Doa Fitri dari Pdt. Ari Mustyorini

Sudah dua kali rombongan Forum Masyarakat Gresik Pecinta Keberagaman (FORMAGAM) bersilaturahmi lebaran ke rumah mertua saya di Ngampel Manyar Gresik. Tahun kemarin dan lebaran barusan.

Formagam adalah motor gerakan toleransi di luar struktur negara, semacam FKUB swasta. Saat deklarasi beberapa tahun lalu, mereka memanfaatkan momentum kedatangan ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman dalam acara sahur bersama di Pemkab Gresik. Naskah deklasinya ditandatangani istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.

Saya masih ingat, kala itu, sempat dikritik paspampres gara-gara menyisipkan acara penandatangan deklarasi. Tidak sesuai rundown yang tertera. "Mas, harusnya kami diberitahu sejak awal supaya bisa lapor komandan," kata anggota paspampres sembari memfoto naskah deklarasi, 30 menit sebelum ditandatangani. Saya nyengir kuda. Panitia lokal berharap-harap cemas, kuatir nggak diloloskan.

Mungkin itu sebabnya, saya merasa sangat dekat dengan Formagam hingga sekarang. Saya merasa dipelakukan seperti saudara, termasuk oleh Pdt. Ari Mustyorini, pendeta di GKJW Gresik.

Pagi itu, Kamis (29/6) ia memimpin rombongan Formagam menuju rumah mertua saya. Ia datang bersama seluruh keluarganya, dan beberapa teman Formagam; Mbak Nunik, Mbak Christina Ariani, si mungil Febe, dan Pak Eko dari Paroki Gresik.

Saya sadar rute rumah mertua saya agak rumit karena harus membelah Pasar Sembayat yang super meliuk-liuk. Itu sebabnya, meski sudah saya kirimi koordinat dari GoogleMap,  saya tetap merasa perlu menyanggong rombongan di mulut desa. "Desa Ngampel Manyar. Masuk Pasar Sembayat 1 km. Nanti tanya saja desa Ngampel. Setelah sampai  Ngampel, nanya saja rumah Amiroh, Hj. Askonah / (alm) Kiai Adnan," begitu bunyi WA saya ke dia, disusul dengan "share location".

Saya tunggui mereka di Warkop Mat Seri yang letaknya di tanggul desa. Desa Ngampel memang punya tanggul besar untuk mencegah luberan banjir dari Bengawan Solo.

Datang ke rumah, rombongan lantas saya perkenalkan dengan keluarga besar the Adnans, termasuk pasangan saya, Amiroh. Sayang sekali hampir semua kakak ipar saya tidak bisa ikut  jagongi rombongan. Mereka harus melawat ke Bungah untuk bersilaturahmi dengan keluarga pesantren di sana. Riyayan ke Bungah adalah kewajiban bagi the Adnans. Dulu yang menikahkan saya dengan Amiroh adalah alm. Kiai Maimun Bungah, sebab alm. ayah mertua mengalami masalah kesehatan --sebelum akhirnya meninggal dunia sehari setelah akad nikah.

Rasanya, baik Amiroh maupun saya, telah dirawat oleh tradisi menghormati orang yang kami anggap punya integritas-relijius. Kepada mereka, kami kerap meminta barokah doa. Benar bahwa setiap orang bisa memanjatkan doanya langsung pada Alloh, namun secara sosiologis, tetap saja selalu ada aktor-aktor intermediari (bahasa prokemnya; makelar) antara Tuhan dan manusia.

"Mbak, sebelum pamit, tolong aku minta barokah doanya ya," kata saya ke Mbak Ari. Mungkin ia tidak menyangka diminta demikian, sehingga saya kembali memperkuatnya, "Iya, sampeyan doain saya dan keluarga di sini,"

Maka Mbak Ari pun memimpin doa bersama --doa yang saya pahami, dengan khitab yang jelas dlomirnya. Disamping saya ada Mas Bas, ia adalah menantu the Adnans, suami kakaknya Amiroh. Saya tidak tahu apakah ia ikut mengamini atau tidak. Saya tidak terlalu memperhatikannya karena terus menunduk khusyuk saat doa diluncurkan.

Setelah berdoa, kami melakukan ritual wajib; berfoto ria --di rumah dan di pinggir tambak.

The Eighty-four of Saints; Narasi Memori Tionghoa di Indonesia

Terima kasih bagi yang sudah berkomitmen untuk ikut project penarasian memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia".*

*Menjura

1. Yuliati Umrah, aktifis anak, Surabaya.

2. Supri, GUSDURian Banjarmasin

3. Ellen Nugroho, EIN Institute, Semarang

4. Michael Andrew, Aktivis Roemah Bhinneka dan Mahasiswa S1 Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (Non-Frater/Non-Seminaris), Surabaya

5. Pdt. Surya G, GKI Semarang

6. Muhammad Bintang Akbar, mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah UNY, Jogja

7. Freddy Mutiara, dosen Ubaya

8. Eve Jap, sedang menyelesaikan tesis di STT Harvest

9. Rovien Aryunia, profesional SDM dan aktivis MAFINDO.

10. Priyo Sambadha, Puan Amal Hayati Ciganjur, Jakarta.

11. Kristanto Tatok, teolog, GUSDURian Jatim.

12. Andreas Kristianto, aktifis GKI, GUSDURian

13. Affandi, dosen UNIM Mojokerto

14. Antonius Herujiyanto, dosen Sanata Dharma

15. Alim Tobing, SSi, Apt, RFP, Vihara BDC Surabaya

16. Muliasari Kartikawati, dosen UC, GUSDURian Jombang

17. Robi Dharmawan, GEMA INTI Jawa Timur, Surabaya

18. Adi Sujatmika Tjiong (Acong), blogger, dosen Ubaya, relawan Savy Amira Surabaya, co-founder & kontributor growthia.net, penggiat kebhinnekaan.

19. Aan Anshori, JIAD, GUSDURian Jombang

20. Sujoko Efferin, dosen Ubaya.

21. Michelle Angelia, mahasiswi S2 Ubaya

22. Mefangna Wibowo, mahasiswi S2 Ubaya

23. Pietra Widiadi, aktifis lingkungan

24. Herman Saputra Kwan, pengusaha dan aktivis sosial, Surabaya.

25. Virgo TS Anggoro, aktifis, penatua GKI Madiun

26. Jodi Galajapo, aktifis budaya, Sidoarjo.

27. Pdt. Reza Syaranamual, konselor aktifis perdamaian, Maluku.

28. Hillary Syaranamual, penggiat interfaith, Ambon.

29. Rahmat Hidayat, S2 Filsafat Agama UIN Sunan Ampel, Surabaya.

30. Kartika Ratnasari, pendidik anak berkebutuhan khusus, Mojokerto.

31. Samanera Chang Shi, BDC Surabaya

32. Deddy Marciano, dosen Ubaya, konsultan keuangan

33. Advent Sarbani, Akademi Sekretaris Widya Mandala Surabaya

34. Erfan Sutono, M.H., Generasi Muda Khonghucu.

35. Sugiandi Surya Atmaja, MATAKIN, Jakarta.

36. Ongky Setio Kuncono aktifis dialog antar iman, dosen Agama Khonghucu di berbagai perguruan tinggi.

37. Ronald Hartono, Gema INTI Makassar, Sulsel

38. Arif Muzayin, aktifis Post Institute, Blitar

39. Iryanto Susilo, aktifis Rumah Bhinneka, alumni Sinlui 81, Surabaya.

40. Js. Inggried Budiarti, rohaniawan, aktif di DPK&FKDM Tegal Jawa Tengah

41. Putu Anom Mahadwartha, dosen Ubaya, konsultan, Surabaya

42. Astuti Parengkuh, aktifis perempuan dan anak, Solo

43. Laili Anisah, aktifis perempuan, studi S2 Ilmu Hukum UGM, Jombang

44. Abaz Zahrotien, M.Hum, Jurnalis, GUSDURian Temanggung

45. Aang Fatihul Islam, dosen STKIP Jombang.

46. Najib Ilmi, penggerak Jaringan GUSDURian Malang

47. Heri Pratono, dosen Ubaya, pemerhati multikultiralisme, Surabaya.

48. Liza Kusuma, ibu rumah tangga, penggiat pluralisme dan kebangsaan, Surabaya.

49. Tonny Dian Effendi, dosen HI dan peneliti pada pusat kajian Etnis dan Diaspora Sosial Universitas Muhammadiyah Malang

50. Debby R Santosa, wiraswasta, anggota Perhimpunan Indonesia Tionghoa Malang Raya

51. Halim Eka Wardhana, redaktur bulletin berkala PSMTI Cirebon.

52. Pdt. Steve Suleeman, teolog dan dosen STT Jakarta, aktifis gender dan seksualitas.

53. Shitavadhani Devi, pengusaha, Notaris/PPAT, dosen dan aktivis, Surabaya

54. Djoko Pratomo, penggerak FORMAGAM, GKI Gresik

55. Daisy Irawan, saintis, Jakarta

56. Woro Wahyuningtyas, aktifis, Direktur JKLPK, Jakarta

57. Linna Gunawan, pendeta di GKI Kayu Putih, Jakarta

58. Novita Sutanto, pendeta di GKI, Jakarta

59. Dian Lestariningsih, peneliti dan nona Rumah Lestari, Jogja

60. Abel Kristofel, mahasiswa teologi di SAAT Malang

61. Carmia, mahasiswi teologi, Malang

62. Rebeca Harsono, aktivis pembela hak perempuan, mendamping Cina  Benteng, Tangerang

63. Soka Handinah Katjasungkana  aktivis LBH APIK Semarang

64. Fitria Sari, aktivis hak reproduksi perempuan, Pasuruan.

65. Dede Oetomo, dosen, aktifis dan pendiri GAYa NUSANTARA, Surabaya

66. Vivid Sambas, penggiat perdamaian, Surabaya

67. Siti Mazdafiah, penggiat perempuan di Savy Amira, Surabaya

68. Dony Setyawan, penulis dan pendeta di GKJ, Salatiga

69. Olin Monteiro, aktivis perempuan, Jakarta

70. Maria Engeline Santoso, dosen UI, Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN), Depok

71. Irmia Fitriyah, feminis, Surabaya

72. Damairia Pakpahan, aktivis perempuan, Jogja

73. Eddy Suprapto, aktivis dan jurnalis, Jakarta

74. Poedjiati Tan, dosen UC, aktivis, penulis dan co-founder www.konde.com, Surabaya

75. Khanis Suvianita, aktifis dan dosen, Surabaya

76. Renata Arianingtyas, aktifis HAM, Jakarta

77. Zastrouw al-Ngatawi, budayawan NU, Jakarta

78. Dhyana Wijayanti, pendidik dan penulis, Klaten

79. Putri Widi Saraswati, dokter, feminis, Bandung.

80. Agnes Dwi Rusjiati, koordinator Aliansi Bhinneka Tunggal Ika Jogjakarta

81. Rika Theo, jurnalis, tengah studi S3 di Belanda

82. Nina Rossina, ibu rumah tangga, bekerja di LSM pertanian, Bali

83. Dr. Abigail Soesana, MA.,M.Th., M.Si., dosen dan aktifis kebhinnekaan, Surabaya

84. Humam Rimba, koordinator Jaringan GUSDURian Kebumen

Kunjungan Fitri dari Paroki

Saya merasa perlu mengabarkan moment ini. Lebaran hari kedua kemarin, rombongan Paroki Santa Maria Jombang mendatangi rumah saya di Mojongapit, Senin (26/6). Tidak tanggung-tanggung, mereka dipimpin langsung oleh dua orang romonya; Rm. Warno, yang senior, dan Rm. Sentosa, lebih muda.

Saya anggap ini kunjungan spesial dan bisa dikatakan sebagai lawatan balasan. Natal tahun lalu saya dkk. diperkenankan bersilaturahmi ke Paroki. Saat itu Romo Warno terlihat kaget namun ia tampak sumringah, ada semburat kegembiraan. Wajahnya seakan berkata 'Hah? Dikunjungi orang Islam pas natalan di Paroki?  This could be too damn good to be true!'

Romo Warno memang pantas terkejut, di tengah bombardiran fatwa haram mengucapkan 'selamat natal' dari MUI, lha kok malah ada anak muda datang berjamaah ke gereja hanya untuk melanggar fatwa haram itu.

Kami saat itu datang tidak sembunyi-sembunyi. Sebaliknya, kunjungan kami bisa dikatakan demonstratif. Saya undang media dan liputannya menjadi headline di Radar Jombang besoknya. Masih saya simpan kliping korannya.

Saat datang ke rumah saya malam itu, Romo Warno dan warga Katolik tengah berusaha menampilkan keseimbangan dalam berelasi. Keseimbangan ini merupakan barometer etis dalam tata krama. Maksudnya, alangkah tidak beradabnya kita yang hanya mau disowani namun enggan sowan balik. Jika rumah atau tempat ibadahmu pernah dikunjungi penganut agama lain, maka sebenarnya kita telah berhutang kunjungan-balik kepada mereka. Sesimpel itu menurut saya.

"Eh Mo, tahu nggak, tempat duduk sampeyan itu persis dengan posisinya Modik pas main ke sini," kata saya. Modik adalah call sign Romo Didik, vikaris jenderal keuskupan Surabaya sebelum akhirnya digantikan Romo Eko. Modik memang pernah mampir ke rumah, bersama kawan saya Tatiek dan Kiky.

Malam itu ngobrol ngalor-ngidul tentang banyak hal, terutama seputar intoleransi dan inisiatif kami dalam merespon hal itu. Saya bilang akan mengadakan kegiatan "Walk for Peace" pertengahan Juli ini ---semacam kunjungan anak muda lintas iman ke beberapa rumah ibadah Jombang untuk belajar singkat tentang agama-agama. Termasuk kunjungan ke Paroki Santa Maria.

Melihat Romo Warno sangat apresiatif mendengar hal itu, saya langsung menimpali, "Tapi nganu, mo, kami datang ke Paroki pas jam makan siang ya, sekalian minta makan siang. Anggaran kami mepeeeet banget,"

Saya ngomongnya sembari cengar-cengir. Tanpa beban sama sekali. Rasa malu dan sungkan telah saya amputasi sedemikian pendek untuk mengatakan hal itu. "Oh siap Gus.. Kami senang dan siap. Ada lagi yang harus kami persiapkan?" jawabnya balik. Saya sempat mikir, "Busyet ..wong iki tengah menyindirku (nglulu, bahasa Jawa) atau serius nanya ya?" Saya memang hanya butuh makan siang saja di Paroki untuk aspek logistik.

Tak seberapa lama kemudian, datanglah Pendeta Kristian Muskanan, gembala Gereja Bethel Indonesia Jemaat Diaspora. Ia datang bersama istrinya. Pak Kris yang tahun lalu menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) cabang Jombang, adalah pendeta yang memimpin doa saat aqiqahnya Galang.

Selang sesaat setelah Pak Kris dan istrinya pamit pulang karena ada tamu, rombongan Katolik juga minta undur diri.

"Boleh pulang tapi tolong saya minta doanya ya, Mo, agar rumah ini menjadi lebih barokah," ujar saya. Romo Warno mempersilahkan Romo Sentosa memimpin doa. Kami semua khusuk mengamininya, terutama saya.

Saya bersyukur mendapat kunjungan fitri dari paroki. Ke depan, jika ada pemuka agama lain atau penghayat kepercayaan datang ke rumah saya, pasti saya akan minta mereka berdoa di rumah saya.

Histori dan Memori: Undangan Menulis Pengalaman Bergumul dengan Tionghoa

Saat diundang BDC Surabaya mengisi forum diskusi "Tionghoa dalam Lintasan Sejarah Indonesia", Jum'at (22/6), begitu banyak refleksi personal dari peserta. Kebanyakan mereka adalah Tionghoa-non Muslim. Usai acara, saya ngobrol dengan beberapa peserta, terutama untuk mendorong mereka berani menuliskan pergumulannya dengan identitas ketionghoaan. Namun bagaimanapun, tradisi oral tidak akan bertahan lama sepanjang tidak dituliskan. Peradaban hanya akan kokoh jika ada pengalaman yang dirujuk sebagai pondasi.

Undangan ini adalah ikhtiar menarasikan memori personal agar keragaman di Indonesia --terutama dalam isu Tionghoa-- menjadi lebih kaya dan semakin kokoh. Kami sadar, sangat mungkin narasi-narasi nanti berisi kepiluan dan kepedihan, namun bukankah hal itu akan menjadi lokomotif-ingatan utama agar cerita kelam tersebut tidak terulang kembali? Project ini bertajuk "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia".

Siapa yang bisa menjadi penulis?
Anda tidak perlu terlebih dulu menjadi Tionghoa untuk bisa menulis di project ini. Siapapun yang merasa pernah bersinggungan dengan identitas ketionghoaan bisa menulis kisahnya. All are invited. Yang terpenting, tulisan tersebut berbasis kisah nyata. Bukan fiksi.

Seperti apa format penulisannya?
Tidak ada format baku. Anda bisa menulis dengan berbagai gaya sepanjang menggunakan bahasa Indonesia sesuai EYD (ejaan yang disempurnakan). Tulislah sesuai kata hati. Anda bisa gunakan resep William Wallace dalam film Finding Forrester (2000), "First, you have to write with your HEART. Then rewrite it with your HEAD". Intinya, m-e-n-u-l-i-s. Jangan terlalu dipusingkan dengan apapun. Pokoknya, menulis..menulis dan menulis.

Berapa panjang tulisannya?
Anda bisa menulis minimal 600 kata  (spasi tidak dihitung), atau sekitar 1,5 halaman quarto. Maksimal? Tidak terbatas.

Apakah penulis akan mendapat honor (uang)?
Kami tidak punya anggaran dana untuk itu. Bahkan, untuk mencetaknya sebagai buku, kami belum punya uang. Namun kami yakin masih ada orang baik yang akan berdonasi untuk menerbitkannya. Hal yang kami tawarkan sebagai honor adalah kehormatan dan keabadian para penulis untuk berkontribusi bagi dialog kultural Tionghoa dan Indonesia.

Apakah nama penulis akan tercantum?
Jelas, nama setiap penulis akan dicantumkan dalam karyanya. Buku kumpulan cerita ini akan menjadi milik para penulis, khususnya. Serta menjadi milik peradaban dunia, pada umumnya.

Jika buku ini dicetak dan dijual, siapa yang mengantongi royaltinya?
Royalti akan menjadi milik para penulis. Kami belum tahu teknis pembagiannya. Namun jika boleh usul, royalti bisa digunakan untuk mendanai promosi buku ini, misalnya dengan cara mengadakan event bedah buku atau sejenisnya. Mari kita tidak mencari rejeki di proyek ini. Slogannya; dari kita untuk peradaban Indonesia.

Siapa saja yang telah bersedia menjadi penulis?
Banyak, diantaranya adalah; Acong Sudjatmika (Aktifis), Andreas Kristianto (GKI, GUSDURian), Samanera Chang Shi (BDC), Affandi (Dosen UNIM, GUSDURian), Mefangna W (praktisi SDM), Muliasari Kartikawati (Dosen UC, GUSDURian), Michelle Angelia (mahasiswi pascasarjana), Kristanto Tatok (teolog, GUSDURian), Sujoko Efferin (Dosen Ubaya), Robi Dharmawan (INTI Muda), Aan Anshori (JIAD, GUSDURian).

Batas Akhir Pengiriman
Diharapkan seluruh tulisan telah terkumpul paling lambat 15 Agustus 2017, dan dikirim ke tulisantionghoa@gmail.com

Kontak Inisiator
Siapa saja yang berminat menulis, silahkan menghubungi Aan Anshori 08155045039 (WA), Twitter @aananshori FB. aan.anshori@gmail.com atau http://www.aananshori.web.id

Penutup
Jangan pernah minder menuliskan pengalaman diri!

Thanks.

Beasiswa Training Penggerak Perdamaian dan Keberagaman Berbasis Komunitas

Latar Belakang
Pandangan bahwa ideologi dan gerakan radikal menjadi ancaman terpenting bukanlah hal yang berlebihan, mengingat rentetan aksi terorisme pada tataran internasional, regional dan nasional tetap menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Dalam konteks Indonesia, terorisme yang terjadi ditengarai meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif setelah reformasi bergulir, dan tidak dapat diabaikan bahwa gerakan terorisme tersebut membawa serta ideologi radikal yang mengancam kesatuan bangsa.      

Ideologi-ideologi dan gerakan radikal tersebut dalam kenyataannya jelas telah mampu menggerakkan aktor-aktor dari masyarakat sipil menjadi pelaku teror dan radikalisme. Hal ini terlihat dengan semakin meluasnya praktek intoleransi yang semakin masif berlangsung.

Berkembangnya aksi-aksi radikalisme dan terorisme ini pada akhirnya akan mengoyak kebinekaan, yang akibatnya, muncul ego sektarian, rasa curiga, bahkan aksi balas dendam. Jika ini terus dibiarkan maka dapat mengancam keutuhan NKRI.

Menyadari makin meningkatnya radikalisasi melalui aksi-aksi kekerasan berbasis agama dan keyakinan di Indonesia, menjadikan sebuah keprihatinan tersendiri bagi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Sebagai sebuah lembaga keumatan, PGI tetap berkeinginan memberikan kontribusi penyelesaian persoalan-persoalan ditengah kehidupan berbangsa.

Salah satu kontribusi PGI atas maraknya kasus intoleransi yang berujung pada radikalisme tersebut, mendasari PGI bersama dengan lembaga-lembaga keumatan lain seperti NU, KWI, Walubi, PHDI dan Matakin, melakukan penyusunan modul “Agama-agama Melawan Intoleransi dan Radikalisme”.

Penyusunan modul yang telah dibuat ini bebasis pada pembentukan komunitas muda lintas iman dan agama sebagai agen perubahan dan agen perdamaian untuk menjadi komunitas pioneer yang toleran. Maka dalam proses pelatihan dan sosialisasi modul ini, sekaligus juga menjadi sarana membentuk komunitas-komunitas antar iman muda yang akan menjadi fasilitator perdamaian dan kelompok yang toleran bagi komunitas mereka berasal dan diutus.

PGI menyadari bawah bekerja di hulu untuk menangani masalah intoleransi dan radikalisme adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan sebuah revolusi mental umat beragama untuk menyadari keberagaman yang menjadi esensi dan kekayaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya komprehensif dari berbagai pihak untuk mencegah gerakan radikalisme dan terorisme semakin berkembang yang dapat mengancam NKRI.

Tujuan
1. Mengenal dan memahami berbagai gerakan radikalisme berbasis identitas primordial yang berkembang di indonesia.
2. Belajar dan hidup bersama antar agama sebagai jalan mengurangi kecurigaan antar kelompok yang menjadi dasar bisa saling menghargai dan anti pada tindakan intoleransi
3. Membentuk komunitas lintas iman sebagai wadah kader-kader lintas iman agar bisa menjadi pioneer perdamaian.
4. Membentuk dan membangun kapasitas bagi kader yang bisa melakukan sosialisasi konsep toleransi dan melakukan kampanye tentang hidup di dalam kebhinnekaan.

Strategi Pelaksanaan
Persiapan
Perekrutan pemuda lintas agama yang dilakukan di daerah tempat pelaksanaan pelatihan. Rekrutmen ini dilakukan bersama dengan lembaga mitra di daerah pelaksanaan kegiatan. 
Pelaksanaan pelatihan modul toleransi kepada para pemuda pilihan yang akan menjalankan live in.

Lokasi live-in akan ditentukan di daerah pelaksanaan kegiatan yang mengambil rumah ibadah, pesantren, perkampungan masyarakat dan lain-lain yang disesuaikan untuk mencapai tujuan kegiatan.

Peserta
Peserta terdiri dari 35 orang (dari komunitas lintas iman/agama dan keseimbangan jender) di wilayah Jawa Timur. Mereka adalah kelompok usia muda antara 20-30 tahun.

Live In 
Live in adalah strategi yang dipilih untuk proses training ini. Strategi ini mejadi pilihan untuk memaksimalkan interaksi dan ralasi para peserta dengan masyarakat yang dikemuadian hari akan manjadi ruang bagi kampanye-kampanye perdamaian dan  melawan radikalisme.

Selama live-in kegiatan yang akan dilakukan oleh para pemuda lintas agama antara lain FGD : focus group disscusion (diskusi terarah) membahas isu-isu dan strategi adaptasi/bahan modul pelatihan untuk memperdalam pemahaman tentang hidup bersama dalam keberagaman dsb. Penyusunan strategi aksi yang dapat dilakukan bersama untuk meningkatkan toleransi antar umat beragama sebagai bentuk kampanye mengembangkan hidup toleran dan perdamaian dalam bingkai kebhinnekaan.

Gerakan Aksi dan Kampanye
Pelaksanaan gerakan aksi pada akhir puncak live in sesuai rancangan aksi saat FGD seperti : gotong royong membersihkan tempat ibadah lintas agama, pembuatan gambar, publikasi atau kreasi ruang publik dengan tema kebersatuan dalam keberagaman.

Mengunjungi situs-situs keagamaan yang ada di daerah lokasi kegiatan (makam Gus Dur, GKJW Mojowarno dan Pura Amartya Ngepeh).

Monitoring dan Evaluasi
Identifikasi hasil dampak pelatihan dan kegiatan live in serta aksi nyata melalui kuesioner

Tempat Pelaksanaan 
Training ini akan dilaksanakan di Klenteng Hong San Kiong Gudo Jombang, Jawa Timur pada tanggal 11-14 Juli 2017.

Pelaksana
Kegiatan ini dilaksanakan oleh PGI bekerjama dengan GUSDURian Jombang dan Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur.

Fasilitator
- Pdt. Penrad Siagian (PGI)
- Aan Anshori (JIAD)
- Amin Siahaan (JKLPK)

Pendaftaran
Pendaftaran dapat dilakukan melalui formulir online SEBELUM tanggal 5 Juli 2017. Hanya pelamar terpilih yang akan dihubungi panitia. Bagi pelamar terpilih, panitia akan menanggung akomodasi selama training, live in, field trip dan dukungan transportasi lokal.

Kontak Panitia
Affandi 085649770810 (WA) 
Susi 081217604928

Penutup
Demikian kerangka acuan ini dibuat untuk menjadi panduan pelaksanaan kegiatan.

Rilis Buka Bersama Kebangsaan bersama Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid di Kampung Pecinan Tambakbayan Bubutan Surabaya


Bertempat di Kampung Pecinan Tambakbayan Surabaya, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid melakukan buka bersama, Jumat (16/6). Acara ini dihadiri lebih dari seratus orang dari kalangan lintas agama, etnis maupun kelompok marginal lainnya.

Dalam pidatonya, ibu negara RI ke-4 menekankan pentingnya kesadaran berbangsa dan bernegara. Demokrasi dan kebhinnekaan adalah fitrah Indonesia. "Kita harus saling mengasihi, menyayangi dan menghormati di atas segenap perbedaan yang ada," kata Sinta Nuriyah.

Menurutnya, penyeragaman bertentangan dengan ruh bangsa ini dan perlu dilawan. Setiap orang perlu menyadari hal ini.

Menurut Irianto Susilo, salah satu panitia, kehadiran Sinta Nuriyah merupakan stimulasi luar biasa. Terutama untuk meneguhkan Demokrasi dan Kebhinnekaan yang tengah diobok-obok akhir-akhir ini;
"Kami masyarakat sipil Surabaya bersama Ibu Sinta berkomitmen menjaga Pancasila dan NKRI meski dengan taruhan nyawa sekalipun," kata salah satu aktifis Keuskupan Surabaya ini.

Hal senada juga disampaikan oleh Aan Anshori, aktifis GUSDURian yang juga sterring committe acara. Menurutnya bangsa ini tengah mengalami cobaan serius dalam mengelola keragaman dan intoleransi. Ia yang menyerukan seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersatu padu menjaga Pancasila dan NKRI dan tetap mengedepankan dialog dalam menyelesaikan berbagai praktek kekerasan maupun persekusi atas nama apapun.

"Kami mendesak aparat hukum tetap waspada dan tidak membiarkan siapapun menyebar kebencian atas nama apapun," ujar mantan aktifis PMII ini. Demokrasi menurutnya adalah cara paling beradab bagi Indonesia untuk mengelola kebhinnekaan secara setara.

Selain orasi dari istri Gus Dur, acara yang didukung 50 elemen ini juga diisi berbagai penampilan kesenian lintas etnis, agama dan kepercayaan.

Menjemput Lailatul Qadar di GKJW Banyuwangi

Oleh. Subhan Bastomi

Malam itu, Sabtu (10/6), aku mendapat undangan dari sahabatku gus Aan hadir dalam sebuah acara yang sangat asing bagiku, beribadah dari dalam gereja. Jujur, itu pertama kali aku lakukan walaupun sebelumnya aku sering keluar masuk gereja, tapi malam ini berbeda karena sebelumnya aku hanya berfikir ketika gereja memanggilku itu berarti aku mendapat pekerjaan dan dapurku bisa mengepul. Maklum kita hanya lelaki pemuas (tembok) atau bahasa kerennya painters (tukang cat).

Sebelum berangkat aku sempat bingung baju apa yang harus kukenakan untuk menghormati mereka dan gus Aan tidak malu punya kawan seperti saya. Karena maaf, saya tidak punya baju yang sopan. Dalam lemari saya hanya bertumpukan kaus yang bertuliskan merk cat, beberapa jersey adventure trail dan mungkin itu yang menggambarkan pekerjaan dan hobi saya. Ada beberapa hem tapi sudah tidak proporsional dengan ukuran tubuh saya, cuma satu batik andalan tapi di saku depan pas di dada tertulis MWC NU Tegalsari beserta lambang jagad berbintang sembilan.

Saya merasa baju-baju sangat tidak mungkin, "Ahh masa bodolah tentang pakaian...yang penting pantes walaupun pepatah; mengatakan ajining rogo soko busono,"

Ketika sampai di gereja pas waktu berbuka puasa. Dari beberapa teman rombonganku mungkin aku yang paling pede, mungkin karena aku yang paling sering masuk gereja. Namun sungguh, saya agak ndredek ketika kami disambut dengan senyum dan pecah suasana ketika kami dihampiru Gus Aan dengan cerah-ceria khas beliau.

Dari raut wajahnya tercermin sebuah kalimat welcome in my home. Kami pun masuk ruang makan dan dikenalkan kepada pengurus jemaat serta pendeta Krispong. Mereka berkumpul menemani kami berbuka puasa. 

Ketika pendeta Kris berkata bahwa acara dimulai pukul 18.00, kami memohon izin sebentar untuk menunaikan sholat maghrib. Mereka mempersilahkan dengan penuh hormat seakan kami adalah rombongan Raja salman yang di sambut oleh para alumni 212.

Setelah sholat magrib kami sudah ditunggu jemaat gereja. Kami dipersilahkan duduk paling depan seperti seorang kiai yang hadir dalam pengajian peringatan hari besar Islam. Saya mencoba berdamai dengan keadaan memandang sekeliling sambil menghela nafas panjang.

Dalam hati saya berkata; "Sudah kafirkah aku?" Saya tidak lupa terus beristighfar. Bukan tanpa alasan aku berfikir seperti itu. Maaf, aku nyantri di PP Darussalam 6 tahun, setelah itu berlanjut di Pesantren Al-Falah Jember. Pendidikan awalku adalah TK Khadijah, MI Miftahul Ulum, MTs Al-Amiriyyah, MA Alamiriyyah -- semuanya berafiliasi dengan Lembaga Pendidikan Maarif NU.

Anda bisa bayangkan, dengan latar belakang seperti itu, barangkali sangat normal ketika terjadi pergumulan batin yang bermuara.  Suudzon dan khusnudzon campur aduk berproses menjadi rasa pengen kentut, kencing, menjadi satu dan tidak bisa keluar. (Coba anda bayangkan sejenak rasanya)

Tapi jujur saja, memang benar itulah yang saya alami dan insyaAllah akan menjadi cerita pengantar tidur bagi anak cucuku kelak.
Kemudian, sebagai pembuka kedua, sahabat kami yang hadir diperkenalkan oleh Pdt. Kris, serta diundang ke depan beserta Pdt. Natael untuk menjadi narasumber. Acara malam itu dalam rangka bulan Kesaksian dan Pelayanan (Kespel) dengan tema "Menyongsong Masa Depan NKRI".

Kemudian oleh Pdt. Kris, kami diperkenalkan satu persatu kepada seluruh jemaat yang hadir. Mereka menyambut dengan senyum ramah serta tepuk tangan tanda penghargaan bagi kami yang telah sudi nenghadiri dan menghormati acara yang mereka.

Pendeta Natael membuka saresehan pada malam hari itu dengan lembut khas seorang ayah yang sedang memberi petuah kepada anak anaknya. Beliau memaparkan tentang sejarah Pancasila, rumusan dasar dan keragaman idenya dalam tubuh BPUPKI masa itu.

Menurut Pdt. Natael, semua pada akhirnya bermuara pada satu rumusan lima sila yang terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika. Natae juga mengejawantahkan tentang konsep anak kandung dan anak angkat, mayoritas dan minoritas. Dia memberikan satu kesimpulan; kita adalah satu. Ada quote dari almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid; tidak penting apa agamamu, apa sukumu. Ketika engkau bisa berbuat baik, mereka tidak akan bertanya apa agamamu dan apa sukumu. Kemudian Pdt. Natael menutup sesinya dengan quote KH. Hasim Muzadi; "Pancasila bukan agama tapi tidak bertentangan dengan agama. Pancasila bukan jalan tapi titik temu antara semua perbedaan jalan, beda suku budaya agama dan bahasa. Hanya Pancasila yang mampu menyatukan,"

Kemudian sesi dilanjut oleh junior saya, Tedjo Rifa'i, mantan mubaligh cilik yang sangat kondang bahkan sering satu pentas dengan Rhoma Irama dengan Nada dan Dakwahnya. Sekarang job dakwahnya sepi. Dia yang pernah sedikit "murtad" kala bergumul di rayon Al Hikam PMII Unisma Malang, merupakan seorang  advokat yang punya hubungan baik dengan beberapa tokoh ring satu Banyuwangi.

Tedjo memang punya kualifikasi berbeda dengan yang lain. Ia pernah mengikuti beberapa kursus diantaranya diklat pengacara HAM dan kursus auditor hukum yang diammpu langsung oleh Prof. Jimly Assidiqi.

Malam ini dengan sedikit ndredeg dia membawakan tema sesuai dengan kualifikasinya yaitu tentang kesetaraan dan hak asasi manusia. Tema ini sangat matching dengan materi yang disampaikan oleh pemateri sebelumnya.

Forum berjalan khidmat dan audien semakin semangat karena materi Tedjo adalah pengetahuan penting yang bisa digunakan sebagai alat melawan bullying ataupun persekusi. Harus diakui, penyampaian materinya masih sangat normatif namun cukup lumayan. Saya meyakini Tedjo menyampaikannya sembari ndredeg, ngempet kentut dan kencing.

Sesi terahir yang sangat ditunggu-tunggu jemaat adalah pemaparan sahabat saya, Aan Anshori. Katanya dia NU tapi saya belum pernah tahu ia menunjukan kartanunya hehehe...

Dengan penuh antusias seluruh jemaat menyimak apa yang disampaikan beliau dengan gaya khas LGBT --walaupun sejatinya sudah terbukti ada Galang dan Cecil. Ia sangat komunikatif memaparkan tentang bahaya radikalisme dan data-data tentang perkembangan radikalisme di Indonesia.

Wow saya sangat ngeri dengan data tersebut dan saya hampir mengangkat tangan untuk ampun menyerah tidak kuat menahan emosi kebangsaan saya yang rasanya tercabik-cabik. Namun saya tetap tegar karena saya seorang Banser yang telah lulus Diklatsus.
Benar apa yang dikatakan gus Aan ketika kita mengupas kitab suci kita dengan setengah-setengah maka itulah yang terjadi, dan saya pernah mengalami fase itu.

Saya berfikir ketika hal tersebut tidak segera kita benahi maka ancaman serius sedang mengintai bumi kita tercinta ini. Maka ada hal hal yang harus kita mulai dari kita sendiri yaitu mencoba mengimplementasikan secara utuh apa itu rahmatan lil 'alamiin. Di sana tersimpan sebuah mutiara yang bernama cinta. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Rumi bahwa Tuhan adalah segalanya Ia menganugerahi kebaikan kepada siapapun yang senantiasa tenggelam dalam lautan cinta.

Sesi dilanjut dengan tanya-jawab. Ada beberapa penanya mengungkap tentang apa yang pernah dia alami yang cukup membuat diri saya malu di hadapan tuhan. Sadar atau tidak aku atau pun kawanku yang lainnya sering bersuudzon tentang mereka. Padahal dari ungkapan mereka,  sebenarnya mereka lebih tahu dan lebih bisa mengamalkan apa itu ajaran agama kasih sebagai wujud inti dari rahmatan lil alamiin.

Bahkan jika mereka berkenan aku kan meminta maaf atas apa yang pernah aku prasangkakan terhadap mereka.

Ketika kita sadar bahwa manusia tercipta dengan segenap kekurangan; apakah pantas ketika kita selalu merasa "Akulah yang paling benar. Ketika engkau tidak seperti aku maka engkau kafir..?"

Harus kita ingat pula bahwa manusia dicipta dengan berbagai perbedaan dan bersuku-suku bangsa itu adalah haq (kebenaran). Mungkin sekarang ini urat malu kita sudah tertutup dan terlapisi lemak jahat, kolesterol atau asam urat yang menggerogoti sehingga urat malu kiat putus.

Puisi persaksian dari Taufiq WR Hidayat menjadi refleksi bahwa kita tidak akan sempurna menunaikan hidup ketika tanpa perbedaan yang saling melengkapi. Aku teringat sahabat karib saya, MHW, seorang pelukis seniman yang selalu mengajarkan cinta kasih terhadap saya. Teman saya ini terbiasa bekerja menghias ornamen pada pura seperti patung, atau pun altar untuk gereja, klenteng ataupun tempat-tempat ibadah lain.

Kadang setiap Natal dia mengajak saya untuk mendekor GPDI di Desa Jajag. Ia seorang hafidz al-Quran 30 juz (untuk yang ini hanya saya, istrinya dan Alloh saja yang tau serta itu alasan saya pake inisial).

MHW selalu mengajarkan kepada saya; cintailah apapun yang menurut nuranimu baik karena nurani tak pernah bohon. Yang membuat saya kadang merasa aneh, ketika dia melukis salib, Yesus atau ketika sedang membikin patung ogoh-ogoh, mulut MHW tidak pernah berhenti melafalkan ayat al-Quran yang dia hafal.

Saya kemarin bertanya pada dia apakah kamu tidak menista alquran dengan seperti itu? Dia hanya menjawab; fafirru ilallah (larilah menuju Allah). Jawaban itu seperti memukul telak uluhati saya karena baru sadar alam semesta beserta isinya adalah ciptaan tuhan dan hanya tuhan yang berhak menghakimi.

Pernahkah kita terfikir kenapa kita begitu mudah lupa akan perintah-perintah Allah di saat kita tersasar dan melakukan kesilapan yang berkali-kali? Pernahkah kita berfikir, kenapa begitu mudah kita melakukan perbuatan yang kita tahu akan dosanya dan silapnya? Pernahkan terlintas di benak kita kenapa kerap kali hati kita merasa begitu mudah untuk membeku hingga terlepas dari peluang-peluang membuat kebaikan?
Apakah yang telah terjadi saat itu? Apakah yang memberhentikan masa sehingga kita tersilap dan terus membuat kesilapan.

Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan (perintah-perintah) Allah, lalu Allah menjadikan mereka melupakan (amal-amal yang baik untuk menyelamatkan) diri mereka. Mereka itulah orang-orang yang fasik – derhaka” – Al- Hasyr: 19

Gereja beserta jemaatnya pada malam itu memberikan pelajaran kepada saya betapa berharganya sebuah kehidupan, indahnya toleransi dan sucinya cinta. Setelah sekian tahun saya tidak menulis, hari ini saya menulis dan ingin memprasastikan pengalaman berharga dalam hidup ini. Sebab dalam setiap fase kehidupan saya, harus ada prasasti yang bermanfaat untuk saya.

Maaf saudaraku aku pernah menista kalian. Maaf tuhanku, kami belum mampu mengurai benang kusut perselisihan. Semoga rahmatmu bisa kami implemetasikan terhadap sesama dengan penuh cinta.

Termenung di Hadapan Salib GKJW Banyuwangi

Oleh Fina Mawadah

Entah aku harus memulai ini dari mana,  yang jelas semua hal apapun itu pasti ada permulaan, pasti ada yang pertama, pertama aku masuk Banyuwangi, pertama masuk kampus, dan kali ini untuk pertama kalinya aku masuk gereja.

Menjadi yang minoritas atau bahkan satu-satunya sudah sering kualami. Satu-satunya mahasiswa fakultas ekonomi prodi manajemen semester VI UNTAG Banyuwangi yang berasal dari Sumatra (Lampung), menjadi  satu-satunya yang tidak memahami bahasa Madura ketika event silaturahim dan diskusi bersama sahabat-sahabat PMII Jember, Situbondo, Bondowoso dll.

Tapi hari ini, malam ini, 10 Juni 2017, di sini, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Banyuwangi, aku menjadi minoritas bahkan satu-satunya yang memakai hijab dalam acara buka bersama dan sarasehan.

Ragu bercampur takut ketika menerima pesan dari aktifis GUSDURian Banyuwangi, mas Ahmad "Tejo" Rifa'i, yang berisi ajakan untuk acara ini.  Bagaimana tidak, ini bukanlah hal biasa bagiku, lagi pula ini berbarengan dengan acara komisariat PMII Untag, yaitu  bukber dan diskusi dengan sahabat Anggi Dian Pratama Putra sebagai pemantiknya.

Namun atas dasar sungkan dan malu ketika menolak maka kuputuskan untuk meng"iya" kan ajakan ini.

Ragu, takut, deg-degan kembali kurasakan saat kaki ini melangkah untuk pertama kalinya memasuki halaman gereja. Namun perasaan ini seketika pecah ketika mendapat sambutan hangat dari bapak-bapak dan ibu-ibu umat Kristen di halaman tersebut.

Perasaan itu kembali muncul bahkan semakin keras ketika dihadapkan dengan hidangan buka puasa; nasi, takjil dan seperangkatnya yang telah siap untuk disantap. Takut yang kurasa karena pikiran-pikiran yang terlintas di kepala ini; "Bolehkah ini? Dosakah ini?"

Semua itu tertimpa oleh rasa malu ketika aku hanya diam, tidak makan dan minum apapun. Tidak inginnya ada ketersinggungan oleh pihak tuan rumah dan sebagai perwujudan nilai toleransi maka dengan Bismillahirrahmaanirrahiim kuberanikan diri untuk menyantap hidangan itu, meskipun dalam keadaan takut sehingga makanan ataupun minuman serasa sulit untuk ditelan.

Suasanapun mencair mengalir perlahan, setelah berbuka puasa kami rombongan melaksanakan ibadah shalat maghrib di mushala yang berada di dalam RSUD  blambangan, karena kebetulan GKJW terletak tepat di depannya. Aku pun mencurahkan segala apa yang kualami dan kurasakan pada saat itu dalam bingkai do'a kepada sang khaliq Allah SWT.

Nampaknya, lamanya waktu yang kuhabiskan menuai reaksi dari salah satu rombongan yaitu mas Bibit Ari Wijaya (Bejo). Dengan bercanda, ia berseloroh "Sangking takutnya (masuk gereja) shalatnya sampai lama," Ini menandakan bahwa ketakutan yang kurasakan begitu kentara dan dapat dipahami oleh orang lain.

Kamipun kembali memasuki gereja dalam acara selanjutnya yaitu sarasehan. Tempatnya yang di dalam gereja --tempat beribadah. Kami duduk di barisan paling depan dan posisiku duduk adalah tepat di depan salib yang dipasang dengan indahnya di aula gereja tersebut.

Perasaan yang ada dalam diri ini semakin kacau dan tidak menentu, gejolak yang ada dalam hati, dag dig dug jantung serasa dua kali lebih cepat. Pikiran yang terus berkutat pada pertanyaan "Bolehkah? Benarkah? Dosakah?" Gemetar merinding dan wajah yang tegang adalah wujud nyata yang nampak pada tubuh ini.

Sarasehan pun mengalir, dimoderatori oleh pendeta Kristanto. Sebelum dimulai kami pun diperkenalkan satu persatu. Malu luar biasa kurasakan saat itu.

Ketika narasumber pertama, Pendeta Natael Hermawan, wasekum PGI Jawa Timur, mulai menyampaikan materi dengan 2 titik pembahasan yaitu terkikisnya  toleransi dan intolerans di negeri ini. Padahal ruh dari Pancasila adalah gotong royong tanpa memandang suku, ras maupun agama. Artinya, Indonesia adalah rumah bersama. Semua untuk semua. Gus Dur pernah berkata "Tidak penting agama ataupun sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu,"

Narasumber yang kedua, mas Tejo, mengajarkan kami tentang UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana salah satu poinnya adalah kebebasan pribadi. Hal ini mengandung makna kebebasan beragama, "Yang namanya keyakinan itu tidak bisa dipaksakan," ujarnya.
Sampai di sini gemetar yang kualami semakin tidak terasa.

Memasuki pemaparan dari narasumber yang ketiga yaitu Gus Aan Anshori dari Jombang. Gejolak yang ada dalam diri yang sebelumnya sudah mulai tenang, kembali terasa bahkan semakin akut. Gemetar merinding dan wajah tegang semakin terlihat jelas. Bagaimana tidak, alangkah mengerikannya sesuatu ketika hanya dipahami secara tekstual bukan secara kontekstual, akan menjadi suatu persoalan besar di negeri ini.

Aku terlahir dari keluarga muslim, bisa dikatakan muslimku ini adalah muslim turunan dari orang tua. Aku hidup dan dibesarkan dilingkungan mayoritas muslim di desa Pulau Jaya (salah satu desa di kab. Lampung Selatan). Dan akupun bersekolah di madrasah (ibtidaiyyah, tsanawiyyah, dan aliyah) yang semua siswa dan guru nya adalah muslim.

"Lakum diinukum waliadin," menjadi peganganku, kupahami itu dengan artian selagi kita tidak mengganggu, mengusik, melarang mereka untuk beibadah dan begitupun sebaliknya, hal itu cukup. Selebihnya apapun yang mereka lakukan aku tidak mau ikut campur lebih dalam, selagi tidak keluar dari patron kita Pancasila.

Orang tua, guru ngaji, guru di sekolah tidak pernah mengajarkan untuk melarang untuk bergaul dengan yang berbeda (agama),  tidak melarang untuk menerima pemberian, bahkan mengajarkan untuk hidup saling berdampingan.  Hal tersebut membuat konstruksi diri yang kubuat untuk diri sendiri. Saya menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah heterogen, dan sangat indah ketika dapat hidup dan berjalan secara berdampingan. Namun saya membatasi diri untuk tidak ikut campur hal apapun, melainkan cukup sebatas tidak mengganggu mereka melaksanakan ibadah.

Jangankan untuk memasuki rumah ibadah agama lain, sebatas mengucapkan selamat pada hari-hari besar mereka, aku ragu tak berani dan akhirnya memutuskan untuk tidak. Hal ini bukan karena aku dilarang tapi dengan konstruksi yang telah terbangun dan juga tidak biasa melakukan itu sedari kecil.

Entah seperti apa kontruksi yg terbangun di lingkungan tempat aku dibesarkan. Namun yang kurasakan, secara garis besar semua dapat berdampingan, namun sama-sama tidak mau ikut campur hal-hal yang mendasar. Hanya sebatas tidak mengganggu.

Dan malam ini sesuatu yang baru terjadi dalam diri ini, tidak sekedar hanya ucapan, bahkan akupun masuk dan makan di dalam gereja bersama saudara-saudara yang berbeda. Gemetar merinding terasa berfluktuasi pada tubuh ini, ringan, sedang, semakin keras bahkan sangat terasa dan terlihat saat berlangsungnya sarasehan, kemudian semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Bagaimana tidak, semua yang ada di sini menerima kami dengan sangat hangat dan baik-baik, tak ada perbedaan di antara kita. Toleransi tercipta nyata di sini. Selain itu puisi yang dibawakan Taufiq Wr Hidayah, salah satu GUSDURian yang juga dikenal sebagai budayawan Banyuwangi semakin menyadarkan kita bagaimana kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Nilai-nilai toleransi sangat dirindukan. Tak sadar air mata pun mengalir dengan sendirinya.

Banyak sekali hikmah yang bisa didapatkan. Sudahilah memahami sesuatu hanya secara tekstual, sudah saat bongkar konteks yg terkandung dari teks tersebut. Beradalah dalam level toleransi. Kita hidup sebagai makhluk Tuhan yang memmpunyai kewajiban untuk beribadah dan kita juga sebagai makhluk yang berbangsa dan bernegara. 

Sebagai bangsa, Indonesia adalah Negara dengan Pancasila sebagai ideologi dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Sudah saatnya kalimat "Ketika Gus Dur hidup kami tenang, dan sekarang setelah beliau wafat kami was-was," kita ganti dengan "Hari ini kami rasakan sama halnya seperti Gus Dur masih hidup." Menjadi tugas kita semua masyarakat Indonesia untuk mewujudkan hal itu. Amin.

Rilis Konsolidasi Kebangsaan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam acara Buka dan Sahur Keliling Ramadlan 2017 di Surabaya dan Sidoarjo

Salam Kebangsaan,

Merespon situasi kebangsaan akhir-akhir ini, Ibu Negara RI-4 Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid akan mengunjungi Surabaya dan Sidoarjo. Kunjungan ini akan dikemas dalam acara konsolidasi kebangsaan bersama elemen masyarakat sipil di dua kota tersebut.

Di Surabaya, Bu Sinta akan bertemu dan berdialog dengan komponen lintas agama/etnis dan masyarakat marginal di Kampung Pecinan Tambakbayan Alun-alun Contong Bubutan, Jumat (16/6) , jam 15-18.00, diakhiri buka bersama.

Selain memberi santunan, kegiatan ini juga akan dimeriahkan  bazar lintas agama/etnis, art performances, barongsay, pembacaan macapat dan penyalaan 1000 lilin

Selanjutnya pada 17 Juni dini hari, Bu Sinta dan rombongan akan meluncur ke Klenteng Teng Swie Bio di Jln. Imam Bonjol No.124 Krian Sidoarjo untuk sahur bersama para _dluafa_, tokoh lintas agama dan etnis, serta pemangku kebijakan. Acara yang juga dimeriahkan art performance dan santunan ini diperkirakan mulai sejak pukul 23.00 (16/8) hingga 04.00 (17/8).

Tahun ini merupakan tahun ke-17 pelaksanaan buka dan sahur yang dilakukan Ibu Sinta Nuriyah. Untuk kaki ini, tema yang diusung adalah "Dengan Berpuasa Kita Genggam Erat Nilai Demokrasi dan Pluralisme". Bu Sinta ingin bersama-sama warga memperkuat keyakinan dalam meneguhkan demokrasi dan pluralisme.

Secara khusus, kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Puan Amal Hayati milik Sinta Nuriyah yang bekerja sama dengan puluhan organisasi pro demokrasi di tiap kabupaten/kota ini bertujuan (1)  memperkuat tali persaudaraan dan kerukunan antar warga masyarakat, (2) melakukan pendidikan warga (civic education) tentang sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan serta anti kekerasan, serta (3) membangun jaringan kerja sama kemanusiaan dan antikekerasan antarumat beragama.

Acara ini bersifat terbuka. Untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi masing-masing kordinator acara; Irianto Susilo (Surabaya) +62 817-0362-5368, dan Zen Haq (Sidoarjo) +62 812-3111-2390

Terima kasih

@aananshori
GUSDURian

The Wiseman Sarkaman

Saya cukup kesulitan menemukan arti kata Sarkaman meski cukup banyak entrynya di Google. Nama ini terindeks bersama nama-nama ulama besar tanah Jawa dan Madura, utamanya dengan awalan mbah.

Sarkaman adalah nama orang yang telah lama saya kenal. Lelaki berusia 63 tahunan ini hidup di lereng perbukitan Wonosalam, tepatnya di wilayah Bareng. Saya beranikan diri mengirim sms ke dia hanya untuk mengetahui arti nama itu.

"Mboten wonten artosipun Mas," jawabnya melalui pesan pendek.
Sarkaman bukanlah orang sembarangan. Ia pernah cerita betapa dulu banyak perwira kepolisian level kabupaten dan propinsi berkunjung ke rumahnya yang sangat sederhana, terutama untuk tujuan karir profesi. Bukan, Sarkaman bukan dukun, cenayang, atau kiai khos. Jauh dari itu.

'Dulu saya ini dipasrahi oleh pak Kapolri untuk menjaga perkebunannya di wilayah sini," ujarnya. Barangkali faktor itulah yang menyebabkan ia dianggap dekat dengan orang nomor satu di Trunojoyo kala itu. Kalau ingin karir polisinya meroket, tambahnya, seseorang perlu berbaik-baik dengan pucuk pimpinan, termasuk orang dekatnya.

Sarkaman sendiri merupakan salah satu majelis gereja. Sebagai pribadi yang komunikatif, Sarkaman adalah sosok penting di Bareng, setidaknya dalam gerakan massa. Sudah bertahun-tahun ia memperjuangkan nasib puluhan penggarap lahan di desanya bersengketa melawan pemilik lahan seluas ratusan hektare.

"Kami telah puluhan tahun menggarap lahan milik negara tersebut. Entah bagaimana jluntrungannya tiba-tiba kepemilikan berpindah ke perseorangan," tuturnya. Ia dan ratusan warga tetap bersikukuh atas lahan tersebut.
Sarkaman tidak bisa dikatakan terdidik. Ayah empat anak ini hanya jebolan sekolah rakyat. Namun ia cukup mafhum dengan regulasi seputar pertanahan.

Ia tak pernah minder dengan statusnya sebagai minoritas Kristen. Di Ngampungan, jumlah KK Kristen hanya 15, sangat jauh jika dibandingkan dengan kuantitas umat Islam. Meski demikian, jangan tanya kapasitasnya di politik lokal pedesaan.

"Di Ngampungan ada sekitar 4 sumber mata air. Tiga dikelola oleh PDAM. Sedangkan yang satu saya urus," ujarnya bangga. Ia mengklaim mengalirkan sumber air "miliknya" itu ke hampir 200an KK. Belum termasuk mushalla dan masjid. Ratusan KK itu cukup membayar iuran yang sangat murah dan dikelola bersama untuk merawat peralatan distribusi air . Sebagian besar untuk penggantian pipa dan kran.

Kuasa atas air ini pada gilirannya menjadikan Sarkaman punya basis legitimasi politik di sektor informal. Baginya bukanlah hal sulit untuk memenangkan seorang calon saat pemilihan umum di sektor yang ia kuasai.

"Mereka, para pengguna air, sangat loyal kepada saya. Bukan karena takut namun lebih pada kejujuran dan penghormatan yang selama ini menautkan kami," katanya.

Kejujuran tersebut nampak, misalnya, dalam arena politik elektoral pemilihan DPRD. Suatu ketika ada salah satu calon legislatif yang memintanya mendongkrak elektabilitasnya.

Untuk hal itu sang calon berjanji akan memberi bantuan jika menang. Saat mempertemukan calon dan warga, politisi tersebut menyerahkan sejumlah uang sebagai bagian dari adanya komitmen tersebut. Namun oleh Sarkaman ditolak sebab cara seperti itu berpotensi merugikan calon. "Jika akadnya ada 200 suara untuknya, saya yakin bisa meraihnya. Namun hal itu tidak cukup etis menurut saya,"

Sarkaman mengajukan model rekening bersama seperti yang kerap dilakukan dalam bisnis. Calon cukup membeli bantuan, misalnya pipa, di toko dan memberikan copy nota ke warga.

Mereka bisa mencairkan copy nota tersebut sepanjang mampu menepati janji kuota suara. Namun jika tidak tercapai, bantuan itu hangus.

"Saya emoh curang, Mas. Ndak ilok (dosa). Itu bertentangan dengan ajaran cinta kasih," ujarnya. Barangkali atas dasar senioritas dan personalitynya, warga desa mempercayainya sebagai juru mbukak bumi.

Mbukak bumi merupakan salah satu ritual penting keagamaan yang berkaitan dengan penggalian kubur. Tidak peduli yang meninggal Islam atau Kristen, Sarkaman -dan adiknya yang juga Kristen- merupakan individu yang berhak mengayunkan cangkul pertama menandai penggalian.

Sarkaman dengan jujur mengakui masa mudanya penuh gelimang dosa. Premanisme dengan berbagai varian dunia gelap tidak bisa dipisahkan dari hidupnya saat itu. Ia bahkan terobsesi bisa menjadi pemuda yang sakti sundul langit, tak mempan bacok, punya kemampuan menggendam dan menghilang serta aneka kedigdayaan lain.

Dalam perjalanan untuk hal tersebut ia membaca banyak buku dan kisah orang-orang hebat, termasuk sejarah dan ajaran Nabi Isa.

"Kesaktian itu akhirnya saya dapatkan. Bentuknya adalah ajaran cinta kasih pada semua makhluk ciptaannya, bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya," tawanya berderai. Menurutnya, pedoman hidup yang terus ia ugemi adalah sastro hendro hayu aningrat; menebar hal yang berkaitan dengan surgawi.

"Perdamaian, paseduluran, kebaikan, adalah perbuatan surgawi," ia menjelaskan penuh percaya diri. Saya agak terperanjat tak percaya cara pandang tentang surga dan surgawi itu keluar dari mulut orang ndeso seperti Sarkaman -cucu aktifis BTI yang bahkan untuk menyimpan nomor telfon di hpnya saja sudah tidak kuasa karena problem penglihatan.

Saya memang belum pernah ke rumahnya memeriksa gunungan literatur yang nangkring di rak bukunya, jika ada. Namun demikian sebanyak apapun bacaannya, saya tetap sulit percaya ia kenal dengan Ibnu Sina, filusuf besar Islam abad 10, apalagi membaca magnum opus pendeknya Itsbat al-nubuwwah li Ibn Sina. Sebab di karya itu Ibnu Sina memapar interpretasinya tentang surga - dan simbol-simbol kenabian lainnya - sebangun dengan gagasan Sarkaman.

Tanggal 26 Mei nanti saya akan menemuinya lagi. Kali ini tidak di warung kopi Pasar Pitik tapi di gerejanya di Wungurejo. Di sana kami akan membahas persiapan acara Buka Bersama Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid tanggal 29 Juni di gereja tersebut.
Datang dan bergabunglah agar saya bisa mengenalkan kalian dengan The Wiseman Sarkaman.

Perihal Lesbian dalam Al-Quran

Kira-kira seminggu lalu saya menghadiri undangan Mas Dede Oetomo, dedengkot aktifis LGBT. Founder GAYa Nusantara ini melaunching gerakan baru untuk mempromosikan hak ketubuhan dan seksualitas di komunitas muslim, namanya kerennya Coalition for Sexuality and Bodily Rights in Moslem Society, disingkat CSBR.

Dalam pertemuan di Perpus Bank Indonesia Surabaya itu saya bertemu banyak sekali aktifis dari berbagai sektor, utamanya yang concern dalam isu LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Intersex, Queer). Secara reflek, gaydar saya mendeteksi tidak sedikit dari mereka yang berorientasi seksual homo, baik gay maupun lesbian.

Gaydar merupakan kemampuan built-in yang dimiliki seorang homoseksual. Dengannya, seseorang mampu mendeteksi (awal) orientasi seksual orang lain; apakah dia hetero, homo atau biseksual tanpa perlu bertanya kepada yang bersangkutan. Meski bukan gay, saya tertarik melatih kemampuan ini. Mentor awal saya adalah Dv. Dia perempuan dan seorang L; kode umum untuk menyebut lesbian.

Kembali ke pertemuan tadi, secara tidak sengaja saya bertemu Dy, seorang kawan lama. Dia adalah direktur salah satu organisasi yang juga fokus pada isu seksualitas. Sama dengan Dv, Dy juga seorang L. Keduanya termasuk lesbian yang berani menyatakan dirinya seorang lesbian. Istilah umumnya 'sudah berani coming out'. Urusan coming out ini memang agak rumit, sebab tidak sedikit dari mereka yang masih memilih menyembunyikan identitas orientasi seksualnya.

Alasannya beragam. Ada yang masih bingung dengan eksistensi seksualitasnya, namun tidak sedikit yang belum bisa menerima realitas bahwa mereka seorang L. Entahlah, namun saya menduga faktor insekuritas dan inkonfidensi cukup dominan sebagai latar belakangnya. Bagi mereka, dalam lingkungan seperti ini, tidak mampu berelasi dengan lawan jenis merupakan beban sosial yang tidak mudah. 'Hah?! Wedok kok seneng wedok. Hueekkk...' Begitu respon miring salah satu teman saya suatu ketika.

Atau, coba tanyakan orang tua secara acak, bagaimana respon mereka saat mendapati anak perempuannya ternyata lebih menyukai perempuan ketimbang laki-laki. Saya yakin, mereka akan terguncang, raut muka mereka akan berubah tegang. Persis seperti wajah tante saya ketika menjawab pertanyaan pendek yang saya lontarkan dengan bercanda, 'Yok opo nek anak sampeyan ujuk-ujuk ngaku nek de'e seneng podo lanange?'

Dalam arus besar pandangan Islam, homoseksualitas tidak terapresiasi positif, bahkan bisa dikatakan mengalami represifitas. Pandangan minor atas orientasi-seksual ini selalu ditautkan pada peristiwa yang menimpa umat Nabi Luth. Pengalamatan ini tidak seluruhnya tepat karena terdapat unsur fakhisyah (kekejian) pada praktek masa itu. Sedangkan tidak selamanya hubungan seksual sejenis mengandung unsur tersebut. Generalisasi atas sodom dan homoseksualitas pada gilirannya berimplikasi terhadap cara pandang para ulama, terutama dalam penerapan hukum Islam atas praktek ini.

Bagaimana dengan lesbian? Nasibnya setali tiga uang. Banyak ulama menganggap praktek ini sama dengan zina, yang oleh karenanyaya berlaku hukuman zina. Namun ada juga ulama yang lebih lunak bersikap. Lesbian dianggap bukan zina karena tidak melibatkan penis dalam aktifitas seksualitas.

Melucuti Basis Represifitas
Dalam komunitas Islam, lesbianisme dianggap tercela karena dipersepsi melawan idealitas sosok perempuan. Lesbianisme adalah subversif dan “kontra-revolusioner” karena melawan garis takdir perempuan yang telah ditentukan oleh cara pandang laki-laki; yakni sebagai ibu dan istri. Sebagai istri, perempuan ditempatkan tidak lebih dari sekedar obyek seksualitas laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, posisi ini selanjutnya perlu 'disempurnakan' lagi dengan cara "mewajibkan" para istri berstatus subur agar mampu melakukan reproduksi.

Nah, seksualitas perempuan yang tidak linier dengan dua hal tersebut -termasuk lesbian- dianggap terjangkiti penyakit jiwa, yang pada akhirnya perlu disembuhkan. Menurut Habib (2007), dalam epistomologi kontemporer Arab secara umum, penyebab terjadinya homoseksualitas perempuan bisa bermacam-macam; pengalaman kekerasan oleh laki-laki, trauma kehidupan seksual, pendidikan yang salah, dan dituduh menderita gangguan jiwa ringan.

Sungguhpun demikian, sebenarnya praktek lesbianisme telah menjamur di kalangan umat Lut 40 tahun sebelum “diambil alih” laki-laki (Murray, 1997). Hasrat seksualitas antarperempuan di komunitas Islam bukanlah hal yang tabu awalnya. Pada batas tertentu, masyarakat muslim bisa mentolerir kehidupan ini, sama seperti yang juga terjadi pada kekristenan awal (Boswell, 1980).

Riset Samar Habib yang dipublikasikan pada 2007 dengan judul Female Homosexuality in the Middle East: History and Representations, menunjukkan homoseksualitas perempuan di dunia Arab bukanlah sesuatu yang dianggap saru hingga abad 13. Berbagai literatur dan karya seni menunjukkan variatifnya intimasi di kalangan perempuan.

Tidak saja terjadi di kalangan elit dan terpelajar, praktek lesbianisme juga muncul di kalangan budak perempuan. Dalam rekaman historikus Islam, Tabari, kondisi ini muncul pada saat pemerintahan al-Hadi, khalifah keempat dinasti Abbasiyyah, sebelum digantikan Harun al-Rasyid. Represifitas atas homoseksualitas mengemuka seiring bangkitnya faksi ortodoks Islam diberbagai rezim.

Meminjam Foucault, cara pandang yang memberangus lesbianisme ini dioperasikan melalui hegemoni pengetahuan. Kuasa wacana 'lesbian adalah pendosa dan melawan kehendak 'alam' berjalan dengan cara merebut tafsir teks suci dan membakukannya ke dalam berbagai produk keagamaan, lalu didistribusikan melalui berbagai institusi pendidikan dan sistem sosial yang ada.

Bagaimana teks suci dioperasikan membungkam lesbianisme dalam Islam?. Pertama, terdapat dua ayat al-Quran Surah al-Nisaa' 15-16 yang dijadikan kerap dijadikan tautan. Saya akan kutipkan.

ﻭَﺍﻟﻼَّﺗِﻲ ﻳَﺄْﺗِﻴﻦَ ﺍﻟْﻔَﺎﺣِﺸَﺔَ ﻣِﻦ ﻧِّﺴَﺂﺋِﻜُﻢْ ﻓَﺎﺳْﺘَﺸْﻬِﺪُﻭﺍْ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﺃَﺭْﺑَﻌﺔً ﻣِّﻨﻜُﻢْ ﻓَﺈِﻥ ﺷَﻬِﺪُﻭﺍْ ﻓَﺄَﻣْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒُﻴُﻮﺕِ ﺣَﺘَّﻰَ ﻳَﺘَﻮَﻓَّﺎﻫُﻦَّ ﺍﻟْﻤَﻮْﺕُ ﺃَﻭْ ﻳَﺠْﻌَﻞَ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻟَﻬُﻦَّ ﺳَﺒِﻴﻼً

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan KEJI, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”.

ﻭَﺍﻟﻠَّﺬَﺍﻥَ ﻳَﺄْﺗِﻴَﺎﻧِﻬَﺎ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻓَﺂﺫُﻭﻫُﻤَﺎ ﻓَﺈِﻥ ﺗَﺎﺑَﺎ ﻭَﺃَﺻْﻠَﺤَﺎ ﻓَﺄَﻋْﺮِﺿُﻮﺍْ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﺗَﻮَّﺍﺑﺎً ﺭَّﺣِﻴﻤﺎً

“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

Apa yang dimaksud dengan fakhisyah (kekejian) pada dua ayat tersebut? Para penafsir Al-Qura seperti Tabari, Katsir, Jalalayn, Maududi maupun Qurtuby memaknainya sebagai perzinahan-heteroseksual. Mereka setidaknya satu suara ayat ini tidak berlaku lagi setelah turunnya regulasi-quranik menyangkut perzinahan dalam al-Nuur ayat 2. Hanya duo-Jalal dalam tafsirnya, Jalalayn, yang memperluas makna kata
ya’tiyanihima pada ayat 16 dengan ‘liwat’ (sodomi). Jalalyn nampaknya mengamini pandangan madzhab Syafii yang memposisikan liwat sama seperti zina heteroseksual.

Yang menarik, jika ayat 16 ini dibaca secara konsisten dengan frame seksualitas-sejenis maka untuk pasangan gay bisa dihukum. Apa hukumannya? Tidak cukup jelas, namun menurut Ibn Katsir dan al-Suyuthi, pelaku gay cukup dicela dan digampar dengan sandal. Seandainya pasangan gay tersebut bertaubat dan memperbaiki diri maka sudah dianggap cukup.

Kemungkinan lain, jika ayat 15 ditafsirkan sebagai praktek lesbianisme, maka apakah tidak seharusnya kata ganti (dlomir) dalam kata ‘alaihinna menjadi alaihima (dua orang perempuan)? Kecuali jika Alloh memaksudkannya sebagai praktek lesbian berjamaah (orgy). Di luar penafsiran-penafsiran tadi, patut juga dibaca dua ayat sebelumnya yang membincang tentang menejemen pembagian waris, tidakkah ada kemungkinan kekejian ini berkaitan dengan peringatan tuhan agar perempuan dan laki-laki tidak berlaku culas dalam pembagian waris (financial dishonesty)?

Jadi, kalau mau jujur, kedua ayat ini terlalu spekulatif dan terkesan sangat absurd untuk merepresi seksualitas lesbian. Bagi saya, menerapkan hukuman hadd atas lesbianisme tidak bisa didasarkan pada asumsi, hipotesis, pendapat, ‘kesepakatan’ sebuah kelompok, atau bahkan hadits sekalipun.

Penghukuman ini –menurut hemat saya- membutuhkan justifikasi teks al-quran yang terang benderang, tidak interpretative, atau dalam bahasa hukum disebut beyond reasonable doubt . Apalagi hingga saat ini belum ada preseden historik Nabi pernah menghukum pelaku lesbianis pada zamannya.

Al-Quran Mengafirmasi Lesbian?
Sebaliknya, eksistensi lesbian cukup kuat terdeteksi dalam QS. 24:60.

ﻭَﺍﻟْﻘَﻮَﺍﻋِﺪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀ ﺍﻟﻠَّﺎﺗِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﺮْﺟُﻮﻥَ ﻧِﻜَﺎﺣﺎً ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﺟُﻨَﺎﺡٌ ﺃَﻥ ﻳَﻀَﻌْﻦَ ﺛِﻴَﺎﺑَﻬُﻦَّ ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﺘَﺒَﺮِّﺟَﺎﺕٍ ﺑِﺰِﻳﻨَﺔٍ ﻭَﺃَﻥ ﻳَﺴْﺘَﻌْﻔِﻔْﻦَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَّﻬُﻦَّ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﺳَﻤِﻴﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (1051) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana. (1051) Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak menampakkan aurat”.

Hampir semua penafsir memaknai kata ﻭَﺍﻟْﻘَﻮَﺍﻋِﺪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀ ﺍﻟﻠَّﺎﺗِﻲ ﻟَﺎ ﻳَﺮْﺟُﻮﻥَ ﻧِﻜَﺎﺣﺎً sebagai perempuan tua yang
menopause dan tidak punya hasrat lagi untuk menikah. Para penerjemah al-Quran seperti Pikthall, Muhsin dan Hilali maupun Yusuf Ali juga mengikuti jejak para penafsir awal.

Kita memahami bahwa kata dalam bahasa Arab punya banyak arti. Penting bagi kita tahu bahwa dalam Kamus al-Munawwir terbitan Pesantren Krapyak, kata qawaa’ida disamping punya arti pondasi, dasar, maupun berhenti, diksi tersebut juga punya arti menahan dan keengganan. Kedua ayat tersebut terbuka untuk diartikan “ Perempuan –perempuan yang enggan, yaitu mereka yang tiada ingin kawin ”.

Jika terjemahan ini yang dipakai maka semakin jelas al-Quran telah menyinggung keberadaan perempuan yang enggan kawin tanpa dibatasi oleh syarat menopause terlebih dahulu. Sebagaimana ada laki-laki yang tidak punya hasrat terhadap perempuan (QS 24:31) [1] , kondisi perempuan-perempuan seperti ini bisa jadi dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya trauma berelasi dengan laki-laki, atau mempunyai orientasi seksual yang berbeda dari perempuan kebanyakan.

Absennya terjemahan maupun tafsiran al-Quran yang sensitif terhadap penerimaan perempuan lesbian merupakan hal lumrah dalam dunia ilmu pengetahuan yang hidup dalam tradisi patriarkhi ketat saat itu. Dalam cara pandang tradisi tersebut, heteronormativitas-prokreasi merupakan kebenaran mutlak yang harus dipertahankan dengan cara apapun, sampai kapanpun.

Ayat lanjutan yang memungkinkan kita mengendus jejak lesbianisme ada pada QS al-Syuaara (42) 49:50.

ﻟِﻠَّﻪِ ﻣُﻠْﻚُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻳَﺨْﻠُﻖُ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻳَﻬَﺐُ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺇِﻧَﺎﺛﺎً ﻭَﻳَﻬَﺐُ ﻟِﻤَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺍﻟﺬُّﻛُﻮﺭَ

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki

ﺃَﻭْ ﻳُﺰَﻭِّﺟُﻬُﻢْ ﺫُﻛْﺮَﺍﻧﺎً ﻭَﺇِﻧَﺎﺛﺎً ﻭَﻳَﺠْﻌَﻞُ ﻣَﻦ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻋَﻘِﻴﻤﺎً ﺇِﻧَّﻪُ ﻋَﻠِﻴﻢٌ ﻗَﺪِﻳﺮٌ

“atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”.

Terjemah dan tafsir mainstream menyebut dua ayat di atas sebagai kuasa tuhan dalam memberikan anak/keturunan. Dia bisa menganugerahkan anak laki-laki saja sebagaimana kepada Ibrahim, atau hanya memberi anak perempuan seperti pada Nabi Nuh. Atau, Alloh punya otoritas memberi berkat berupa anak laki-laki dan perempuan sebagaimana kepada Nabi Muhammad. Atau bahkan, tuhan menjadikan seseorng mandul sehingga tidak bisa bereproduksi.

Perkembangan baru dalam tafsir berperspektif lesbian menunjukkan adanya cara baca yang cukup mengagetkan. Seperti yang didalilkan Mark Burstman dalam Queer Sexuality and Identity in the Quran and Hadith, dua ayat tersebut sangat mungkin tidak membicarakan tentang pemberian anak, namun justru dalam konteks penciptaan pasangan hidup. Tuhan menganugerahkan baik laki-laki maupun perempuan bagi siapa saja yang Dia kehendaki untuk dijadikan pasangan jiwa. Pemahaman ini tentu saja terdengar ganjil.

Kelompok ini membangun argumentasinya pada dua hal. Pertama, digunakannya kata
zawwaja yang berarti pasangan atau mengawinkan. Jika dimaknai 'berpasangan' dalam arti lahir kembar maka sangat jarang ada kelahiran kembar laki-laki dan perempuan. Kedua, kelompok ini mendalilkan bahwa hanya pada ayat ini, perempuan disebut dahulu ketimbang laki-laki. Hal ini dianggap tidak biasa mengingat laki-laki biasanya disebutkan pada posisi pertama sebelum perempuan sebagaimana QS. 3:195, 4:12, 4:124, 6:143-144, 16:97, 40:40, 49:13, 53:21, 53:45, 75:39 dan QS.92:3.

Berbagai ayat di atas tadi menantang kita untuk berfikir ulang mengenai posisi lesbianisme dalam teks suci. Penafsiran tersebut sangat mungkin dipersepsi sebagai upaya memperkosa teks demi melegalkan sebuah orientasi seksual yang antimainstream. Saya katakan tidak. Teks tidaklah mampu berbuat apa-apa sampai seseorang menggunakannya sebagai dalil.

Teks bersifat tetap, sedangkan arti dan pemaknaannya bersifat relatif, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Dan hal itu merupakan sesuatu yang lumrah dalam koridor keragaman tafsir.
Saya meyakini orientasi seksual bersifat tetap –meskipun Tuhan bisa berkehendak lain. Seorang heteroseksual tidak bisa dipaksa menjadi homo, atau orientasi seksual lainnya, begitu juga sebaliknya. Lesbian tetaplah manusia yang punya kedudukan sama dengan yang lain. Martabat dan haknya tidak bisa dikurangi hanya karena dia diciptakan berbeda. Tidak sepatutnya kebencian kita pada suatu kelompok membuat kita boleh berlaku tidak adil pada mereka.(*)

Jombang Media Center, 7 September 2015, 14:02.

[1] Keberadaan laki-laki seperti ini sesungguhnya telah terkonfirmasi sejak zaman nabi. Silahkan baca tulisan Rowson bertajuk The Effeminates of Early Medina yang mengulas cukup detil sosok ini. Ada di antara para sahabat nabi yang sampai akhir hayatnya hidup membujang. Salah satunya adalah Abu Hurairah. Dalam sebuah riwayat dalam Sahih Bukhari, pria pengkoleksi hadits terbanyak ini pernah curhat kepada Nabi mengenai kondisinya. Dia mengaku tidak mampu menikah dan takut terjerumus dalam kerusakan ('anata ). Tiga kali dirinya menanyakan hal tersebut namun tidak dijawab Nabi. Baru setelah dirinya menanyakan hal sama yang keempat kali, nabi segera menjawab agar Hurairah membujang seumur hidup atau menikah.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler