GUSDURian Sukowati GKJ Tamanasri



Puluhan orang lintasagama dan etnis berkumpul di GKJ Tamanasri, Sabtu, 11 Maret, mengikuti rangkaian ulangtahun gereja ini, yang ke-39.

Ada tiga acara dalam hari itu, saling sambung menyambung. Pertama, talkshow "Trinitas, Gereja dan Harmoni Lintas Agama," dengan dua narasumber, Pdt. Dr. Izak Lattu, dekan Teologi Satya Wacana, dan aku. 

Dengan sangat brilian, Mas Izak mengupas bagaimana teologi monoteisme-trinitarian bisa menjadi basis fundamental melawan praktek intoleransi. 

Penjelasannya terang benderang. Sarat dengan referensi akademis maupun praktis. Presentasinya bisa dinikmati di https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE mulai menit 1:28:58.

Aku tidak bisa menyangkal pemaparannya. Sebab berdasarkan data, hampir semua pengikut Yesus aliran monoteisme-trinitarian yang belajar di semua kampus memiliki tingkat toleransi sangat tinggi. Survei PPIM UIN Jakarta dua tahun lalu menyatakan itu. 

Sebaliknya, mahasiswa/i beragama Islam justru terpuruk, kadar toleransinya sangat rendah. Lebih-lebih saat mereka merespon kehadiran kekristenan aliran trinitarian. 

Kenapa bisa demikian? Aku mencoba mengurainya dalam durasi sekitar 30-40 menit. Bisa disimak  https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE mulai menit 48:55. 

Pemaparan kami berdua mendapat respon menarik, tidak hanya dari kalangan Kristen namun juga Islam https://youtube.com/live/qpEEP2EQhpo?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 2:12:12). Pada acara tersebut ada sekitar 8 orang perempuan berjilbab yang mengikuti acara. Mereka datang dari komunitas Nahdlatul Ulama Sragen.

Hampir semua dari mereka mengaku baru pertama kali ini masuk gereja. Pengalaman ini menyisakan kesan tersendiri bagi mereka, khususnya pengalaman imani. 

"Sempat deg-degan juga pas pertama kali masuk dan duduk di kursi depan mimbar," ujar salah satu dari mereka kepadaku. 

Setelah makan siang, peserta diajak belajar tentang enterpreneurship oleh Pdt. Saryoto dari Magelang. Dia juga mengajak kami belajar langsung membuat sabun dan eco enzym. Kami semua maju ke depan menyimak pemaparannya, https://youtube.com/live/wnDlmxLlXl0?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 57:16)

Melihat antusiasme mereka terutama perempuan berjilbab, aku merasa senang. Mereka tak lagi canggung masuk gereja dan berinteraksi dengan warga jemaat.

Kami semua menutup acara dengan peneguhan komitmen, membentuk dan memperkuat komunitas GUSDURian Sukowati, nama lain dari Sragen. Deklarasinya berjalan secara spontan. 

Aku minta semua hadirin berdiri depan mimbar. Beberapa orang aku undang menyatakan harapannya secara singkat sebelum akhirnya kami menguncinya dengan melantunkan bersama Bagimu Negeri https://youtube.com/live/wnDlmxLlXl0?si=EnSIkaIECMiOmarE (menit 1:18:23). 

Setelah itu, kami menyempurnakan perjumpaan kami dengan menembangkan lagu Endahing Paseduluran. Lalu kami keluar gereja bersama, melepas dua ekor burung merpati putih, simbol sukacita dan komitmen kami.

"Mas, orang Islam itu kalau sudah mau masuk gereja dan makan minum hidangan yang disediakan gereja, insyaalloh tidak akan intoleran," ujarku pada Pdt. Gunawan dan Lupie, istrinya.

Lupie juga sempat berdialog dengan para perempuan berjilbab tadi, dan mendapatkan pengakuan serupa; pengakuan pengalaman pertama kali masuk gereja. Aku minta dia mau menuliskan pengalaman perjumpaan tersebut.

Selama di Sragen, aku ditampung di rumah dinas (pastori) mereka. Mereka hidup bersama putrinya, Kinan. Si sulung tinggal dan bersekolah di Purwokerto.

Aku juga bertemu dengan kawan lamaku, Dimas dan ibunya, cik Naniek, satu-satunya anggota DPRD Sragen beretnis Tionghoa. Rasanya senang sekali selama di Sragen.

"Aku muleh sik, mas. Matur nuwun. Nitip GUSDURian Sragen," ujarku pada Pdt. Wawan dan keluarganya di Stasiun. Badan terasa remuk redam kecapean.(*)

Sumber: Facebook

NU DAN GKJW; NESTAPA SAUDARA


Lagi-lagi peristiwa pelarangan ibadah terjadi. Kali ini menimpa jemaat GKJW yang berada di desa Sumbersari kecamatan Gedangan kabupaten Malang.

Menurut informasi dari Erik Priyanto, kawan aktifis toleransi setempat, jumlah warga terdampak sekitar 20 kepala keluarga. Mereka adalah warga jemaat GKJW Suwaru.

Selama ini mereka beribadah ke gedung GKJW Suwaru yang jaraknya sekitar 9 kilometer. Beda kecamatan. Diluar itu, mereka kerap beribadah secara berkeliling, bergiliran, dari rumah warga satu ke lainnya di desa Sumbersari.

Dalam beberapa bulan ini, mereka berinisiatif membangun pepantan (bakal jemaat/pos pelayanan) di RT/RW 47/14 dusun Sumbersari desa Sumberagung kecamatan Gedangan. Sayangnya, pembangunan ini mendapat penolakan sebagian warga.

Pada 20 Januari 2023, pengurus Nahdlatul Ulama (NU) ranting desa Sumberejo mengirim surat penolakan pendirian rumah doa atau gereja kepada kepala desa. 

Isinya; menolak pendirian rumah doa; meminta kepala desa tidak mengeluarkan rekomendasi; melarang panitia pembangunan melanjutkan proses pendirian, dan meminta agar setiap pihak menjaga keharmonisan, kenyamanan dan keamanan bersama.

Sehari setelah surat tersebut diluncurkan, tepatnya 21 Januari, pemerintah desa menerbitkan surat yang ditandatangani kepala desa Abdul Rohman. Perihalnya; penyampaian hasil mediasi pembangunan rumah doa. 

Surat yang ditujukan kepada Ketua Pepanthan Sumbersari GKJW Jemaat Suwaru tersebut berisi dua hal; menghentikan segala kegiatan berkaitan dengan pembangunan rumah doa sampai batas waktu yang tidak ditentukan, dan pemerintah desa akan berkordinasi serta berkonsultasi dengan kecamatan dan kabupaten.

Menyikapi hal ini, Erik Priyanto bersama beberapa perwakilan pepanthan menemui pengurus PCNU Kabupaten Malang, sekitar dua hari sebelum peringatan 1 Abad NU di Sidoarjo. Khusnul Hakim, wakil sekretaris PCNU yang menerima rombongan, berjanji akan segera menindaklanjuti persoalan ini. 

Namun hingga saat ini, sayangnya, problem belum terselesaikan. Warga GKJW tetap tidak boleh membangun pepanthan.

Entah bagaimana akhir dari persoalan ini. Yang jelas, selama ini relasi antara GKJW dan warga/aktifis NU di berbagai daerah terbilang sangat harmonis. Gus Dur dan Kiai Hasyim Muzadi memiliki relasi khusus dengan GKJW. 

Peristiwa penolakan ini seperti makin menandaskan nestapanya kelompok Kristen di Jawa Timur dalam menjalankan hak beribadahnya. 

Nestapa ini rasanya semakin menyesakkan dada manakala justru ditorehkan oleh saudaranya sendiri; orang-orang NU yang sangat dicintai dan disayangi warga Kristen, lebih-lebih warga GKJW.(*)

Sumber: Facebook

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler