MENULIS SEPERTI BERAK!



Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta Toer.

Dengan mengambil tafsir agak longgar atas jargon tersebut, aku bayangkan betapa indahnya hidup seseorang seandainya ia bisa menulis rutin seperti halnya ia berak.

Jika semakin lama kita tidak bisa berak, kita pasti kuatir dan rela mengeluarkan berapapun untuk hal itu. Sebagai orang tua, aku pernah mengalami kekalutan saat Cecil-balita punya masalah rutinitas berak. Sedih, bingung, takut dan dunia terasa gelap.

Sayangnya, hal itu berbanding terbalik dengan rutinitas kita menulis. Sebagian besar dari kita tidak menganggap kebisaan dan kerutinan menulis sebagai hal yang urgen. Seurgen berak.

"Pokoknya menulis. Menulis apa saja. Bahkan soal yang dianggap remeh publik sekalipun. Jangan sampai kemalasanmu menulis kamu anggap sebagai normalitas," kata mentor-gaibku.

Maka kunci rutinitas menulis agar sama seperti berak barangkali terletak dari kemauan diri kita. Kemauan tersebut sangat ditentukan oleh cara pandang yang kita bangun. Semakin kita mensugesti diri  pentingnya menulis, apapun, semakin kita akan mendekati idealitas "menulis seperti berak"

Aku mau berak, eh, menulis.

Setengan jam lalu, aku mengontak Firdaus, muslim, bukan nama sebenarnya, pria yang pernah aku dampingi melaksanakan perkawinan beda agama (PBA). Ia berdomisili formal di Surakarta, kawin dengan Fransisca, Katolik, nama samaran, domisili formalnya di Gresik.

Mereka mendapatkan pemberkatan dari paroki di wilyah perbatasan Sidoarjo-Surabaya. Keduanya tetap dalam agama masing-masing. Kolom agama di KTP mereka juga tetap; Islam dan Katolik.

Mereka berdua, sebelum pemberkatan, terlebih dahulu melaksanakan akad nikah di Gresik. Kisahnya pernah aku tulis di Facebook.

"Firdaus, gimana status perkawinanmu dulu. Apakah kamu berhasil mengurus di Dukcapil Surakarta?" tanyaku.

Setelah keduanya akad nikah akhir 2023 dan melangsungkan resepsi beberapa bulan setelahnya, aku tidak lagi menjalin kontak dengan mereka. Kepentinganku malam ini mengontak Firdaus dalam rangka memastikan apakah Dukcapil Surakarta (Solo) telah benar-benar merah-putih --istilah yang aku gunakan untuk mengidentifikasi keberpihakan institusi layanan publik.terkait PBA.

Aku sendiri memilih bersiap untuk protes pada Walikota Gibran, seandainya Dukcapil Solo loyo seperti Dukcapil di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia. Loyo, tidak mau menjalankan kewajibannya padahal pasangan PBA telah memenuhi semua syarat administratifnya.

"Alhamdulillah pencatatan PBA di Dukcapil Solo berjalan lancar, informatif dan sangat membantu. Pelayanannya juga bagus," ujarnya.
"Ya Alloh, ikut sueenang aku, Firdaus," balasku, "Jadi sama sekali tidak ada kerumitan-kerumitan ya?"

"Enggak ada kerumitan, gus, lancar banget prosesnya,"
"Berarti kamu berdua membawa testimonium matrimoni dari Paroki K*******g ke Dukcapil Solo ya?"
"Enggeh, gus,"

Aku sangat senang mendengar informasi ini. Lebih-lebih karena masih ada Dukcapil seperti Solo, yang masih mau melayani PBA saat pintu pengadilan negeri untuk PBA tertutup semua.

Firdaus bisa mencatatkan PBAnya karena ia berdomisili di Solo. Artinya, berKTP Solo. Bagi kalian yang sudah mengantongi surat pemberkatan PBA dari pemuka agama selain Islam, kalian memiliki kesempatan mencatatkannya di Solo. Tentunya setelah salah satu dari kalian mengurus perpindahan dokumen kependudukan ke Solo.

"Ini gus kutipan akta perkawinannya," tulis Firdaus, sembari mengirimkan foto dokumen kepadaku.

Aku perhatikan agak seksama. Persis seperti dokumen akta perkawinan PBA milik Riyan dan Ara yang dikeluarkan Dukcapil Sleman.

Tertulis di dokumen milik Firdaus, perkawinan dicatatkan pada 26 Januari 2024 di Dukcapil Surakarta berdasarkan perkawinan yang telah dilangsungkan dihadapan pemuka agama Katholik yang bernama RD.SK pada 13 Januari 2024.

"Thanks, Firdaus. Salam ke Fransisca ya. Semoga kalian senantiasa berbahagia," tulisku mengapresiasi dan mendoakan pasangan ini.

Demikianlah tulisan ini aku buat, semata-mata agar aku dapat mengamalkan jargon; menulis adalah berak!. Semoga bisa istiqomah berak eh, menulis.

FATIMAH DAN CHRISTIAN


"Entah kenapa aku selalu merasa inferior saat bertemu pasangan beda agama yang berkomitmen membakukan relasinya secara ideal," ujarku.
"Kenapa, gus?" celetuk mereka.
"Iya, salib mereka berat. Teraniaya secara sistematis. Orang teraniaya biasanya doanya lebih didengar Tuhan. Malati," tambahku.
****

Sore tadi aku memberikan konsultasi pada Christian dan Fatimah --bukan nama sebenarnya. Keduanya merasa saling berjodoh. Tak bisa dipisahkan. 

Christian adalah anak seorang pendeta dari kekristenan konservatif. Sedangkan Fatimah, putri seorang Muslim Sunni-Nahdliyyin taat. 

Entah bagaimana keduanya bertemu. 

Fatimah kerap mengikuti beberapa forum interfaith yang melibatkanku. Pemikirannya progresif -- meski ia berproses di organisasi mahasiswa Islam yang menurutku moderat minimalis.

Bagiku, relasi mereka merupakan tantangan baru bagiku mengingat Christian tidak bergereja di sinode yang melayani pemberkatan PBA. Selama ini, klien-klienku berasal dari kekristenan yang berani melayani PBA, termasuk, tentu saja, Katolik. 

Untuk memudahkan, aku biasanya membagi percakapan PBA dalam tiga level. Level pertama, mengecek kesiapan pasangan yang menjalani. Jika ada salah satu dari mereka yang terdeteksi memaksa pindah agama, aku biasanya akan menghentikan sementara, meminta keduanya merenung dan berpikir ulang; diteruskan atau tidak. Di level ini, Christian dan Fatimah lolos. Mereka saling support keyakinan masing-masing. Good.


Level kedua; keluarga. Jika ada salah satu atau kedua keluarga pasangan yang nyrimpeti maka langkah-langkah penanganan perlu dilakukan. Peran pasangan sangat krusial dalam meyakinkan keluarga. Pihak ketiga bisa dihadirkan untuk meyakinkan keluarga. 

Di level ini, keluarga pasangan tidak keberatan keduanya PBA sepanjang pencatatannya di Dukcapil --syarat dari keluarga Christian-- dan melakukan akad nikah --syarat dari keluarga Fatimah. Bagiku, ini masih bisa ditoleransi. Artinya, secara teoritik dan praktik dapat disinkronkan. 

Level ketiga; pencatatan perkawinan. Untuk merealisasikan level dua maka menjadi keharusan menemukan gereja yang bisa memfasilitasi pemberkatan beda agama. Tanpa pemberkatan mustahil ada surat keterangan pemberkatan. Ketiadaan surat ini berarti kegagalan melangkah ke Dukcapil. 

Pada level ini, kami juga wajib memetakan Dukcapil mana yang masih melayani PBA. Sebagai catatan, hampir semua Dukcapil i Indonesia telah menutup "pintunya" bagi PBA. Untuk apa punya surat pemberkatan PBA dari gereja jika Dukcapil tidak mau menerimanya?

Kami terus mendiskusikan opsi-opsi yang tersedia, dengan mempertimbangkan tingkat kegagalan yang bisa diprediksi. 

"Hanya tersedia tiga model untuk melanggengkan relasi kalian," ujarku sembari mengurai secara detil ketiganya. 

"Kami memilih model pertama, Gus, model seperti PBAnya Riyan dan Ara," ujar Fatimah.
"Sip. Aku juga berpikir demikian," aku menimpali. 

Wanti-wanti terus aku gaungkan, khususnya seputar ketahanan (endurance) mereka menghadapi proses panjang nan melelahkan dari model yang mereka pilih. 

Betapa aku salut pada mereka, salut atas kesadaran memanggul dan menghadapi penderitaan yang dihadapi.(*)


https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0VtxVoRFnUfQwZtZ2k9zpXHnicQb7EMQMvN3dkruT2eRmVktt3WRSZHAkeeUjZE15l/?app=fbl

PERTAMA KALI SEJAK GEREJA INI BERDIRI


Meski seringkali posting terkait gereja dan kekristenan selama Ramadlan namun baru tadi sore aku buka bersama di gereja. Acara ini murni inisiatif mereka. Inisiatif tersebut tidak pernah aku duga sebelumnya.


Sekitar seminggu lalu, telponku berdering. Panggilan dari seseorang yang telah lama aku tahu meski tidak kenal secara akrab. Namanya Mastuki Pandi. 

Aku tahu dia karena kami sama-sama di sebuah grup WA para aktifis dan jurnalis Jombang. Mastuki juga anggota komite sekolah di institusi tempat pasanganku pernah mengajar. 

Yang terbaru, aku dengar ini menjadi salah satu caleg dari partai oranye --partai yang aku tahu tidak terlalu dekat dengan isu pluralisme dan kebhinekaan. 

"Halo, mas. Ini aku, Mastuki. Sampeyan ngerti gereja GKA Zion di Tunggorono? Ini aku sedang bersama pendeta dan pengurusnya," ujarnya di ujung telpon.

Hatiku langsung tidak enak. Pikiranku sudah berpikir liar, "Duh, pasti ada masalah ini," 

Entah kenapa, aku selalu merasa bertanggung jawab jika ada kejadian persekusi terhadap rumah ibadah, khususnya di Jombang. Sangat mungkin hal itu disulut oleh obsesi personal melihat Jombang sebagai barometer toleransi; di mana setiap orang merdeka beribadah dan berkeyakinan. 

Sejak kemelut HKBP di Jombang beberapa tahun lalu, aku memang sudah tidak pernah mendengar lagi persekusi gereja di Jombang. Kemelut tersebut sempat membuat Jombang lumayan menghangat. 

Aku terus berpikir, ada urusan apa Mastuki bertemu dengan para elit GKA Zion Tunggorono. Jangan-jangan ia sedang menekan gereja ini agar tidak boleh beribadah. 

"Iya, aku kenal mereka. Onok opo yo, mas?" aku mencoba tetap tenang.

"Gini, mas. Aku kan ketua RT. Gereja mereka masuk di RTku," tambahnya.

Aku makin deg-degan. Dalam modus operandi persekusi rumah ibadah, seringkali RT dan RW menjadi garda terdepat kelompok mayoritas mendaratkan nafsu arogansinya. 

Yang aku tahu, mayoritas penghuni perumahan Tunggorono adalah orang Islam. "Wah cilaka! Bakal ramai lagi di media nih," batinku.

"Piye, mas? Ada masalah apa?" tanyaku memburu.

"Ini lho, kami sedang menggagas buka bersama di halaman gereja. Aku langsung teringat njenengan kalau urusan lintas agama,"

Ploonggg....

Tanpa berpikir lama, aku langsung menghamburkan apresiasi dan janji manis untuk datang dalam acara tersebut, padahal aku belum memeriksa jadwalku terlebih dahulu.


"Apa Pdt. Made ada di situ, mas?" tanyaku. Pdt. Made adalah gembala utama di GKA Zion Jombang. Aku cukup akrab dengannya.

"Nggak mas, ini ada Pendeta Suyanto dana beberapa pengurus," tambahnya.

"Tolong berikan telponnya ke dia. Aku ingin berbicara dengannya," jawabku. 

Otak dan pikiranku terus berputar mencari tahu apakah aku masih mengingat Pdt. Suyanto. Sayangnya, aku gagal menemukan wajahnya dalam memoriku. Meski demikian aku sangat percaya diri dia pasti mengenalku.

"Halo, gus..." ujarnya di ujung telepon.

Aku selanjutnya berbicara panjang lebar. Isinya, apresiasi besar atas inisiatifnya mengadakan buka bersama di depan gereja untuk warga sekitar. Menurutku, tidak semua geraja berani mengambil inisiatif tersebut. 

Sore tadi, Selasa (2/4), aku memacu motorku ditengah mendung pekat yang menyelimuti kota Jombang, mengarahkanya ke Perumahan Pondok Indah di Tunggorono. 

Aku telah ditunggu oleh Pak Sholeh, kawanku -- guru Injil GKJW Jombang. Ia memang aku ajak ikut acara karena rumahnya dekat dengan gereja tersebut. Sebelum ke lokasi, aku terlebih dahulu mampir ke rumahnya. 

Aku mengenal Pak Sholeh sudah sangat lama. Kami sama-sama aktif dalam gerakan lintas iman di Jombang. 

Sekitar pukul 17.00 kami mendatangi lokasi buka bersama. Ada terop lumayan besar di depan gereja. Gereja ini meski berstatus Pos PI namun bangunannya cukup megah. Mungkin lebih megah ketimbang gereja induk di Jl. Pahlawan.

Kursi telah ditata rapi, menghadap ke baliho depan. Kami berdua disambut dengan akrab oleh beberapa majelis termasuk Ev. Suyanto. 

Jam 17.05 belum ada warga yang hadir. Tak seberapa lama, Pak RT Mastuki datang. Ia mengenakan jaket Banser. Aku menyalami dan memeluknya. 

Lirih aku sampaikan rasa terima kasihku. Ini adalah buka bersama pertama kali yang dihelat sejak gereja ini berdiri lebih dari 25 tahun. 

Acara dimulai sekitar 17.15. Semua kursi terisi penuh. Sebagian besar perempuannya berjilbab. 

Setelah dua sambutan disampaikan Rev. Suyanto dan Cak Mastuki, pembawa acara mempersilahkanku maju, menyampaikan gagasan seputar acara ini. 

Aku maju saja meski tanpa punya konsep yang jelas. Pelan-pelan aku ceritakan pada forum kronologi acara dan apresiasiku pada acara ini.

Sebelumnya aku mengutip ayat tentang janji Gusti terhadap mereka yang mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikannya. 

"Dalam al-Quran, Gusti pernah berjanji akan terus mengucurkan anugerah bagi siapa saja mau bersyukur. Jamuan buka bersama ini adalah ucapan rasa syukur. Gusti Alloh akan menambahkan rejekinya pada gereja ini," ucapku.

Selanjutnya aku mengupas ketersambungan perintah puasa dalam Islam dengan agama-agama sebelumnya. Artinya, orang Islam tidak bisa lagi merasa puasa adalah monopolinya. Dalam Kristen dan agama lain juga ada perintah puasa. 

"Dalam al-Quran, Tuhan meminta kita puasa agar menjadi pribadi yang bertaqwa. Taqwa bermakna; menjadi anugerah bagi sekelilingnya. Istilah al-Qurannya, rahmatan lil alamin. Kalau bahasa al-Kitabnya, menjadi terang, menjadi garam," tambahku. 


Aku menyampaikan gagasanku segayeng mungkin. Beberapa kali hadirin tertawa-tawa karena joke-joke yang aku berikan. Saking gayengnya, aku tak mampu menutup pidatoku dengan baik karena adzan tiba-tiba menyeruak. 

"Saya berharap buka bersama ini terus ditradisikan tiap tahun. Setuju nopo mboten?"

"Setujuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu," respon semua peserta.

Sebelum pulang aku sempat berbincang dengan majelis gereja dan Pak RT, meminta mereka untuk terus menjadikan perumahan ini sebagai teladan dalam interaksi antaragama. Bagiku, orang Islam akan sangat sulit toleran tanpa bantuan orang Kristen dan penganut agama lain.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler