Hitam-Putih di GKI Pondok Indah

Dalam cara pandang purifikasi ajaran, dunia ini dipilah secara arbitrer --semena-mena; hitam-putih. Yang satu merasa lebih superior sembari menista yang lain sebagai "yang lebih rendah".  Seluruh bangunan pengetahuan kemudian dibangun untuk mengokohkan itu.

Agama langit datang mendaku sebagai yang superior. Kepercayaan lokal yang lebih dulu datang dituding menjadi yang sesat.

Oleh yang "putih", " hitam" adalah gelap --musuh dari terang. Tidak boleh ada percampuran. Sebab, percampuran berarti pengkhianatan yang berakibat timbulnya berbagai konsekuensi, termasuk eksklusi, perdikan, ekskomunikasi, dan alienasi.

Malam itu, Senin (27/11), dalam peneguhan Pdt. Bonnie, kawan saya yang bertugas di GKI Pondok Indah, saya menabraki itu semua. Hitam bercampur putih. Gelap mengkhianati takdirnya; menelusup di antara yang hitam. Anehnya, oleh yang hitam, saya yang putih tidak dipandang sebelah mata. Sebaliknya, saya dirangkul dengan hangat tanpa dipaksa menjadi hitam.

Saya pernah mengikuti berbagai macam upacara ritual kekristenan, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan pernah begitu dekat dengan aliran kepercayaan. Namun saya tidak pernah merasa sedemikian dekat seperti malam itu.

"Gus, nek awakmu nyaman pakai sarung, gaween wae," ujar Bonnie di lantai tiga. Saya memang membawa sarung di ransel yang memang sudah seperti rumah kedua saya. Saya datang memakai celana hitam, hem putih mengkilat pemberian orang, dan peci hitam kebanggaan saya.

Sejak dalam perjalanan ke Jakarta, saya sudah berniat memakai sarung dalam acara itu, namun saya agak ragu, takut terlalu demonstratif di rumah orang lain. Saya perlu menjaga perasaan. Namun permintaan Bonnie merupakan konfirmasi sebagai pemilik rumah.

Saya kemudian berbaris bersama puluhan pendeta perempuan dan laki-laki. Hampir semua dari GKI. Ada juga kawan saya, Pdt. Palti Panjaitan dari HKBP dan kawan sebangku saya, Pdt. Eben dari GKJ --ternyata ia adalah "adik" Pdt. Ratih GKJ Manahan. Ah betapa dunia sempit sekali seperti metromini.

Setelah hampir seribuan tamu undangan duduk rapi dalam gereja yang berarsitektur lumayan artistik itu, saya dan para pendeta diminta masuk ruangan, berjalan dengan gagah membelah ruangan, seperti sepasukan Musa. Semua pasukan berseragam hitam, kecuali saya, satu-satunya yang putih.

Saya edarkan pandangan ke seluruh ruangan saat kami membelah lautan manusia. Saya merasa tidak sedikit sorot mata ditubrukkan ke saya. Perasaan saya campur aduk membayangkan apa yang ada di benak mereka. "Kenapa kesucian hitam harus dikotori oleh slilit berwarna putih pada momen ini?", "Kok bisa orang Islam itu diletakkan pada posisi setinggi itu? Berbaris bersama para laskar Kristus yang punya kuasa melakukan sakramen"

Saya berusaha menerka-nerka benak mereka.

Anda mungkin tidak percaya, namun tidak mudah menjadi yang liyan di tengah sebegitu banyak orang. Apalagi saya diperbolehkan duduk di atas panggung bersama para laskar pilihan.

Ada sekitar dua fotografer resmi yang mengambil gambar selama acara berlangsung. Dan saya tahu ia berkali membidik saya dari berbagai angle, candid. Saya melirik mereka.

Setelah melalu serangkaian acara duduk-berdiri-duduk-berdiri, tibalah puncak penahbisan Pdt. Bonnie dan emiritasi Pdt. Purbaya. Kami para laskar berkumpul di depan mimbar menyaksikan keduanya saling "mengeksekusi" -- Pak Purbaya meneguhkan Bonnie sebagai penggantinya, Bonnie mengangkat Pak Purbaya dalam jabatan emeritusnya.

Saya melihat proses itu dalam jarak kurang dari semester.

Mungkin banyak orang menganggap  saya sebagai asesoris pemanis, seperti warna putih dalam kue black forrest. Namun hal itu tidaklah cukup tepat.

Keputihan saya adalah a blatant public statement --that is it is absolutely normal to be part of sacred different faith moment.

Saya sendiri secara diam-diam meyakini, sebagai penggerak GUSDURian, perlu ikut meneguhkan Bonnie sebagai kader penggerak keragaman. GKI Pondok Indah adalah area formal pelayanannya nanti, namun sesugguhnya tanggung jawab Pdt. Bonnie adalah kemanusiaan secara luas di Indonesia.

Bagi saya, ia hanya "dititipkan" di Pondok Indah, sebagaimana Pdt. Palti yang ditempelkan di HKBP. Penitipan dan penempelan itu sifatnya mutahawwil (berubah), sedangkan tugas utamanya menjaga Indonesia berstatus tsubut (permanen).

Selamat berkiprah, Bonnie!

*warkop depan stasiun Mojokerto 29/11/2017.
* credit photo Pdt. Palti

Undangan Berpartisipasi Menerbitkan Buku Narasi Memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia"


KAWAN-KAWAN, setelah melalui proses panjang akhirnya kami bisa mengumpulkan sekitar 70an tulisan  narasi memori Tionghoa. Penulisnya datang dari latar belakang yang sangat beragam; pendeta, santri, bhante, seniman, guru, ustadz, dosen, teolog, pengacara, ibu rumah tangga, aktifis, mahasiswa, Kristen, Islam, Buddha, Khonghucu, agnostik, hetero, homo, Jawa, Madura, Tionghoa, campuran, dll. Tumplek blek.

Sebagian nama penulis, bisa dicek di sini. Dan menariknya, mereka menulis secara sukarela alias tidak dapat honor.

Tulisan-tulisan itu merupakan cerita personal masing-masing penulis kala bersinggungan dengan TIONGHOA. Ada suka, namun kebanyakan bercerita tentang duka.
Kini tulisan ini tengah dalam proses editing dan layout.
Jika Anda memandang proyek ini akan bermanfaat bagi peradaban, kami mengundang Anda untuk bisa lebih terlibat dalam penerbitan dan kampanye buku ini.

Caranya? Silahkan donasikan sebagian rejeki anda melalui BCA Prapen Surabaya nomor rekening 5120458304 a/n Sujoko Efferin atau Rovien Aryunia (qq). Tidak harus banyak, Rp. 10.000 pun akan kami terima.

Selain itu, kami juga terbuka menerima bantuan selain berupa uang. Sungguh, jangan sungkan menghubungi kami melalui Rovien Aryunia +62 821-3926-0077 atau Sujoko Efferin +62 855-3008-789.

Nama penyumbang akan dicantumkan dalam lampiran di buku tersebut. Dengan donasi ini, kami berusaha agar buku ini bisa didapat dengan biaya sangat murah, bahkan gratis.
Thank
Love you

Aan Anshori
08155045039
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori
FB aan.anshori@gmail.com
http://www.gusdurianjombang.id
http://www.aananshori.web.id

Ave Maria dan Rumitnya Cicit Perempuan Nabi

Saya trenyuuuh menonton video yang viral dibagikan oleh akun FB Boedi Suhardi. Dalam video berdurasi 01:39 detik itu, seorang perempuan berjilbab sedang menyanyi Ave Maria di misa requirem, di Gereja Katedral Bogor. Perempuan yang tidak disebut namanya itu, menurut pengunggah status, adalah kawan dari almarhumah, Chatarina Suyanti. Entah siapa dia, saya tidak kenal.

Yang saya tahu, dari ratusan komentar di status tersebut hampir semuanya menyatakan kekagumannya. Terhadap apa pastinya, saya juga tidak yakin.

Namun hipotesis saya mengatakan, mereka tersihir oleh dua hal; keberaniannya menyanyikan Ave Maria dengan seluruh atribut muslimah yang ia kenakan di Katedral, serta suaranya yang sangat menyayat-nyayat. Nampak jelas ia begitu berduka dan mampu meluapkannya melalui nyanyian itu.

Islam, perempuan, nyanyi dan pemakaman merupakan  diksi yang tidak bisa akur. Jika anda perempuan, jangan pernah berfikir untuk berani menyanyi lagu sedih di pemakaman orang Islam. Kenapa bisa demikian? Saya tidak tahu pasti. "Memang begitulah adanya. Kita berbeda," demikian kira-kira jawaban yang akan saya sampaikan jika ada pertanyaan.

Namun demikian, saya ingin bercerita tentang Abd Malik, laki-laki yang pernah dipercaya menyanyikan lagu kematian (funeral song) saat wafatnya Muhammad al-Hanafiyyah di Masjid Nabawi, 25 Februari 700. Muhammaf al-Hanafiyyah adalah anak dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Khaula bint al-Ja'far al-Hanifah.

"Dia melakukan tugasnya dengan luar biasa. Tidak sedikit perempuan yang hadir saat itu menangis tersedu-sedu. Ratapannya sungguh emosional," tulis A. Arazi dalam entri "Sukayna bt al-Husayn" di Encyclopaedia of Islam. Tidak dijelaskan lagu apa yang dinyanyikan oleh Abd Malik kala itu.

Lantas, siapa sebenarnya Abd. Malik ini? Catatan Arazi hanya menyebutkan ia adalah aeorang budak yang bekerja di rumah Sayyidah Sukayna, cicit Nabi Muhammad, putri pasangan Husayn bin Ali dan Sayyidah al-Rabab bint al-Kays al-Kalbiyyah. Kakek Sukayna dari jalur ibu, Imru al-Kays bin 'Adi, meski Kristen, pernah diangkat sebagai komandan pasukan di wilayah Quda'a oleh Umar bin Khattab.

Talenta menyanyi Abd Malik pertama kali diketahui oleh Sayyidah Sukayna. Selanjutnya ia dikirim untuk belajar kepada Ibn Surayj --musisi Persia spesialis elegi dan improvisasi. Mungkin itu sebabnya Abd. Malik dengan suaranya mampu mengaduk-ngaduk perasaan perempuan saat pemakaman al-Hanafiyyah.

Yang menarik, musisi Persia yang awalnya adalah budak ini meyakini dirinya adalah anak didik (protege) Sayyidah Sukayna. Surayj begitu tawaddlu' pada perempuan ini. Setiap kali menciptakan karya baru, dia selalu menyerahkannya kepada Sayyidah Sukayna untuk dikritisi. Perempuan ini juga kerap mengirim teks-teks kepada Surayj agar dihamonisasi menjadi sebuah lagu.

Meski telah masuk Islam, Surayj kerap mengunjungi rumah gurunya tersebut. Mereka masih sering olah vokal bareng di rumah Sukayna, bahkan selama tiga hari berturut-turut, bersama Azza al-Mayla, penyanyi perempuan kondang di Hijaz (Madinah).

Begitu sentralnya sosok Sayyidah Sukayna di antara para penyanyi bukanlah hal yang mengherankan, sebab ia sendiri adalah penyanyi yang cukup terpandang di Madinah. Selain menyanyi, dia dikenal sangat jago berpuisi.

Kegemarannya adalah kongkow-kongkow bersama para seniman (bohemian) Madinah yang semuanya adalah laki-laki. Dia sendiri aktif membuat forum pertemuan para seniman di rumahnya.

Sayyidah Sukayna memang dikenal punya tempat khusus di dalam rumahnya untuk nongkrong para seniman. Di sana mereka beradu karya dan gengsi sebagai penyair. Puisi-puisi yang berkualitas kerap ia apresiasi dengan hadiah berupa uang. "Was it you who wrote the following verses?" katanya sebagaimana dikutip Arazi dari Kitab al-Aghani.

Kepiawaiannya dalam menyiasati puisi begitu terlihat, terutama saat otoritas Madinah menerapkan sensor ketat terhadap penyair yang puisinya bergenre ghazal (baca: Guzzle) --- sejenis puisi yang mengekspresikan rasa kehilangan dan cinta. Mungkin saat itu para penyair dianggap terlalu vulgar dalam mengekspresikannya.

Anda bisa bayangkan; cicit nabi, perempuan, jago nyanyi dan puisi, tidak berjilbab, --mengorganisir para seniman Madinah pada rentang 690-700 masehi!

Sebagai seorang seniman, Sayyidah Sukayna digambarkan berkepribadian terbuka dan kerap berpenampilan eksentrik. Cara dandannya melawan arus kebanyakan perempuan Islam Madinah waktu itu. Rambutnya dibiarkan terurai ikal tanpa penutup kepala.

Mungkin itu sebabnya banyak laki-laki yang antri mengharap cintanya. Namun tentunya hal itu tidaklah mudah karena Sukayna kerap mengajak debat siapapun yang berniat memperistrinya. Mungkin banyak laki-laki yang berfikir; diajak kawin kok malah ngajak debat dulu.

Sukayna setidaknya menetapkan 4 syarat berat bagi siapapun calon suaminya: dia tidak mau dibebani urusan domestik, tetap diperbolehkan beraktifitas sebagaimana sebelum menikah, memiliki hak nusyuz (membangkang --dalam term perkawinan hetero patriarki-misoginis), serta tidak mau diduakan --baik oleh istri lain atau budak (jawari).

Dari sini, betapa sangat terlihat ia memiliki keberanian mengontrol tubuh dan hidupnya sendiri, tidak seperti kebanyakan perempuan pada masa awal Islam atau jaman now.

Jiwanya yang bebas membuat Sayyidah Sukayna  berbeda 180 derajat dengan Fatima, kakak tirinya, yang kabarnya lebih pendiam. Ketika ditanya kenapa kepribadian mereka sangat kontras, ia menjawab --sebagaimana temuan Leila Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam, "...because she (Sukayna) had been named after her pre-Islamic great-grandmother, whereas her sister (Fatima) has been named after her Islamic grandmother,"

Dari garis ibu, penelusuran sementara saya menunjukkan Sayyidah Sukayna adalah putri Rubab binti Hind al-Hunud binti Safiyyah bint Umayyah.

Saya hampir tak percaya jika ada darah Hind al-Hunud mengalir dalam diri Sayyidah Sukayna, namun situs wikishia.net menyebut demikian. Hind al-Hunud adalah nama lain dari Hind bint Uthbah, ibu tiri Ummu Habibah Ramlah bint Abi Sufyan.

Nenek Sukayna bukanlah tipikal perempuan yang mau diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Dalam History of the Caliphs, milik al-Suyuti dan Jarrett, Hind pernah ditendang suaminya, Al-Fakah, karena dianggap selingkuh. Meski Hind kukuh menolak tuduhan itu namun alFakah ngotot menceraikannya.

Ayah Hind sangat marah mendengar anaknya diperlakukan demikian. Dia berjanji akan membunuh menantunya. Namun sebelum itu, ia meminta Hind dan al-Fakah menemui dukun dari Yaman; untuk memastikan Hind berbohong atau tidak.

"Ngadeko, nduk. Kowe suci, ora nglakoni zino. Kowe bakal nduwe anak sing dadi rojo," kata sang dukun. Mendengar hal ini al-Fakih langsung mengulurkan tangan ke Hind, ingin mengajaknya berbaikan. "Nyingkrio, mas. Gak sudi aku. Tak golek wong lanang liyo ae," ujarnya ketus sembari mengibaskan uluran tangan suaminya.

Di kemudian hari, Hind menikah dengan Abu Sufyan dan diberkahi bayi laki-laki bernama Muawiyah, khalifah kedua Dinasti Umayyah setelah Utsman bin Affan.

Nenek Sukayna ini juga sangat tersohor sebagai komandan perang Bani Qurays yang epos keberaniannya tak akan hilang dalam sejarah Islam awal.

Anda mungkin tidak percaya, ia kerap membaca puisi, bernyanyi dan menari secara berjamaah setiap kali memimpin pasukan atau menyemangati mereka yang terjun ke medan perang. Dalam pertempuran Uhud, begini yang ia lantunkan sebagaimana yang dicatat al-Waqidi dalam Islamic Conquest of Syria/Futuh al-Syam.

Night star's daughters are we,
who walk on carpets soft they be
Our walk does friendliness tell
Our hands are perfumed musk smell
Pearls are strung around these necks of us
So come and embrace us
Whoever refuses will be separated forever
To defend his women is there no noble lover?

Dan setelah pindah menjadi muslim, nenek Sukayna juga terlibat dalam peperangan Yarmuk melawan Romawi, dan ia tak pernah lupa menyanyi

O you who flees from his loyal lady!
She is beautiful and stands firmly.
You're abandoning them to the Romans to let them the forelocks and girls seize.
They will take what they want from us to the full and start fighting themselves.

Watak pemberani dan kemampuan Sukayna dalam berolah suara maupun berpuisi jelas merupakan warisan moyangnya dari jalur ibu. Serpihan ini sekaligus menantang kita sebagai Muslim untuk memikirkan ulang konsep Jahiliyah --sebuah era yang didogmakan sangat tidak ramah perempuan.

Terlalu banyak perempuan hebat dalam kerangka feminisme yang punya afiliasi historis dengan era itu. Sejarahnya lamat-lamat semakin terkubur dan sekilas seakan muncul kembali dalam bentuk yang sangat mencengangkan; perempuan berjilbab yang melantunkan Ave Maria di Katedral Bogor.(*)

* Halte depan STFT Jakarta*

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler