HAMIL TUA GUSDURIAN KEPUNG


Setelah bertahun-tahun tertund a, akhirnya aku bisa mengunjungi GKJW Besowo di kecamatan Kepung Kediri. Lokasinya cukup asri dan menanjak, di lereng Gunung Kelud. Aku ke sana menupang mobil Rifan Fauzi, aktifis GDian Kediri, Senin (9/1).

Adalah mas Bowo, salah satu jemaat gereja yang juga kepala dusun Besowo, yang mengundangku. Kami bertemu saat GDian Pare dideklarasikan. Ia sempat bergabung ke sana. 

"Wis mas, wis wayahe bikin GUSDURian Kepung. Biar denyut pluralisme di wilayah Kepung semakin kokoh," ujarku di forum. 

Usulku disambut positif peserta cangkrukan yang hadir di balai pertemuan GKJW Besowo, Senin (9/1). Ada sekitar sepuluh orang di sana, termasuk para jemaat GKJW sekitar Pare. 

Pembentuakan GDian Kepung akan didahului dengan acara haul Gus Dur. Mungkin akhir bulan ini. Lokasinya di rumah pembinaan iman (RPI) desa Kepung yang menginduk di GKJW Besowo. Ada sekitar 7-10 kepala keluarga di RPI tersebut. Semuanya warga GKJW Besowo.

Sayangnya, RPI ini masih belum bisa digunakan secara optimal karena dihambat oleh camat dan beberapa tokoh Islam setempat. Dengan alasan, belum memenuhi prasyarat tanda tangan 60-90.


"Warga kami sudah lama beribadah menumpang di salah satu rumah warga di desa tersebut. Lalu kami membeli rumah di dekatnya
 Beda RT. Kami ndak enak numpang terus. Saat kami mau pindah, tidak diperbolehkan," kata salah satu warga RPI yang juga hadir dalam acara cangkrukan.

Sekitar pertengahan Desember 2022, diadakan mediasi di balai desa Kepung. Dihadiri oleh kades, perwakilan GKJW, wakapolsek, perwakilan tokoh Islam masjid desa, camat dan RT. 

Camat dan tokoh Islam keberatan dengan kepindahan RPI dan meminta agar segera memenuhi syarat pendirian gereja. Jika belum dipenuhi maka RPI hanya boleh digunakan sebulan sekali. 

Keputusan ini tentu mengecewakan pengurus dan jemaat RPI Kepung. Ibadah mereka menjadi terkendala karena keputusan tersebut. 

Secara administratif, dalam hal perizinan, rumah doa/rumah pembinaan iman/rumah persekutuan doa atau dengan sebutan lain, tidak dapat dikatakan "sejajar" dengan gereja. 

Misalnya, jika ada komunitas agama di sebuah wilayah memiliki anggota kurang dari 90 orang, mereka tetap bisa memiliki tempat beribadah. Namanya bukan gereja secara formal. Melainkan rumah doa.

Menurutku, mereka belum wajib mengurus IMB gereja. Namun jika anggotanya sudah lebih dari 90 orang, mereka bisa mulai mengurus izin tersebut. 

Artinya, berapapun jumlah pengikut sebuah agama, mereka tetap memiliki hak beribadah dan konstitusi menjamin hal tersebut.

"Apakah kamu menandatangani sesuatu saat pertemuan tersebut? Misalnya surat pernyataan atau sejenisnya?" tanyaku pada Pdt. Merrys yang ikut dalam pertemuan mediasi kala itu. Dia memastikan tidak memberikan tanda tangan apapun. Aku lega. 

Biasanya, dalam situasi seperti ini di banyak daerah, perwakilan gereja/rumah ibadah akan "ditekan," oleh kelompok intoleran dan oknum aparat untuk menandatangani surat yang intinya bersedia menghentikan kegiatan ibadah. 

Surat tersebut pada akhirnya akan dijadikan alat sandera kedepannya. Aku seringkali menjumpai hal seperti ini. Itu sebabnya aku selalu berpesan; jangan mau disuruh menandatangani apapun!

"Terus pripun, gus? Apa yang sebaiknya kami lakukan?" tanya mas Bowo.

Aku meminta mereka untuk tidak balik melawan namun tetap berusaha menggunakan gedung RPI dengan lebih optimal lagi. Tidak melakukan apapun, termasuk patah semangat, bukanlah merupakan pilihan. 

"Sekali kita memperlakukan rumah ibadah seperti onggokan mati, maka ia telah mati sejak saat itu," ujarku sembari menceritaka sekelumit kisahku saat mengawal kasus di GKJW pepanthan Ngimbang Lamongan.

Aku juga mengusulkan agar forum pertemuan tersebut menginisiasi terbentuknya GUSDURian Kepung. Dengan adanya GDian, aku percaya konsolidasi elemen lintas identitas yang selama ini telah terjalin baik di wilayah Kepung akan berjalan lebih cepat dan progresif. 

"Tapi, gus, bukannya sudah ada GUSDURian Pare?" tanya mas Bowo. 
"Ya ndak papa, komunitas GDian bisa didirikan di mana saja. Bahkan hingga level desa dan kecamatan sekalipun," ujarku.

GDian berbasis komunitas yang tidak terlalu terikat dengan otoritas kewilayahan secara administratif. Artinya, sangat dimungkinkan ada lebih dari satu simpul/komunitas dalam satu wilayah. 

Di Jombang, contohnya, ada 3 simpul GDian; Staramuda, GDian Mojoagung dan GDian Jombang. Semuanya memiliki posisi setara di hadapan skeretariat nasional (Seknas) Jaringan GUSDUrian. 

Aku sendiri berupaya membentuk sebanyak mungkin simpul GDian di wilayah Jombang. Bagiku, more will be merrier!

GDian Kepung memang belum lahir. Ia sedang berproses dalam kandungan. Hamil tua. Semoga ia bisa segera menghirup udara segar Kepung dan menjaganya.

Sebelum pulang, kami tak lupa berfoto dulu di beberapa spot komplek GKJW Besowo.(*)

OPPUNG DAN MERTUA


Aku selalu penasaran dengan apa yang sebenarnya bersarang dalam benak pejabat publik seperti Walikota Medan ini. Ia bukanlah satu-satunya pejabat yang secara vulgar dan terbuka mengumbar sentimen kebencian terhadap identitas gender dan orientasi seksual. 

Jika KUHP baru telah diimplementasikan, ia dan lainnya berpotensi terancam pidana pasal 242, "
Setiap Orang yang Di Muka Umum menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu
atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia
berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, jenis
kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
pidana denda paling banyak kategori IV."

Mungkin Bobby Nasution (BN) tidak menyadari ucapannya mengandung narasi kebencian berbasis identitas. Ia sangat mungkin justru merasa tindakannya benar, termotivasi untuk melindungi masyarakat. 

Melindungi dari apa? Inilah yang patut ditanyakan pada BN. Jika ia menganggap LGBT adalah penyakit, ia mungkin tidak perlu merasa malu untuk belajar lagi. LGBT bukanlah penyakit. 

Lelaki suka lelaki sama normalnya dengan perempuan suka lelaki maupun perempuan sama perempuan. Yang bisa dianggap berpotensi mengalami gangguan jiwa justru ketika ada orang yang tidak bisa menerima kondisi dirinya yang berujung terganggunya kondisi psikologis. 

Misalnya, ada lelaki homoseksual yang terus-terusan meyakini dirinya heteroseksual sehingga mengakibatkan kondisi jiwanya terganggu. Nah, ini yang aku sebut sebagai gangguan kejiwaan. 

Dengan kata lain, jika ada orang heteroseksual dan mengekspresikannya dengan cara menggandeng dan berciuman dengan lawan jenis, maka ia tidak sedang mengalami gangguan jiwa. Normal dan wajar --sama halnya dengan dua orang homoseksual yang memanifestasikan perasaan saling ketertarikannya di ruang publik. 

Dengan demikian, homoseksualitas dan heteroseksualitas -- juga orientasi seksual lain yang jumlahnya puluhan-- memiliki kesetaraan hak. 

Warga negara Indonesia, apapun identitas gender dan orientasi harus diperlakukan sama. Tidak peduli kita suka atau tidak. Negara ini tidak dibangun dan diatur berdasarkan perasaan tersebut.


Di titik ini, barangkali kita bisa menafsirkan apa yang pernah disampaikan oleh Menteri Luhut (LBP). Saat itu cukup banyak orang mempertonton kebodohannya. Kebencian terhadap kelompok LGBT diumbar sedemikian massifnya. Riuh rendah.

"Mereka punya hak untuk dilindungi negara karena mereka juga warga negara Indonesia," ujar Luhut sebagaiamana dikutip dari portal Kompas.com, Jumat (12/2/2016).

Luhut tidak setuju jika kelompok LGBT menjadi korban kekerasan. Ia berpesan agar masyarakat bisa merefleksikan diri dan bersikap bijak. 

"Jangan cepat menghakimi oranglah, kalau berbeda diusir, dibunuh. Silakan refleksikan diri sendiri saja," ujar dia

Sudah waktunya BS perlu banyak belajar dari LBP. Termasuk belajar bertindak adil dengan cara tidak menyamaratakan semua individu LGBT dengan predator seksual anak sesama jenis. 

Jika nekat menggebyah uyah seperti itu maka orang heteroseksual juga harus dilarang karena begitu banyak predator seksual berorientasi heteroseksual. Bahkan, secara statistik jumlahnya jauh melebihi pelaku non-heteroseksual.

Medan dikenal sebagai wilayah yang memiliki toleransi cukup tinggi. Aku pernah pernah tinggal di sana beberapa hari dan merasakan hal itu. Kelompok LGBT hidup berdampingan dengan kelompok lain. Saling menjaga dan merawat. 

Aku tidak yakin pluralitas di Medan akan terawat baik jika dikelola dengan cara seperti walikota BS; merawat dengan perasaan takut dan keengganan belajar memahami LGBT.
 
Mas Wali, belajarlah rendah hati seperti oppung dan mertuamu.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler