INSIDE PURWOKERTO; CERITA DARI PASTORI BELANDA


Selama di Purwokerto, aku "dititipkan," ke GKJ Bhayangkara oleh kawan-kawan GUSDURian setempat. Dengan kebaikan Pdt. Maria, aku dipersilahkan menempati salah satu kamar yang ada di rumah dinasnya. 

Rumahnya besar sekali, bergaya Belanda di jantung kota Purwokerto. Satu komplek dengan gereja. 

Agak merinding juga sih. Teringat cerita-cerita-cerita horor di banyak film. 

Hanya saja aku percaya rumah ini cukup "aman," dan sudah jinak. Setidaknya cukup banyak tanda salib dan lukisan Yesus di sana. Konon, dua tanda itu cukup ampuh untuk menangkal energi negatif.

Dan benar, selama di sana aku tidak menemukan hal-hal aneh. Semua baik-baik saja.

Justru, aku disambut dengan baik. Tidak hanya oleh puan rumah namun juga banyak jemaatnya.  Aku cukup familiar dengan gereja ini. Sudah seperti rumah sendiri. 


"Selamat pagi, Gus Aan," 

Itulah sapaan yang kerap aku terima dari banyak staff dan jemaat saat mereka bertemu denganku. Khususnya saat pagi. Hampir tiap hari aku jogging di lapangan Kranji belakang kantor Telkom Purwokerto.

Kehangatan para jemaat GKJ Bhayangkara sangat terasa pada Selasa (19/5) sore. Saat itu beberapa dari mereka mendatangi rumah dinas Pdt. Maria, untuk bertemu denganku.

Rupanya, Maria memberiku kesempatan bertemu mereka, untuk mendiskusikan apa saja terkait relasi Islam-Kristen. 

"Aku buatkan forum informal dengan wargoku ya, An," ujarnya. Aku sangat senang sekali. 

Kami ngobrol seputar banyak hal, khususnya menyangkut salah satu pandangan; kenapa Islam mainstream tidak mau mengaku realitas Yesus mati di kayu salib.

Aku menjelaskan bahwa hal itu merupakan "cara termudah," menunjukkan rasa sayang kami kepada sosok Yesus, salah satu sosok penting dalam Islam. 

"Kan ya tidak mudah merekonsiliasi kenyataan dengan ekspektasi, khususnya jika menyangkut orang yang kita cintai,: ujarku.

Ini mirip, ujarku, dengan model perawatan orang mati dalam kekristenan; tak peduli sejelek apapun jasadnya, ia biasanya akan didandani secara layak. Wajah dan tubuhnya akan dimake-up secara baik.

Cara ini tidak lantas dianggap sebagai upaya membohongi realitas yang terjadi pada jasad sang mayat. Alih-alih, ini merupakan upaya untuk menghormatinya.

"Mungkin analogi ini bisa menggambarkan kenapa Islam cenderung tidak mempercayai Yesus disalib," ujarku.

Aku tidak tahu apakah para tamu dapat menerima penjelasanku. Hanya saja, wajah mereka terlihat bisa memahaminya. Pemahaman seperti ini menurutku penting diketahui oleh orang Kristen agar lebih dapat berempati pada orang Islam yang ngotot antipenyaliban.

"Sing luwih paham, sebaiknya lebih bisa menahan diri, luwih sabar," ujarku.

"Gus, apakah dalam Al-Quran disebutkan Gusti Yesus adalah Tuhan?" tanya jemaat perempuan.

Aku termenung sejenak. 

Al-Quran pernah menyatakan ketegasan posisinya seputar keesaan Tuhan seraya mengecam siapa saja yang menyekutukannya. Posisi ini setidaknya disebutkan dalam QS. al-Maidah 73.

"Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan, bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa azab yang pedih." 


Sayangnya, begitu banyak orang Islam menggunakan ayat di atas untuk menuduh orang Kristen-trinitarian sedang menyekutukan Allah. Padahal, menurutku, mereka tidak tepat menggunakan ayat tersebut.

Ayat di atas adalah kecaman Alloh terhadap adanya tiga tuhan (triteisme). Kristen trinitarian bukanlah penganut triteisme. 

Tuhan mereka satu. Esa. Sama seperti Islam maupun Yahudi --meskipun cara memahaminya tentu saja tidak persis sama.  

"Dalam al-Quran, Isa dianggap sebagai Kalimat Allah dan Ruh Allah. Nah, apakah kalimat Allah itu Allah, apakah ruh Allah itu Allah? Tiap orang memiliki pandangan masing-masing. Berbeda itu biasa, bahkan bagus," ujarku.

Aku sendiri cukup prihatin menyaksikan banyak orang Islam yang belum mampu menahan dirinya terkait keragaman perbedaan pendapat seputar sosok Yesus. Tidak jarang, bahkan, mereka tak mampu untuk tidak melakukan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. 

"Anjingnya banyak yang mati, gus. Diracun orang. Saya tahu sendiri," kata salah satu jemaat/staff GKJ, lelaki, yang aku temui di gazebo depan gereja.

Ia merespon keherananku kenapa tidak lagi ada anjing di gereja ini. Ke mana mereka? Terakhir kali aku ke sini, ada sekitar 3-4 anjing yang kerap lalu-lalang di komplek gereja. Aku merasa ada yang hilang. Sedih. 

"Ia keluar pagar. Tak seberapa lama, saya mendengar suara aneh darinya. Dan benar, ia sudah terkapar di pinggir jalan," ujarnya sedih mengingat peristiwa tersebut sembari menunjukkan arah di mana anjing itu dikubur.

Entah sampai kapan dua agama besar di Indonesia ini bisa semakin akur dan saling memahami. Rasanya penat dan capek menyaksikan aneka kekerasan terjadi diantara mereka. 

Kekerasan seperti ini merupakan dampak dari kesalahpahaman yang menumpuk ribuan tahun. Jarang terurai hingga saat ini.

"Hayuk kita berfoto sebelum bubaran," seru Pdt. Maria.

Seperti biasanya, aku yang memilih lokasi pemotretan. Cekrek! (*)

KATEKISASI DAN PENYALIBAN DI WARKOP TEKONG


Gresik bagian Sembayat Manyar begitu panas malam ini, Selasa (3/5). Banyak orang rela keluar rumah, sekedar untuk memapah semilirnya angin.

Aku sendiri memilih nongkrong di warkop Tekong dekat kuburan mertuaku. Kopinya begitu khas Gresik. Pekat nikmat dan "jahat,"

Aku jadi teringat sesi katekisasi beberapa hari lalu, di GKI Pondok Indah. Acaranya berlangsung sekitar 1,5 jam. 

Tidak ada sesi presentasi. Murni Q&A -- Kalian bertanya, Aan menjawab.

"Kenapa Tuhan menciptakan banyak agama?" tanya Kia, penatua yang saat itu jadi moderator.

"Sejujurnya, aku tidak tahu. Namun aku bisa membayangkan apa mauNya," ujarku berusaha jujur.

Ada dua kemungkinan, setidaknya, menurutku. Pertama, Tuhan tidak bermaksud membuat banyak agama tapi manusialah yang berkreasi, mengatasnamakan Tuhan. Banyak manusia begitu berhasrat menemukan Tuhan, dengan berbagai cara. 

Kedua, ya, Tuhan memang sengaja menciptakan keragaman agama sebagai caraNya memberitahu manusia; Aku tidak hanya bisa ditemui dengan jalan tunggal lho. Banyak cara. 


Kemungkinan kedua ini memperhadapkan manusia dalam dua tawaran pelik; merasa pilihan agamanya yang paling benar --fanatis, atau menjadi lebih dewasa --meniscayakan ada kebenaran lain diluar galaksi agamanya.

"Sebelum trinitas dimenangkan secara politis sebagai model berteologi yang paling benar di lingkungan kekristenan, ada banyak jalan menuju Gusti Yesus," ujarku. 

Pengunggulan teologi trinitas, tambahku, lantas dibarengi dengan peliyanan jalan nontrinitarian. Gusti Yesus kemudian terasa dimonopoli oleh model ini. 

"Pelan-pelan, nontrinitas didemonisasi. Hanya diajarkan dalam kerangkan untuk memperkuat superioritas trinitarian," kataku. 

Akibatnya bisa ditebak; banyak orang Kristen trinitarian menjadi kurang optimal dalam mengimplementasi ajaran kasih --ajaran inti dalam Kekristenan. 

Model dan strategi seperti ini, dalam beberapa aspek, juga terjadi dalam dinamika teologi Islam yang jumlahnya cukup banyak. Saling mengunggulkan diri seraya menginjak yang-lain sebagai yang inferior.

"Gus, kenapa banyak orang Islam tidak mau percaya kalau Yesus disalib? Padahal secara historis, ia memang disalib," tanya salah satu katekisan, seingatku.

"Pertanyaan cerdas," sambutku.

Tahu nggak, lanjutku, Tuhan kalian itu, dalam al-Quran, merupakan sosok sangat terhormat. Superterhormat. 

Kami diminta menghormati sosok sepertiNya, bahkan harus rela mati-matian melakukan pembelaan seandainya ada upaya untuk menghinakan dirinya. 

"Kristologi kami tidak bisa membiarkanNya diperlakukan serendah itu, disalib, dipersekusi secara kejam dan senista itu. Kami seperti terpanggil untuk melakukan pembelaan --bahkan, jika perlu, dengan menafsirkan secara radikal realitas historis sekalipun," ujarku. 

Kekristenan melakukan pembelaan atas penyalibanNya dengan cara mengakui kejadian tersebut seraya menafsirkan penderitaan dan penghinaan tersebut dengan begitu mengagumkan. 

Sedangkan, kristologi Alquran terlihat menggunakan cara yang, katakanlah, relatif "sederhana," dan straight-forward ---menyangkal kejadian itu seraya menyatakan Tuhan yang lebih tahu kejadiannya. Cara ini, secara jujur, bukanlah genuine Al-Quran sebab ada kelompok Kristen awal, pra-Islam, yang memiliki sikap serupa, sebelum akhirnya disesatkan. 

Saya suka sekali memperhatikan bagaimana model kekristenan merawat jasad jenazah sebelum ibadah penutupan peti. Tak peduli seburuk apapun kondisi awal jenasah, ia akan dimakeup sedemikian bagus. Tampak ganteng dan cantik dengan pakaian yang begitu elegan dan anggun. Pokoknya, jenazah harus ditampilkan dengan cara terbaik di hadapan para pelayat. 

"Mungkin seperti itu kristologi al-Quran membela Kristus dalam peristiwa penyaliban. To honor him. Mungkin," terangku.

Lalu mana yang benar? Mana saja yang paling bisa membuat kita berbuat baik, menjadi rahmat, menjadi terang dan garam, bagi kehidupan ini.

Di akhir sesi, aku memberikan pengharapanku pada para katekisan. Menjadi pengikut Yesus adalah pilihan tepat. 

Pilihan tersebut memiliki konsekuensi yang tidak enteng. Sebab, mengasihi sesama manusia, bagiku, mensyaratkan kewajiban untuk bisa memahami jalan lain, jalan yang berbeda dari pilihan kita. 

"Sederhananya begini; semakin kamu Kristen, semakin kamu bisa menerima nonkristen. Semakin kamu eksklusif maka harusnya kamu semakin inklusif," ujarku.

Sementara itu, gerah dan panas terus mengurung warkop ini. (*)

Sumber tulisan di sini.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler