Tembok Ratapan di GKI Krian Sidoarjo


Sekuat memori ini mengingat, sudah lebih dari lima tahun saya keluar-masuk gereja sebuah aktifitas tidak biasa untuk ukuran komunitas Islam-Sunni-Jawa. Ketertarikan saya dalam isu lintas iman barangkali menjadi faktor utamanya.

Setiap aktifis tentu punya fokus ketertarikan pada isu yang berbeda. Ada kawan yang menemukan chemistry-nya pada persoalan agraria dan sumberdaya alam, buruh migran, kemiskinan, antikorupsi, hingga isu popok bayi di Sungai Brantas.

Sebagai muslim sejak baby, saya melihat kekristenan merupakan entitas unik dan rumit dalam belantara memori yang ditancapkan dalam kontestasi keagamaan
Islam vs non-Islam. Saya merasa Islam menaruh perhatian khusus terhadap kekristenan. Yakni, alih-alih meletakkannya dalam kerangka persekawanan, Islam cenderung memposisikan agama ini sebagai seteru abadi, setidaknya di Indonesia.

Coba tunjukkan di negara mayoritas Islam yang punya rekor melampaui Indonesia dalam hal persekusi rumah ibadah Kristen dalam 17 tahun terakhir ini? Saya ragu ada yang bisa mengalahkan negara ini.


Ini kenyataan pahit, apalagi disampaikan oleh seseorang yang beragama sama dengan pelaku persekusi tersebut. Kebanyakan dari kami lebih suka mendiamkannya; don't ask, don't tell.

Oleh karena itu, saya selalu kerap mendorong orang Islam bisa mengunjungi dan mengenal orang maupun ajaran Kristen juga agama lain. Harapan saya, dengan mengenalnya lebih jauh, kita bisa melucuti prasangka dan sikap antipati.

Tadi pagi (22/10), saya mengajak puluhan peserta Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) Sidoarjo mengunjungi Gereja Kristen Indonesia (GKI) Krian Sidoarjo. Mereka kebanyakan adalah santri dan santriwati. Ada banyak diantara mereka mengaku ini merupakan kunjungan pertama mereka ke gereja.

Saya tahu mereka tidak bohong. Wajah dan sikap mereka sangat kelihatan; muka agak tegang, ke mana-mana bergerombol dan bergandengan tangan kawan dekatnya
seakan takut diculik.

"Haloo Gus.. Apa kabar? Selamat datang di gereja kami," sapa Eliya, dan beberapa pengurus. Eliya, perempuan mungil ini, adalah seksi acara saat Bu Sinta menghelat sahur Ramadlan lalu di Klenteng Krian. Saya takkan lupa gadis ini karena pernah saya semprot gara-gara kerjaannya tidak tepat. Padahal saat itu saya nggak kenal dia. Itulah "keistimewaan" saya, bisa sangat judes saat ketegangan menghandle acara menjalari.

Kami lalu berkenalan satu dengan yang lain. Sebagai salah satu pemimpin rombongan, saya berusaha keras memastikan peserta didik saya merasa nyaman saat mengikuti sesi saya. "Saya bertanggung jawab penuh atas apa yang kalian rasakan selama kunjungan ini. Dzohiron wa batinan," kata saya.

Saya selalu memosisikan diri sebagai 'penjamin' atas nasib orang-orang yang saya bawa masuk ke gereja. Itu saya sadari sejak awal. Entah kenapa saya mau berposisi seperti itu. Mungkin hal ini didorong oleh keinginan kuat saya melihat prasangka mereka bisa terlucuti segera.

Kami lalu dipersilahkan masuk ke ruang ibadah GKI Krian. Sejak awal saya sudah katakan ke peserta bahwa pagi ini kita akan melihat bagaimana orang Kristen beribadah dan menjajal masuk gereja untuk pertama kalinya. "Nikmati pompaan adrenalin kalian. Jantung kalian akan memompa lebih cepat. Perasaan bersalah dan dosa akan menjalari sanubari. Itu hal wajar. Nikmati saja. Jika tidak kuat, angkatlah tangan kalian, dan saya akan mengevakuasi kalian keluar dari gedung ini," saya menjelaskan.

Alhamdulillah, saya tidak sampai harus menelpon ambulan karena mereka semua baik-baik saja. Tidak ada satupun yang pingsan. Kalimat tanya "are you all right?" selalu saya lontarkan kepada peserta yang terlihat resah. Saya benar-benar seperti gembala atas puluhan domba.

Anda yang membaca tulisan ini harusnya ikut menyaksikan; betapa rasa kaget bercampur senang sangat nampak terlihat di banyak raut muka jemaat GKI. Wajah mereka nampak seperti tengah bilang "It is too damn good to be true!" Gereja mereka tiba-tiba didatangi banyak orang dengan ciri muslim Jawa; peci, sarung, jilbab, dan wajah-wajah agak tegang.

Saya melihat banyak jemaat yang mengabadikan moment itu melalui smartphonenya. Ceprat-cepret.

Meski terbilang singkat, kami disambut dengan superhangat. Ada tiga peserta yang saya minta mengungkapkan perasaannya. Mereka bertiga baru pertama kali mengunjungi gereja. "Ndak nyangka, kalian ini ternyata baik banget ya," kata salah satu dari mereka.

Acara formal kemudian ditutup dengan menyanyikan lagu Padamu Negeri secara berjamaah, dan diakhiri dengan makan nasi bungkus dan es krim. Mereka melayani kami dengan begitu bersemangat dan gembira.

Saat makan dalam posisi mengelilingi meja, ada seorang jemaat, ibu baya, yang duduk dalam jarak 4 meteran dari kami. Saya perhatikan dia terus melihat kami dengan pandang seperti tengah menemukan anaknya yang telah lama hilang. Raut mukanya mengatakan itu. Saya tahu.

"Guys, saya akan bagikan kertas dan spidol. Tulislah apa yang ingin kalian ungkapkan atas perasaan kalian. Masing-masing satu kertas. Sebelum pulang, kita akan tempelkan kertas tersebut ke tembok GKI. Anggap saja itu tembok ratapan," teriak saya kepada peserta. Mereka kemudian menuliskan perasaan masing-masing. Rata-rata seputar optimisme dan kegembiraan. Namun ada satu yang mengagetkan saya, yakni permintaan maaf yang ditulis oleh BeeBee. Saya tercenung agak lama saat membacanya.

"Saya mewakili Saudara-saudara Muslim lain ( yang mungkin pernah menyakiti Saudara Kristiani) memohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga kelak yang "salah pikiran" segera dipertemukan juga dengan orang-orang baik seperti saudara. Amin. #KPGSidoarjo @Bsofranita"


Puas rasanya menggembalakan mereka selama 1 jam di gereja itu.

@aananshori

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler