KESUCIAN; KITA ADA DI MANA?


Kesucian selalu menjadi obsesi banyak orang. Tak peduli apapun identitasnya. Untuk menjadi suci, jika kita teliti, seseorang biasanya akan menumbalkan sesuatu, bahkan mengorbankan seseorang. 

Di kitab suci, sebuah peradaban digambarkan perlu mengorbankan binatang dan orang, dipersembahkan kepada alam semesta agar mendapat keselamatan, atau terbebas dari kutukan. Ibrahim kabarnya juga hampir saja menumbalkan anaknya agar kesetiaannya dianggap suci di hadapan ilahi.

Di Aceh, beberapa mahasiswa Universitas Teuku Umar ditumbalkan kampusnya. Mereka dianggap telah menodai "kesucian" marwah kampus gara-gara mengunggah ucapan selamat Jumat Agung. Kabarnya, mereka terus mengalami persekusi hingga keselamatannya terancam.

Baru saja terjadi di Sumatera Barat, 300 orang memilih jalan memalukan untuk menjaga kesucian ramadlan. Dua perempuan diarak, ditelanjangi, dan diceburkan ke laut. 

Keduanya saat itu sedang santai di karaoke. Ratusan orang itu marah. Karaoke dianggap menodai kesucian Ramadlan. Untuk itulah, praktek barbar terhadap dua perempuan diperlukan sebagai penebusan.

Jika dicermati, ada dua cara yang biasanya dianggap sebagai jalan melakukan pensucian. Pilihan ini menunjukkan kualitas keagamaan seseorang/peradaban.

Pertama, peradaban rendah; mereka yang selalu memilih makhluk hidup --selain dirinya-- sebagai tumbal untuk menyucikan sesuatu. 

Kalau kita, misalnya, melarang orang lain membuka warung saat ramadlan, kita ada dalam level ini. Tigaratus pelaku kekerasan di Sumbar ada di sini juga. 

Kalau kita menyalahkan model busana perempuan karena dianggap terlalu seksi, kita akan terperosok dalam peradaban ini. Peradaban rendah. Otoritas kampus UTU, maupun mereka yang menerpali biru patung Bunda Maria di DIY tempo hari, sangat mungkin masuk golongan ini juga. 

Pendek kata, dalam aspek yang lebih luas, siapa saja yang terobsesi menjaga kemurniannya, kesuciannya, eksistensinya, dengan cara mengorbankan pihak lain, ada di peradaban ini. 

Kedua, peradaban maju, yakni mereka yang memilih mengorbankan diri mereka sendiri untuk menjaga kesucian. 

Jika kita tidak tahan terhadap gempuran lalu lalang seseorang berpakaian seksi; jika kita tak mampu menahan aroma makanan saat puasa di siang hari, alih-alih kita lebih memilih tidak melihat dan membauinya ketimbang melarang orang berpakaian seksi maupun merazia warung makan, maka kita berada di level ini. 

Bagi otoritas UTU, jika ingin naik level, harusnya bisa mengorbankan ego dan kepentingan kelompoknya. Kesucian dan marwah Islam tidak bisa lagi dijaga dengan model diskriminasi dan persekusi seperti itu. Hal ini berlaku juga terhadap kelompok-kelompok agama yang masih bersikap intoleran pada mereka yang berbeda.

Sebaliknya, kesucian dan kebesaran agama harus direpresentasikan dengan kesediaan kita berkorban dengan cara memberikan ruang dan mempersilah mereka yang berbeda untuk menjalankan hak-hak dasar. Tak terkecuali untuk mengucapkan Jumat Agung, membangun rumah ibadah, menjual makanan dan minuman seperti biasa saat Ramadlan, membuka tempat hiburan maupun berpakaian seksi.

Kita perlu secara serius mengganti cara menjaga kesucian; dari mengorbankan orang lain menjadi mengorbankan diri sendiri.(*)

**Berastagi --bukan Beraskencur

https://www.kompas.tv/amp/article/398009/videos/kronologi-2-wanita-diarak-diceburkan-ke-laut-dituduh-lc-karaoke-di-sumbar-300-orang-diduga-terlibat

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler