ADA HOMOSEKSUALITAS DALAM KOMPUTER KITA

Jika kita membenci kelompok tertentu, ada baiknya kita mengingat jasa dan kebaikan yang pernah mereka lakukan, apalagi jika dua hal tersebut hingga kini kita nikmati. 

**

Tadi malam, aku menonton lagi, untuk kedua kalinya, The Imitation Game. Film biografi apik ini menceritakan sosok Alan Turing dan jasanya bagi peradaban ini. Ia bisa dikatakan sebagai peletak dasar alat yang hampir digunakan setiap orang tiap hari; komputer. 

Turing terkenal jago dibidang matematika, profesor di Cambridge, direkrut Kerajaan Inggris untuk masuk tim rahasia memecahkan pesan-pesan sandi milik Jerman. Saat itu, Jerman tengah berperang dengan banyak negara. 

Alih-alih memecahkan sandi secara manual, Turing berupaya menciptakan alat segede dua almari besar, yang mampu memecahkan kode tersebut. Berkat alat yang diberi nama Christopher ini Inggris dan sekutunya menang perang. 

Dalam tim tersebut, ada perempuan, satu-satunya, Joan Clark. Mereka berdua sangat akrab, tak bisa hidup jika tidak bersama. Keduanya memutuskan menikah. 

Ditengah perjalanan, Turing membuat pengakuan mengejutkan. Kepada istrinya, dengan perasaan bersalah ia mengaku dirinya seorang homoseksual. Joan tidak keberatan. Baginya perkawinan tidaklah melulu seputar urusan ranjang. 

Meski demikian, pada akhirnya keduanya berpisah saat tim sandi dibubarkan. Joan berelasi dengan pria lain. 

Sedangkan Turing, ia hidup dalam kesendiriannya. Seluruh energinya dicurahkan untuk mengembangkan Christopher hingga terjadi peristiwa yang mengubah hidupnya.

Suatu ketika ia ditangkap polisi dengan tuduhan melakukan tindakan asusila karena bermesraan dengan pria. Inggris pada saat itu, tahun 1960an, sangat keras terhadap kelompok homoseksual. 

Turin dibawa ke pengadilan dan diputuskan bersalah. Hakim menawarinya dua pilihan; meringkuk dalam penjara atau melakukan terapi konversi hormonal agar menjadi heteroseksual.


"Aku memilih terapi agar bisa terus mengembangkan Christopher," ujarnya kepada Joan yang berkunjung ke rumahnya.

Joan kaget karena Turing terlihat tidak sehat, ada perubahan tidak wajar muncul dalam tubuhnya, akibat dari terapi tersebut.

Beberapa waktu kemudian, Turing melakukan bunuh diri menggunakan sianida, terdapat apel tergigit separuh tergeletak di ranjang. Kontroversi hingga kini masih menyelimuti kematiannya. Namun bisa jadi ia memilih mengakhiri hidup karena tekanan batin terkait konflik batinnya.

Kita memang perlu mengalami konflik batin, gegar otak, seandainya tidak mampu menyadari kontribusi Turing yang homoseksual atas komputer yang kita gunakan setiap saat.

Selamat pagi.(*)

https://www.facebook.com/1561443699/posts/pfbid0GiwxvsNa6UxwUiwkqU9xc5oCqdFYZPk6h65cSp6qnZwn1kaGWmWWQAtDZRE4kpiWl/?app=fbl

Bukan Kunjungan Pejabat

"Ruang direktur di sebelah mana, dik?" tanyaku kepada satpam dekat pintu masuk parkir.

Sekejab ia melihatku. Matanya reflek melakukan scanning dari atas hingga kakiku. Mungkin ia tidak menyadarinya namun aku dapat merasakannya.

Ia menunjukkan lokasi tempat direktur RS. Kristen Mojowarno berada. Aku berlalu menuju lokasi tersebut setelah mengucapkan terima kasih. Ia merespon dengan sopan.

Baru 20 detik aku berjalan, aku menoleh ke belakang, melihat satpam tersebut berlari menghampiriku. Sudah aku duga ia akan bertindak seperti itu.

"Sudah ada janji, pak?" tanya menyusuli, agak terengah. Mungkin ia mulai sadar tidak terlalu selektif dengan tamu yang ingin berjumpa dengan orang nomor satu di RS legendaris di Jawa Timur. Aku mungkin salah pilih baju siang itu. Tak ada aura formal sedikit pun. Kaos dan celana sarung. Untungnya tetap pakai sepatu. 

"Sudah, dik. Hayuk kalau mau mengantarku ke ruang direktur," kataku menawarinya. Ia akhirnya mengikutiku dari belakang.

Siang itu, Kamis, 25/11, aku janjian dengan dr. Heri Wibowo, kawan lama, mantan Kepala Dinas Kesehatan Jombang, yang kini berbakti di RS Kristen Mojowarno, sebagai direktur. 

Aku sudah sangat lama tidak masuk ke RS legendaris ini. Dulu saat masih kecil, aku beberapa kali ke sini. Ayahku, saat masih hidup, cukup sering rawat inap maupun jalan. Di kalangan masyarakat Mojoagung dan sekitarnya, RS Mojowarno cukup terkenal pelayanannya dan, tentu saja, gunjingan mitos kristenisasi. 


Aku masih ingat saat kecil, sewaktu mau menjenguk ayah yang rawat inap di sana, beberapa tetanggaku berpesan agar hati-hati, tidak terjerumus dan tergoda dengan Kristen. Mungkin mereka bermaksud bercanda. Hanya saja aku, karena masih ingusan, menganggapnya serius. 

Itu sebab aku senantiasa berjaga-jaga saat berinteraksi dengan dokter, perawat, pembantu, staff, atau siapapun yang terkait dengan rumah sakit itu. Kuatir mereka akan mencaplokku atau, yang lebih ngeri, ayahku. Saat visite pagi hari, aku selalu di samping ranjang ayahku, menjaganya dari ilusi "terkaman sekawanan serigala,"

Dulu, tiap bangsal dan kamar selalu ada salib dan lukisan Yesus, tak terkecuali ruangan ayahku. Ornamen kekristenan selalu saja mengintimidasiku, membuatku gugup dan merasa bersalah. Saat itu, jika tidak salah ingat, merupakan tahun pertamaku di pesantren Tambakberas, sekitar 1988. Perbincangan seputar kewaspadaan terhadap isu kristenisasi bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan di pesantrenku saat itu, entah sekarang.

Aku kemudian disambut Mas Heri. Tak seberapa lama, beberapa staf datang nimbrung, termasuk mas Luki dan Pdt. Siwi. Kami mengobrol banyak seputar sejarah kekristenan GKJW, tak terkecuaki aliran-aliran yang ada dan membentuk gereja ini. Sosok para misionaris dan kontribusinya juga kami diskusikan. 

"Rumah sakit ini akan merayakan kelahirannya yang ke 130, Gus," ujar mas Heri. 

Aku senang mendengar rencana ini. Beberapa usulan aku sampaikan termasuk diantaranya membuat sarasehan publik sejarah perjalanan berdirinya RSK Mojowarno. Aku tahu ini bukan hal baru.

"Hanya saja, mas, kita coba memperlebar cara pandang dan memperluas perspektif," ujarku.

Selama ini, tambahku, perbincangan terkait hal ini selalu bersifat tertutup; Kristen to Kristen. Padahal, seandainya ada tokoh Islam dilibatkan untuk menampilkan gagasan dan apresiasinya, niscaya hal tersebut akan menambah bobot dampak keberadaan RSK sebagai jangkar toleransi.

Aku meyakini masyarakat kita saat ini makin segregatif. Sentimen Islam-Kristen makin menguat dengan caranya yang lebih halus dan canggih. Tidak lagi sekasar yang dulu. 

Keberadaan institusi-institusi Kristen, tak terkecuali institusi layanan kesehatannya, perlu dinarasikan dalam semangat yang merangkul dan terbuka. Narasi ini idealnya terus digaungkan ke publik, khususnya orang Islam, sehingga meminimalisir kesalahpahaman yang tidak perlu. Sebaliknya, narasi ini justru diharapkan akan membuka ruang-ruang perjumpaan personal Islam-Kristen semakin menguat. 


Aku kemudian menceritakan beberapa pengalamanku berinteraksi dengan kekristenan, termasuk GKJW, yang hingga saat ini masih terbukti ampuh mengerem saat kemarahan dan kesalahpahaman mendatangiku. 

"Kadang aku jengkel dan marah dengan kekristenan. Rasa itu ternetralisir saat aku membayangkan kembali memori interaksi-interaksi indah yang pernah aku alami," ujarku.

Aku percaya kebaikan dan cinta kasih yang tulus akan menemukan momentumnya untuk menyadarkan dan mendewasakan seseorang, termasuk dalam beragama. Aku percaya itu.

"Mas, ayo nyari makan siang di luar. Aku terpenjara di ruang ini. Nggak bisa rokoan," ibaku disambut tawa lainnya.(*)

TESTIMONIUM MATRIMONII YANG TIDAK DIAKUI

Apa yang harus dilakukan seandainya Dukcapil tidak mau mencatat perkawinan beda agama (PBA) padahal sudah diberkati gereja?

Saat bertemu Romo Yoyon, pastur kepala Paroki Widodaren Surabaya, dalam acara doa bersama lintas agama di GKI Emaus, Senin (13/11), aku menceritakan pengalamanku mendampingi PBA. Kebetulan, pasangan yang aku dampingi umat Katolik, tetangga jauh parokinya.

"Sekarang susah, gus, mencatatkannya. Tapi kami gereja Katolik tetap melayani pemberkatan PBA," ujarnya.

"Benar, Mo. Baru-baru ini aku dikontak pasangan Katolik-Islam yang tidak dapat mencatatkannya, Mo," timpalku.

Tiga hari lalu, tambahku, aku dikontak nomor Whatsapp yang tidak aku kenal. Sebut saja namanya Valentina, Katolik yang baru saja kawin beda agama dengan pacarnya, Imron --muslim kelahiran Bojonegoro. 

Ia mengadu padaku ditolak Dispendukcapil Sidoarjo dan disarankan ke pengadilan negeri. 
"Sidang tersebut paling tidak 1-3 kali. Kami harus bagaimana? Mohon saran dan solusi dari Pak Aan," tulisnya

"Berarti kamu sudah pegang testimonium matrimonii? Bolehkah difotoin dan dikirim?" pintaku.

Tak seberapa lama, ia mengirimkan foto padaku. Testimonium matrimonii adalah nama lain dari surat perkawinan di lingkungan gereja Katolik Roma. Siapapun yang nama dan fotonya tercantum di surat tersebut berarti dianggap telah sah menjadi suami-istri. Sangat-sangat sulit bercerai kecuali mati.

Kepada Valentina aku menyarankan dua solusi untuk mencatatkan PBA yang sudah mendapat pemberkatan. Pertama, mengadukan Dispendukcapil ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI), lembaga semi-pemerintah yang bertugas mengawasi pelayanan publik lembaga milik pemerintah pusat dan daerah terasuk BUMN. Mekanisme pelaporannya cukup mudah dan tersedia di websitenya. 

Lembaga layanan milik pemerintah biasanya cukup keder saat berurusan dengan ORI. Secara teori, lembaga ini benar-benar akan menelisik prosedur dan mekanisme yag dianggap merugikan masyarakat. Dispendukcapil Sidoarjo yang menolak mencatat PBA milik Valentina dan Imron jelas merupakan tindakan maladministrasi. 

Bagaimana aku sampai pada kesimpulan itu? Jawabnya mudah; sebab Dispendukcapil Sleman bisa mencatatkan. Semua Dispendukcapil seluruh Indonesia memiliki panduan yang sama. Jika di Sleman bisa harusnya di Dispenducapil manapun bisa. 

Namun demikian, aku belum pernah mendengar ORI Jawa Timur menangani pengaduan semacam ini. Harus diakui, lembaga ini tergolong jelek dalam hal transparansi pelaporan ke publik melalui websitena, sangat belum bisa disejajarkan dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.

"Kalau mengikuti sidang ke pengadilan gimana, pak?" tanyanya.

Aku mempersilahkannya mengajukan permohonan penetapan ke PN. Sidoarjo, setelah terlebih dahulu menginformasikan terkait SEMA 2/2023. Aturan internal tersebut sangat menyulitkan pasangan PBA yang ingin meminta pertolongan hakim setelah ditolak Dispendukcapil. 

Ketua Mahkamah Agung, melalui SEMA tersebut, meminta semua hakim menolak permohonan PBA yang diajukan masyarakat. Ini sangat memalukan.

'Salah satu diantara kalian harus pindah penduduk ke Solo, Bantul, atau --terutama-- Sleman. Kabarnya, Dispenduk di tiga wilayah tersebut masih membuka peluang mencatat PBA tanpa ribet ke pengadilan terlebih dahulu," kataku.

Selama Jokowi berkuasa, nasib kabijakan PBA bisa dikatakan berada dalam kondisi paling terpuruk. hampir semua Dispendukcapil seluruh Indonesia serentak menutup pelayanannya. Kondisi ini diperparah dengan sikap Mahkamah Agung yang juga menggembok pagarnya bagi pasangan beda agama.

Sebenarnya ada solusi lain yang agak berbahaya. Aku memilih untuk tidak menyampaikannya pada Valentina karena malu. Yakni, konversi temporer --salah satu dari mereka melakukan login dan logout agama.

Beginilah susahnya Indonesia, aturan perkawinan sudah jelas; sepanjang ada agama yang bisa mengakui/memberkati sebuah perkawinan maka negara harusnya tinggal mencatatnya. 

Testimonium matrimonii adalah dokumen resmi perkawinan di lingkungan Katolik Roma. Sayangnya, dokumen tersebut tidak diakui oleh banyak Dispendukcapil, termasuk Sidoarjo.(*)

LIKU-LIKA PERKAWINAN BEDA AGAMA RIYAN & MUTIARA; SEMPAT DITOLAK KELURAHAN

Perkawinan beda agama (PBA) Riyan dan Ara berjalan lancar. Namun Ara --panggilan Mutiara -- sempat bingung saat petugas kelurahan mempersoalkan kolom agama di KTP miliknya, Islam, yang berbeda dengan milik calon suaminya, Kristen.

**
Saat mengantarkanku ke Stasiun Tugu Jogja dari tempat tinggalku di Pogung belakang CRCS UGM, aku terlebih dahulu diajak makan pengantin baru, Riyan dan Ara, Selasa (7/11). Aku melihat wajah mereka berbinar, berbalur rasa penat. Sehari sebelumnya, Aku mengikuti proses perkawinan mereka secara Kristen dan Islam, sebagaimana aku tulis dalam postingan sebelumnya. 

"Aku sempat ditolak petugas kelurahanku. Mereka bilang kolom agama di KTPku nggak sama dengan miliknya mas Riyan. Kata mereka, sistem mengharuskan kesamaan agama calon pengantin yang dibuktikan dengan KTP. Aku jadi bingung," kata Ara.

Saat itu Ara tengah mengurus formulir N1 (surat keterangan untuk nikah). Semua orang yang berkehendak kawin membutuhkan itu dari kelurahan/desa. Sebelum ke kelurahan, prosedurnya, setiap orang terlebih dahulu membawa pengantar dari RT/RW. 

Ara tentu telah mengantongi pengantar tersebut.
Dalam kebingungannya di kelurahan ia mengaku menelpon ayah dan maminya. Ia juga menelpon Riyan, calonnya. Riyan saat itu telah mengurus N1 di tempat tinggalnya. Tidak ada masalah.

"Dari Condongcatur aku langsung menuju kelurahan Kadipaten. Dari Sleman ke Yogyakarta. Aku sudah siap-siap mau ngamuk di kelurahan," ujarnya sembari menyalakan rokoknya.

Saat tiba di kelurahan Kadipaten, Riyan berkomunikasi dengan petugas kelurahan sembari menunjukkan N1 miliknya yang telah disetujui kelurahannya di Sleman. Riyan meyakini bahwa sistem administrasi kependuduk berlaku universal seluruh Indonesia; apa yang boleh di daerah tertentu juga boleh dilakukan di tempat lain. Artinya, jika Kabupaten Sleman tidak mempersoalkan N1 beda agama maka Kota Yogyakarta harusnya tidak membuat kebijakan yang melarang.

Mengetahui hal ini, petugas kelurahan tidak banyak omong lagi. Ia langsung membuatkan Ara formulir N1 tanpa memintanya mengubah kolom agamanya. Sebagai catatan, selama ini Dispenduk Kota Yogyakarta memilih menutup pintu bagi PBA, tidak seperti Kabupaten Sleman.

"Saat membuatkan formulir, wajah petugasnya kelihatan gimanaaa gitu," kata Ara sembari tersenyum. 

Tidak hanya formulir N1, Ara juga diwajibkan oleh sistem untuk membuat surat keterangan belum menikah. Menurut Ara, ia harus mengurusnya di Kantor Dispendukcapil, bukan di kelurahan atau kecamatan.

"Dapat masalah lagi di sana?" tanyaku kepo.
"Nggak, gus, lancar. KTP kami tidak dipersoalkan,"
"Aneh" sahutku.

Menurut Ara, hal ini sangat mungkin karena Ara dan Riyan memilih tidak mencatatkan perkawinannya di Yogyakarta melainkan di Sleman. 

Pengurusan PBA di Dispendukcapil Sleman, menurut Riyan, dilakukan sekitar 1-2 minggu sebelum pemberkatan. Semuanya berjalan lancar.

Sejak dulu, Sleman dikenal terbuka dalam pencatatan PBA. Saat keluar SEMA kontroversial 2/2023, Riyan dan Ara mengaku sempat deg-degan, kuatir Sleman akan menutup pintunya bagi PBA. 

"Sebentar ya, mas, kami akan diskusikan di internal dulu terkait SEMA," kata Riyan mengutip omongan dari salah satu petugas Dispendukcapil yang biasa mengurusi hal ini. 

Beberapa hari kemudian, mereka dikabari kembali oleh petugas tadi; PBA tetap bisa dilayani oleh Dispendukcapil.

"Petugasnya datang lho, gus, saat pemberkatan kemarin, meski agak telat," kata Riyan.

Beberapa menit setelah pemberkatan di GKJ Condongcatur, Minggu (5/11), usai, Ara dan Riyan berpindah ruangan; dari ruang ibadah ke ruang kecil di gereja tersebut. Di sana ada petugas Dispendukcapil dan beberapa saksi. Proses tanda-tangan surat/akta perkawinan dilakukan di sana. 

Keduanya secara formal telah mendapatkan surat kawin dari negara. Sah dan resmi, tetap dengan agama masing-masing; Kristen dan Islam --setidaknya dibuktikan oleh kolom agama di KTP mereka. 

Di titik ini, sebenarnya mereka tidak perlu lagi melakukan prosedur atau ritual apapun. Untuk apa melakukan hal-hal lainnya lha wong surat dari negara sudah ada di tangan?

Namun bagi keduanya, perkawinan bermakna lebih  dari sekedar kemenangan prosedural administratif. lebih jauh, Aktifitas suci ini adalah upaya konkrit merekognisi sumber suci dari Islam dan Kristen. Itu sebabnya, setelah pemberkatan selesai Ara dan Riyan bersama-sama melakukan akad-nikah yang aku fasilitasi.

"Aku senang sekali dengan akad nikah kemarin, gus. Banyak keluargaku dari luarkota yang semakin tahu Islam memungkinkan untuk itu," ujarnya.

Saat akad nikah, aku memang menggunakan cara klasik yang biasa dilakukan hampir semua orang Islam saat kawin. Ada beberapa hal yang yang aku tambahkan sebagai modifikasi, diantaranya; pengucapan janji perkawinan yang wajib disampaikan Ara dan Riyan di hadapan publik. 

"Ini penting agar kami yang hadir di sini bisa ikut merawat ikatan kalian berdua seandainya mengalami turbulensi kedepannya," ujarku saat itu. 

Aku juga membuatkan piagam perkawinan mereka berdua, ditandatangani oleh beberapa orang. Piagam ini merupakan simbol ikatan suci mereka. 

Beberapa hari kemudian, Riyan dan Ara berbaik hati memberiku foto surat/akta perkawinan mereka yang dikeluarkan oleh Dispendukcapil Kabupaten Sleman. Katanya, boleh dipublikasikan.

Terima kasih.

TERUS MELAWAN: DARI BUDI PEKERTI HINGGA PERKAWINAN BEDA AGAMA

Riyan dan Mutiara akhirnya meresmikan hubungannya; hubungan asmara beda agama. Tanpa perlu berganti kolom agama di KTP. Keduanya melawan arus besar pemimggiran kawin beda agama. Seperti halnya Bu Prani, guru BK dalam film Budi Bekerti. Dia tak surut mengajarkan model pendidikan yang dianggap tidak lumrah dan membahayakan sekolahnya. Film ini sangat layak tonton.

**
Pagi ini aku bersama Lail, adikku, bergegas ke GKJ Condongcatur Sleman, dari penginapan yang tak jauh dari situ. Kami berdua ingin menyaksikan ibadah pemberkatan PBA Riyan dan Ara. 

Riyan warga GKJ tersebut. Ara, pacarnya, seorang muslimah, sarjana sejarah lulusan Sanata Darma Jogja. Keduanya adalah pasangan yang selama ini aku dampingi bersama Pdt. Risang, yang memimpin ibadah pemberkatan pagi ini. 

Ara dihantar mas Bambang dan mbak Ina, orangtua yang tak lagi hidup bersama. Ara selama ini tinggal bersama ayahnya, seorang jurnalis cum aktifis. 

Pdt. Risang memimpin ibadah pemberkatan dengan gayanya yang luwes. Ia, secara tak terduga, mengundangku untuk terlibat dalam skenario ibadahnya. 

"Saya undang Gus Aan untuk menjelaskan konsep mahabbah (cinta)," katanya sembari menyerahkan mic.

Pagi itu Pdt. Risang merayakan penyatuan dua agama ini dengan mengambil simbol dari keduanya; mahabbah dan agape. Yang aku kagumi, hampir dua jam aku duduk mengikuti proses ibadah tersebut, tak satu pun kata "Yesus" muncul. Alih-alih, diksi "Tuhan yang mengasihi dan menyayangi" sangat mendominasi ibadah. 

Ah, betapa aku merasa ia dan segenap warga GKJ Condongcatur sangat rendah hati dengan caranya yang menurutku sangat ma'ruf (metode rendah hati yang jarang dipakai oleh kebanyakan orang)

Setelah pemberkatan usai, acara dilanjutkan dengan prosesi ijab-kabul. Lokasinya bergeser agak jauh, ke Taman Sari dekat Pasar Ngasem. 

Prosesi aku pimpin di hadapan puluhan hadirin. Kami bertujuh duduk melingkari meja. Aku, mas Bambang, mas Hariyo (bapaknya Riyan), Ara dan Riyan serta dua orang saksi. 

Sebelum ijab-kabul dimulai, aku persilahkan mas Bambang, bapaknya Ara, memberi sambutan. Boleh ngomong apa saja, apapun yang bergemuruh dalam hatinya.

Ia segera berpidato namun lebih mirip orasi. Maklum aktifis. Ia menceritakan sepanjang hidupnya sebagai jurnalis dan aktifis ia selalu memperjuangkan kelompok yang tertindas, menyuarakan orang-orang yang tidak bisa bersuara.

"Saat Ara menyatakan ingin membangun rumah tangga bersama Riyan yang tidak seagama, saya tersadar bahwa saya harus konsisten dengan apa yang selama ini saya perjuangkan," katanya. 

Berkali-kali lelaki yang aktif di Project Multatuli ini menghentikan pidatonya. Airmatanya terus meleleh. Suaranya kerap parau dan hilang. 

Aku tahu Ara mungkin lebih akrab kepada ibunya. Namun tak sedikitpun aku menyangsikan Ara sangat mencintai ayahnya, dengan caranya sendiri. Begitu pula sebaliknya. Anak dan bapak ini sama-sama aktifis.


Aku melirik Ara, ia terlihat berkali-kali mengusap matanya dengan tisu saat ayahnya berpidato. Mungkin ia begitu jarang mendengar bapaknya mengungkapkan curahan hati terkait dirinya, anak yang sangat dikasihinya.

Bagaimana terkait pencatatannya di Dukcapil? Bukankah Mahkamah Agung sudah melarang hakim mengabulkan permohonan PBA? 


Aku bisa katakan; Tuhan bekerja dengan jalanNya sendiri; dengan kemisteriusanNya. Bagi Dia, apa yang telah dipersatukanNya akan selalu menantang bagi manusia untuk menceraikannya. 

Menurut kabar yang berhembus, beberapa kota/kabupaten di Yogya dan Jawa Tengah masih memungkinkan untuk mencatatkan PBA. 

Selamat untuk Ara dan Riyan. Bravo bagi Ine Febriyanti dan seluruh pendukung film Budi Pekerti.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler