LIBERTY HEIGHTS; JALAN MENGENAL RAYUAN MAZMUR (ZABUR)


Film akhir tahun 90an ini, tanpa aku sadari, membimbingku mengenal kitab suci lain, dengan caranya merayu yang sangat milenial dan romantis.

Sylvia dan Ben adalah teman sekelas di SMA. Sylvia adalah Kristen taat, Afro-Amerika. Sedangkan Ben, berkulit putih-keturunan Yahudi. Meski Ben berkulit putih namun ia tergolong minoritas karena keyahudiannya.

Film tersebut berlatar belakang Amerika dalam tahap awal implementasi kebijakan integrasi di sekolah. Di negara ini, dulunya, sekolah dibedakan; untuk kulit putih dan hitam, sebelum akhirnya dibubarkan.

Secara sosiologis saat itu, tidak mungkin Ben dan Sylvia pacaran. Tidak hanya karena kedua keluarga mereka akan mati-matian  menentangnya, namun lingkungan akan mengecap mereka sebagai pemberontak dan mengucilkannya.

Namun cinta adalah cinta. Ia kudus dn meyakini semua manusia juga kudus. Ben seperti tak punya rasa takut. Ia sejak awal tertarik dengan Sylvia.

Suatu hari, diam-diam ia mengikuti Sylvia naik trem, duduk di depannya. Ia jadi sorotan para penumpang yang semuanya "patuh" duduk berdasarkan warna kulitnya.

Ben terlihat resah. Berbeda dengan Sylvia, yang sangat tenang dan dewasa. Ben seperti ingin mengajak bicara Sylvia namun bingung mau memulainya.


Aku menebak-nebak jurus apa yang akan dilakukan anak kelas satu SMA ini untuk memulai pembicaraan dengan cewek yang terlarang untuk ditaksirnya.

Di luar dugaan, Ben ternyata menanyakan kenapa Sylvia begitu tampak sangat menghayati pembacaan doa setiap hari sebelum kelas dimulai. Seperti halnya sekolah di Indonesia tempo dulu, sebelum kelas dimulai, guru akan memulainya dengan doa.

"For me, it's just a moment for myself. the big question is you. What does 23 Psalm mean to you?" Sylvia bertanya balik kepada Ben.

"I have no idea," ujarnya polos.
Ben mengaku doa tersebut sudah seperti lagu kebangsaan baginya, dibaca setiap hari sejak sekolah dasar. Namun dengan jujur ia menyatakan tidak seperti Sylvia dalam menghayatinya; I have no idea.

Keduanya menjadi lebih akrab setelahnya. Setelah sekolah, Ben kerap main ke kamar Sylvia. Tentu saja tanpa sepengetahuan orangtua Sylvia.

Meski aku tahu keduanya sangat bergairah untuk saling bercumbu namun tak pernah sekalipun mereka berciuman, kecuali saat lulus. Ben pernah ketahuan ayah Sylvia dan diusir.

Film aku hentikan sejenak. Aku berupaya mencari tahu apa isi Psalm 23. Dalam Alkitab berbahasa Indonesia Psalm diartikan Mazmur. Setahuku Mazmur merupakan nama lain dari Zabur --salah satu kitab suci milik Nabi Daud yang wajib diyakini keberadaannya oleh orang Islam-Sunni.

Aku masih ingat penjelasan guruku di madrasah ibtidaiyyah (SD). Zabur berisi syair, yang konon ketika dibacakan ia sanggup menghentikan laju daun yang sedang jatuh. Daun akan ngefreeze karena begitu indahnya isi Kitab Zabur.

Sayangnya, guruku saat itu tak mampu menunjukkan bukti keindahannya. Aku seperti Ben, tahu cerita keindahan Zabur namun "I have no idea at all,"

Bahkan hingga lulus S2 sekalipun tak ada dosen atau kiai yang sanggup memberiku bukti keindahan Zabur, Sangat mungkin mereka juga tidak pernah tahu, dalam arti membaca dan menghayatinya seperti ha

مَزْمُورٌ لِدَاوُدَ.
اللهُ رَاعِيَّ، فلَنْ يَنْقُصَنِي شَيءٌ. فِي مَرَاعٍ خَصبَةٍ يُسكِنُنِي. إلَى جَدَاوِلَ هَادِئَةٍ يَقُودُنِي.  يُنْعِشُ رُوحِي، وَعَلَى طُرُقٍ صَالِحَةٍ يَهْدِينِي، حَتَّى حِينَ أمشِي فِي وَادِي المَوْتِ المُظلِمِ، لَنْ أخشَى شَرًّا لِأنَّكَ أنْتَ مَعِي. عَصَاكَ وَعُكَّازَكَ يُشَجِّعَانَنِي. أعدَدْتَ لِي مَائِدَةً أمَامَ أعْدَائِي. بِزَيْتٍ مَسَحْتَ رَأسِي. كَأسِي امتَلأتْ وَفَاضَتْ.  الخَيْرُ وَالرَّحمَةُ يَتْبَعَانَنِي كُلَّ أيَّامِ حَيَاتِي. وَسَأمكُثُ فِي بَيْتِ اللهِ طَوَالَ حَيَاتِي.

"TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa."

Aku tertegun saat membacanya. Kalimat-kalimatnya tersusun puitis. Dalam terjemahan Indonesia, ia memakai kata "Tuhan," sedangkan dalam bahasa Inggris memakai kata "lord," Kata ini sifatnya universal dan netral. Semua penganut apapun agama/keyakinan dapat menggunakannya tanpa kuatir. 

Bahkan jika dibaca dengan penuh penghayatan sebagaimana Sylvia, seseorang bisa jadi akan sangat terpilin, terbetot, oleh kuasa kata-katanya.

Aku meyakini siapapun pembuatnya, kabarnya Daud, pasti punya dosa segunung. Sebab tanpa diragukan lagi, ia telah banyak membuat perempuan dan laki-laki patah hati, baik disengaja maupun tidak, gara-gara kata-kata rayuannya.

Daud pasti pintar merayu. Lihat saja bagaimana ia dengan Psalm 23 berupaya sangat halus dan puitis merayu pembacanya. Mereka dirayu dan disugesti untuk meyakini Tuhan akan hadir dan bertindak sesuai ekspektasi mereka.

Jutaan orang, termasuk Sylvia, mempercayai Psalm 23 dengan sepenuh hati. Setiap orang, apapun agamanya, secara ummum, pasti memiliki 1-2 ayat yang sifatnya sangat personal, yang ketika dirapalkan dengan sepenuh hati, seolah ada kekuatan di luar dirinya hadir menghampiri dan merasukinya.

Aku sendiri tak menyangka akan terasuki penggalan kitab suci ini --yang telah lama aku tahu namun baru "tahu" saat menonton film Liberty Heights. Bisa jadi aku menulis cerita ini karena terasukinya.

The Lord is my shepherd, I lack nothing. He makes me lie down.....(*)

Sumber:
https://www.biblegateway.com/passage/?search=Psalm+23&version=ERV-AR

https://www.sabda.org/alkitab/tb/?kitab=19&pasal=23

https://www.biblegateway.com/passage/?search=Psalm+23&version=NIV

MINORITAS ADALAH

Kalau kamu merasa menjadi minoritas dan merasa agak sensitif saat kata tersebut sering dinarasikan  ke ruang publik, mungkin sebaiknya kau berpikir ulang.

Saat mengisi acara seminar pendidikan politik dan doa lintasagama di GPIB Pniel Surabaya, Sabtu (16/12), seorang pendeta perempuan senior GPIB, "menggugat" penggunaan istilah minoritas. Menurutnya, kata tersebut bernada merendahkan dan berpotensi kontraproduktif bagi pembangunan kerukunan dan keragaman di Indonesia. 

Aku tak mampu memungkiri; sangat mungkin ia, sebagaimana banyak kawan-kawanku non-Islam dan/atau non-Jawa yang hidup di wilayah Islam-Jawa, memiliki pengalaman hidup tidak mengenakkan sebagai kelompok minoritas --disubordinasi, dimarginalisasi, bahkan didiskriminasi serta tak jarang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis.

Menjadi minoritas dalam konteks Indonesia adalah hidup sebagai warga negara kelas dua, yang kehadirannya kerapkali dipandang tidak ada saat pertemuan RT maupun rapat kelurahan, apalagi hadir dalam kontestasi pencalonan pilkada maupun pilpres.

Konstitusi memang tidak memperbolehkan adanya pembedaan. Namun konstitusi adalah onggokan kalimat indah yang tak berkutik dan hanya baru bisa hidup ditangan manusia. Sayangnya, tak semua manusia Indonesia sepenuh hati berjalan seiring konstitusi. 


Realitas kehidupan di Indonesia saat ini masih dalam fase barbarik; yang terkuat --biasanya identik dengan mayoritas-- akan mudah mendapatkan hak-haknya; yang terkuat, bahkan, bisa melanggar etika dan hukum tanpa perlu takut dan malu mendapat sanksi sosial atau hukum.

Sebaliknya, yang lemah --minoritas-- harus mati-matian jumpalitan untuk mendapatkan kesetaraan hak. Bahkan tak jarang ia diharuskan "tahu diri" atau "sadar posisi" saat hidup di masyarakat tanpa boleh berteriak, "Mau nggak sesekali hidup dalam posisi kami?"


Minoritas, dengan demikian, didefinisikan sebagai yang boleh dikalah, yang dapat ditindas, dan yang harus manut dengan tatanan yang diatur mayoritas. Hidup memang tidak adil bagi kelompok minoritas.

Aku menduga kuat, pendeta ini sedang berupaya agar tak terluka lebih dalam, terutama saat kata minoritas dipanjatkan ke ruang publik. Kata itu, baginya, sangat mungkin akan memicu luka dan perasaan ketertindasan yang bersemayam dalam dirinya dan memori kolektif orang-orang yang hidup bersamanya.

"Ipend, kata minoritas memang kadang terasa menyakitkan namun kita tidak bisa melarang orang mengucapkannya, sungguh pun kita tak setuju dengannya," ujarku.

Kata minoritas, tambahku, mungkin sama seperti lalat saat kita makan. Ia mengganggu namun tak bakal membuat kita mati. 

Kata minoritas, lanjutku, juga seperti debu di jalanan Surabaya. Sulit rasanya melarang debu bertebaran di kawasan jalan Rajawali. Debu akan terus ada. Ia mengganggu, betul. Namun sangat kecil kemungkinan kita akan mati saat menghirup udara Surabaya saat ini. 

"Kenapa kita tidak mati meski ada lalat dalam makanan dan debu di sekitar kita?" tanyaku balik. 

Kita tidak mati karena memiliki ketahanan tubuh yang sanggup melawan dua hal itu. Jika tubuh kita ringkih, kurang vitamin dan olahraga, serta jiwa dan pikiran tidak merdeka, daya tahan tubuh kita akan melemah. Di titik ini, lalat dan debu akan sanggup memporak-porandakan metabolisme tubuh. Secara teori, kita hanya bisa mati terkait kesehatan jika lalat dan debu bertemu dengan penyakit-penyakit yang telah bersarang terlebih dahulu dalam tubuh kita. Komorbid.

"Nggak usah terlalu terganggu dengan kata minoritas. Anggap aja kita sedang makan di pinggir jalan. Ada lalat dan debu. Dinikmati saja karena kita memiliki kekebalan tubuh lebih baik," kataku.

Dan lagi, tambahku, jika kita merasa minoritas, bukankah kita seharusnya bangga akan hal itu? Tidakkah jenderal selalu lebih sedikit ketimbang non-jenderal? Bukankah jumlah Tuhan tidak mungkin lebih banyak ketimbang ciptaanNya? Dalam pemilu, calon wakil rakyat selalu minoritas jika dibandingkan dengan para pemilih. 

Aku pernah dengar seorang pendeta mengutip ayat; banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih. Menurutku itu ayat keren.

"Ipend, supaya imunitas kita lebih kuat, aku usul, bagaimana kalau kita yakini saja bahwa minoritas adalah mereka yang-terpilih BUKAN yang-terpanggil. Setuju kah?" kataku.

Aku harus berterima kasih pada Pdt. Meggi dan seluruh jemaat GPIB Pniel Surabaya atas forum keren tersebut. Di sana aku bertemu banyak kawan, termasuk beberapa kawan Penghayat Sapto Darmo, GKJW dan HKBP serta Katolik. 

"Pulang lewat stasiun mana, gus?" tanya Roni Fauzan yang sangat baik hati mengantarku.
"Stasiun Semut, stasiun minoritas." sahutku. (*)

PENDIDIKAN ISLAM YANG DIKEBIRI

Aku merenung; seandainya shalat, ngaji al-Quran, puasa dan naik haji akan sepenuhnya mampu membuat pemeluknya menjadi toleran terhadap agama lain, di Indonesia, bukankah pemerintah tak perlu lagi bersusah payah mengusung moderasi beragama?

Seorang anak muda, jemaat GKI Sepanjang Sidoarjo, terasa menggugatku, Sabtu (9/12). Ia menanyaiku dengan tajam urgensi pelajaran agama di sekolah. Baginya, pelajaran ini sudah saatnya dihilangkan, diganti dengan pelajaran budi pekerti, etika, yang sejalan dengan realitas kebinekaan di Indonesia. 

Aku tak percaya ia sedang menggugat agamanya sendiri. Dia juga tidak menyebut agama tertentu dalam gugatan panjangnya. Namun, rasanya tidak perlu sepintar Einstein untuk tahu pemeluk agama apa yang ia maksudkan. 

Sebelumya, aku sempat bertanya dalam forum tersebut, meminta siapa saja yang hadir untuk mengangkat tangannya jika merasa pernah mengalami perisakan (bullying) karena agama dan ras/etnisnya. Aku melihat lebih dari 2/3 dari mereka mengacungkan tangannya. 

Semakin aku yakin, arah dari gugatan penanya di atas merujuk pada orang-orang Islam. Tidak ada lainnya. Keyakinanku juga diperkuat oleh hasil beberapa survei toleransi di dunia pendidikan yang dilakukan, salah satunya, PPIM UIN Jakarta dalam beberapa tahun belakangan ini. 


Sejak awal aku merasa ada yang kurang pas menyangkut bagaimana Islam diajarkan dalam dunia pendidikan dasar hingga menengah atas. Kekurangpasan ini terlihat terutama seputar toleransi terhadap agama lain, khususnya Kristen/Katolik, atau secara umum, pengikut Kristus. 

Hanya saja, selama ini aku tidak tahu secara pasti dan detilnya hingga membaca Policy Brief No. 2/Maret/2020 berjudul "Mengapa Kementerian Agama Perlu Merevisi KMA Nomor 211 Tahun 2011 dan Memperkuat Kurikulum Moderasi Beragama di Sekolah?" yang dibuat oleh Pusat Penelitian Pendidikan Agama Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta.

Dari policy tersebut kita dapat mengetahui kenapa toleransi pelajar Islam sangat tidak menggembirakan. Hal ini dikarenakan arah pendidikan agama Islam belum terlalu serius difokuskan ke sana. Ibarat kata, menurunkan demam hanya diberi vitamin tanpa obat yang mengandung paracetamol. Kemungkinan besar salah resep. 

Policy brief tersebut menyebutkan komposisi pengajaran PAI di sekolah dasar hingga menengah atas terdiri atas ibadah vertikal ritual sebanyak 51%, akidah (teologi) sebesar 15% dan yang menggembirakan akhlak (moral/etika) sebesar 34%. 

Awalnya, aku cukup senang mendapati prosentase akhlak yang relatif besar hingga menemukan fakta lain; item akhlak ternyata dibagi menjadi tiga bagian, yakni akhlak personal (misalnya, berkata jujur, tidak mencuri) sebesar 81%, akhlak civic (misalnya toleransi, kerukunan, penghormatan kepada kelompok berbeda) sebanyak 13% dan yang ketiga adalah akhlak sosial sebesar 6%. 

Komposisi di atas senyatanya telah memberikan gambaran benderan kenapa pengajaran PAI dalam sistem pendidikan nasional kita tidak mampu menumbuhkan sikap toleransi terhadap kelompok lain, termasuk terhadap kekristenan.

Alih-alih, gabungan antara ibadah dan teologi yang mengokupasi 66%% materi PAI, jika diajarkan menggunakan metode LOTS ketimbang HOTS, sangat mungkin justru malah menebalkan fanatisme beragama diantara peserta didik. 

LOTS, kependekan dari lower order thinking skills, merupakan fase terendah dalam kerangka berpikir peserta didik. LOTS hanya mengajarkan peserta didik untuk menghafal, memahami dan melakukan. 

Sedangkan HOTS --higher order thinking skills-- yang merupakan kerangka berpikir lebih maju mengajak peserta didik untuk menganalisa, mengevaluasi dan menciptakan sesuatu yang lebih baik. Kebijakan Kemdikbud saat ini mendorong para guru membawa peserta didik ke arah HOTS ketimbang berlama-lama di LOTS.

Urusan intoleransi dan radikalisme, menurut policy brief tersebut, sesungguhnya telah memiliki landasan hukum, yakni PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. 

PP tersebut menegaskan pendidikan agama bukan hanya sekedar mengembangkan pengetahuan serta penghayatan agama siswa, melainkan harus membentuk mereka menjadi warga negara yang
mampu “menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat beragama”. 

Sayangnya, arah pendidikan agama ini terasa dikhianati oleh komposisi salah obat sebagaimana telah diuraikan di atas tadi. Komposisi salah obat tersebut merupakan hasil analisis PPIM UIN Jakarta terhadap Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 211 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam.

Duet Menteri Nadien Makarim serta Menteri Yaqut jelas memiliki tugas tidak mudah terkait hal ini. Nadiem sendiri pernah bilang, intoleransi merupakan sebagai salah satu dari tiga dosa pendidikan Indonesia, selain kekerasan seksual dan perisakan. Dua menteri ini harus duduk bersama lebih lama lagi, khususnya untuk mendesain ulang pengajaran PAI agar kontek akhlak civic dan sosial lebih besar lagi, minimal separuh dari total PAI. 

****

Aku dengan jujur mengatakan pada penanya tadi, hampir mustahil menghilangkan pengajaran agama dalam pendidikan nasional, semustahil berharap ada ikan bisa hidup di darat. Kelompok Islam pasti akan menentangnya sangat keras.

Merombak ulang materi pendidikan agama, menurutku, merupakan langkah paling realistis untuk dilakukan, meskipun hal tersebut harus terlebih dahulu melalui negoisasi politik superalot nantinya.(*)

TELAT TERBAYAR NIKMAT

Aku telat datang pada undangan natalku pertama tahun ini. Acara telah selesai saat aku datang. 

"Tapi aku bersyukur, pak pend, akhirnya bisa datamg ke GPPS Kendil Wesi," ujarku pada Pdt. Lukas, salah satu gembalanya. 

Gereja ini berlokasi di Pulorejo Tembelang, dekat Sungai Brantas. Jaraknya sekitar 10-12 kilometer dari rumahku. Aku belum pernah ke sana sebelumnya. 

Saat diundang via telpon oleh Pdt. Lukas, aku sangat senang. Ini kesempatan untuk berkunjung ke sana. Aku memang selalu tertarik mengunjungi gereja-gereja baru, termasuk di Jombang. Ketertarikanku terutama berkaitan dengan cerita pendiriannya. Pastilah, batinku, tidak mudah dalam pendiriannya. 

"Sekitar 2006, kami pernah didatangi rombongan kelompok Islam dari Jombang kota. Mereka keberatan dengan gereja kami," ujar Pdt. Lukas.

Uniknya, rombongan tersebut malah justru dicegat oleh masyarakat kampung yang semuanya muslim, tidak boleh mengganggu keberadaan gereja. Oleh mereka, GPPS Kendilwesi sudah dianggap bagian dari kampung mereka. 

Pdt. Lukas adalah polisi yang memiliki ketrampilan melatih sepakbola. Sejak awal 90an, ia hidup di kampung tersebut. Ia berasal dari Talaud. 

Melalui sepakbola, relasi personalnya dengan komunitas Pulorejo terbentuk. Makin lama makin menguat. 


"Kalau ada orang meninggal, saya paling awal datang. Saat semua shalat, saya tetap di sana. Saya dan keluarga membaur dengan mereka," ujarnya sembari menyalami jemaatnya untuk berpamitan. Aku juga ikut-ikutan menyalami mereka karena di sampingnya.

"Tuhan memberkati,"

Kalimat itu berkali-kali aku dengar saat ia menyalami mereka. Aku sendiri lebih memilih mengucapkan "selamat natal," kepada mereka. Biar berbeda dari Pdt. Lukas.

Selain aku, beberapa calon legislatif juga hadir. Terlihat pula perwakilan Forkopimcam. Aku melihat beberapa perempuan berjilbab sibuk melayani pera jemaat yang makan.

Saat mereka pamit, aku memilih tetap di sana, menikmati suasana, bercengkerama dengan keluarga Pdt. Lukas dan beberapa jemaat yang masih tertinggal. 


Pdt. Lukas memperkenalkanku dengan Pdt. Ilan dari Kingmi Jakarta. Dia memimpin ibadah sore tadi. Kami berdua terlibat dalam diskusi seputar kekristenan dan situasinya di Indonesia, terutama menyangkut intoleransi.

Selain dua pendeta tadi, aku juga sangat senang bertemu kawan lamamu, Pdt. Eko --aktifis Tionghoa Jombang yang terkenal sangat kritis. Ia ternyata melayani di tempat Pdt. Lukas selama ini. Jarak gereja ini dengan rumahnya cukup jauh, sekitar 40 kilometer.

Kami berdua akhirnya bernostalgia hingga adzan isya' memanggilku. Waktunya pulang. Gerimis tebal memaksaku berteduh di pos kamling 500 meter dari gereja tersebut. 

Diam-diam, aku bersyukur telat karena mendapat banyak nikmat. 

Hujan masih terus mendera Tembelang.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler