Bukan Kunjungan Pejabat

"Ruang direktur di sebelah mana, dik?" tanyaku kepada satpam dekat pintu masuk parkir.

Sekejab ia melihatku. Matanya reflek melakukan scanning dari atas hingga kakiku. Mungkin ia tidak menyadarinya namun aku dapat merasakannya.

Ia menunjukkan lokasi tempat direktur RS. Kristen Mojowarno berada. Aku berlalu menuju lokasi tersebut setelah mengucapkan terima kasih. Ia merespon dengan sopan.

Baru 20 detik aku berjalan, aku menoleh ke belakang, melihat satpam tersebut berlari menghampiriku. Sudah aku duga ia akan bertindak seperti itu.

"Sudah ada janji, pak?" tanya menyusuli, agak terengah. Mungkin ia mulai sadar tidak terlalu selektif dengan tamu yang ingin berjumpa dengan orang nomor satu di RS legendaris di Jawa Timur. Aku mungkin salah pilih baju siang itu. Tak ada aura formal sedikit pun. Kaos dan celana sarung. Untungnya tetap pakai sepatu. 

"Sudah, dik. Hayuk kalau mau mengantarku ke ruang direktur," kataku menawarinya. Ia akhirnya mengikutiku dari belakang.

Siang itu, Kamis, 25/11, aku janjian dengan dr. Heri Wibowo, kawan lama, mantan Kepala Dinas Kesehatan Jombang, yang kini berbakti di RS Kristen Mojowarno, sebagai direktur. 

Aku sudah sangat lama tidak masuk ke RS legendaris ini. Dulu saat masih kecil, aku beberapa kali ke sini. Ayahku, saat masih hidup, cukup sering rawat inap maupun jalan. Di kalangan masyarakat Mojoagung dan sekitarnya, RS Mojowarno cukup terkenal pelayanannya dan, tentu saja, gunjingan mitos kristenisasi. 


Aku masih ingat saat kecil, sewaktu mau menjenguk ayah yang rawat inap di sana, beberapa tetanggaku berpesan agar hati-hati, tidak terjerumus dan tergoda dengan Kristen. Mungkin mereka bermaksud bercanda. Hanya saja aku, karena masih ingusan, menganggapnya serius. 

Itu sebab aku senantiasa berjaga-jaga saat berinteraksi dengan dokter, perawat, pembantu, staff, atau siapapun yang terkait dengan rumah sakit itu. Kuatir mereka akan mencaplokku atau, yang lebih ngeri, ayahku. Saat visite pagi hari, aku selalu di samping ranjang ayahku, menjaganya dari ilusi "terkaman sekawanan serigala,"

Dulu, tiap bangsal dan kamar selalu ada salib dan lukisan Yesus, tak terkecuali ruangan ayahku. Ornamen kekristenan selalu saja mengintimidasiku, membuatku gugup dan merasa bersalah. Saat itu, jika tidak salah ingat, merupakan tahun pertamaku di pesantren Tambakberas, sekitar 1988. Perbincangan seputar kewaspadaan terhadap isu kristenisasi bukanlah sesuatu yang tabu dibicarakan di pesantrenku saat itu, entah sekarang.

Aku kemudian disambut Mas Heri. Tak seberapa lama, beberapa staf datang nimbrung, termasuk mas Luki dan Pdt. Siwi. Kami mengobrol banyak seputar sejarah kekristenan GKJW, tak terkecuaki aliran-aliran yang ada dan membentuk gereja ini. Sosok para misionaris dan kontribusinya juga kami diskusikan. 

"Rumah sakit ini akan merayakan kelahirannya yang ke 130, Gus," ujar mas Heri. 

Aku senang mendengar rencana ini. Beberapa usulan aku sampaikan termasuk diantaranya membuat sarasehan publik sejarah perjalanan berdirinya RSK Mojowarno. Aku tahu ini bukan hal baru.

"Hanya saja, mas, kita coba memperlebar cara pandang dan memperluas perspektif," ujarku.

Selama ini, tambahku, perbincangan terkait hal ini selalu bersifat tertutup; Kristen to Kristen. Padahal, seandainya ada tokoh Islam dilibatkan untuk menampilkan gagasan dan apresiasinya, niscaya hal tersebut akan menambah bobot dampak keberadaan RSK sebagai jangkar toleransi.

Aku meyakini masyarakat kita saat ini makin segregatif. Sentimen Islam-Kristen makin menguat dengan caranya yang lebih halus dan canggih. Tidak lagi sekasar yang dulu. 

Keberadaan institusi-institusi Kristen, tak terkecuali institusi layanan kesehatannya, perlu dinarasikan dalam semangat yang merangkul dan terbuka. Narasi ini idealnya terus digaungkan ke publik, khususnya orang Islam, sehingga meminimalisir kesalahpahaman yang tidak perlu. Sebaliknya, narasi ini justru diharapkan akan membuka ruang-ruang perjumpaan personal Islam-Kristen semakin menguat. 


Aku kemudian menceritakan beberapa pengalamanku berinteraksi dengan kekristenan, termasuk GKJW, yang hingga saat ini masih terbukti ampuh mengerem saat kemarahan dan kesalahpahaman mendatangiku. 

"Kadang aku jengkel dan marah dengan kekristenan. Rasa itu ternetralisir saat aku membayangkan kembali memori interaksi-interaksi indah yang pernah aku alami," ujarku.

Aku percaya kebaikan dan cinta kasih yang tulus akan menemukan momentumnya untuk menyadarkan dan mendewasakan seseorang, termasuk dalam beragama. Aku percaya itu.

"Mas, ayo nyari makan siang di luar. Aku terpenjara di ruang ini. Nggak bisa rokoan," ibaku disambut tawa lainnya.(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler