ndak nyangka, kalian ini ternyata baik banget ya," kata salah satu dari mereka.

Acara formal kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri secara berjamaah, dan diakhiri dengan makan nasi bungkus dan es krim. Mereka melayani kami dengan begitu bersemangat dan gembira.

Saat makan dalam posisi mengelilingi meja, ada seorang jemaat, ibu baya, yang duduk dalam jarak 4 meteran dari kami. Saya perhatikan dia terus melihat kami dengan pandang seperti tengah menemukan anaknya yang telah lama hilang. Raut mukanya mengatakan itu. Saya tahu.

"Guys, saya akan bagikan kertas dan spidol. Tulislah apa yang ingin kalian ungkapkan atas perasaan kalian. Masing-masing satu kertas. Sebelum pulang, kita akan tempelkan kertas tersebut ke tembok GKI. Anggap saja itu tembok ratapan," teriak saya kepada peserta. Mereka kemudian menuliskan perasaan masing-masing. Rata-rata seputar optimisme dan kegembiraan. Namun ada satu yang mengagetkan saya, yakni permintaan maaf yang ditulis oleh BeeBee. Saya tercenung agak lama saat membacanya.

"Saya mewakili Saudara-saudara Muslim lain ( yang mungkin pernah menyakiti Saudara Kristiani) memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak yang "salah pikiran" segera dipertemukan juga dengan orang-orang baik seperti saudara. Amin. #KPGSidoarjo @Bsofranita"


Puas rasanya menggembalakan mereka selama 1 jam di gereja itu.

@aananshori

Warna-Warni Menggemaskan di Joglo Sinau Gereja Bethany Gudo Jombang


Oleh: Oktavia Kristika Sari

“Marilah kita bangun bangsa dan kita hindarkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah esensi tugas kesejarahan kita, yang tidak boleh kita lupakan sama sekali”
                     K.H. Abdurahman Wahid

Pertikaian, satu kata yang mampu memecah belah persahabatan, keluarga, masyarakat, bahkan bangsa yang besar sekalipun, termasuk Indonesia. Munculnya berbagai macam paham dan gerakan-gerakan adalah karena pertikaian dan untuk memicu pertikaian selanjutnya. Ingatkah kita apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka? Pertikaian. Dan lagi-lagi agama dan kepercayaan lah pemicunya.

Selama 14 tahun setelah reformasi setidaknya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi yang ada di Indonesia. Yayasan Denny JA mencatat dari jumlah itu paling banyak diskriminasi dilatarbelakangi keagamaan yaitu 65%. Konflik Maluku merupakan contoh konflik berlatar agama yang menimbulkan korban paling banyak yaitu  8000 - 9000 orang meninggal, 29.000 rumah terbakar, 47 masjid, 45 gereja, Ratusan toko, 48 gedung pemerintahan dan 4 bank hancur.

Kenapa terjadi konflik seperti itu? Berbagai analisis telah diproduksi banyak ilmuwan. Namun, “kurang ngopi bareng” , begitulah ungkapan yang sering dilontarkan seorang aktifis nasionalis di negara kita, Gus Aan Anshori.

Dan untuk alasan itulah kegiatan petang hari ini (21-10-17) di dusun Tukangan, Gudo diselenggarakan. Alasan riuhnya keadaan yang ada di pastorium gereja Bethany di daerah tersebut. Bukan karena keributan pertikaian antaragama namun karena semangat yang menggebu untuk mengakrabkan pakaian yang berbeda.

Melihat gadis kecil berjilbab bisa bergandengan tangan dan duduk berjajar bersama gadis kecil berkalung salib. Tidak mewah memang, dengan kesederhanaan namun hangat kegiatan tersebut dapat berlangsung.

Sekitar 60-70 orang yang terdiri dari orangtua dan anak-anak lintas keyakinan datang membangun keakraban di rumah dinas Pdt. Yehezkiel tersebut. Acara ini memang sengaja diselenggarakan bagi anak-anak kampung sekitar, yang dikelola oleh bidang pemuda Gereja Bethany Gudo.

Sepertinya tidak berat untuk meluangkan waktu bercerita, bercanda, dan bermain bersama di tengah perbedaan keagamaan. Anak-anak yang tak saling kenal sebelumnya terhanyut oleh suasana ceria dalam lagu-lagu permainan sehingga tak mengingat lagi apakah teman yang digandengnya menggunakan kerudung atau tidak. Tidak peduli lagi rekan di depannya pergi beribadah hari Minggu atau Jumat. Singkatnya tak ada yang berbeda, ketika semua berkumpul dan tertawa bersama.

Acara yang dimulai pukul 18.00 ini menjadi lebih istimewa dan semakin mengikis prasangka dari orang tua yang datang dengan hadirnya Gus Aan di tengah-tengah mereka. Betapa tidak, mereka melihat seorang yang biasanya aktif sebagai ketua JIAD ini datang dengan memakai sarung. Sangat kental dengan identitasnya sebagai seorang muslim. Ada keinginan yang semakin dalam saya rasa di hati anak-anak kecil yang polos itu ketika mereka yang muslim melihat ada seorang Muslim dewasa juga yang berkunjung ke rumah beranjing banyak.

Tidak cukup hanya datang di tengah-tengah riuhnya dan ributnya celoteh khas anak-anak, Gus Aan juga memberikan beberapa kalimat yang memicu pikiran mereka untuk memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipisahkan. “Semakin banyak teman yang berbeda maka kita akan semakin bahagia," tukasnya santai di depan anak-anak.

Beliau juga memimpin anak-anak muslim untuk berdoa makan malam bersama, sedangkan untuk anak-anak kristen dipimpin oleh Pdm.Yezdianda Petra.

Satu harapan bersama yang ingin diwujudkan adalah ketika mereka beranjak dewasa setidaknya mereka pernah mengingat bahwa mereka pernah makan makanan dari satu panci yang sama dengan mereka yang berbeda tempat ibadah.

Setidaknya mereka ingat bahwa teman berbeda agama lah yang menolong mereka saat jatuh ketika asyik dalam permainan. Setidaknya mereka akan tumbuh bukan menjadi generasi yang saling mengacungkan telunjuk di hadapan satu sama lain. Dan bukan juga senjata yang ditawarkan, tapi uluran tangan yang siap mengangkat dan menolong.
Tawa pecah mereka yang saling beradu, akan menjadi tawa bangsa Indonesia 10-15 tahun ke depan. Bergotong royong membangun rumah ibadah bukan bergotong royong saling menghancurkan rumah ibadah. Bersama-sama bangkit bukan lagi berkata saya kristen, saya muslim, saya Hindu, saya khonghucu, saya budha, saya penganut aliran kepercayaan, tapi berkata “Kami Indonesia”.

Siti Maryam yang Baru Aku Kenal

Beberapa hari lalu, saya diundang acara tujuh bulan kehamilan. Istilah kampungnya tingkeban. Dalam acara itu, para jamaah membaca al-Quran Surah Yusuf.

Tidak banyak yang baca karena panjang dan sangat jarang muslim yang hafal --tidak seperti Surah Yaasin atau Waqiah.

Dalam acara itu, napaknya hanya saya dan pemimpin upacara yang membaca Yusuf. Ini salah saru surah penting untuk dibaca saat kehamilan, lainnya adalah Surah Maryam.

Dalam tradisi santri, jika dua surah ini dibaca terus menerus maka diharapkan jabang bayi akan seperti Nabi Yusuf atau Siti Maryam (SM). Saat kehamilan Cecil dan Galang, saya juga membacanya berkali.

Nah, saat membaca Surah Maryam, saya agak kaget al-Quran ternyata menggambarkan berbeda dari apa yang saya persepsi tentang proses kehamilan SM. Yang saya percayai adalah SM hidup sendiri di pengasingan, lalu tuhan berbicara, hanya suara, lalu mengirim selarik sinar yang menuju ke perut SM --seperti di film2 fiksi.

Padahal, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran, Allah mengirim RuhNya (rukhana) dalam bentuk manusia utuh dan sempurna untuk menemui SM. Al-Quran  terjemahan Depag, menafsirkan ruh itu adalah Jibril. Jadi, bisa dikatakan, Allah meminta Malaikat Jibril turun ke bumi dalam bentuk manusia untuk menemui SM.

Saya selalu percaya agama harus selaras dengan sains. Jika bertabrakan, hemat saya, sains yg lebih unggul. Misalnya, jika bumi --katakanlah-- menurut Kitab Suci adalah datar, dan sains menyatakan sebaliknya, maka sains yang lebih didahulukan.

Nah dalam konteks SM, saya sejak dulu mempercayai Isa lahir dari ibu yg masih perawan, tanpa campur tangan laki-laki. Kun fa yakun. Mak bedunduk hamil. Tentu hal ini terasa agak janggal secara sains. "Opo yo onok, wong wedok meteng tapi nggak ada yang ngetengi (laki2, maksudnya)?" begitu kira2 perkiraan omongan bakul lijo saat ada orang yang mengabarkan perempuan bisa hamil tanpa "sentuhan laki-laki".

Namun khusus SM, rasanya, kita kerap merasa kuasa Tuhan bisa membuat pengecualian, meski sekali lagi, agak bertabrakan dengan hukum alam soal reproduksi.

Nah, ayat tentang Ruh Allah (rukhana, Jibril, Gabriel) yang menjelma sebagai manusia utuh nan sempurna yang datang menemui SM ini, jujur saja, mengganggu pikiran saya. Bagaimana jika Gabriel versi manusia ini hetero dan SM juga hetero? Siapa yang berani menjamin keduanya tidak saling terpikat, atau memastikan Gabriel langsung balik kanab pulang setelah mengatakan kepada SM, "Innama anaa rasulu rabbiki, liahaba laki ghulaman zakiyya (Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci)"?

Apakah tidak mungkin Tuhan, melalui teks tersebut, sebenarnya ingin memberi semacam kode bahwa proses kelahiran Isa tidak menabrak hukum alam?

Ah, Tuhan seperti tengah memainkan teka-teki.

*KRD berhenti di Stasiun Tarik

Jombang Darurat Kekerasan Seksual Anak

Kawan-kawan kasus ini menambah daftar kelam kondisi anak di Jombang, setelah sebelumnya terjadi pada pelajar ngaji. Aku mengecam keras praktek kekerasan seksual terhadap anak.

Perlu dicatat, data yang aku kumpulkan menunjukkan sebagian besar pelaku kekerasan seksual anak, terutama perempuam, adalah orang dekat; kawan, keluarga, tetangga, bahkan pendidik. Mereka yang seharusnya melindungi justru berbalik memangsanya.

Harus ada upaya konkrit dari seluruh pihak, terutama pemerintah dan organisasi masyarakat dan keagamaan. Pemkab perlu menyatakan darurat kekerasan seksual anak di Jombang, dan menyusun kerja-kerja implementatif, sebagaimana mereka merespon bahaya narkoba.

Salah satu hal yang mendesak dilakukan adalah melengkapi seluruh RT/RW, PKK, Dasawisma dan sekolah, dengan kemampuan deteksi dini terjadinya kekerasan dalam keluarga. Jika perlu, pemkab bisa menggandeng NU, Muhammadiyah, gereja, dan institusi lain.

Dengan adanya early warning system seperti itu, kekerasan seksual akan bisa diminimalisir. Predikat kota layak anak yang disumbang

Aku juga mendesak foto pelaku kekerasab seksual dipasang di Taman ASEAN atau tempat2 strategis lainnya  agar seluruh kota tahu.

Pemkab tidak boleh lagi menyepelekan masalah ini.

Siapa yang bisa menjamin kekerasan serupa tidak menjamah orang-orang terdekat kita?

Mari kita selamatkan Kota Santri ini!

Terima kasih

*Aan Anshori*

GUSDURian Jombang
Direktur LINK Jombang
08155045039

Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) terkait Pembubaran Seminar Pengungkapan Sejarah 1965/66 di LBH Jakarta

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh,

Sebagaimana kita saksikan bersama, pagi tadi sekitar pukul 09.00, ratusan massa didukung oleh aparat keamanan dan militer melakukan blokade di areal LBH Jakarta. Tujuannya, agar pelaksanaan diskusi publik mengungkap Sejarah Genosida 1965/1966 oleh Forum 65 tidak terlaksana.

Aparat bersama pendukungnya bahkan merangsek masuk gedung LBH dan terlihat mencopoti banner serta memaksa acara benar-benar tidak dilakukan. JIAD memandang aparat dan massa bertindak arogan dan sangat takut atas kegiatan tersebut. Hal ini sungguh tidak bisa dinalar; apa yang ditakutkan dari sebuah diskusi yang pesertanya kebanyakan telah lanjut usia?

Sungguhlah aneh menyematkan tuduhan makar terhadap kegiatan ini mengingat PKI tidak pernah secara nyata dibuktikan keberadaannya. Penjelasan yang paling masuk akal pembubaran ini adalah ketakutan massal terbukanya aib Genosida 1965/66 yang dilakukan Negara kala itu. Sebagaimana hasil penyelidikan pro yustisia Komnas HAM, telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam berbagai bentuk, diantaranya; penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, penghilangan paksa, sampai perbudakan.

Atas hal ini, JIAD menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengecam pembubaran acara tersebut karena bertentangan secara nyata atas kemerdekaan menyampaikan pendapat;

2. Meminta Presiden Jokowi bersungguh-sungguh melaksanakan mandat Nawacita dalam penegakan HAM, dalam hal ini memastikan keadilan bagi Korban 65/66 secara hukum;

3. Mengajak masyarakat untuk bersikap arif dan jujur dalam menyikapi masa lalu, dan tidak menggunakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan. Pengungkapan kebenaran dalam Genosida 65/66 akan membebaskan bangsa ini dari belenggu kutukan masa lalu.

Wallohul muwaffiq ilaa aqwamith thoriq Wassalamualaikum warihmatullohi wabarokatuh

Surabaya, 16 September 2017

Aan Anshori

Inside-Ambon; Kala Perempuan Kristen-Islam berbagi Payudara

Oleh Ika Hattu, Jemaat GPM Rehoboth Ambon, mahasiswi Universitas Pattimura.

Pada tanggal 25 Juli 2017, saya mengikuti training Penggerak Perdamaian dan Keragaman Berbasis Komunitas (Pelatihan Modul Deradikalisasi) yang dilaksanakan selama 4 hari. Penyelenggaranya PGI dan gereja saya, GKM Rehoboth Ambon.

Kegiatan ini diikuti oleh 25 orang peserta baik yang beragama Kristen Protestan maupun yang beragama Muslim pada lingkup daerah Maluku.

Pada hari kedua tepatnya 26 Juli 2017 sesuai dengan jadwal kegiatan, kami mengikuti sesi "perjumpaan komunitas". Ada 3 komunitas yang akan kami datangi, diantaranya berlokasi pada Batu Merah - Masjid Agung AN-NUR dan Kantor Negeri Batu Merah, Latta- Jemaat Latta GPM Klasis Pulau Ambon Timur dan Komunitas Muslim Latta, dan Lorong Sagu-Paparisa markas komunitas "Ambon Bergerak"

Sekitar Pukul 11.26 WIT kami pun sampai di Negeri Batu Merah dan langsung ke Masjid Agung AN-NUR. Kami berjumpa dengan Ustad Emang yang saat itu menyambut kami dengan ramah. Dia merupakan wakil imam dan salah dari 3 penghulu di sana.

Ustad Emang ini meskipun berasal dari Sulawesi Tenggara tetapi sudah dari kecil menetap di Batu Merah karena nenek dan ibunya lahir di Batu Merah. Ustad ini kemudian menceritakan sekilas tentang sejarah Masjid Agung An-Nur Bangunan yang kami singgahi ini sudah didirikan sejak tahun 1575.

Yang menarik, dalam perjalanannya, masjid ini pernah direnovasi dan melibatkan umat Kristen dari Negeri Passo dan Negeri Ema --keduanya merupakan pela dari Batu Merah.

Setelah kami berbincang dengan Pak Ustad kami pun ke Kantor Negeri Batu Merah dan berbincang dengan Ketua Saniri yang biasa dipanggil om Ongen. Dia menceritakan bagaimana pengalaman masa lalu Negeri Batu Merah menjadi beban moral bagi warganya karena seringkali dicap sebagai pembawa kerusuhan padahal sebenarnya dikambinghitamkan.

Satu pesan Om Ongen, kita tidak boleh mendengar hasutan politik dalam negeri ini melainkan kita harus lebih memperkuat tali persaudaran hubungan Pela-Gandong.

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Latta dan kami tiba sekitar Pukul 13.30 WIT di Gereja Elohim Jemaat Latta Klasis Pulau Ambon Timur, kami berjumpa dengan Ketua Majelis Jemaat Latta Pak Edi, Pemerintah Negeri Latta yang diwakili oleh Pak Nus Syauta dan Komunitas Muslim Latta yang diwakili oleh Pak Maman dan Ibu Li. Saat itu kami dipandu oleh moderator Pdt. Jacky Manuputty.

Kami pun berbincang mengenai hubungan persaudaraan masyarakat Latta Kristen dan Muslim yang semakin hari semakin erat, salah satu buktinya yaitu pada bulan Februari 2017 adanya sidang tahunan klasis Pulau Ambon Timur yang dihadiri oleh perwakilan 27 Jemaat dilaksanakan di Jemaat Latta Gereja Elohim. Pada saat itu, komunitas muslim Latta menyambut peserta sidang dengan menyanyi dan memainkan alat musik.

Ketua Majelis Pak Edi juga sangat bangga sudah melayani 3 tahun di sini. Dia terpukau dengan kerukunan antar agama di Latta ini, karena dia juga seorang yang berpindah agama dari Muslim ke Kristen lalu menjadi Pendeta dan berasal dari Suku Jawa. Pak Nus juga menambahkan bahwa relasi lintas agama ini sudah ada sejak dulu dan harus dipertahankan keserasian sosial ini untuk dikelola secara bersama-sama.

Pak Maman pun turut berbagi pengalaman mengenai kerukunan ini, dimana dulu terjadinya kerusuhan warga muslim Latta harus mengungsi ke tempat yang lebih aman karena takut akan tetapi Kepala Pemerintah Desa Latta yang saat itu menjabat Pak Robert datang ke tempat pengungsian untuk meminta warga muslim Latta balik.

Sangat terharu warga muslim saat itu karena mereka tak menyangka Kepala Desa datang atas nama warga Latta dan meminta mereka balik. Bukan hanya itu saja kerukunan yang terjadi di Latta sungguh membuat saya kagum. Ibu-ibu muslim menyusui bayi Kristen sebaliknya ibu-ibu Kristen menyusui bayi muslim.

Kami berbincang ria hingga pukul 16.00 WIT kami harus melanjutkan perjalanan kami ke komunitas selanjutnya di Lorong Sagu yaitu Paparisa Ambon Bergerak (PAB) merupakan komunitas terakhir yang kami kunjungi. Kami tiba disitu sekitar Pukul 16.48 WIT dan disambut Kak Pierre yang biasanya dijuluki Bapak Komunitas PAB.

Lelaki ini menceritakan PAB dimulai tahun 2009. Mereka mempromosikan perdamaian Ambon melalui media sosial. Ada banyak komunitas yang tergabung di sana; Komunitas Rap, Komunitas Band, Komunitas Mobil dan Komunitas Sastra.

PAB banyak diisi anak-anak muda yang punya tujuan sama untuk memajukan Ambon dan mempererat hubungan persaudaraan baik Kristen maupun Muslim. Banyak hal yang sudah dilakukan Ambon Bergerak diantaranya kegiatan Save Aru.

Dan banyak juga penghargaan yang didapat Ambon Bergerak ini diantaranya juga yaitu Anugerah Komunikasi Indonesia, Komunitas Pengguna Sosial Media Terbaik. Kak pierre juga menyatakan bahwa dari HOBI dapat menyatukan perbedaan. Jangan kita termakan isu-isu yang ingin menghancurkan generasi oenerus Maluku -- lebih khususnya Ambon. Ingat slogan kita 'ale rasa beta rasa, sagu salempeng patah dua'.

Saya merasa menemukan beberapa hal di 3 tempat tadi. Pertama, generasi penerus Ambon semakin berkembang tanpa melihat kelamnya masa lalu. Mereka lebih terfokus untuk hidup pada hubungan pela-gandong yang mempersatukan, juga berkolaborasi hobbi untuk menghilang perbedaan.

Kedua, bagi saya, keterbukaan sangatlah penting untuk membangun sebuah relasi yang kuat. Kita Maluku tidak boleh lagi tenggelam dalam dendam masa lalu, biarkanlah itu menjadi masa lalu. Saat ini kita harus berbenah diri lebih baik dalam menciptakan kedamaian dan kerukunan, hilangkan ketakutan dan kecurigaan.

Beta cinta Maluku.

Rafia Cooper dan Suaminya

"You want me to talk about us?" kata Walikota Culver City California, Jeffrey Cooper, sembari memandangi istrinya, Rafia, dari jarak yang agak jauh. Meminta konfirmasi pada perempuan ini.

Meski datang bersamaan dalam forum kami namun Cooper dan istrinya duduk terpisah dua orang --suatu hal yang tidak lazim. Di Indonesia pejabat setingkat walikota pasti akan didudukkan berdampingan. Mungkin karena hal itu sudah menjadi protokol dalam acara formal.

Namun acara kami di King Fahad Islamic Foundation Culver City bisa dikatakan formal sekaligus tidak formal. Formal karena banyak pejabat penting, salah satunya perwakilan FBI, hadir di sana. Dikatakan tidak formal sebab situasi forum berjalan sangat santai, seperti jagongan di balai RT.

Hadir juga Kapolres Culver City bersama dua orang anak buahnya dengan pakaian preman dengan pistol dan lencana di pinggang.

Forum yang dihelat Kamis (31/8) tersebut mendialogkan potret keragaman warga Culver City dan upaya pemerintah beserta stakeholder lain. Kami peserta IVLP memang tengah berbagi pengalaman terkait kehidupan umat Islam di kota ini.

Cooper yang sebelumnya merupakan wakil walikota ini dengan cerdas memapar berbagai upaya yang dilakukan warga dan pemerintahannya. Kesuksesan dan tantangan ia sampaikan dengan santun dan penuh apresiasi.

Saat ia selesai menjawab pertanyaan kami. Ia kemudian menoleh ke istrinya yang memang tengah memperhatikan Cooper. Terus terang saja, saat pasangan ini memasuki forum, saya terus memperhatikannya.

Rafia dan Cooper menarik perhatian saya karena perempuan ini bukan "white people". Wajahnya yang terlihat sangat Timur Tengah ini berpadu dengan penampilan yang jauh dari kesan formal. Rafia begitu tampak sangat percaya diri meskipun ia tidak banyak bicara kecuali perkenalan singkatnya. "My name is Rafia Cooper. I am his wife," ujarnya sembari menunjuk lakinya sembari tersenyum.

Saya melacak sedikit tentang perempuan ini, yang ternyata berkecimpung di usaha permata (jewelry). Alih-alih glamour, Rafia bisa dikatakan cenderung lebih menonjol aspek seninya. Saya mengenal beberapa perempuan yang berkecimpung di dunia art. Dan kesemuanya selalu mempunyai ciri konfidensi tinggi.

"You want me talk about us?", saya kira, merupakan pertanyaan konfirmasi Cooper atas keinginan istrinya yang meminta agar laki-laki tersebut bercerita tentang hubungannya kepada kami. " Why don't you tell them about us?" Mungkin kalimat itu yang saya perkirakan disampaikan Rafia pada suaminya.

"I am Jews and my wife is Muslim," ungkap Cooper. Kami pun sontak manggut-manggut dan memberi applaus.

Rafia seperti ingin menyampaikan kepada kami; keragaman Culver City juga menancap abadi dalam relasi personal suami-istri ini. Perkawinan   pelangi ini rasanya menjadi kawah pendadaran bagi anak-anak mereka mencecap kebaikan dari dua sumber; Yahudi dan Islam.

"Mom, can I have your picture both?" saya meminta izin setelah bersantap siang. Selanjutnya saya pun melakukan stalking ke instagram perempuan ini.

Dari Klenteng hingga Pastel; Bertemu Kilat Menonite di Philadelphia

Secara tak sengaja, saya bertemu sekte Kristen Menonite yang hampir semua jemaatnya adalah para diaspora Tionghoa di Philadelphia. Bagaimana kejadiannya?

Rasanya, hidup saya takkan jauh dari komunitas agama, terutama yang berstatus minoritas. Tak peduli di mana pun saya berada, naluri selalu menuntun untuk bertemu mereka.

Selama beberapa hari di Philadelphia untuk program IVLP, saya mengunjungi beberapa komunitas agama sebagaialmana yang telah ditentukan pihak penyelenggara, dalam hal ini Departement of State AS.

Di luar acara tersebut, saya berusaha menemui komunitas Indonesia yang terpusat di South Philly --salah satu bagian Philadelphia. Hari pertama tiba kota multikultur ini, saya bertemu dengan komunitas Muslim di Masjid Al-Falah. Memanfaatkan waktu sebaik-baiknya merupakan kunci perjalanan selama di Amerika --untuk menghirup sebanyak mungkin apa yang terjadi di sana. Saya ikut yasinan, shalat dan berdiskusi dengan mereka.

Adalah Henky Chiok, salah satu penerjemah kami, yang menjadi pintu masuk saya bertemu komunitas Menonite Indonesia di Philly. Saya baru tahu dari Faishal Aminuddin, salah satu peserta IVLP dari Surabaya, bahwa Hengky ternyata seorang pendeta.

"Mas, sampeyan nggak ada acara kebaktian di Philly hari ini? Kalau ada aku boleh ikut ya?" tanya saya ke lulusan master teologi Dallas ini.

Ia dengan antusias menginformasikan dirinya telah diminta melayani di gereja Menonite yang lokasinya di South Philly. "Nanti jam 16.30 aku dijemput Pdt. Kilat Lembong untuk memimpin di gerejanya. Seluruh jemaatnya warga Indonesia. Silahkan ikut jika mau," ujarnya.

Seperti halnya Masjid Al-Falah yang bangunannya tidak lebih seperti rumah biasa, begitu juga gereja ini. Jemaat Pdt. Kilat ini bernama Indonesia Menonite Church (IMC). Kalau di Indonesia denominasinya bernama Gereja Kristen Muria Indonesia, disingkat GKMI.

Kebanyakan gerejanya ada di sekitar kawasan Muria Jawa Tengah. Pdt. Kilat sendiri menamatkan S1 teologinya di kampus yang sudah lama saya dengar; SAAT Malang. Bagi pengamat pendidikan teologi, SAAT bisa dikatakan lebih konservatif dibanding -katakanlah- STT Jakarta, UKDW, UKSW atau Sanata Dharma.

Tiba di gereja Menonite, saya disambut dengan ramah oleh jemaat yang lebih dulu hadir. Mereka langsung mengajak saya bercakap bahasa Indonesia dan semenit kemudian berganti menjadi bahasa Jawa Suroboyoan.

Ada sekitar 15 orang yang ikut kebaktian, kebanyakan Tionghoa. Ibadah sore itu berjalan sebagaimana saya prediksi; in charismatic style definetly. Segera setelah Mbak Lily --sangat mungkin ia adalah penatua-- selesai memanaskan suasana dengan lagu dan doa di mimbar, Pdt. Hengky kemudian mulai beraksi.

Dari tempat duduk paling belakang, saya dengar ia mengurai intisari teologi kekristenan dengan mengambil cerita tentang Jonah dan Niniweh. Jonah dalam cerita Islam adalah Nabi Yunus yang terkenal nyentrik hingga diceburin laut dan sempat bertapa dalam perut ikan Hiu. Namun cerita dalam al-Kitab bisa dikatakan lebih lengkap.

Pdt. Hengky kemudian memperkenalkan saya dari atas mimbar. "Kita kedatangan tamu. Mas Aan namanya. Dia aktif di Jaringan Islam Antidiskriminasi Jawa Timur," katanya. Mendengar kata Islam, banyak orang langsung menatap saya sembari tersenyum. Saya merasa mata mereka seakan mengatakan "Oooo...Islam to.."

Setelah khutbah dan berdoa selesai, seperti saya duga, saya diminta Pdt. Kilat untuk maju ke mimbar untuk memperkenalkan diri, maju ke mimbar.

Tak banyak yang saya sampaikan selain ucapan terima kasih diperbolehkan hadir di forum ini dalam rangka melengkapi perjalanan saya di Philly. Betapa beruntungnya, saya menambahkan, mereka bisa merasakan iklim kebebasan beragama di kota ini, sebagaimana yang dicita-citakan William Penn, pendiri Negara Bagian Pennsylvania. Sebab di Indonesia, meski konstitusi telah menjamin hal yang sama, namun hidup sebagai Tionghoa dan non-Muslim tidaklah mudah dalam 10 tahun terakhir ini.

"Silahkan baca riset terbaru Tempo, PPIM UIN Jakarta, dan Wahid Foundation," kata saya. Kehidupan Tionghoa Kristen Menonite di Philly, tambah saya, akan melengkapi catatan perjalanan saya. Penting bagi orang di Indonesia mengetahui hal ini agar menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang saat ini tengah dalam tantangan.

Usai turun dari mimbar, kami kemudian berdiskusi gayeng dengan jemaat Pdt. Kilat. Saat asyik melayani berbagai pertanyaan, tiba-tiba ada perempuan Tiongho sepuh menghampiri saya dan menyatakan ia berasal dari Gudo Jombang.
"Wow, Gudo sebelah mana? Dekat dengan Klenteng Hong San Kiong? Di daerah Tukangan?" saya memberondong Oma ini dengan pertanyaan.

Entah kenapa saya sangat yakin perempuan ini ada kaitannya dengan klenteng paling sakti di Jawa Timur ini. Jujur saja, klenteng ini sudah saya anggap bagian dari hidup saya. Tak terhitung berapa kali saya datang dan membuat kegiatan di sini. Dua kali acara Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dihelat di sini.

Saking dekatnya, saya bisa mampir untuk minta makan, kopi, dan mandi kapanpun. Mas Toni, ketua klenteng, merupakan sosok yang sangat rendah hati dan pemurah. Begitu juga dengan pengurus yang lain.

"Oma punya kenalan di Klenteng itu?" saya menimpali lagi dengan pertanyaan.
"Oma punya anak. Namanya Nanik," jawabnya.

Saya memutar otak karena nama Nanik sangat familiar dalam memori saya.

"Oma, ada nama Nanik di Klenteng. Dia kerap saya minta untuk berdoa a la Khonghucu jika ada pertemuan lintas agama. Terakhir kali, Mbak Nanik memimpin doa dalam acara buka bersama istrinya Gus Dur ramadlan kemarin di klenteng. Apakah Nanik anak Oma adalah Mbak Nanik yang saya kenal itu?" saya tak mampu menyembunyikan rasa penasaran saya; benarkah oma ini mamanya Mbak Nanik.
"Iya, mungkin," jawabnya pendek.

Saya kemudian meminta izin untuk ber-wefie ria sebagai 'bukti' untuk mengabarkannya ke Gudo. Sesampai di hotel, saya langsung mengontak mbak Ayin, salah satu penggiat di klenteng. "Iya betul. Itu ibunya Mbak Nanik! Kok bisa ketemu Mas?" katanya mengkonfirmasi.

Persinggahan singkat  gerejanya Pdt. Kilat ini juga telah mempertemukan saya dengan Mbak Diyah. Perempuan berambut panjang ini ternyata punya leluhur di Ngoro Jombang. Dari wajahnya yang njawani, saya bisa memastikan ia berasal dari GKJW. Dan dugaan saya benar. "Leluhurku GKJW di Ngoro, Mas!" ungkapnya berbinar saat aku menyatakan berasal dari Mojoagung, tetangga kecamatan.

Ia tinggal di Philly sudah cukup lama bersama keluarganya. "Mengko nek moleh Jombang tak kabari ya Mas," katanya. Di tengah kesibukannya bekerja, dia masih menyempatkan diri memasak soto daging dan mengundang saya makan malam bersama jemaat yang lain, termasuk Mbak Gita dan Ai Nani.

Saya tidak tahu pasti asal Mbak Gita, sepertinya dari Kalimantan. Dia adalah kawan Pdt. Hengky. Catatan saya; honestly perempuan muda ini punya style dalam mengendarai mobil. Dari caranya mengemudi, saya merasa dia pernah berkecimpung di dunia kebut-kebutan.

Bagaimana dengan Ai Nani? Ia adalah perempuan Tionghoa, single, paruh baya dengan logat ngapak yang sangat medok. "Pekalongan!" jawabnya saat saya taanya. Ia sudah lama tinggal di Philly, sekitar 10 tahunan.

Meski kami berjumpa relatif singkat namun ia begitu baik terhadap saya. Beberapa kardus pastel dihadiahkan kepada saya. Pastelnya sangat enak. Mungkin ia tahu psikologi saya sebagai perantau awal yang masih kangen dengan makanan Indonesia. "Iki gawenanku dewe lho An," ujarnya.

Pertemuan dengan komunitas Menonite di South Philly menyisakan perenungan atas beberapa hal. Pertama, kesamaan identitas menjadi faktor kunci berkumpulnya seseorang dan pada akhirnya membentuk komunitas. Kedua, selanjutnya, mereka berinteraksi dalam kerangka saling membantu. Sebab, tidak semua anggota komunitas hidup dalam level sosial dan ekonomi yang setara. Kesamaan identitas menjadi basis mereka dalam berelasi. (*)

Al-Falah diantara Philadelphia dan Filadelfia

"Mas, aku jemput sekarang ya, mumpung aku senggang. Karena nanti malam kami ada yasinan di Masjid Al-Falah," pesan pendek masuk ke ponsel segera setelah aku mendapat free wifi hotel. Aku memang hanya mengandalkan internet gratisan selama di AS. Paket data di negeri ini lumayan mehong (mahal). Aku harus ngirit, hidup mengandalkan uang saku #IVLP yang tidak bisa dikatakan melimpah ruah. *hais

Pesan itu datang dari Mas Aditya, warga Suroboyo yang tinggal lama di Philly bersama istri dan seorang anak. "Aku melok Yasinan, Mas," sahutku tanpa berfikir panjang. Yasin adalah salah satu surat panjang yang wajib aku hapal jika ingin lulus Tsanawiyah di Tambakberas puluhan tahun lalu. Jangan tanya apakah aku paham artinya dan kandungannya, selain bahwa surat ini diyakini cukup ampuh mempermudah kepergian orang dari dunia ini.

Setelah acara keliling kota singkat, kami pun meluncur ke Masjid al-Falah. Jangan dibayangkan masjidnya seperti Istiqlal. Untuk ukuran musholla di kampungku Mojongapit saja, al-Falah masih lebih kecil.

Bangunan ini tidak lebih merupakan apartemen yang terintegrasi dengan deretan apartemen lain di South Philly. Letaknya bisa Anda temukan di Google Map dengan keyword "alFalah Philadelphia".

Setelah menunaikan sholat Maghrib, kami Yasinan dan Waqi'ahan sebentar, dilanjut shalat Isya' dan makan bersama ala pesantren. Selama di AS baru kali ini saya membaui aroma beras yang sangat saya kenal. "Dari baunya, ini jenis Bramu. Kalau di Indonesia, ini beras kelas atas," kataku tanpa ditanya.

Kewangian Bramu hanya bisa dikalahkan oleh jenis Menthik Wangi -- tolong jangan dikacaukan dengan Kuntilanak Wangi karya Saskia Eleanor Wieringa. Jamaah yang hadir ternyata tidak kenal dengan nama Bramu. "Iki beras Thailand, Mas," kata Hani White, salah satu aktifis masjid.

Hani yang datang malam itu bersama suaminya terbilang unik. Dia pakai celana panjang, kaosan dan tidak menutup kepala (jilbab) di acara tersebut. Dia ikut dari awal hingga akhir. Penerimaan al-Falah terhadap keragaman busana malam itu menggembirakanku.

"Di Jawa, kamu akan sulit bertahan dengan pilihan tanpa berkerudung saat ikut Yasinan dan Waqiahan. Aku senang itu tidak terjadi di sini. Keislaman perempuan tidak bisa sepenuhnya dilihat dari busananya," sahutku mengomentari sembari terus melahap gado-gado.

Aku senang sekali saat diminta menjelaskan apa itu Jaringan GUSDURian di forum itu. Tidak lupa, aku memberikan konteks kontemporer situasi intoleransi Indonesia. Pluralitas peserta yang hadir --dari NU dan Muhammadiyah, memberiku landasan realitas untuk menukik pada isu keragaman yang telah lama ada di belantara hukum Islam.

"Kamu tarawih 8, saya tarawih 20, mana sebenarnya yang benar-benar Islam?" tanyaku menggoda. Aku menegaskan hal ini untuk melucuti model berfikir biner "hanya satu Islam" yang kerap menyerimpung nalar sehat umat Islam Indonesia akhir-akhir ini.

Cara berfikir biner kerap menyandera kewajiban seseorang untuk mengedepankan respect terhadap liyan. Aku secara jujur menyampaikan betapa beruntungnya mereka yang hadir dirawat oleh kemajemukan Philadelphia. Sebab di Indonesia, nama Filadelfia justru menjadi ikon intoleransi atas sebuah gereja HKBP.(*)

*Logan Park, PA, August 19th, 7:49am.

Patung itu Harus Tetap Berdiri

Pertemuan yang diadakan di Klenteng Boen Bio, Selasa (8/8/17) ini berlangsung secara rapi dengan Mas Aan Anshori, ketua JIAD sebagai moderatornya. Pertemuan ini memang diadakan khusus untuk membicarakan polemik patung Tuban.

Bangunan setinggi 30an meter yang disebut-sebut tidak nasionalis dan harus dirobohkan dalam waktu 7X24 jam itu menimbulkan beberapa perbincangan diantara masyarakat. Termasuk oleh aktivis lintas agama malam itu. “Hal ini bukan hanya menjadi masalah bagi masyarakat Tuban, tidak hanya masalah untuk etnis Tionghoa, atau umat klenteng Kwan Seng Bio, melainkan ini adalah masalah bangsa Indonesia”, ujar mas Aan.

Kalimat itulah yang berkali-kali disampaikan pria berkacamata itu sebagai bentuk persuasi membangun kesadaran bersama forum masalah-masalah kebangsaan. Masalah ini bisa jadi pemicu masalah lain yang serupa, yang memungkinkan akan muncul di waktu-waktu mendatang.

Untuk itulah ini masalah semua masyarakat, semua golongan, semua agama, bukan hanya kepentingan satu kelompok orang. Masalah yang dituding JIAD merupakan kasus yg dipengaruhi juga oleh benih-benih ISIS ini pun juga disepakati oleh beberapa jaringan yang datang dalam pertemuan kali ini.

Forum malam itu dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari JIAD, MATAKIN, CMARS, GUSDURian Surabaya, GUSDURian Sidoarjo, aktifis Roemah Bhineka, Perwakilan NU, aktifis Tionghoa, serta perwakilan agama Tao, serta beberapa alumni training penggerak Perdamaian Jombang.

Pertemuan ini dimulai dengan penyingkapan sejarah oleh Tjong Ping. Mantan pengurus Klenteng Kwan seng Bio itu (Teguh Prabowo) berkata “Polemik tidak lebih dari persoalan administratif pemberian Izin Penderian Bangunan (IMB) dikarenakan belum adanya pengesahan pengurus Yayasan Klenteng baru, yang berhak mengajukan IMB kepada pemerintah”.

Jadi klenteng pengurus yayasan yang lama sebenarnya sudah selesai masa tugasnya sejak 2012. Masalah ini memang menjadi besar denga adanya beberapa kelompok orang yang mempermasalahkan hal ini atas nama nasionalis Indonesia. Sehingga yang menjadi penting juga dalam pertemuan kali ini diungkapkan bahwa patung tersebut bukanlah patung jenderal perang biasa, melainkan salah satu dari dewa sembahan umat Konghucu.

Pjs. Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Jawa Timur, bapak Ongky S.Kuncono mengatakan Dewa Kwan Kong bagi umat Khonghucu merupakan sosok yang sangat dihormati di seluruh dunia.

Kwan Kong adalah pribadi yang dianut dari sudut kebenaran dan keadilan yang dicerminkannya. Tak hanya dewa milik agama Khonghucu, dewa Kwan Kong juga merupakan junjungan penganut Tao.

Patung dewa ini memang tidak dapat disamakan dengan patung Jendral Sudirman yang notabenenya adalah pahlawan Nasionalis. Sedangkan Patung Dewa Kwan Seeng Tee (Kwan kong) merupakan patung dengan identitas agama tertentu.

Ongky menambahkan umat klenteng Kwan Seng Bio saat ini berharap agar pengurus baru segera dilantik sehingga bisa mengurus administrasi pendirian patung tersebut.

Dari segenap peserta yang hadir dalam pertemuan kali ini terlihat tidak ada satupun yang setuju jika patung tersebut dirobohkan. Semua peserta serempak dan bersehati mendukung berdirinya patung tersebut.

Tidak hanya masalah diskriminasi dan nasionalisasi, perobohan patung ini juga akan menimbulkan kepedihan bagi masyarakat karna sebagaimana diketahui bahwa patung tersebut telah tercatat MURI sebagai patung tertinggi se ASEAN, dengan tinggi 30 meter.

Acara ini ditutup dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersama seluruh peserta dengan khidmat. Dengan satu harapan keadilan dan persatuan benar-benar akan tercapai dimulai dari orang-orang peduli dan memilih untuk tinggal diam.(vivi)

Beasiswa Short Course Gender dan Seksualitas 29-31 Juli 2017

Kami mengundang Anda yang berminat dalam isu gender dan seksualitas meraih kesempatan beasiswa short course selama 3 hari.

Beasiswa yang meliputi; akomodasi selama pelatihan, dan dukungan transportasi lokal ini juga memberikan prioritas kepada Anda yang bekerja/belajar/beraktifitas di institusi/komunitas keagamaan. Hanya 20 orang (khusus JAWA TIMUR) yang akan mendapatkan beasiswa ini.

Short course akan diampu oleh Dede Oetomo (founder GAYa NUSANTARA), Vivi Widyawati (feminis), Ahmad Zainul Hamdi (akademisi/aktifis CMaRS), Andreas Kristianto (teolog/GKI), Muhammad Iqbal (CMaRS) dan Aan Anshori (JIAD Jawa Timur).

Materi short course meliputi; (1) Seks, Gender, dan Seksualitas; (2) Gender, Seksualitas dan Negara; (3) Gender, Seksualitas, dan Agama, (4) Gender, Seksualitas, dan Budaya, (5) Gender, Seksualitas, dan HAM.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 29-31 Juli. Jika tertarik, Anda bisa mengisi formulir online di SINI, sedangkan petunjuk pengisiannya bisa didownload di SINI.

Batas akhir pendaftaran; 23 Juli 2017. Informasi lebih lanjut, hubungi Sigit (+62 813-3136-4684).

Kami tunggu Anda di acara tersebut.

Thanks!

Seratus Orang Angkat Pena soal Tionghoa

Mereka di bawah ini adalah orang-orang yang akan menulis pengalamannya bersinggungan dengan identitas Tionghoa. Ada cerita tentang darah, air mata, selaput kehormatan yang terkoyak, dan juga harapan, mimpi dan kejujuran.

Mereka yang tergabung dalam proyek penarasian memori; "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia" ini menulis secara sukarela, demi Indonesia yang lebih beradab.

1. Yuliati Umrah, aktifis anak, Surabaya.
2. Supri, GUSDURian Banjarmasin
3. Ellen Nugroho, EIN Institute, Semarang
4. Michael Andrew, Aktivis Roemah Bhinneka dan Mahasiswa S1 Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (Non-Frater/Non-Seminaris), Surabaya
5. Pdt. Surya G, GKI Semarang
6. Muhammad Bintang Akbar, mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah UNY, Jogja
7. Freddy Mutiara, dosen Ubaya
8. Willy P Samadhi, aktifis dan peneliti, Yogyakarta.
9. Rovien Aryunia, profesional SDM dan aktivis MAFINDO.
10. Priyo Sambadha, Puan Amal Hayati Ciganjur, Jakarta.
11. Kristanto Tatok, teolog, GUSDURian Jatim.
12. Andreas Kristianto, aktifis GKI, GUSDURian
13. Affandi, dosen UNIM Mojokerto
14. Antonius Herujiyanto, dosen Sanata Dharma
15. Alim Tobing, SSi, Apt, RFP, Vihara BDC Surabaya
16. Muliasari Kartikawati, dosen UC, GUSDURian Jombang
17. Robi Dharmawan, GEMA INTI Jawa Timur, Surabaya
18. Adi Sujatmika Tjiong (Acong), blogger, dosen Ubaya, relawan Savy Amira Surabaya, co-founder & kontributor growthia.net, penggiat kebhinnekaan.
19. Aan Anshori, JIAD, GUSDURian Jombang
20. Sujoko Efferin, dosen Ubaya.
21. Michelle Angelia, mahasiswi S2 Ubaya
22. Mefangna Wibowo, mahasiswi S2 Ubaya
23. Pietra Widiadi, aktifis lingkungan
24. Herman Saputra Kwan, pengusaha dan aktivis sosial, Surabaya.
25. Virgo TS Anggoro, aktifis, penatua GKI Madiun
26. M. Cheng Hoo Djadi Galajapo, Pelawak (penuntun laku di segala waktu) , Surabaya
27. Pdt. Reza Syaranamual, konselor aktifis perdamaian, Maluku.
28. Hillary Syaranamual, penggiat interfaith, Ambon.
29. Rahmat Hidayat, S2 Filsafat Agama UIN Sunan Ampel, Surabaya.
30. Kartika Ratnasari, pendidik anak berkebutuhan khusus, Mojokerto.
31. Samanera Chang Shi, BDC Surabaya
32. Deddy Marciano, dosen Ubaya, konsultan keuangan
33. Advent Sarbani, Akademi Sekretaris Widya Mandala Surabaya
34. Erfan Sutono, M.H., Generasi Muda Khonghucu.
35. Sugiandi Surya Atmaja, MATAKIN, Jakarta.
36. Ongky Setio Kuncono aktifis dialog antar iman, dosen Agama Khonghucu di berbagai perguruan tinggi.
37. Ronald Hartono, Gema INTI Makassar, Sulsel
38. Arif Muzayin, aktifis Post Institute, Blitar
39. Iryanto Susilo, aktifis Rumah Bhinneka, alumni Sinlui 81, Surabaya.
40. Js. Inggried Budiarti, rohaniawan, aktif di DPK&FKDM Tegal Jawa Tengah
41. Putu Anom Mahadwartha, dosen Ubaya, konsultan, Surabaya
42. Astuti Parengkuh, aktifis perempuan dan anak, Solo
43. Laili Anisah, aktifis perempuan, studi S2 Ilmu Hukum UGM, Jombang
44. Abaz Zahrotien, M.Hum, Jurnalis, GUSDURian Temanggung
45. Aang Fatihul Islam, dosen STKIP Jombang.
46. Najib Ilmi, penggerak Jaringan GUSDURian Malang
47. Heri Pratono, dosen Ubaya, pemerhati multikultiralisme, Surabaya.
48. Liza Kusuma, ibu rumah tangga, penggiat pluralisme dan kebangsaan, Surabaya.
49. Tonny Dian Effendi, dosen HI dan peneliti pada pusat kajian Etnis dan Diaspora Sosial Universitas Muhammadiyah Malang
50. Debby R Santosa, wiraswasta, anggota Perhimpunan Indonesia Tionghoa Malang Raya
51. Halim Eka Wardhana, redaktur bulletin berkala PSMTI Cirebon.
52. Pdt. Steve Suleeman, teolog dan dosen STT Jakarta, aktifis gender dan seksualitas.
53. Shitavadhani Devi, pengusaha, Notaris/PPAT, dosen dan aktivis, Surabaya
54. Djoko Pratomo, penggerak FORMAGAM, GKI Gresik
55. Daisy Irawan, saintis CIFOR, Bogor
56. Woro Wahyuningtyas, aktifis, Direktur JKLPK, Jakarta
57. Linna Gunawan, pendeta di GKI Kayu Putih, Jakarta
58. Novita Sutanto, pendeta di GKI, Jakarta
59. Dian Lestariningsih, peneliti dan nona Rumah Lestari, Jogja
60. Abel Kristofel, mahasiswa teologi di Malang
61. Carmia, mahasiswi teologi, Malang
62. Rebeca Harsono, aktivis pembela hak perempuan, mendamping Cina  Benteng, Tangerang
63. Soka Handinah Katjasungkana  aktivis LBH APIK Semarang
64. Fitria Sari, aktivis hak reproduksi perempuan, Pasuruan.
65. Dede Oetomo, dosen, aktifis dan pendiri GAYa NUSANTARA, Surabaya
66. Vivid Sambas, penggiat perdamaian, Surabaya
67. Siti Mazdafiah, penggiat perempuan di Savy Amira, Surabaya
68. Dony Setyawan, penulis dan pendeta di GKJ, Salatiga
69. Olin Monteiro, aktivis perempuan, Jakarta
70. Maria Engeline Santoso, dosen UI, Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN), Depok
71. Irmia Fitriyah, feminis, Surabaya
72. Damairia Pakpahan, aktivis perempuan, Jogja
73. Eddy Suprapto, aktivis dan jurnalis, Jakarta
74. Poedjiati Tan, dosen UC, aktivis, penulis dan co-founder www.konde.com, Surabaya
75. Khanis Suvianita, aktifis dan dosen, Surabaya
76. Renata Arianingtyas, aktifis HAM, Jakarta
77. Zastrouw al-Ngatawi, budayawan NU, Jakarta
78. Dhyana Wijayanti, pendidik dan penulis, Klaten
79. Putri Widi Saraswati, dokter, feminis, Bandung.
80. Agnes Dwi Rusjiati, koordinator Aliansi Bhinneka Tunggal Ika Jogjakarta
81. Rika Theo, jurnalis, tengah studi S3 di Belanda
82. Nina Rossina, ibu rumah tangga, bekerja di LSM pertanian, Bali
83. Abigail Soesana, dosen dan aktifis kebhinnekaan, Surabaya
84. Humam Rimba, koordinator Jaringan GUSDURian Kebumen
85. Shantoy Hades, aktifis, Jogja
86. Vania Sharleen, S.Si (Teol), mahasiswa paskasarjana S-2 Teologi UKDW, Yogyakarta
87. Hemasari Dharmabumi, Advokat, Komunitas Hukum Padjajaran, Bandung
88. Azharul Husna, relawan perempuan untuk kemanusiaan, Aceh
89. Suma Mihardja, aktifis HAM, Jakarta
90. Jenni Anggita, mahasiswi S2 Cultural Studies UI, Depok
91. Joe Sava Budirianto, aktifis GKI, mahasiswa akuntansi Unika Darma Cendika, Surabaya
92. RT. Sudarno Hadipuro, pelestari budaya Jawa, Batu
93. Harijanto Tjahjono, dosen Ubaya, Surabaya
94. Adrianus Yosia, pengamat budaya, GKKK Ambon
95. Shinta Lesmana Hoo, accounting, Bogor.
96. Kusuma Budi P, konsultan IT, Bekasi
97. Cut Marini, Lakpesdam NU, Aceh.
98. Pdt. Firman Adi Kristiyono, Jaringan GUSDURian, Banyumas
99. Yerry Wirawan, dosen sejarah di Yogyakarta
100. Handoko Wibowo, aktivis HAM, Batang.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler