BAYAR 210 RIBU; KAWIN BEDA AGAMA MARIA DAN YUSUF

Saat Majelis Hakim MK memutuskan tidak mengabulkan gugatan perkawinan beda agama (PBA), 31 Januari 2023 lalu, banyak pihak berpikir PBA tidak bisa lagi dilaksanakan di Indonesia. 


Anggapan ini tidak tepat. Putusan MK tersebut tidak mengubah apapun terkait PBA. Perkawinan model ini tetap berjalan sebagaimana sebelum ada putusan (existing condition), 

Kondisi ini semakin diperkuat dengan kejadian di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dua orang dewasa, Christina Maria Vicky Antariwaty -- 40 tahun, Katolik-- dan Yusuf Tandiono --32 tahun, Islam-- meminta pengadilan menetapkan PBA mereka. Keduanya terpaksa maju ke PN Jakarta Selatan karena Dukcapil menolak mencatatnya.

Maria dan Yusuf menikah beda agama di Gereja St. Perawan Maria Diangkat ke Surga Paroki Katedral Jakarta, 10 November 2022,  diberkati Rm. B.S Martadiatmadja, SJ. Kedua orang tua mereka setuju dengan relasi mereka. Namun, Dukcapil bersikap sebaliknya.

Maria dan Yusuf tak patah arang. Pada 10 Januari 2023, keduanya secara mandiri --tanpa pengacara-- mengajukan surat permohonan penetapan di PN Jakarta Selatan. Surat permohonan tersebut dilampiri fotokopi KTP dan akta kelahiran milik keduanya; fotokopi kartu keluarga Maria; fotokopi surat perkawinan dari gereja; serta fotokopi surat pengantar dari kelurahan Cipulir Kebayoran Lama. 

Selain dokumen-dokumen tersebut, keduanya juga mengajukan 4 orang saksi, yakni Valentina Siti Sungkowoasih, Yusup Murdjito, Petrus Dwiantono dan Maria Goretty Siti W.

Dalam permohonannya, Yusuf dan Maria meminta PN Jakarta Selatan empat hal. Pertama, mengabulkan isi permohonan para pemohon untuk seluruhnya. 

Kedua, memberikan izin kepada kami untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jakarta Selatan. 

Ketiga, memerintahkan Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama Para Pemohon tersebut di atas ke dalam register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu. Keempat, membebankan biaya permohonan ini pada para pemohon

"Atau, jika pengadilan berpendapat lain, mohon penetapan yag seadil-adilnya ( Ex Aeque et Bono)" tulis Maria dan Yusuf dalam permohonannya.

Entah berapa kali keduanya menjalani persidangan yang dipimpin Hakim I Dewa Made Budiwatsara, SH. MH. Pada Rabu 8 Februari 2023, hakim memutuskan mengabulkan permohonan Maria dan Yusuf secara keseluruhan.

"Membebankan biaya perkara ini kepada Para Pemohon sejumlah Rp. 210.000,00 (dua ratus sepuluh ribu rupiah)." kata Hakim Dewa.

Kini Maria dan Yusuf sudah sah menjadi sepasang suami istri beda agama. Mudah bukan?(*)

VIKARIS DOLAR AJA, GUS

Aku selalu berusaha berpikir lebih maju, menembus batas normatifitas. Batas akan selalu aku geser menjadi lebih maju. Namun, aku sadar, tidak selamanya publik menerimanya. Tak mengapa. 


Seingatku, Gus Dur rasanya pernah bilang; jika ingin perubahan, jangan tunduk pada realitas. Alih-alih, kita harus berani menciptakan realitas baru.

Dulu aku pernah menyatakan; jangan ngaku ganteng atau cantik paripurna jika belum pernah disukai orang berorientasi seksual non-hetero. 

Kalau kamu hanya disukai secara seksual oleh sesama etnis; sesama agama; sesama suku --menurutku peringkat keseksianmu biasa-biasa saja. Berbeda, jika yang antri mendapatkan cintamu orang-orang yang berbeda etnis, suku, agama dan ras. Keseksianmu bisa dibilang agak di atas rata-rata. Mungkin.

Begitu juga jika kamu mendapatkan ucapan perayaan hanya dari sesama agama saja maka, menurutku, itu hal yang wajar, normatif, sudah selayaknya. Berbeda halnya jika kamu mendapatkan ucapan tersebut dari pemeluk agama lain. 

Ini yang aku yakini sebagai sesuatu yang progresif; selangkah lebih maju. Istilah dalam Islam; ihsan --berbuat lebih baik.

"Mas, ayo ke pesarean," ajak imbrutku Amiroh.

Yang ia maksud adalah pesarean ayahnya, mertuaku. Beliau meninggal hari Sabtu, tepat sehari setelah kami akad nikah, 21 tahun lalu. Kami membaca yasin dan tahlil secara mandiri. Untuk doa, aku yang pimpin. 

Oh ya, aku tak selalu memimpin doa dalam keluarga. Setiap kali tarawih di rumah, pasanganku yang memimpin doa tarawih dan witir. Aku mengamini saja. 

"Gus, kami otw dari kiai Arif di Dukun," pesan dari Pdt. Lantika masuk ke handphoneku. Kami sudah janjian bertemu di rumahku.

Ia datang bersama 7 orang. Semuanya GKJW. Gabungan dari GKJW Gresik dan GKJW Menganti.

Siang tadi, cuaca begitu terik. Matahari terasa lebih kejam dari biasanya. Aku melihat muka mereka lelah sekali. 

"Hayuk makan dulu, sudah aku siapkan bakso. Pengennya sih bakso B2 tapi nggak ada yang jual di sini," selorohku.

Mereka tertawa terbahak-bahak sambil saling menatap satu dengan yang lain. Mungkin sembari mbatin, "Ancen wong gendeng,"

Aku sendiri memilih memperhatikan mereka. Tidak ikut makan karena sedang pantang.

Mereka lahap sekali makannya. Segera aku ke dapur, mengambil magiccom berisi nasi, mempersilahkan mereka menyantapnya bersama bakso.

Kami ngobrol ngalor-ngidul seputar banyak hal, terutama terkait gereja mereka. Aku selalu kepo dengan kondisi mereka. Maksudku, jika aku selalu nyaman beribadah, aku juga ingin mereka merasakan hal serupa. 

Dari Pdt. Lantika, aku tahu GKJW Menganti relatif bisa beribadah dengan tenang dan nyaman, meskipun belum bisa memasang papan nama, apalagi salib. 

"Kami di perumahan, gus. Jemaat kami makin bertambah," ujarnya.
"Harusnya segera direnovasi biar jemaat nyaman beribadah," ujarku normatif.

Dia tertawa getir sembari menceritakan pengalaman gereja tersebut saat mengurus perijinan. Daftar tanda-tangan 60-90 yang asli raib entah ke mana setelah diserahkan ke oknum aparat desa. 

"Kapan-kapan aku main ke tempatmu ya," kataku pada Pdt. Lantika. 

Aku kemudian memberikan saran-saran, sembari memapar contoh yang pernah dilakukan kawan-kawan GDian Jombang dalam kasus serupa. 

Saran-saran juga aku berikan kepada Pdt. Daniel yang kini melayani di GKJW Gresik, menggantikan mbak Pdt. Arie. Dalam waktu dekat, gerejanya akan mengadakan kupatan bersama GDian Gresik.

"Nanti mbak Khosyiah yang bawa lontong dan kupatnya. Kami sediakan sayur dan lauknya," ujar mbak Erlynna, salah satu warga GKJW Gresik yang ikut dalam rombongan tersebut.

Setelah kenyang, mereka pamit. Namun aku buru-buru mencegah mereka. 

"Aku minta doanya ya sebelum pulang. Siapa yang akan pimpin?" tanyaku.
"Vikaris (calon pendeta) Dolar aja, Gus," kata Pdt. Lantika sembari menunjuk Dolar --panggilan dari Sung Sabda Gumelar. Aku tahu Lantika sedang menguji Dolar --apakah ia sudah layak jadi pendeta atau belum.

Dolar merapal mantranya dalam bahasa Jawa. Aku sampai tersengal-sengal berusaha mengunyah diksi-diksi yang ia gunakan, saking tingginya. 

Terima kasih sudah mengunjungiku!(*)


ABDUL RAZAK YANG PENDETA

Aku punya banyak kawan pendeta yang dulunya muslim dan muslimah. Namun yang memiliki nama sangat Islami, aku belum punya, hingga aku bertemu lelaki ini. 

"Hah?! Serius itu nama abang?" kataku tak percaya.
"Iya, gus," ujarnya pendek sembari senyum nyengir.

Aku masih sulit percaya. 
Dengan perasaan tak enak aku memintanya mengeluarkan KTP. 
"Ini, silahkan baca sendiri," katanya pendek. Tetap dengan tersenyum.

Tertulis, "Pdt. Abdul Razak" Nama sangat Islami untuk seorang pendeta yang pernah aku jumpai. 

Aku dan bang Razak sama-sama mengikuti konferensi PGI-PKN, 14-18 April 2023. Dia peserta. Aku masuk tim kerja --langsung dibawah SC mengkordinasi 30an sinode.

Saat sama-sama ke bandara, kami satu mobil. Jadilah kami ngobrol agak panjang. 

Bang Razak adalah pendeta di GKSS -- Gereja Kristen di Sulawesi Selatan. Jabatannya di sinode GKSS sangat mentereng. Sekretaris Umum. Kalau di PBNU, setara Gus Ipul.

"Wilayah kerja kami dari pulau Selayar hingga Mamuju," ujarnya menjelaskan.
"Jauhkah itu, bang?" tanyaku bodoh. Aku pernah dengar Selayar dan Mamuju. Tapi, tidak tahu di mana persisnya. Aku pun membuka google map untuk mengeceknya. 

Aku merasa, nama Abdul Razak, menunjukkan ia datang dari keluarga Muslim yang taat. Aku menjadi sangat kepo dengan kisah hidupnya.

"99,99% keluarga saya Muslim," ujarnya.

Ia mengaku mengenal kekristenan saat lulus dari SMP. Saat itu, ia diasuh oleh salah satu pendeta di sana. Jadilah ia kemudian bersekolah teologi. 

"Tak berminat ganti nama, bang" tanyaku menggoda.
"Enggak. Saya sudah merasa nyaman dengan nama ini," ujarnya polos.

Aku membayangkan pastilah banyak orang, baik Islam maupun Kristen, yang mungkin tidak nyaman dengan nama ini. Bang Razak mengkonfirmasinya.

Menurutnya, tak terhitung berapa kali ia diminta ganti nama, terutama oleh oknum birokrasi. 
"Tahu alasan mereka ngomong kek gitu, bang?" tanyaku. 
Ia menggeleng sembari berkata lirih, "Mungkin mereka merasa tidak enak ada nama Abdur Razak bergelar pendeta,"

Aku senang bertemu bang Razak. Cerita hidupnya melengkapi pengetahuanku tentang perjalanan spiritual manusia. Seminggu lalu aku bertemu dua romo gereja ortodoks. Keduanya juga pernah Muslim. Bahkan salah satunya sempat "nyantri," di Abah Yat Mojokerto. Ada nama besar lainnya, Radin "Sadrach" Abbas yang kabarnya pernah di Tebuireng.

Dengan Bang Razak, aku merasa dekat. Ia berkali-kali menawariku untuk singgah di kantor sinodenya, di Makassar. Ketulusannya langsung aku sambut gembira. 

"Aku pasti akan mampir dan menginap di kantor abang," sambutku.

Kami kemudian bergegas ke gate yang akan membawa kami ke Soekarno-Hatta dari Kualanamu. Setibanya di Cengkareng, kami berpisah.(*)


KESUCIAN; KITA ADA DI MANA?


Kesucian selalu menjadi obsesi banyak orang. Tak peduli apapun identitasnya. Untuk menjadi suci, jika kita teliti, seseorang biasanya akan menumbalkan sesuatu, bahkan mengorbankan seseorang. 

Di kitab suci, sebuah peradaban digambarkan perlu mengorbankan binatang dan orang, dipersembahkan kepada alam semesta agar mendapat keselamatan, atau terbebas dari kutukan. Ibrahim kabarnya juga hampir saja menumbalkan anaknya agar kesetiaannya dianggap suci di hadapan ilahi.

Di Aceh, beberapa mahasiswa Universitas Teuku Umar ditumbalkan kampusnya. Mereka dianggap telah menodai "kesucian" marwah kampus gara-gara mengunggah ucapan selamat Jumat Agung. Kabarnya, mereka terus mengalami persekusi hingga keselamatannya terancam.

Baru saja terjadi di Sumatera Barat, 300 orang memilih jalan memalukan untuk menjaga kesucian ramadlan. Dua perempuan diarak, ditelanjangi, dan diceburkan ke laut. 

Keduanya saat itu sedang santai di karaoke. Ratusan orang itu marah. Karaoke dianggap menodai kesucian Ramadlan. Untuk itulah, praktek barbar terhadap dua perempuan diperlukan sebagai penebusan.

Jika dicermati, ada dua cara yang biasanya dianggap sebagai jalan melakukan pensucian. Pilihan ini menunjukkan kualitas keagamaan seseorang/peradaban.

Pertama, peradaban rendah; mereka yang selalu memilih makhluk hidup --selain dirinya-- sebagai tumbal untuk menyucikan sesuatu. 

Kalau kita, misalnya, melarang orang lain membuka warung saat ramadlan, kita ada dalam level ini. Tigaratus pelaku kekerasan di Sumbar ada di sini juga. 

Kalau kita menyalahkan model busana perempuan karena dianggap terlalu seksi, kita akan terperosok dalam peradaban ini. Peradaban rendah. Otoritas kampus UTU, maupun mereka yang menerpali biru patung Bunda Maria di DIY tempo hari, sangat mungkin masuk golongan ini juga. 

Pendek kata, dalam aspek yang lebih luas, siapa saja yang terobsesi menjaga kemurniannya, kesuciannya, eksistensinya, dengan cara mengorbankan pihak lain, ada di peradaban ini. 

Kedua, peradaban maju, yakni mereka yang memilih mengorbankan diri mereka sendiri untuk menjaga kesucian. 

Jika kita tidak tahan terhadap gempuran lalu lalang seseorang berpakaian seksi; jika kita tak mampu menahan aroma makanan saat puasa di siang hari, alih-alih kita lebih memilih tidak melihat dan membauinya ketimbang melarang orang berpakaian seksi maupun merazia warung makan, maka kita berada di level ini. 

Bagi otoritas UTU, jika ingin naik level, harusnya bisa mengorbankan ego dan kepentingan kelompoknya. Kesucian dan marwah Islam tidak bisa lagi dijaga dengan model diskriminasi dan persekusi seperti itu. Hal ini berlaku juga terhadap kelompok-kelompok agama yang masih bersikap intoleran pada mereka yang berbeda.

Sebaliknya, kesucian dan kebesaran agama harus direpresentasikan dengan kesediaan kita berkorban dengan cara memberikan ruang dan mempersilah mereka yang berbeda untuk menjalankan hak-hak dasar. Tak terkecuali untuk mengucapkan Jumat Agung, membangun rumah ibadah, menjual makanan dan minuman seperti biasa saat Ramadlan, membuka tempat hiburan maupun berpakaian seksi.

Kita perlu secara serius mengganti cara menjaga kesucian; dari mengorbankan orang lain menjadi mengorbankan diri sendiri.(*)

**Berastagi --bukan Beraskencur

https://www.kompas.tv/amp/article/398009/videos/kronologi-2-wanita-diarak-diceburkan-ke-laut-dituduh-lc-karaoke-di-sumbar-300-orang-diduga-terlibat

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler