LIBERTY HEIGHTS; JALAN MENGENAL RAYUAN MAZMUR (ZABUR)


Film akhir tahun 90an ini, tanpa aku sadari, membimbingku mengenal kitab suci lain, dengan caranya merayu yang sangat milenial dan romantis.

Sylvia dan Ben adalah teman sekelas di SMA. Sylvia adalah Kristen taat, Afro-Amerika. Sedangkan Ben, berkulit putih-keturunan Yahudi. Meski Ben berkulit putih namun ia tergolong minoritas karena keyahudiannya.

Film tersebut berlatar belakang Amerika dalam tahap awal implementasi kebijakan integrasi di sekolah. Di negara ini, dulunya, sekolah dibedakan; untuk kulit putih dan hitam, sebelum akhirnya dibubarkan.

Secara sosiologis saat itu, tidak mungkin Ben dan Sylvia pacaran. Tidak hanya karena kedua keluarga mereka akan mati-matian  menentangnya, namun lingkungan akan mengecap mereka sebagai pemberontak dan mengucilkannya.

Namun cinta adalah cinta. Ia kudus dn meyakini semua manusia juga kudus. Ben seperti tak punya rasa takut. Ia sejak awal tertarik dengan Sylvia.

Suatu hari, diam-diam ia mengikuti Sylvia naik trem, duduk di depannya. Ia jadi sorotan para penumpang yang semuanya "patuh" duduk berdasarkan warna kulitnya.

Ben terlihat resah. Berbeda dengan Sylvia, yang sangat tenang dan dewasa. Ben seperti ingin mengajak bicara Sylvia namun bingung mau memulainya.


Aku menebak-nebak jurus apa yang akan dilakukan anak kelas satu SMA ini untuk memulai pembicaraan dengan cewek yang terlarang untuk ditaksirnya.

Di luar dugaan, Ben ternyata menanyakan kenapa Sylvia begitu tampak sangat menghayati pembacaan doa setiap hari sebelum kelas dimulai. Seperti halnya sekolah di Indonesia tempo dulu, sebelum kelas dimulai, guru akan memulainya dengan doa.

"For me, it's just a moment for myself. the big question is you. What does 23 Psalm mean to you?" Sylvia bertanya balik kepada Ben.

"I have no idea," ujarnya polos.
Ben mengaku doa tersebut sudah seperti lagu kebangsaan baginya, dibaca setiap hari sejak sekolah dasar. Namun dengan jujur ia menyatakan tidak seperti Sylvia dalam menghayatinya; I have no idea.

Keduanya menjadi lebih akrab setelahnya. Setelah sekolah, Ben kerap main ke kamar Sylvia. Tentu saja tanpa sepengetahuan orangtua Sylvia.

Meski aku tahu keduanya sangat bergairah untuk saling bercumbu namun tak pernah sekalipun mereka berciuman, kecuali saat lulus. Ben pernah ketahuan ayah Sylvia dan diusir.

Film aku hentikan sejenak. Aku berupaya mencari tahu apa isi Psalm 23. Dalam Alkitab berbahasa Indonesia Psalm diartikan Mazmur. Setahuku Mazmur merupakan nama lain dari Zabur --salah satu kitab suci milik Nabi Daud yang wajib diyakini keberadaannya oleh orang Islam-Sunni.

Aku masih ingat penjelasan guruku di madrasah ibtidaiyyah (SD). Zabur berisi syair, yang konon ketika dibacakan ia sanggup menghentikan laju daun yang sedang jatuh. Daun akan ngefreeze karena begitu indahnya isi Kitab Zabur.

Sayangnya, guruku saat itu tak mampu menunjukkan bukti keindahannya. Aku seperti Ben, tahu cerita keindahan Zabur namun "I have no idea at all,"

Bahkan hingga lulus S2 sekalipun tak ada dosen atau kiai yang sanggup memberiku bukti keindahan Zabur, Sangat mungkin mereka juga tidak pernah tahu, dalam arti membaca dan menghayatinya seperti ha

مَزْمُورٌ لِدَاوُدَ.
اللهُ رَاعِيَّ، فلَنْ يَنْقُصَنِي شَيءٌ. فِي مَرَاعٍ خَصبَةٍ يُسكِنُنِي. إلَى جَدَاوِلَ هَادِئَةٍ يَقُودُنِي.  يُنْعِشُ رُوحِي، وَعَلَى طُرُقٍ صَالِحَةٍ يَهْدِينِي، حَتَّى حِينَ أمشِي فِي وَادِي المَوْتِ المُظلِمِ، لَنْ أخشَى شَرًّا لِأنَّكَ أنْتَ مَعِي. عَصَاكَ وَعُكَّازَكَ يُشَجِّعَانَنِي. أعدَدْتَ لِي مَائِدَةً أمَامَ أعْدَائِي. بِزَيْتٍ مَسَحْتَ رَأسِي. كَأسِي امتَلأتْ وَفَاضَتْ.  الخَيْرُ وَالرَّحمَةُ يَتْبَعَانَنِي كُلَّ أيَّامِ حَيَاتِي. وَسَأمكُثُ فِي بَيْتِ اللهِ طَوَالَ حَيَاتِي.

"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa."

Aku tertegun saat membacanya. Kalimat-kalimatnya tersusun puitis. Dalam terjemahan Indonesia, ia memakai kata "Tuhan," sedangkan dalam bahasa Inggris memakai kata "lord," Kata ini sifatnya universal dan netral. Semua penganut apapun agama/keyakinan dapat menggunakannya tanpa kuatir. 

Bahkan jika dibaca dengan penuh penghayatan sebagaimana Sylvia, seseorang bisa jadi akan sangat terpilin, terbetot, oleh kuasa kata-katanya.

Aku meyakini siapapun pembuatnya, kabarnya Daud, pasti punya dosa segunung. Sebab tanpa diragukan lagi, ia telah banyak membuat perempuan dan laki-laki patah hati, baik disengaja maupun tidak, gara-gara kata-kata rayuannya.

Daud pasti pintar merayu. Lihat saja bagaimana ia dengan Psalm 23 berupaya sangat halus dan puitis merayu pembacanya. Mereka dirayu dan disugesti untuk meyakini Tuhan akan hadir dan bertindak sesuai ekspektasi mereka.

Jutaan orang, termasuk Sylvia, mempercayai Psalm 23 dengan sepenuh hati. Setiap orang, apapun agamanya, secara ummum, pasti memiliki 1-2 ayat yang sifatnya sangat personal, yang ketika dirapalkan dengan sepenuh hati, seolah ada kekuatan di luar dirinya hadir menghampiri dan merasukinya.

Aku sendiri tak menyangka akan terasuki penggalan kitab suci ini --yang telah lama aku tahu namun baru "tahu" saat menonton film Liberty Heights. Bisa jadi aku menulis cerita ini karena terasukinya.

The Lord is my shepherd, I lack nothing. He makes me lie down.....(*)

Sumber:
https://www.biblegateway.com/passage/?search=Psalm+23&version=ERV-AR

https://www.sabda.org/alkitab/tb/?kitab=19&pasal=23

https://www.biblegateway.com/passage/?search=Psalm+23&version=NIV

MINORITAS ADALAH

Kalau kamu merasa menjadi minoritas dan merasa agak sensitif saat kata tersebut sering dinarasikan  ke ruang publik, mungkin sebaiknya kau berpikir ulang.

Saat mengisi acara seminar pendidikan politik dan doa lintasagama di GPIB Pniel Surabaya, Sabtu (16/12), seorang pendeta perempuan senior GPIB, "menggugat" penggunaan istilah minoritas. Menurutnya, kata tersebut bernada merendahkan dan berpotensi kontraproduktif bagi pembangunan kerukunan dan keragaman di Indonesia. 

Aku tak mampu memungkiri; sangat mungkin ia, sebagaimana banyak kawan-kawanku non-Islam dan/atau non-Jawa yang hidup di wilayah Islam-Jawa, memiliki pengalaman hidup tidak mengenakkan sebagai kelompok minoritas --disubordinasi, dimarginalisasi, bahkan didiskriminasi serta tak jarang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis.

Menjadi minoritas dalam konteks Indonesia adalah hidup sebagai warga negara kelas dua, yang kehadirannya kerapkali dipandang tidak ada saat pertemuan RT maupun rapat kelurahan, apalagi hadir dalam kontestasi pencalonan pilkada maupun pilpres.

Konstitusi memang tidak memperbolehkan adanya pembedaan. Namun konstitusi adalah onggokan kalimat indah yang tak berkutik dan hanya baru bisa hidup ditangan manusia. Sayangnya, tak semua manusia Indonesia sepenuh hati berjalan seiring konstitusi. 


Realitas kehidupan di Indonesia saat ini masih dalam fase barbarik; yang terkuat --biasanya identik dengan mayoritas-- akan mudah mendapatkan hak-haknya; yang terkuat, bahkan, bisa melanggar etika dan hukum tanpa perlu takut dan malu mendapat sanksi sosial atau hukum.

Sebaliknya, yang lemah --minoritas-- harus mati-matian jumpalitan untuk mendapatkan kesetaraan hak. Bahkan tak jarang ia diharuskan "tahu diri" atau "sadar posisi" saat hidup di masyarakat tanpa boleh berteriak, "Mau nggak sesekali hidup dalam posisi kami?"


Minoritas, dengan demikian, didefinisikan sebagai yang boleh dikalah, yang dapat ditindas, dan yang harus manut dengan tatanan yang diatur mayoritas. Hidup memang tidak adil bagi kelompok minoritas.

Aku menduga kuat, pendeta ini sedang berupaya agar tak terluka lebih dalam, terutama saat kata minoritas dipanjatkan ke ruang publik. Kata itu, baginya, sangat mungkin akan memicu luka dan perasaan ketertindasan yang bersemayam dalam dirinya dan memori kolektif orang-orang yang hidup bersamanya.

"Ipend, kata minoritas memang kadang terasa menyakitkan namun kita tidak bisa melarang orang mengucapkannya, sungguh pun kita tak setuju dengannya," ujarku.

Kata minoritas, tambahku, mungkin sama seperti lalat saat kita makan. Ia mengganggu namun tak bakal membuat kita mati. 

Kata minoritas, lanjutku, juga seperti debu di jalanan Surabaya. Sulit rasanya melarang debu bertebaran di kawasan jalan Rajawali. Debu akan terus ada. Ia mengganggu, betul. Namun sangat kecil kemungkinan kita akan mati saat menghirup udara Surabaya saat ini. 

"Kenapa kita tidak mati meski ada lalat dalam makanan dan debu di sekitar kita?" tanyaku balik. 

Kita tidak mati karena memiliki ketahanan tubuh yang sanggup melawan dua hal itu. Jika tubuh kita ringkih, kurang vitamin dan olahraga, serta jiwa dan pikiran tidak merdeka, daya tahan tubuh kita akan melemah. Di titik ini, lalat dan debu akan sanggup memporak-porandakan metabolisme tubuh. Secara teori, kita hanya bisa mati terkait kesehatan jika lalat dan debu bertemu dengan penyakit-penyakit yang telah bersarang terlebih dahulu dalam tubuh kita. Komorbid.

"Nggak usah terlalu terganggu dengan kata minoritas. Anggap aja kita sedang makan di pinggir jalan. Ada lalat dan debu. Dinikmati saja karena kita memiliki kekebalan tubuh lebih baik," kataku.

Dan lagi, tambahku, jika kita merasa minoritas, bukankah kita seharusnya bangga akan hal itu? Tidakkah jenderal selalu lebih sedikit ketimbang non-jenderal? Bukankah jumlah Tuhan tidak mungkin lebih banyak ketimbang ciptaanNya? Dalam pemilu, calon wakil rakyat selalu minoritas jika dibandingkan dengan para pemilih. 

Aku pernah dengar seorang pendeta mengutip ayat; banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih. Menurutku itu ayat keren.

"Ipend, supaya imunitas kita lebih kuat, aku usul, bagaimana kalau kita yakini saja bahwa minoritas adalah mereka yang-terpilih BUKAN yang-terpanggil. Setuju kah?" kataku.

Aku harus berterima kasih pada Pdt. Meggi dan seluruh jemaat GPIB Pniel Surabaya atas forum keren tersebut. Di sana aku bertemu banyak kawan, termasuk beberapa kawan Penghayat Sapto Darmo, GKJW dan HKBP serta Katolik. 

"Pulang lewat stasiun mana, gus?" tanya Roni Fauzan yang sangat baik hati mengantarku.
"Stasiun Semut, stasiun minoritas." sahutku. (*)

PENDIDIKAN ISLAM YANG DIKEBIRI

Aku merenung; seandainya shalat, ngaji al-Quran, puasa dan naik haji akan sepenuhnya mampu membuat pemeluknya menjadi toleran terhadap agama lain, di Indonesia, bukankah pemerintah tak perlu lagi bersusah payah mengusung moderasi beragama?

Seorang anak muda, jemaat GKI Sepanjang Sidoarjo, terasa menggugatku, Sabtu (9/12). Ia menanyaiku dengan tajam urgensi pelajaran agama di sekolah. Baginya, pelajaran ini sudah saatnya dihilangkan, diganti dengan pelajaran budi pekerti, etika, yang sejalan dengan realitas kebinekaan di Indonesia. 

Aku tak percaya ia sedang menggugat agamanya sendiri. Dia juga tidak menyebut agama tertentu dalam gugatan panjangnya. Namun, rasanya tidak perlu sepintar Einstein untuk tahu pemeluk agama apa yang ia maksudkan. 

Sebelumya, aku sempat bertanya dalam forum tersebut, meminta siapa saja yang hadir untuk mengangkat tangannya jika merasa pernah mengalami perisakan (bullying) karena agama dan ras/etnisnya. Aku melihat lebih dari 2/3 dari mereka mengacungkan tangannya. 

Semakin aku yakin, arah dari gugatan penanya di atas merujuk pada orang-orang Islam. Tidak ada lainnya. Keyakinanku juga diperkuat oleh hasil beberapa survei toleransi di dunia pendidikan yang dilakukan, salah satunya, PPIM UIN Jakarta dalam beberapa tahun belakangan ini. 


Sejak awal aku merasa ada yang kurang pas menyangkut bagaimana Islam diajarkan dalam dunia pendidikan dasar hingga menengah atas. Kekurangpasan ini terlihat terutama seputar toleransi terhadap agama lain, khususnya Kristen/Katolik, atau secara umum, pengikut Kristus. 

Hanya saja, selama ini aku tidak tahu secara pasti dan detilnya hingga membaca Policy Brief No. 2/Maret/2020 berjudul "Mengapa Kementerian Agama Perlu Merevisi KMA Nomor 211 Tahun 2011 dan Memperkuat Kurikulum Moderasi Beragama di Sekolah?" yang dibuat oleh Pusat Penelitian Pendidikan Agama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta.

Dari policy tersebut kita dapat mengetahui kenapa toleransi pelajar Islam sangat tidak menggembirakan. Hal ini dikarenakan arah pendidikan agama Islam belum terlalu serius difokuskan ke sana. Ibarat kata, menurunkan demam hanya diberi vitamin tanpa obat yang mengandung paracetamol. Kemungkinan besar salah resep. 

Policy brief tersebut menyebutkan komposisi pengajaran PAI di sekolah dasar hingga menengah atas terdiri atas ibadah vertikal ritual sebanyak 51%, akidah (teologi) sebesar 15% dan yang menggembirakan akhlak (moral/etika) sebesar 34%. 

Awalnya, aku cukup senang mendapati prosentase akhlak yang relatif besar hingga menemukan fakta lain; item akhlak ternyata dibagi menjadi tiga bagian, yakni akhlak personal (misalnya, berkata jujur, tidak mencuri) sebesar 81%, akhlak civic (misalnya toleransi, kerukunan, penghormatan kepada kelompok berbeda) sebanyak 13% dan yang ketiga adalah akhlak sosial sebesar 6%. 

Komposisi di atas senyatanya telah memberikan gambaran benderan kenapa pengajaran PAI dalam sistem pendidikan nasional kita tidak mampu menumbuhkan sikap toleransi terhadap kelompok lain, termasuk terhadap kekristenan.

Alih-alih, gabungan antara ibadah dan teologi yang mengokupasi 66%% materi PAI, jika diajarkan menggunakan metode LOTS ketimbang HOTS, sangat mungkin justru malah menebalkan fanatisme beragama diantara peserta didik. 

LOTS, kependekan dari lower order thinking skills, merupakan fase terendah dalam kerangka berpikir peserta didik. LOTS hanya mengajarkan peserta didik untuk menghafal, memahami dan melakukan. 

Sedangkan HOTS --higher order thinking skills-- yang merupakan kerangka berpikir lebih maju mengajak peserta didik untuk menganalisa, mengevaluasi dan menciptakan sesuatu yang lebih baik. Kebijakan Kemdikbud saat ini mendorong para guru membawa peserta didik ke arah HOTS ketimbang berlama-lama di LOTS.

Urusan intoleransi dan radikalisme, menurut policy brief tersebut, sesungguhnya telah memiliki landasan hukum, yakni PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 

PP tersebut menegaskan pendidikan agama bukan hanya sekedar mengembangkan pengetahuan serta penghayatan agama siswa, melainkan harus membentuk mereka menjadi warga negara yang
mampu “menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama”. 

Sayangnya, arah pendidikan agama ini terasa dikhianati oleh komposisi salah obat sebagaimana telah diuraikan di atas tadi. Komposisi salah obat tersebut merupakan hasil analisis PPIM UIN Jakarta terhadap Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 211 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam.

Duet Menteri Nadien Makarim serta Menteri Yaqut jelas memiliki tugas tidak mudah terkait hal ini. Nadiem sendiri pernah bilang, intoleransi merupakan sebagai salah satu dari tiga dosa pendidikan Indonesia, selain kekerasan seksual dan perisakan. Dua menteri ini harus duduk bersama lebih lama lagi, khususnya untuk mendesain ulang pengajaran PAI agar kontek akhlak civic dan sosial lebih besar lagi, minimal separuh dari total PAI. 

****

Aku dengan jujur mengatakan pada penanya tadi, hampir mustahil menghilangkan pengajaran agama dalam pendidikan nasional, semustahil berharap ada ikan bisa hidup di darat. Kelompok Islam pasti akan menentangnya sangat keras.

Merombak ulang materi pendidikan agama, menurutku, merupakan langkah paling realistis untuk dilakukan, meskipun hal tersebut harus terlebih dahulu melalui negoisasi politik superalot nantinya.(*)

TELAT TERBAYAR NIKMAT

Aku telat datang pada undangan natalku pertama tahun ini. Acara telah selesai saat aku datang. 

"Tapi aku bersyukur, pak pend, akhirnya bisa datamg ke GPPS Kendil Wesi," ujarku pada Pdt. Lukas, salah satu gembalanya. 

Gereja ini berlokasi di Pulorejo Tembelang, dekat Sungai Brantas. Jaraknya sekitar 10-12 kilometer dari rumahku. Aku belum pernah ke sana sebelumnya. 

Saat diundang via telpon oleh Pdt. Lukas, aku sangat senang. Ini kesempatan untuk berkunjung ke sana. Aku memang selalu tertarik mengunjungi gereja-gereja baru, termasuk di Jombang. Ketertarikanku terutama berkaitan dengan cerita pendiriannya. Pastilah, batinku, tidak mudah dalam pendiriannya. 

"Sekitar 2006, kami pernah didatangi rombongan kelompok Islam dari Jombang kota. Mereka keberatan dengan gereja kami," ujar Pdt. Lukas.

Uniknya, rombongan tersebut malah justru dicegat oleh masyarakat kampung yang semuanya muslim, tidak boleh mengganggu keberadaan gereja. Oleh mereka, GPPS Kendilwesi sudah dianggap bagian dari kampung mereka. 

Pdt. Lukas adalah polisi yang memiliki ketrampilan melatih sepakbola. Sejak awal 90an, ia hidup di kampung tersebut. Ia berasal dari Talaud. 

Melalui sepakbola, relasi personalnya dengan komunitas Pulorejo terbentuk. Makin lama makin menguat. 


"Kalau ada orang meninggal, saya paling awal datang. Saat semua shalat, saya tetap di sana. Saya dan keluarga membaur dengan mereka," ujarnya sembari menyalami jemaatnya untuk berpamitan. Aku juga ikut-ikutan menyalami mereka karena di sampingnya.

"Tuhan memberkati,"

Kalimat itu berkali-kali aku dengar saat ia menyalami mereka. Aku sendiri lebih memilih mengucapkan "selamat natal," kepada mereka. Biar berbeda dari Pdt. Lukas.

Selain aku, beberapa calon legislatif juga hadir. Terlihat pula perwakilan Forkopimcam. Aku melihat beberapa perempuan berjilbab sibuk melayani pera jemaat yang makan.

Saat mereka pamit, aku memilih tetap di sana, menikmati suasana, bercengkerama dengan keluarga Pdt. Lukas dan beberapa jemaat yang masih tertinggal. 


Pdt. Lukas memperkenalkanku dengan Pdt. Ilan dari Kingmi Jakarta. Dia memimpin ibadah sore tadi. Kami berdua terlibat dalam diskusi seputar kekristenan dan situasinya di Indonesia, terutama menyangkut intoleransi.

Selain dua pendeta tadi, aku juga sangat senang bertemu kawan lamamu, Pdt. Eko --aktifis Tionghoa Jombang yang terkenal sangat kritis. Ia ternyata melayani di tempat Pdt. Lukas selama ini. Jarak gereja ini dengan rumahnya cukup jauh, sekitar 40 kilometer.

Kami berdua akhirnya bernostalgia hingga adzan isya' memanggilku. Waktunya pulang. Gerimis tebal memaksaku berteduh di pos kamling 500 meter dari gereja tersebut. 

Diam-diam, aku bersyukur telat karena mendapat banyak nikmat. 

Hujan masih terus mendera Tembelang.(*)

ADA HOMOSEKSUALITAS DALAM KOMPUTER KITA

Jika kita membenci kelompok tertentu, ada baiknya kita mengingat jasa dan kebaikan yang pernah mereka lakukan, apalagi jika dua hal tersebut hingga kini kita nikmati. 

**

Tadi malam, aku menonton lagi, untuk kedua kalinya, The Imitation Game. Film biografi apik ini menceritakan sosok Alan Turing dan jasanya bagi peradaban ini. Ia bisa dikatakan sebagai peletak dasar alat yang hampir digunakan setiap orang tiap hari; komputer. 

Turing terkenal jago dibidang matematika, profesor di Cambridge, direkrut Kerajaan Inggris untuk masuk tim rahasia memecahkan pesan-pesan sandi milik Jerman. Saat itu, Jerman tengah berperang dengan banyak negara. 

Alih-alih memecahkan sandi secara manual, Turing berupaya menciptakan alat segede dua almari besar, yang mampu memecahkan kode tersebut. Berkat alat yang diberi nama Christopher ini Inggris dan sekutunya menang perang. 

Dalam tim tersebut, ada perempuan, satu-satunya, Joan Clark. Mereka berdua sangat akrab, tak bisa hidup jika tidak bersama. Keduanya memutuskan menikah. 

Ditengah perjalanan, Turing membuat pengakuan mengejutkan. Kepada istrinya, dengan perasaan bersalah ia mengaku dirinya seorang homoseksual. Joan tidak keberatan. Baginya perkawinan tidaklah melulu seputar urusan ranjang. 

Meski demikian, pada akhirnya keduanya berpisah saat tim sandi dibubarkan. Joan berelasi dengan pria lain. 

Sedangkan Turing, ia hidup dalam kesendiriannya. Seluruh energinya dicurahkan untuk mengembangkan Christopher hingga terjadi peristiwa yang mengubah hidupnya.

Suatu ketika ia ditangkap polisi dengan tuduhan melakukan tindakan asusila karena bermesraan dengan pria. Inggris pada saat itu, tahun 1960an, sangat keras terhadap kelompok homoseksual. 

Turin dibawa ke pengadilan dan diputuskan bersalah. Hakim menawarinya dua pilihan; meringkuk dalam penjara atau melakukan terapi konversi hormonal agar menjadi heteroseksual.


"Aku memilih terapi agar bisa terus mengembangkan Christopher," ujarnya kepada Joan yang berkunjung ke rumahnya.

Joan kaget karena Turing terlihat tidak sehat, ada perubahan tidak wajar muncul dalam tubuhnya, akibat dari terapi tersebut.

Beberapa waktu kemudian, Turing melakukan bunuh diri menggunakan sianida, terdapat apel tergigit separuh tergeletak di ranjang. Kontroversi hingga kini masih menyelimuti kematiannya. Namun bisa jadi ia memilih mengakhiri hidup karena tekanan batin terkait konflik batinnya.

Kita memang perlu mengalami konflik batin, gegar otak, seandainya tidak mampu menyadari kontribusi Turing yang homoseksual atas komputer yang kita gunakan setiap saat.

Selamat pagi.(*)

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0GiwxvsNa6UxwUiwkqU9xc5oCqdFYZPk6h65cSp6qnZwn1kaGWmWWQAtDZRE4kpiWl/?app=fbl

Bukan Kunjungan Pejabat

"Ruang direktur di sebelah mana, dik?" tanyaku kepada satpam dekat pintu masuk parkir.

Sekejab ia melihatku. Matanya reflek melakukan scanning dari atas hingga kakiku. Mungkin ia tidak menyadarinya namun aku dapat merasakannya.

Ia menunjukkan lokasi tempat direktur RS. Kristen Mojowarno berada. Aku berlalu menuju lokasi tersebut setelah mengucapkan terima kasih. Ia merespon dengan sopan.

Baru 20 detik aku berjalan, aku menoleh ke belakang, melihat satpam tersebut berlari menghampiriku. Sudah aku duga ia akan bertindak seperti itu.

"Sudah ada janji, pak?" tanya menyusuli, agak terengah. Mungkin ia mulai sadar tidak terlalu selektif dengan tamu yang ingin berjumpa dengan orang nomor satu di RS legendaris di Jawa Timur. Aku mungkin salah pilih baju siang itu. Tak ada aura formal sedikit pun. Kaos dan celana sarung. Untungnya tetap pakai sepatu. 

"Sudah, dik. Hayuk kalau mau mengantarku ke ruang direktur," kataku menawarinya. Ia akhirnya mengikutiku dari belakang.

Siang itu, Kamis, 25/11, aku janjian dengan dr. Heri Wibowo, kawan lama, mantan Kepala Dinas Kesehatan Jombang, yang kini berbakti di RS Kristen Mojowarno, sebagai direktur. 

Aku sudah sangat lama tidak masuk ke RS legendaris ini. Dulu saat masih kecil, aku beberapa kali ke sini. Ayahku, saat masih hidup, cukup sering rawat inap maupun jalan. Di kalangan masyarakat Mojoagung dan sekitarnya, RS Mojowarno cukup terkenal pelayanannya dan, tentu saja, gunjingan mitos kristenisasi. 


Aku masih ingat saat kecil, sewaktu mau menjenguk ayah yang rawat inap di sana, beberapa tetanggaku berpesan agar hati-hati, tidak terjerumus dan tergoda dengan Kristen. Mungkin mereka bermaksud bercanda. Hanya saja aku, karena masih ingusan, menganggapnya serius. 

Itu sebab aku senantiasa berjaga-jaga saat berinteraksi dengan dokter, perawat, pembantu, staff, atau siapapun yang terkait dengan rumah sakit itu. Kuatir mereka akan mencaplokku atau, yang lebih ngeri, ayahku. Saat visite pagi hari, aku selalu di samping ranjang ayahku, menjaganya dari ilusi "terkaman sekawanan serigala,"

Dulu, tiap bangsal dan kamar selalu ada salib dan lukisan Yesus, tak terkecuali ruangan ayahku. Ornamen kekristenan selalu saja mengintimidasiku, membuatku gugup dan merasa bersalah. Saat itu, jika tidak salah ingat, merupakan tahun pertamaku di pesantren Tambakberas, sekitar 1988. Perbincangan seputar kewaspadaan terhadap isu kristenisasi bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan di pesantrenku saat itu, entah sekarang.

Aku kemudian disambut Mas Heri. Tak seberapa lama, beberapa staf datang nimbrung, termasuk mas Luki dan Pdt. Siwi. Kami mengobrol banyak seputar sejarah kekristenan GKJW, tak terkecuaki aliran-aliran yang ada dan membentuk gereja ini. Sosok para misionaris dan kontribusinya juga kami diskusikan. 

"Rumah sakit ini akan merayakan kelahirannya yang ke 130, Gus," ujar mas Heri. 

Aku senang mendengar rencana ini. Beberapa usulan aku sampaikan termasuk diantaranya membuat sarasehan publik sejarah perjalanan berdirinya RSK Mojowarno. Aku tahu ini bukan hal baru.

"Hanya saja, mas, kita coba memperlebar cara pandang dan memperluas perspektif," ujarku.

Selama ini, tambahku, perbincangan terkait hal ini selalu bersifat tertutup; Kristen to Kristen. Padahal, seandainya ada tokoh Islam dilibatkan untuk menampilkan gagasan dan apresiasinya, niscaya hal tersebut akan menambah bobot dampak keberadaan RSK sebagai jangkar toleransi.

Aku meyakini masyarakat kita saat ini makin segregatif. Sentimen Islam-Kristen makin menguat dengan caranya yang lebih halus dan canggih. Tidak lagi sekasar yang dulu. 

Keberadaan institusi-institusi Kristen, tak terkecuali institusi layanan kesehatannya, perlu dinarasikan dalam semangat yang merangkul dan terbuka. Narasi ini idealnya terus digaungkan ke publik, khususnya orang Islam, sehingga meminimalisir kesalahpahaman yang tidak perlu. Sebaliknya, narasi ini justru diharapkan akan membuka ruang-ruang perjumpaan personal Islam-Kristen semakin menguat. 


Aku kemudian menceritakan beberapa pengalamanku berinteraksi dengan kekristenan, termasuk GKJW, yang hingga saat ini masih terbukti ampuh mengerem saat kemarahan dan kesalahpahaman mendatangiku. 

"Kadang aku jengkel dan marah dengan kekristenan. Rasa itu ternetralisir saat aku membayangkan kembali memori interaksi-interaksi indah yang pernah aku alami," ujarku.

Aku percaya kebaikan dan cinta kasih yang tulus akan menemukan momentumnya untuk menyadarkan dan mendewasakan seseorang, termasuk dalam beragama. Aku percaya itu.

"Mas, ayo nyari makan siang di luar. Aku terpenjara di ruang ini. Nggak bisa rokoan," ibaku disambut tawa lainnya.(*)

TESTIMONIUM MATRIMONII YANG TIDAK DIAKUI

Apa yang harus dilakukan seandainya Dukcapil tidak mau mencatat perkawinan beda agama (PBA) padahal sudah diberkati gereja?

Saat bertemu Romo Yoyon, pastur kepala Paroki Widodaren Surabaya, dalam acara doa bersama lintas agama di GKI Emaus, Senin (13/11), aku menceritakan pengalamanku mendampingi PBA. Kebetulan, pasangan yang aku dampingi umat Katolik, tetangga jauh parokinya.

"Sekarang susah, gus, mencatatkannya. Tapi kami gereja Katolik tetap melayani pemberkatan PBA," ujarnya.

"Benar, Mo. Baru-baru ini aku dikontak pasangan Katolik-Islam yang tidak dapat mencatatkannya, Mo," timpalku.

Tiga hari lalu, tambahku, aku dikontak nomor Whatsapp yang tidak aku kenal. Sebut saja namanya Valentina, Katolik yang baru saja kawin beda agama dengan pacarnya, Imron --muslim kelahiran Bojonegoro. 

Ia mengadu padaku ditolak Dispendukcapil Sidoarjo dan disarankan ke pengadilan negeri. 
"Sidang tersebut paling tidak 1-3 kali. Kami harus bagaimana? Mohon saran dan solusi dari Pak Aan," tulisnya

"Berarti kamu sudah pegang testimonium matrimonii? Bolehkah difotoin dan dikirim?" pintaku.

Tak seberapa lama, ia mengirimkan foto padaku. Testimonium matrimonii adalah nama lain dari surat perkawinan di lingkungan gereja Katolik Roma. Siapapun yang nama dan fotonya tercantum di surat tersebut berarti dianggap telah sah menjadi suami-istri. Sangat-sangat sulit bercerai kecuali mati.

Kepada Valentina aku menyarankan dua solusi untuk mencatatkan PBA yang sudah mendapat pemberkatan. Pertama, mengadukan Dispendukcapil ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), lembaga semi-pemerintah yang bertugas mengawasi pelayanan publik lembaga milik pemerintah pusat dan daerah terasuk BUMN. Mekanisme pelaporannya cukup mudah dan tersedia di websitenya. 

Lembaga layanan milik pemerintah biasanya cukup keder saat berurusan dengan ORI. Secara teori, lembaga ini benar-benar akan menelisik prosedur dan mekanisme yag dianggap merugikan masyarakat. Dispendukcapil Sidoarjo yang menolak mencatat PBA milik Valentina dan Imron jelas merupakan tindakan maladministrasi. 

Bagaimana aku sampai pada kesimpulan itu? Jawabnya mudah; sebab Dispendukcapil Sleman bisa mencatatkan. Semua Dispendukcapil seluruh Indonesia memiliki panduan yang sama. Jika di Sleman bisa harusnya di Dispenducapil manapun bisa. 

Namun demikian, aku belum pernah mendengar ORI Jawa Timur menangani pengaduan semacam ini. Harus diakui, lembaga ini tergolong jelek dalam hal transparansi pelaporan ke publik melalui websitena, sangat belum bisa disejajarkan dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

"Kalau mengikuti sidang ke pengadilan gimana, pak?" tanyanya.

Aku mempersilahkannya mengajukan permohonan penetapan ke PN. Sidoarjo, setelah terlebih dahulu menginformasikan terkait SEMA 2/2023. Aturan internal tersebut sangat menyulitkan pasangan PBA yang ingin meminta pertolongan hakim setelah ditolak Dispendukcapil. 

Ketua Mahkamah Agung, melalui SEMA tersebut, meminta semua hakim menolak permohonan PBA yang diajukan masyarakat. Ini sangat memalukan.

'Salah satu diantara kalian harus pindah penduduk ke Solo, Bantul, atau --terutama-- Sleman. Kabarnya, Dispenduk di tiga wilayah tersebut masih membuka peluang mencatat PBA tanpa ribet ke pengadilan terlebih dahulu," kataku.

Selama Jokowi berkuasa, nasib kabijakan PBA bisa dikatakan berada dalam kondisi paling terpuruk. hampir semua Dispendukcapil seluruh Indonesia serentak menutup pelayanannya. Kondisi ini diperparah dengan sikap Mahkamah Agung yang juga menggembok pagarnya bagi pasangan beda agama.

Sebenarnya ada solusi lain yang agak berbahaya. Aku memilih untuk tidak menyampaikannya pada Valentina karena malu. Yakni, konversi temporer --salah satu dari mereka melakukan login dan logout agama.

Beginilah susahnya Indonesia, aturan perkawinan sudah jelas; sepanjang ada agama yang bisa mengakui/memberkati sebuah perkawinan maka negara harusnya tinggal mencatatnya. 

Testimonium matrimonii adalah dokumen resmi perkawinan di lingkungan Katolik Roma. Sayangnya, dokumen tersebut tidak diakui oleh banyak Dispendukcapil, termasuk Sidoarjo.(*)

LIKU-LIKA PERKAWINAN BEDA AGAMA RIYAN & MUTIARA; SEMPAT DITOLAK KELURAHAN

Perkawinan beda agama (PBA) Riyan dan Ara berjalan lancar. Namun Ara --panggilan Mutiara -- sempat bingung saat petugas kelurahan mempersoalkan kolom agama di KTP miliknya, Islam, yang berbeda dengan milik calon suaminya, Kristen.

**
Saat mengantarkanku ke Stasiun Tugu Jogja dari tempat tinggalku di Pogung belakang CRCS UGM, aku terlebih dahulu diajak makan pengantin baru, Riyan dan Ara, Selasa (7/11). Aku melihat wajah mereka berbinar, berbalur rasa penat. Sehari sebelumnya, Aku mengikuti proses perkawinan mereka secara Kristen dan Islam, sebagaimana aku tulis dalam postingan sebelumnya. 

"Aku sempat ditolak petugas kelurahanku. Mereka bilang kolom agama di KTPku nggak sama dengan miliknya mas Riyan. Kata mereka, sistem mengharuskan kesamaan agama calon pengantin yang dibuktikan dengan KTP. Aku jadi bingung," kata Ara.

Saat itu Ara tengah mengurus formulir N1 (surat keterangan untuk nikah). Semua orang yang berkehendak kawin membutuhkan itu dari kelurahan/desa. Sebelum ke kelurahan, prosedurnya, setiap orang terlebih dahulu membawa pengantar dari RT/RW. 

Ara tentu telah mengantongi pengantar tersebut.
Dalam kebingungannya di kelurahan ia mengaku menelpon ayah dan maminya. Ia juga menelpon Riyan, calonnya. Riyan saat itu telah mengurus N1 di tempat tinggalnya. Tidak ada masalah.

"Dari Condongcatur aku langsung menuju kelurahan Kadipaten. Dari Sleman ke Yogyakarta. Aku sudah siap-siap mau ngamuk di kelurahan," ujarnya sembari menyalakan rokoknya.

Saat tiba di kelurahan Kadipaten, Riyan berkomunikasi dengan petugas kelurahan sembari menunjukkan N1 miliknya yang telah disetujui kelurahannya di Sleman. Riyan meyakini bahwa sistem administrasi kependuduk berlaku universal seluruh Indonesia; apa yang boleh di daerah tertentu juga boleh dilakukan di tempat lain. Artinya, jika Kabupaten Sleman tidak mempersoalkan N1 beda agama maka Kota Yogyakarta harusnya tidak membuat kebijakan yang melarang.

Mengetahui hal ini, petugas kelurahan tidak banyak omong lagi. Ia langsung membuatkan Ara formulir N1 tanpa memintanya mengubah kolom agamanya. Sebagai catatan, selama ini Dispenduk Kota Yogyakarta memilih menutup pintu bagi PBA, tidak seperti Kabupaten Sleman.

"Saat membuatkan formulir, wajah petugasnya kelihatan gimanaaa gitu," kata Ara sembari tersenyum. 

Tidak hanya formulir N1, Ara juga diwajibkan oleh sistem untuk membuat surat keterangan belum menikah. Menurut Ara, ia harus mengurusnya di Kantor Dispendukcapil, bukan di kelurahan atau kecamatan.

"Dapat masalah lagi di sana?" tanyaku kepo.
"Nggak, gus, lancar. KTP kami tidak dipersoalkan,"
"Aneh" sahutku.

Menurut Ara, hal ini sangat mungkin karena Ara dan Riyan memilih tidak mencatatkan perkawinannya di Yogyakarta melainkan di Sleman. 

Pengurusan PBA di Dispendukcapil Sleman, menurut Riyan, dilakukan sekitar 1-2 minggu sebelum pemberkatan. Semuanya berjalan lancar.

Sejak dulu, Sleman dikenal terbuka dalam pencatatan PBA. Saat keluar SEMA kontroversial 2/2023, Riyan dan Ara mengaku sempat deg-degan, kuatir Sleman akan menutup pintunya bagi PBA. 

"Sebentar ya, mas, kami akan diskusikan di internal dulu terkait SEMA," kata Riyan mengutip omongan dari salah satu petugas Dispendukcapil yang biasa mengurusi hal ini. 

Beberapa hari kemudian, mereka dikabari kembali oleh petugas tadi; PBA tetap bisa dilayani oleh Dispendukcapil.

"Petugasnya datang lho, gus, saat pemberkatan kemarin, meski agak telat," kata Riyan.

Beberapa menit setelah pemberkatan di GKJ Condongcatur, Minggu (5/11), usai, Ara dan Riyan berpindah ruangan; dari ruang ibadah ke ruang kecil di gereja tersebut. Di sana ada petugas Dispendukcapil dan beberapa saksi. Proses tanda-tangan surat/akta perkawinan dilakukan di sana. 

Keduanya secara formal telah mendapatkan surat kawin dari negara. Sah dan resmi, tetap dengan agama masing-masing; Kristen dan Islam --setidaknya dibuktikan oleh kolom agama di KTP mereka. 

Di titik ini, sebenarnya mereka tidak perlu lagi melakukan prosedur atau ritual apapun. Untuk apa melakukan hal-hal lainnya lha wong surat dari negara sudah ada di tangan?

Namun bagi keduanya, perkawinan bermakna lebih  dari sekedar kemenangan prosedural administratif. lebih jauh, Aktifitas suci ini adalah upaya konkrit merekognisi sumber suci dari Islam dan Kristen. Itu sebabnya, setelah pemberkatan selesai Ara dan Riyan bersama-sama melakukan akad-nikah yang aku fasilitasi.

"Aku senang sekali dengan akad nikah kemarin, gus. Banyak keluargaku dari luarkota yang semakin tahu Islam memungkinkan untuk itu," ujarnya.

Saat akad nikah, aku memang menggunakan cara klasik yang biasa dilakukan hampir semua orang Islam saat kawin. Ada beberapa hal yang yang aku tambahkan sebagai modifikasi, diantaranya; pengucapan janji perkawinan yang wajib disampaikan Ara dan Riyan di hadapan publik. 

"Ini penting agar kami yang hadir di sini bisa ikut merawat ikatan kalian berdua seandainya mengalami turbulensi kedepannya," ujarku saat itu. 

Aku juga membuatkan piagam perkawinan mereka berdua, ditandatangani oleh beberapa orang. Piagam ini merupakan simbol ikatan suci mereka. 

Beberapa hari kemudian, Riyan dan Ara berbaik hati memberiku foto surat/akta perkawinan mereka yang dikeluarkan oleh Dispendukcapil Kabupaten Sleman. Katanya, boleh dipublikasikan.

Terima kasih.

TERUS MELAWAN: DARI BUDI PEKERTI HINGGA PERKAWINAN BEDA AGAMA

Riyan dan Mutiara akhirnya meresmikan hubungannya; hubungan asmara beda agama. Tanpa perlu berganti kolom agama di KTP. Keduanya melawan arus besar pemimggiran kawin beda agama. Seperti halnya Bu Prani, guru BK dalam film Budi Bekerti. Dia tak surut mengajarkan model pendidikan yang dianggap tidak lumrah dan membahayakan sekolahnya. Film ini sangat layak tonton.

**
Pagi ini aku bersama Lail, adikku, bergegas ke GKJ Condongcatur Sleman, dari penginapan yang tak jauh dari situ. Kami berdua ingin menyaksikan ibadah pemberkatan PBA Riyan dan Ara. 

Riyan warga GKJ tersebut. Ara, pacarnya, seorang muslimah, sarjana sejarah lulusan Sanata Darma Jogja. Keduanya adalah pasangan yang selama ini aku dampingi bersama Pdt. Risang, yang memimpin ibadah pemberkatan pagi ini. 

Ara dihantar mas Bambang dan mbak Ina, orangtua yang tak lagi hidup bersama. Ara selama ini tinggal bersama ayahnya, seorang jurnalis cum aktifis. 

Pdt. Risang memimpin ibadah pemberkatan dengan gayanya yang luwes. Ia, secara tak terduga, mengundangku untuk terlibat dalam skenario ibadahnya. 

"Saya undang Gus Aan untuk menjelaskan konsep mahabbah (cinta)," katanya sembari menyerahkan mic.

Pagi itu Pdt. Risang merayakan penyatuan dua agama ini dengan mengambil simbol dari keduanya; mahabbah dan agape. Yang aku kagumi, hampir dua jam aku duduk mengikuti proses ibadah tersebut, tak satu pun kata "Yesus" muncul. Alih-alih, diksi "Tuhan yang mengasihi dan menyayangi" sangat mendominasi ibadah. 

Ah, betapa aku merasa ia dan segenap warga GKJ Condongcatur sangat rendah hati dengan caranya yang menurutku sangat ma'ruf (metode rendah hati yang jarang dipakai oleh kebanyakan orang)

Setelah pemberkatan usai, acara dilanjutkan dengan prosesi ijab-kabul. Lokasinya bergeser agak jauh, ke Taman Sari dekat Pasar Ngasem. 

Prosesi aku pimpin di hadapan puluhan hadirin. Kami bertujuh duduk melingkari meja. Aku, mas Bambang, mas Hariyo (bapaknya Riyan), Ara dan Riyan serta dua orang saksi. 

Sebelum ijab-kabul dimulai, aku persilahkan mas Bambang, bapaknya Ara, memberi sambutan. Boleh ngomong apa saja, apapun yang bergemuruh dalam hatinya.

Ia segera berpidato namun lebih mirip orasi. Maklum aktifis. Ia menceritakan sepanjang hidupnya sebagai jurnalis dan aktifis ia selalu memperjuangkan kelompok yang tertindas, menyuarakan orang-orang yang tidak bisa bersuara.

"Saat Ara menyatakan ingin membangun rumah tangga bersama Riyan yang tidak seagama, saya tersadar bahwa saya harus konsisten dengan apa yang selama ini saya perjuangkan," katanya. 

Berkali-kali lelaki yang aktif di Project Multatuli ini menghentikan pidatonya. Airmatanya terus meleleh. Suaranya kerap parau dan hilang. 

Aku tahu Ara mungkin lebih akrab kepada ibunya. Namun tak sedikitpun aku menyangsikan Ara sangat mencintai ayahnya, dengan caranya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Anak dan bapak ini sama-sama aktifis.


Aku melirik Ara, ia terlihat berkali-kali mengusap matanya dengan tisu saat ayahnya berpidato. Mungkin ia begitu jarang mendengar bapaknya mengungkapkan curahan hati terkait dirinya, anak yang sangat dikasihinya.

Bagaimana terkait pencatatannya di Dukcapil? Bukankah Mahkamah Agung sudah melarang hakim mengabulkan permohonan PBA? 


Aku bisa katakan; Tuhan bekerja dengan jalanNya sendiri; dengan kemisteriusanNya. Bagi Dia, apa yang telah dipersatukanNya akan selalu menantang bagi manusia untuk menceraikannya. 

Menurut kabar yang berhembus, beberapa kota/kabupaten di Yogya dan Jawa Tengah masih memungkinkan untuk mencatatkan PBA. 

Selamat untuk Ara dan Riyan. Bravo bagi Ine Febriyanti dan seluruh pendukung film Budi Pekerti.(*)

ONLY FOR ONE REASON; TO TRULY HONOR HIM

".......Semua aib kita tutupi. Only for one reason, to truly honor Him," ujarku. 

***
Aku tak menyangka akan banyak orang Islam datang dalam katekisasi terbuka GKI Sidoarjo, Selasa (17/9). Jumlahnya lebih dari 10 orang. 

Kebanyakan mereka datang bersama Gus Heri dari Walima Sidoarjo. Selain itu, datang pula beberapa kawan dari GUSDURian Sidoarjo serta dua orang kawanku, Fatur dan Yessika Indarini. Semuanya duduk di bangku depan.

Di belakang mereka, ada sekitar 30an anak muda GKI, peserta tetap katekisasi. Beberapa diantaranya, menurut pendeta Yoses, moderator malam itu, bergabung melalui livestreaming Youtube. Beberapa kawanku dari luar kota, misalnya Oak Tree, juga bergabung online.

Malam itu, kami semua membahas Isa al-Masih menurut Al-Quran. Aku sangat mengapresiasi keberanian --jika tidak boleh dikatakan; kenekatan-- GKI Sidoarjo. 

Gereja ini berani membekali jemaat mudanya dengan sesuatu yang selama ini dianggap supertabu dibincang di gereja. Padahal, semakin tabu sebuah persoalan, biasanya semakin penting posisinya

Membuka presentasi, aku terlebih dahulu membagi tiga kuadaran model perbincangan seputar Yesus dalam relasi Kristen-Islam; polemis alias debat kusir, akomodatif-konservatif -- sejenis perbincangan yang kira-kira ditutup dengan "oke, silahkan meyakini masing-masing. Tidak perlu didiskusikan lagi ketimbang nanti gegeran," 


Dan yang ketiga adalah akomodatif-progresif --diskusi yang terus menerus dilakukan untuk menemukan tidak hanya kenapa kristologi Islam dan Kristen berbeda, namun yang lebih jauh, kesediaan untuk bisa memahami posisi masing-masing secara akomodatif. 

Pilihan ketiga ini sekaligus mengandung upaya tanpa lelah menemukan sebanyak mungkin kesamaan ketimbang meronce perbedaan diantara keduanya --serta kerendahan hati mengapresiasi kebenaran masing-masing. Sederhananya; menggeser sesuatu yang bersifat mutlak menjadi lebih lentur dan akomodatif. 

Tiga kuadran tadi adalah istilahku sendiri, dalam rangka memudahkan. Istilah lain yang juga aku kenalkan malam itu adalah dua model "mendekati" kitab suci. 

"Ilahiah-dogmatik dan ilahiah-historik," kataku.


Yang pertama adalah pendekatan teks yang ilahiah tanpa mempertimbangkan konteks historik saat diturunkan/dikreasikan. Teks yang ilahiah, dengan demikian, tambahku, dipahami secara tertutup, literal, serta diasingkan dari lingkungan kiri-kanan-atas-bawahnya. 

Sedangkan pendekatan kedua, ilahiah-historis, merupakan kebalikan dari yang pertama. Aku berupaya mendekati Isa al-Masih dalam perspektif kedua.

Aku tak sungkan menyatakan dalam forum tersebut betapa bersyukurnya aku dipertemukan dengan salah satu karya Prof. Irfan Shahid, akademisi kelahiran Nazareth Palestina. Darinya, aku akhirnya menemukan jawaban rasa penasaranku; kenapa al-Quran memilih posisi vis a vis dengan kristologi mainstream (trinitarian). 

"Gus, bukti-bukti historis menyatakan Yesus mati disalib, kenapa banyak orang Islam keukeuh tidak mau menerima hal ini seperti kami?" ujar salah satu penanya. 

"Banyak dari kami yang nampaknya belum bisa move on ya? Harus aku katakan, ini tidak mudah bagi kami," ujarku.

Begini, kataku, Yesus atau Isa Almasih itu bukan sosok sembarang dalam Islam. Dalam piramida antara manusia dan Tuhan, sebagaimana yang aku pahami, posisi tertinggi manusia adalah Rasul. Rasul lebih tinggi dari Nabi. Rasul pasti nabi namun tidak berlaku sebaliknya.

"Jika dianalogikan, rasul itu kira-kira seperti pendeta yang mengampu jemaat. Sedangkan nabi, pendeta non-jemaat, semacam pendeta tugas khusus, kira-kira," kataku.


Nah, dari 25 rasul yang ada dalam galaksi tradisi Islam-Sunni yang aku terima, ada lima rasul yang masuk kategori top five. Bergelar ulul azmi -- mereka yang dianggap memiliki keberanian, kesabaran, kepatuhan, kesungguhan diatas rata-rata dalam menyampaikan tugas ilahiah. Kelimanya adalah Nuh, Ibrahim, Musa , Isa/Yesus, dan Muhammad.

"Dalam dunia militer, mungkin gelarnya adalah bintang lima. Jenderal besar. Sangat terhormat" ujarku.

Dalam didikan yang kami terima, orang-orang besar dan terhormat harus dilindungi kehormatannya. Sekuat tenaga. Bahkan jika perlu kami akan mengorbankan apa saja untuk hal itu.

"Kami sangat sulit menerima sosok supertehormat seperti, misalnya, Isa/Yesus didemonstrasikan seperti itu. Disalib itu aib dan hina. Mungkin doktrin kalian sudah berhasil menemukan solusi atas penyaliban tersebut namun kami belum. Ini soal perasaan kok." ujarku.

Untuk memudahkan peserta memahami maksudku, aku kemudian bertanya bagaimana model pemulasaran jenazah dalam tradisi GKI. Ternyata sama seperti tradisi kekristenan pada umumnya. Jenazah didandani serapi mungkin, seindah yang bisa dicapai. 

Sehingga, seandainya ada luka menganga di tubuh jenazah dapat ditutupi dan tidak merusak keindahan jenazah. Bahkan, kabarnya, jika jenazah memiliki bekas luka di wajah maka akan ada perawatan khusus agar luka tersebut tidak nampak ke publik. Luka dianggap bukan sesuatu yang indah untuk dipertontonkan.

"Kami memperlakukan penyaliban Yesus sebagaimana kalian memperlakukan jenazah. Semua aib kita tutupi. Only for one reason, to truly honor Him," ujarku. 

Selama lebih dari dua jam kami semua mendiskusikan Yesus; dengan terbuka, dengan kerendahan hati, nyaris tanpa intensi merasa paling benar. 

"Ses, jika kamu Yesus dan aku menghadapmu dengan mengatakan 'Apakah kamu akan tetap menerimaku meski caraku menghormatimu berbeda dari kebanyakan' --apakah kamu akan menerimaku?" tanyaku

"Yo jelas aku terima, mas" katanya tanpa ragu, sambil tersenyum.

Selamat Hari Santri.(*)

Link presentasi: https://drive.google.com/file/d/1hLxPpI-JtjkWz-qPLvJFWs4r05E1nIJt/view?usp=drivesdk

Link dokumentasi Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=ToARRqBLt6k

Tambakberas dan Perkawinan Beda Agama: LOTS Bukan HOTS

Sekuat tenaga aku mendorong mereka berani melawan "batas imajiner" yang selama ini telah didoktrinkan; tidak boleh menabrak pakem apa yang telah digariskan agama dalam urusan perkawinan agama (PBA). Pakemnya jelas, Islam tidak memperbolehkan pengikutnya kawin kecuali dengan mereka yang seagama. 

Malam itu, Minggu (15/9), aku mengajak mereka meninjau ulang terkait pakem tersebut. Benarkah PBA memang tidak boleh? Apakah itu satu-satunya pakem, dalam arti tidak ada pakem lain yang sifatnya opsional?

Adalah bu nyaiku, Ning Um, yang menyatakan kerisauannya terhadap sikap MUI melalui fatwa haram PBA tanpa reserved. Menurut sarjana syariah jebolan UIN Sunan Kalijaga ini, sikap MUI bisa dianggap berlebihan. Sebab, al-Quran tidak menyatakan sekeras sikap MUI. Masih ada, tambahnya, ruang bagi Muslim untuk menikahi perempuan ahl al-Kitab. 

Meski ia dengan terbuka mendorong santrinya berupaya mencari pasangan seagama --bukan al-mukhsonati min al-ladxina uutu al-kitab-- namun dia mewanti-wanti agar santrinya tetap kritis dalam berpikir. 

"Kawan-kawan, saya bersyukur pernah dididik langsung dan tetap diperkenankan berinteraksi hingga sekarang oleh beliau," ujarku sembari menoleh ke bu nyai Umdah. 

Menurutku, malam itu, beliau seperti ingin meneladankan bagaimana model ideal santri dan santriwati terkait kritisisme, bahkan dalam persoalan yang serumit PBA. Mungkin dia bukan satu-satunya yang seperti ini namun yang pasti masih sangat belum banyak bu nyai memilih jalan terjal ini. 

Secara agak terstruktur, aku menandai sikap bu nyai Umdah ini sebagai perwujudan dari level tertinggi HOTS, higher-order thinking skills --level berpikir tinggi. Level ini terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah -- menganalisa, mengevaluasi dan, yang tertinggi, menciptakan. 

Jika HOTS adalah level berpikir tinggi maka LOTS adalah level berpikir rendah, singkatan dari lower-order thninking skills. Sebagaimana HOTS, LOTS juga terdiri dari tiga tingkatan; yang paling bawah, mengingat, memahami dan, yang paling tinggi adalah mengaplikasikan. 

Dengan demikian, secara sederhana, model berpikir terdiri dari 6 anak tangga. Tiga anak tangga bawah masuk dalam LOTS. Tiga anak tangga atas masuk kategori HOTS. 

"Enam anak tangga ini, semuanya, menggunakan dua kaidah fiqh yang sering kita gunakan," tambahku.

Pertama, kaidah menjaga warisan lama yang baik dan, pada saat bersamaan, mengakomodasi inovasi baru yang lebih baik -- al-mukhafadlotu 'ala qadim al-sholih wa al-akhdu bi al-jadid al-ashlah. Dan, kedua, kaidah continual improvement yang pernah dirumuskan Kiai Ma'ruf Amin; al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah. 

Aku kemudian memberikan  contoh sederhana penerapan 6 anak tangga berpikir ini terhadap keberadaan hukum potong tangan pencuri yang terekam sangat eksplisit dalam al-Quran. 

"Jika kita berhasil mengingat, mengerti dan mengaplikasikan ayat tersebut secara literal, dalam arti kita menyetujui keberlakuan hukum potong tangan pencuri maka sangat mungkin kita baru pada level LOTS," ujarku. 

Namun jika seandainya kita berani, tambahku, menganalisis dan mengevaluasi dampak penerapan LOTS bagi manusia, yang oleh karenanya kita mengusulkan sesuatu yang baru dari produk analisis dan evaluasi tersebut maka kita telah berhasil naik pangkat; dari LOTS menuju HOTS.

"Hukuman denda dan penjara bagi para pencuri ketimbang potong tangan merupakan manifestasi konkrit implementasi HOTS," kataku. 

Aku mengajak para peserta diskusi berani mempertanyakan doktrin, keyakinan, nilai atau apa saja yang meski telah dianggap mapan namun pada kenyataannya masih berpotensi merugikan hak dasar manusia. 

Pelarangan PBA menggunakan basis kitab suci, menurutku, akan bermasalah manakala kita hanya mencukupkan diri pada level LOTS saja. Padahal HOTS telah menyediakan dirinya bagi kita untuk memerdekakan orang lain dari penindasan.

Tentulah bukan hal mudah untuk menganalisa, mengevaluasi dan merumuskan hal baru isu PBA. Hanya saja, jika basis rasionalitas kita melarang PBA adalah karena faktor kebahagiaan berkeluarga maka faktor tersebut masih bersifat asumtif (dzanni) bukan definitif (qath'i). 

"Ada orang yang merasa jodohnya seagama. Ada yang tidak seagama. Kita tidak bisa menghakimi semua PBA pasti tidak bahagia dan semua perkawinan seagama pasti berbahagia. Kita tidak bisa memutlakkan sesuatu sembari menafikan yang lain," ujarku. 

Majulah As Saidiyyah. Majulah Tambakberas. Mari kita naikkan cara berpikir kita; dari LOTS menuju HOTS.(*)

**Rekaman hasil diskusi https://www.youtube.com/watch?v=GkpK-x7g1mU

SAAT YESUS DIBUAT OBYEK NGEPRANK

Barangkali prank terbesar tahun ini adalah gagalnya pergantian Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus dalam kalender tahun 2024. Pasti tidak sedikit orang Kristen/Katolik kecewa. Aku, muslim, juga tidak kalah kecewanya.

Kekecewaan tersebut merupakan hal yang sangat wajar. Mengingat, wacana pergantian ini jauh hari sudah digaungkan oleh pemerintah sendiri, melalui beberapa kementerian yang dikordinasi oleh Kemenko PMK Muhajir.

"Akan ada perubahan nomenklatur (tata nama) atas usulan Kementerian Agama (Kemenag RI) terkait dari istilah, yaitu Isa Almasih akan diubah menjadi Yesus Kristus," kata Muhadjir kepada CNBC, 16/9.

Wakil Menteri Agama, Saiful Rahmad Dasuki, menyatakan perubahan tersebut merupakan usulan dari kelompok Kristen dan Katolik. Kementeriannya, menurutnya, ikut memperjuangkannya, "Alhamdulillah bisa diterima," ujarnya kepada CNBC (16/9)


Penegasan Muhajir dan Dasuki ini sekaligus menguatkan pandangan sebelumnya. Pada 12 September, saat konferensi pers di kantornya, Muhajir telah menyatakan akan ada  perubahan nomenklatur tersebut; Isa al-Masih diganti Yesus Kristus. Selama ini, ada dua hari libur keagamaan Kristen/Katolik yang masih menggunakan kata "Isa Al-Masih," yakni, wafat dan kenaikan.

Namun yang membingungkan, pada tanggal yang sama, 12 September, tiga orang menteri -- Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara -- menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) bernomor 855, 3 dan 4 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2024.

Dalam SKB setebal 5 halaman tersebut tidak ditemukan kata "Yesus Kristus," alih-alih tetap "Isa Al-masih," Tertulis dalam SKB tersebut "Wafat Isa al-Masih," jatuh pada 29 Mei 2024. Sedangkan "Kenaikan Isa al-Masih," dilaksanakan 9 Mei 2024.

Jika kita berpikir pergantian nomenklatur dari Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus akan ditetapkan melalui peraturan presiden (perpres), mungkinkah perpres berani tidak sejalan dengan tiga kementerian yang semuanya dikomandani para kader terbaik NU ini? Rasanya tidak karena hal itu membentur kelaziman sistem ketatanegaraan kita. Aku bertaruh tidak akan ada perpres yang bertentangan denga  SKB tersebut.

Mungkinkah elit PGI dan KWI tiba-tiba menarik usulan perubahan tersebut? Jika iya, kenapa bisa demikian? 

Secara personal aku meragukan dua institusi itu menarik usulannya. Sulit dinalar mereka berani bertindak senekat itu, apalagi dalam urusan sesakral ini; apa yang lebih sakral dalam kekristenan Indonesia yang melebihi nama Yesus Kristus?

"Saya kira kordinasi tekhnis belum merata dalam kementerian/lembaga, Gus," kata Pdt. Jack Manuputty, saat menjawab pertanyaanku seputar prank ini melalui WA pagi tadi, 10/6.


Sekum PGI ini juga memberiku salinan keterangannya seputar perubahan nama dari Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus, yang menurutnya agar lebih seragam secara istilah. Untuk lebih lengkapnya, berikut aku kutipkan WA darinya:

_"Selamat malam!_
_Tentang perubahan nomenklatur ini perlu diinformasikan bahwa:_

_PGI selama beberapa tahun terakhir mengirimkan surat ke Dirjen Bimas Kristen sebagai tanggapan terhadap permintaan tahunan Kemenag untuk Menyusun hari raya Kristen dalam kalender resmi pemerintah._

_Setiap kali menanggapinya, kita mendata empat hari raya umat Kristen, masing-masing:_
 
_- Kematian Yesus Kristus (Hari Jumat Agung)_
_- Kebangkitan Yesus Kristus (Hari Paskah)  -Kenaikan Yesus Kristus_
_- Kelahiran Yesus Kristus (Hari Natal)._

_Pada surat balasannya, PGI selalu meminta penyeragaman istilah dari keempat hari raya itu, karena dalam kalender resmi pemerintah seringkali ditemukan ketidak-seragaman istilah antara Yesus Kristus dan Isa Al Masih. PGI meminta supaya semua istilah itu diseragamkan saja ke istilah Yesus Kristus._
 
_Mengapa memilih penyeragaman ke frasa Yesus Kristus, dan bukan Isa Al Masih?_

_Bagi saya, sederhana saja, karena frasa Yesus Kristus lebih familiar untuk umat Kristen. Frasa ini dekat ke umat Kristen karena Alkitab kita (PB) merupakan terjemahan (dominan) dari Alkitab berbahasa Yunani yang menjadi ‘lingua franca’ di Timur Tengah pada jamannya (selain bahasa Latin yg umumnya dipakai dalam pemerintahan). Frasa Yesus Kristus, sebagaimana kita ketahui, adalah transliterasi dari Bahasa Yunani, sementara frasa Isa Al Masih adalah transliterasi dari Bahasa Arab._

_Apakah keduanya mengandung makna yang sama? Bagi mereka yang mempelajari Filologi, kedua frasa ini tak memiliki perbedaan makna (bila dilihat dari perspektif Kristen). Kalau dari perspektif akidah dan tauhid Islam, Isa Al Masih tentunya dimengerti berbeda dengan yang dipahami oleh umat Kristen._ 

_Apakah kita perlu menggunakan frasa 'Isa Al Masih' supaya lebih bisa diterima kaum Islam di negeri ini? Menurut saya, tak perlu, sebab toh frasa Isa Al Masih dalam perspektif Islam berbeda dengan yang umat Kristen mengerti._

_Apakah dengan menggunakan frasa 'Yesus Kristus' maka kita akan berjarak dengan umat Islam? Menurut saya, juga tidak! Bahkan sebaliknya, ketika umat Muslim bisa menerima (bukan meyakini) apa yang menjadi keunikan pengakuan Kristen, maka horizon toleransi agama dan keyakinan di negeri ini semakin meluas."_

****

Jika demikian, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa para menteri terkesan tidak konsisten dengan apa yang telah diucapkan ke publik? 

Prank Yesus ini tidak hanya jelas mengecewakan banyak orang Kristen/Katolik. Lebih jauh, setelah gagal melindungi kemerdekan kawin beda agama, prank ini juga secara nyata merugikan rezim Jokowi yang harusnya bisa dengan sangat-sangat mudah mengganti nama Isa al-Masih menjadi Yesus Kristus.

Bisa jadi prank ini adalah semacam produk moderasi beragama; sehingga Yesus Kristus pun "diminta," moderat dengan cara bersedia dilabeli berbeda dengan apa yang diimani pengikutNya, sejak bangsa ini merdeka.(*)

Aan Anshori

POIN GEDE CIPUTRA


Aku menulis catatan ini dengan perasaan campur aduk.

Beberapa hari lalu aku membaca berita. Seorang Brigjend TNI di Manado sampai membuat surat terbuka. Ditujukan kepada Kapolri dan KSAD, salah satunya. 

Dia membela anak buahnya dan seorang pemilik lahan yang tegah bersengketa dengan grup Ciputra di sana. Grup bisnis ini rupanya tengah melakukan ekspansi di wilayah tersebut mendapat kendala lahan dari satu orang.

Sang Brigjend tidak terima ada ketidakadilan terhadap anak buah dan pemilik lahan. Ia menulis surat dan sempat viral. Salut aku dengan sang Brigjend.

Bisnis dan konflik lahan yang kerap merugikan rakyat kecil merupakan hal jamak di Indonesia. Sungguh mengganggu pikiranku selama ini. 

Dan yang terus memprovokasi keresahanku, hal tersebut juga dilakukan institusi bisnis yang memiliki sayap pendidikan di mana aku bekerja dan melayani di sana. Cuk, rumit.

Namun di sisi lain, aku merasa merdeka di Kampus Ciputra. Bisa berkreasi dalam mendidik mahasiswa/iku. Bahkan termasuk untuk hal-hal yang dianggap tabu untuk ukuran perguruan tinggi. 

Aku bisa dengan mudah mengintegrasikan berbagai isu isu di kelasku. Agnostik, ateisme, sejarah 65-66, LGBT -- apalagi interfaith, adalah beberapa yang bisa aku sebutkan.

Film dan video pendek seperti "Perempuan Tanpa Vagina," "Indonesia Calling," serta kuliah umum Prof. Ariel Heryanto "Historiografi Indonesia yang Rasis," aku gunakan sebagai bahan mengajar. 

Memang, departemenku sudah menyediakan bahan ajar standar, wajib diikuti semua dosen. Namun kepala departemenku, Lili/Johan Hassan, merupakan sosok yang terbuka. 

Mereka mempersilahkan dosen untuk bisa berkreasi sepanjang masih sesuai dengan pencapaian kompetensi matakuliah secara umum.

"Olraiittttt," batinku. 

Aku melihat ada ruang bagiku untuk dapat bereksperimentasi, menggenjot kritisisme para mahasiswa/i. Tidak hanya dalam aspek afeksi dan kognitif namun juga, ini yang terpenting, psikomotorik!


Semester ini aku mengampu 4 kelas. Dua kelas Pancasila, dua kelas Religions. Rata-rata yang ikut kelasku adalah para mahasiswa kedokteran dan International-Bussiness. 

"Mas, aku mau bikin terobosan bagi kelasku. Ndak papa ya?" kataku pada mas Johan, pjs dekan MKU.

Ia tidak keberatan sepanjang tidak membebani mahasiswa/i. Ya, mas Johan mewanti-wanti soal "pembebanan mahasiswa/i," 

Aku paham sekali dengan wantian itu. 

Mahasiswa/i di Ciputra memiliki begitu banyak tugas dari jurusannya, apalagi di tengah pandemi seperti ini. Tidak mudah menjadi mahasiswa/i Ciputra. 

Nggak bisa berleha-leha. Belajar, belajar, dan belajar. Sistem yang mendidik mereka untuk bekerja dengan keras. 

Sadar tidak boleh membebani mereka, aku melakukan terobosan dengan memberikan mereka tawaran. Artinya, mereka bisa mengambil tawaran ini atau tidak. 

Jika mengambil tawaran ini, mereka  akan mendapat poin yang akan diakumulasikan dalam nilai matakuliahnya. Semakin banyak poin, semakin nyata kesempurnaan nilai mereka.

Aku menawarkan tiga aktifitas pada keempat kelasku. Pertama, penambahan poin cukup tinggi bagi mereka yang mempunyai relasi asmara beda agama dan/atau suku/etnis. 

Tawaran ini berupaya mendorong pembauran secara nyata. Pacaran beda agama/etnis/suku yang semakin redup akhir-akhir ini, aku berharap bisa kembali dipertimbangkan.


Kedua, ikut bergabung dalam project "Santa Secret," milik unik kerohanian mahasiswa (UKM) Protestan dan Katolik. Dua agama ini adalah agama mayoritas di Ciputra. 

Santa Secret adalah kegiatan charity pada Desember nanti. Siapapun bisa terlibat. Tidak peduli apapun agama/ras/suku/etnisnya. 

Aku mendorong mahasiswi/aku yang beragama selain Protestan/Katolik untuk ikut terlibat. Poinnya lumayan gede.

Tawaranku ketiga adalah ikut sit-in di kelas kawanku yang mengajar MKU di kampus Petra Surabaya. Dia tengah menggagas pembauran mahasiswa lintas agama/etnis dan lintas kampus. 

Menurutku ini upaya keren yang harus didukung. Aku memberikan kesempatan mahasiswi/aku di Ciputra untuk ikut kelas di Petra.

Pasti mereka akan mendapatkan pengalaman baru yang akan menguatkan komitmen kepancasilaan dan keagamaannya. Supaya mereka bisa bertindak seperti sang brigjend? Aku berharap demikian.(*)


*Tulisan ini juga tayang di Facebookku 25 September 2021.

His Only Son: Film Propaganda Orang Islam Perlu Menontonnya

Aku percaya film ini, jika dimamah dengan baik, akan memberikan kekuatan teologis maupun spiritual bagi siapapun pemeluk agama Abrahamik, lebih-lebih orang Islam. Sebab, sosok-sosok utama film tersebut adalah mereka yang memiliki posisi terhormat dalam pondasi sejarah kemunculan Islam.

**
Setelah ramai seruan dari beberapa poolitisi Islam untuk tidak menonton film ini, aku berupaya mendapatkannya. Rasa penasaranku memuncak; sepedas apa sih film ini akan "menyudutkan," narasi mapan dalam agamaku. 

YULI EFFENDI; HAKIM MERAH-PUTIH BERANI TABRAK SEMA 2/2023 "LARANGAN" PERKAWINAN BEDA AGAMA


Yuli Effendi jelas hakim merah-putih. Hakim PN Jakarta Utara ini berani melawan surat edaran bosnya, yang meminta semua hakim bawahannya menolak permohonan perkawinan beda agama (PBA). 

Kini bisa jadi Hakim Effendi terancam kariernya karena membela hak konstitusional warganya yang terhalang edaran si bos. 

Akankah kariernya "disiksa" sebelum akhirnya "digantung" seperti halnya nasib warga kulit hitam yang dianggap mbalelo pada supremasi kulit putih Amerika Serikat karena memperjuangkan kebenaran?

****

Sikap Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur


Terkait Persekusi Pembatalan Rencana Perayaan Agustusan di Rumah Pergerakan dan Kebangsaan Delta Mandala II Sidoarjo*

Sekitar pukul 8.30 tadi, Sabtu (19/8), puluhan massa yang terdiri dari aparat desa Semambung Gedangan Sidoarjo, sebagian warga yang didampingi aparat kepolisian dan militer, mendatangi lokasi yang rencananya akan dibuat acara perayaan memperingati Hari Kemerdekaan RI ke-78 malam nanti.



Lokasinya di Rumah Pergerakan dan Kebangsaan Perumahan Delta Mandala II Semambung Gedangan Sidoarjo. Acara tersebut dihelat oleh Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) dan GUSDURian Suroboyo (Gerdu Suroboyo).

Puluhan massa ditemui langsung oleh Fatur, pemilik rumah yang memang tiap hari tinggal di sana. Dalam percakapannya, massa keberatan dengan acara tersebut karena ada aktifis gay sebagai salah satu narasumbernya, serta menuding acara tersebut tidak berizin.

Padahal, selama ini, puluhan kali rumah tersebut telah dijadikan tempat diskusi dengan topik kebinekaan dan kebangsaan. Massa memaksa Fatur membatalkan acara nanti malam.

Tidak hanya itu, yang mengagetkan, mereka juga mengusir Ct, saudara laki-laki Fatur dari rumah tersebut, dengan alasan tidak memiliki izin menginap.

Ct yang juga merupakan karyawan perusahaan milik Fatur memang selama ini numpang tinggal di rumah tersebut.

Massa juga memaksa Fatur mencopot baliho sekretariat yang menempel di dinding rumah dan mereka baru meninggalkan lokasi setelah memastikan Ct keluar dari rumah membawa barang-barangnya.

Fatur dan Ct telah berusaha menjelaskan acara tersebut dan menyatakan keberatan atas tuntutan massa. Namun kuatnya desakan dan tekanan massa membuat keduanya tidak memiliki opsi lain kecuali menuruti mereka.

Atas situasi ini, JIAD menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengecam praktek persekusi terhadap rencana pelaksanaan perayaan Agustusan di Rumah Pergerakan dan Kebangsaan Delta Mandala II. Tidak seharusnya perayaan ini dinodai oleh aksi intoleransi dan diskriminasi yang sangat memalukan ini;

2. Mengutuk aksi pemaksaan pengusiran atas diri saudara Ct yang jelas-jelas bertentangan dengan nurani serta tidak memiliki dasar hukum.

3. Persekusi dan pengusiran tersebut jelas tidak hanya merupakan serangan serius bagi Pancasila dan NKRI namun juga membahayakan implementasi kemerdekaan berkumpul dan berserikat.

4. Saat ini kami terus berkonsolidasi untuk memastikan keberlanjutan perayaan Hari Kemerdekaan RI ke-78. Untuk acara nanti malam, dengan sungguh menyesal kami tunda terlebih dahulu.

Terima kasih atas dukungannya.

Aan Anshori
Kordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur

MOHAMMAD DAN KRISTEN-PANCASILAIS DI GPID MENSUNG


"Saya mengundang Gus Aan Anshori untuk maju ke depan. Bapak-Ibu, saya baru tahu kalau nama asli Gus Aan adalah Mohammad Anshori," kata Pdt. Selvi di hadapan ratusan jemaatnya, Minggu, 6 Agustus.

Aku punya setidaknya tiga nama. Nama pertama, Urip Santoso, nama Jawa --sebelum akhirnya "dikudeta" oleh nama berbau Arab dan diformalkan menjadi Mohammad Anshori. Sedangkan nama ketiga adalah nama panggung; Aan Anshori.

WAYANGAN DAN PERKAWINAN PENGHAYAT


Jika tidak ada aral melintang, 5 Agustus nanti, akan ada wayangan. Penyelenggaranya adalah Persatuan Warga Kerokhanian Sapta Darma Kota Surabaya. 

Wayangan untuk memperingati acara Suroan ini mengambil judul "Wahyu Makutharama," dengan Dalang Ki Bambang Handoyo. Acaranya terbuka untuk umum, di Gedung Cak Durasim Surabaya. Silahkan hadir.

Sayangnya, aku menyesal tidak bisa datang. Tanggal itu aku ada di Parigi Moutong. 

NASIB PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH KELUARNYA SEMA


Banyak orang bertanya bagaimana nasib perkawinan beda agama (PBA) paskakeluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) kontroversial yang memerintahkan para hakim menolak permohonan PBA di pengadilan.

Nasib PBA di Indonesia makin babak belur. Jika sebelumnya kekuatan intoleran berhasil menekan banyak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) kabupaten/kota agar menolak permohonan PBA, kini jalur pengadilan pun ditutup. 

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler