Kematian Berkabut; Refleksi Personal Menghormat Paskah

Dengan Blackberry jadul 9220, tulisan ini mulai saya ketik Jum'at pagi, 4 April 2015 sambil ngantor di Warkop Cak Freddy Pasar Legi.  Dua hari ke depan merupakan perayaan Paskah, hari dimana hampir semua umat Kristen mengimaninya sebagai tahapan penting laku Yesus. 

Penyaliban, pemakaman hingga kebangkitan Yesus merupakan isu sentral dalam iman Kristen. Oleh penganutnya, Yesus merupakan sang juru selamat. Penyalibannya adalah pengorbanan yang tak terhingga. Setiap tetesan keringat, kucuran darah, serta cuilan daging yang terbawa cambuk duri milik eksekutor suruhan Pilatus, berharga untuk mempertebal keyakinan atas ajaran yang dibawanya.
-------
Saya dididik sebagai muslim yang taat sejak kecil. Dalam banyak hal, pengajaran agama bersifat terbuka untuk didiskusikan. Fiqh, ilmu kalam, filsafat, tasawwuf, sira' atau bidang keilmuan lainnya. Namun jika terantuk urusan akidah, biasanya “lampu kuning” langsung menyala. Dalam serial Harry Potter, semua siswa boleh menjelajahi setiap lekuk sekolah sihir terkemuka, Hogward, namun jangan pernah berfikir memasuki the secret chamber yang dijaga Pluffy, anjing raksasa berkepala tiga. Atau, lampu kuning itu mirip aura tabu menyebut nama Voldermort sehingga setiap orang cukup memanggilnya you-know-who.

Urusan akidah –salah satunya- juga menyangkut hal paling sensitif dalam hubungan Islam-Kristen, yakni terkait Isa (Yesus). Tidak dalam aspek ketuhanan Isa yang ingin saya bahas, namun terkait bagaimana polarisasi pandangan beberapa cendekia Muslim awal memotret peristiwa penyaliban hingga diangkatnya nabi berpredikat 'ulul azmi ini oleh Tuhan.

Yang dibenamkan dalam memori kolektif saya dan teman-teman di madrasah dulu; Isa masih hidup. Dia tidak salib, apalagi mengalami penderitaan-sangat via dolorosa sebagaimana film kontroversial besutan Mel Gibson. Justru, yang merana di tiang salib adalah Yudas, sang pengkhianat. Dia, Isa, diangkat Allah ke langit, yang nanti akan turun kembali ke bumi empat puluh hari sebelum Kiamat. Dia -lanjut guru-guru saya- akan memerangi Dajjal dan menjadi eksekutor bagi umat Kristen yang tidak mau memilih Islam semasa hidup mereka. Andai guru-guru saya pernah membaca Personal Narrative of a Pilgrimage to al-Madinah & Meccah karya Richard Burton, mereka sangat mungkin akan menambahkan bahwa liang lahat untuk Isa telah disediakan, berjejer dengan makam Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Sayyida Umar. Kuburan itu konon akan digunakan setelah Isa menyelesaikan tugasnya. Wallohu a'lam.

Tidak Tunggal

Namun demikian, apakah kisah di atas merupakan satu-satunya cerita-teologis terkait Isa? Ternyata tidak. Bahkan soal penyaliban, kematian dan diangkatnya Isa ke langit memicu polemik sendiri di kalangan para penafsir al-Quran dan cendekia Islam. Kontroversi ini dimulai dari penggalan teks QS. 4:157.

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً

Hampir semua penafsir al-Quran menganggap teks yang digarisbawahi telah jelas menyatakan; yang dibunuh dan disalib adalah orang yang diserupakan dengan Isa. Saya katakan hampir karena ternyata diksi shubbiha lahum membuat al-Zamakhsari (d.1144) terkesan cukup kerepotan memaknainya. Dalam buku al-Kasyf ‘an haqaiq ghawamid al-tanzil, dia berargumen; jika sejak menit pertama subyek dari dua ayat itu adalah Isa, maka kata syubbiha, yang bermakna pasif; diserupakan, disamarkan terasa janggal. 'Isa diserupakan' dengan siapa? Bukankah lebih tepat “seseorang diserupakan dengan Isa”?. Justru sebaliknya, banyak literatur klasik Islam menyatakan orang lain yang diserupakan menjadi Isa.  Zamakhsari seperti tengah mengajukan kuis pada pembacanya untuk menyingkap misteri subyek diksi syubbiha lahum, sebelum akhirnya dia menetapkan pandangannya bahwa peristiwa penyaliban itulah yang disamarkan, bukan khusus pada Isa.

Saya tentu merasa terusik. Tidak mungkin 'ajaran' yang bersifat qath'i (definitif) ini dikacaukan sedemikian rupa. Saya melakukan komparasi beberapa terjemahan al-Quran, tentu saja selain milik Kementerian Agama RI karena sudah jelas “posisinya”. Saya semakin terperanjat menemukan fakta tidak sedikit penerjemah bersikap senada dengan Zamakhsari. Penerjemah seperti Pickthall (1930), Muhammad Asad (d.1992), Shakir (d.1939), Yusuf Ali (1938), dan Fakhry (1997) -- mereka menggunakan kata 'it' (peristiwa penyaliban) ketimbang 'him' (Isa) dalam menjelaskan siapa (atau apa) yang disengketakan dalam diksi syubbiha. Saya tambah penasaran.

Ragam terjemahan ini sekaligus menyadarkan saya terdapat dispute mengenai penyaliban itu sendiri dalam Islam. Jemaat Ahmadiyah barangkali merupakan salah satu yang bisa diajukan sebagai contoh. Kelompok yang kerap mendapat persekusi di beberapa negara termasuk Indonesia ini meyakini Nabi Isa mengalami penyaliban namun tidak sampai terbunuh di tiang salib. Mereka --yang juga mendasarkan keyakinannya pada ayat yang sama ini, berpandangan Isa telah wafat, sebagaimana utusan Allah lainnya.

Stuntman vs Voluntary?

Di sisi lain, saya juga menemukan adanya perbedaan pandangan di kalangan penafsir al-Quran -yang mendukung nabi Isa selamat dari peristiwa penyaliban- terkait siapa yang akhirnya berposisi sebagai stuntman. Muqatil bin Sulayman (d.c 767), sosok yang dikenal sebagai penafsir al-Quran generasi awal, dalam kitab Tafsir-nya menyatakan Isa dikhianati oleh seseorang bernama Yudas Iskariot. Oleh Allah, wajah lelaki ini lalu diserupakan Isa. Yudaslah yang ditangkap dan disalib. Sedangkan Nabi Isa sendiri dinaikkan ke langit oleh Allah.

Pandangan Muqatil ini selanjutnya "diperkaya" oleh Abu Ja'far al-Tabari (d.923). Dalam masterpiece-nya Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, sosok paling disegani dalam tafsir dan sejarah ini mengungkapkan, pria yang disalib merupakan salah satu dari pengikut setia Isa (hawariyyun). Lelaki tersebut, Sergius namanya -menurut Ibn Kathir (d.1373), mengajukan dirinya sebagai stuntman.

Lebih lanjut, al-Tabari menambahkan sebenarnya Isa sudah mendapat kabar dari Allah terkait rencana penangkapan itu. Setidaknya ada dua skenario bagaimana wajah pria itu diserupakan. Pertama, sebelum digerebek, Isa mengumpulkan semua muridnya dalam sebuah kamar. Allah mengubah wajah semuanya menjadi serupa Isa. Saat pintu kamar didobrak, tentara Roma kebingungan dan menanyakan mana Isa yang asli. Nabi isa lalu berkata "Which one of you will win paradise for his soul today? ". Setelah murid yang mengaku Isa maju menyerahkan diri dan dibawa keluar rumah, wajah murid-muridnya yang tersisa kembali seperti semula. Nabi Isa lalu terangkat ke langit melalui atap dalam kondisi tertidur (asleep).

Skenario kedua, Nabi Isa berada dalam satu ruangan bersama 13 pengikut setia. Sebelum digrebek ada 1 orang yg bersedia menggantikan posisi Isa. Laki-laki itu selanjutnya berubah paras sperti Isa, dibawa oleh prajurit Roma lalu disalibkankan. Isa sendiri kabarnya diangkat Allah ke langit dalam posisi tertidur. Ibnu Kathir -sebagaimana dikutip Said Reynold (2009)-  menambahkan opininya bahwa telah terjadi 3 polarisasi pandangan menyangkut peristiwa itu di kalangan para hawariyyun. Pertama, faksi Jacobites (ya'qubiyyah) yang berkata "God was among us and then ascended to heaven". Kedua, kelompok Nestorian (Nasturiyyah) yang menyatakan sikap "The son of God was among us and then God raised him to Himself". Sedangkan ketiga, kelompok Muslim dengan keyakinannya "A servant of God and His messenger was among us and then God raised him to Himself". Kathir lantas berpandangan dua kelompok pertama selalu berusaha memberangus kelompok terakhir.

Memusingkan Tawaffa

Diferensiasi pandangan di kalangan para penafsir al-Quran dalam hal penyaliban ini berlanjut hingga pada aspek kematian dan pengangkatan (ke langit) Isa. Ini -sekali lagi- dipicu oleh firman Allah dalam QS. Al-Imran. Dalam potongan ayat 55, ada larikan penting "idz qala allohu yaa isaa inni mutawaffika wa raafiuka". Muqotil mengartikan kata "mutawaffika" dengan "wafat/mati" dalam konteks setelah Isa turun ke bumi dan menyelesaikan tugasnya mengalahkan Dajjal. Untuk memperkuat pandangannya, Muqatil menawarkan cara baca terbalik (taqdim al-muakhkhar/hysteron proteron) sehingga larikan itu berbunyi "Aku mengangkatmu lalu mewafatkanmu". Pandangan ini diamini oleh Ibn Kathir. Terus terang saja, saya agak sulit untuk tidak mengatakan Muqotil bin Sulayman terkesan sedang memperkosa teks.

Al-Tabari sendiri menyatakan ada berbagai tafsir berkaitan dengan mutawaffika dalam ayat tersebut. Dia mencatat terdapat penafsir yang mengartikan kata itu dengan “tertidur”, "menggenggam" (qabada, to seize), maupun model terbalik ala Muqatil. Tabari juga menambahkan bahwa ada juga yang mengartikannya dengan 'wafat sementara' dan 'wafat'; dalam arti benar-benar mati. Meskipun akhirnya Tabari cenderung memilih arti “menggenggam” karena menurutnya seseorang hanya bisa mati sekali.

Sedangkan Zamakhsari malah lebih unik. Dia memaknai kata tersebut menjadi 'berakhirnya masa hidup Isa namun tidak mati". Kelak –lanjutnya- Allah akan mewafatkan Isa secara natural, bukan dibunuh seperti yang dilakukan tentara Romawi.

Said Reynolds pernah menghitung kata tawaffa dalam al-Quran. Dia menemukan  25 kata. Hampir semuanya dimaknai sebagai perpisahan antara tubuh dan jiwa alias mati. Tidak sedikit muslim kerap menjadikan QS. 7:126 sebagai doa seraya mengartikan kata tawaffani dengan wafat/mati. Saya terkadang juga menggumam lirih kepada Allah saat sepi; tawaffani musliman wa alkhikni bi al-sholikhin. Kalau mau dimaknai ala pesantren, kira-kira begini; Tawaffa, mugi mejahi Panjenengan. Ni, ing ingsung. Wa al-khik, lan mugi ngempalaken Panjenengan. Ni, ing ingsun. Bi al-sholikhin, kaliyan tiyang-tiyang ingkang soleh.

Namun yang agak aneh, saat kata tawaffa bertemu dengan Isa di al-Quran, suasananya menjadi rikuh dan terasa serba salah. Para mufassir berlomba-lomba menggeber berbagai kemungkinan adanya makna lain yang kita semua tahu kemana tendensinya. "Matinya" Isa sebenarnya telah disinggung dalam beberapa ayat, setidaknya bisa kita baca pada QS.Maryam 33 dan dialog panjang QS al-Maidah 167-8.

Setuju untuk Tidak Setuju

Saya ber-husnudzon saja,  kitab-kitab tafsiir di atas disusun para mufassir dalam situasi konfrontatif antara Islam-Kristen. Mereka barangkali merasa perlu membangun tembok kukuh teologis untuk melindungi akidah umat Islam. Di Indonesia yang majemuk ini, tembok tersebut masih tetap terasa auranya hingga sekarang, bahkan sampai kapanpun. Persekusi atas nama keyakinan berserak banyak, dan sangat mungkin dikontribusi oleh tembok yang subtil ini. Lantas bagaimana mengatasi problem seperti ini? Entahlah. Menjebolnya bukanlah hal yang sepenuhnya bijak. Ia akan berimplikasi pada pengaburan identitas masing-masing.

Saya, sebagai Muslim bersyukur mendapati karya-karya besar sosok seperti Muqatil, Tabari, Zamakhsari dan Kathir. Usaha mereka mengapresiasi pandangannya patut dilestarikan. Dari mereka, yang tampak nyata oleh saya adalah tersedianya keragaman tafsir seputar peristiwa penyaliban dan wafatnya Isa. Umat Islam perlu berterima kasih karena keragaman ini semakin memudahkan kita memahami dan tidak gampang menyalahkan keyakinan orang lain. Dari Tabari, saya belajar kejujurannya menghampar hampir semua pandangan yang berbeda terkait peristiwa itu. Sangat jelas terlihat, dia begitu percaya diri umat tidak akan tersesat meski dissenting opinion para ulama dibuka ke publik. Memang, terdapat beberapa ciri ketidakpercaya-dirian seseorang dalam beragama, yakni ia yang selalu mudah was-was, kaya kekuatiran, punya keminderan melimpah, dan gampang merasa terancam oleh keyakinan lainnya. Ciri-ciri ini biasanya hanya akan menyebabkan seseorang terjerembab dalam tindak destruksi dan intoleransi. Wallohu a’lam.(*)

*Tulisan ini pertama kali tayang di Kompasiana.

**Aan Anshori | @aananshori |Jaringan Islam Anti-Diskriminasi| No.KARTANU 13.120612.0288.02

"Menemui" Pak SBY

Mungkin Pak SBY bukanlah sosok idola banyak orang akhir-akhir ini. Apalagi setelah ia dan partainya tengah menjalani lakon teraniya di balik isu kudeta.

Persentuhan terakhirku dengan SBY secara maya terjadi beberapa waktu lalu. Ketika itu aku bersuara agak keras seputar keinginannya membangun museum dengan bantuan dana provinsi. Museum itu akan didirikan di kota kelahirannya, Pacitan.

Pacitan bukanlah kota besar. Alih-alih, kabupaten ini termasuk kategori terpencil. Jauhnya minta ampun, terutama bagi orang yang belum pernah ke sana sebelumnya, sepertiku. Berkali-kali aku berpiki kota ini sangat cocok untuk pensiunan. Dekat pantai dan tidak terlalu ramai.

"Selamat datang di Pacitan Bumi Kelahiran SBY Presiden Republik Indonesia yang ke-6"

Aku melihat tulisan itu di balik kaca mobil yang aku tumpangi, Jumat (5/2/2021). Tanda sudah sampai Pacitan, setelah hampir dua jam aku tertidur melewati rute penuh kelokan dari Ponorogo.

Ya, akhirnya aku bisa mencapai kabupaten itu. Satu-satunya wilayah di Jawa Timur yang belum pernah aku kunjungi meski telah hidup satu provinsi.

Tulisan selamat datang itu ternyata masih cukup jauh dengan lokasi di mana aku akan mengisi acara Sekolah Gender PMII Putri. "Kurang 30 menit lagi kira-kira, gus" kata penjemputku. Aku menatapnya getir.

Setelah sempat beristirahat sejenak di warung kopi, akhirnya aku tiba di Paroki Fransiscus Xaverius. Aku langsung dibawa panitia ke meja besar tempat berkumpul banyak orang, termasuk Romo Sabas, empunya paroki. Panitia memang aku wanti-wanti agar mempertemukanku dengannya sebelum mengisi acara.

Meski tidak pernah berjumpa sebelumnya, aku tidak canggung sedikit pun dengannya. Aku kenal dekat banyak teman Romo Sabas. Pun sebaliknya. Jika ada orang bertanya padaku; dari paroki mana aku berasal, aku sudah menyiapkan jawabannya; semua paroki yang ada di wilayah keuskupan Surabaya -- bisa Kristus Raja, Santa Maria Jombang, Salib Suci, Kelsapa, SMTB, dan tentu M17. Aku memang merasa dekat dengan keuskupan ini, kecuali Mgr. Tikno tentu saja.

"Mo, dengan setulus hati, aku ingin mengucapkan matur nuwun memperbolehkan anak-anak PMII ikut menikmati bagian dari paroki ini. Aku memang tidak mau datang jika tempat pelatihannya tidak di gereja," kataku sembari mendedas aneka makanan di atas meja.

Aku menjelaskan motivasiku dibalik kenapa harus gereja. Romo Sabas tersenyum. Tanda sangat memahami motivasiku. Ia mengaku sangat senang jika parokinya senantiasa ramai dikunjungi banyak orang, khususnya dulur-dulur Islam. Menurutnya itu semakin menunjukkan betapa harmonisnya kehidupan di Pacitan selama ini.

Dengan berat hati aku kemudian pamit karena harus mengisi acara. Puluhan kader putri PMII sudah menungguku di ruang sebelah, persis di belakangku.

"Mo, sebelum usai, kami minta barokah doa dulu ya," pintaku sembari meminta beberapa panitia untuk mendekati meja. Romo Sabas terlihat agak kaget, begitu juga mas Bianto -salah satu jemaat yang ikut nongkrong dengan kami. Doa kemudian dilarungkan dengan penuh hikmat.

"Gus, aku yo pamit sik ya, mimpin ibadah sik. Mengko bar maghrib kita main ke GKJW. Grejo nang sebelah. Gak adoh kok," " kata Romo Sabas. Kami pun bubar, menunaikan tugas masing-masing.

Hampir tiga jam aku dan puluhan kader putri PMII Pacitan dan Ponorogo belajar tentang gender dan seksualitas. Suasananya begitu akrab, meski awalnya agak seret. Maklumlah, tidak ada yang lebih menantang ketimbang belajar dari pengalaman masing-masing. Sebagaimana sering aku sampaikan; perempuan di kalangan Islam-Sunni-Nahdliyyin-Jawa tidak terlalu terbiasa menyatakan secara merdeka apa yang dialami menyangkut seksualitas, apalagi di hadapan banyak lelaki. Ini berlaku sebaliknya juga.

"Pak, aku mau cerita," kata salah satu kader. Ia kemudian menceritakan betapa hidupnya sebagai perempuan dibedakan dalam keluarganya. Bapaknya pernah mau membelikan laptop dan motor.

"Lha tapi bapak tidak mau mendengarkanku. Yang ditanya selalu kakakku, laki-laki. Pokoknya dia yang menentukan apa yang terbaik untukku," ujarnya. Ia tidak mampu menahan kekesalannya.

"Podo, mbak. orang tuaku juga keberatan aku ikut pencak silat, padahal aku suka," timpal peserta lain.

Silih berganti mereka menarasikan ceritanya "sebagai perempuan," dalam kehidupan. Aku lebih banyak mendengarkan mereka. Sesekali aku menimpali dan menautkannya dengan materiku.

"Oke begini, siapa di antara kalian yang pernah berciuman?" tanyaku.

Sontak forum menjadi senyap. Aku perhatikan mereka. Malu-malu, menundukkan kepala sembari menahan tawa-tawa. Aku yakin belum ada satupun dari mereka yang pernah mengalaminya.

"Aku mau cerita, pak," perempuan yang dilarang ikut pencak silat mengacungkan tangannya. Ia memang tampak paling berani diantara peserta lainnya.

"Tentang ciuman?" tanyaku mengkonfirmasi.
"Iya" jawabnya tegas.
Semua sorot mata terarah padanya menikmati setiap kalimat yang ia rangkai seputar pengalamannya.

Aku sangat bersyukur menemukan banyak kader perempuan PMII yang mulai tumbuh keberaniannya --keberanian untuk menyatakan apa yang dialaminya selama ini. Keberanian akan menentukan masa depannya. Sebagaimana yang pernah dialami Lady Sukayna, Lady Diana, atau Meghan Markel.

Selesai forum, aku selanjutnya mengunjungi mas Sapto, pendeta yang melayani di GKJW Pacitan. Aku tidak sendirian. Ada Romo Sabas dan beberapa kader PMII yang ikut bersama.

"Mas, grejo sampeyan kok uapik. Gak koyo kebanyakan grejo GKJW yang aku temui," kataku kepada mas Sapto setelah mengelilingi komplek GKJW.

Bangunan GKJW terlihat menteren. Begitu juga ruang ibadah dan bangunan pendukung lainnya. Bagus sekali. Aku menduga jemaatnya pasti banyak.

"Gak akeh kok, gus. Hanya saja mereka militan," katanya sembari tertawa.

Aku dan Mas Sapto ternyata pernah bertemu saat di Banyuwangi. Ia pindahan dari sana. Aku sendiri sudah lupa jika tidak diingatkannya.

"Ini lho, gus, kita pernah berfoto," katanya sembari menyodorkan gadgetnya. Ada aku dia dan istrinya. Dengan polosnya aku menimpali, "Ini foto pas di mana ya, mas?" Tawa kami pun kembali berderai.

Hampir jam 9 malam. Dingin Pacitan mulai mengurung. Kami pamit. Aku sudah ditunggu puluhan anak PMII yang sudah berkumpul di STAINU Pacitan untuk berdiskusi seputar 9 nilai Gus Dur. Saking semangatnya, forum STAINU selesai sekitar jam 23 lebih.

Aku baru sadar jika tenggorokanku bermasalah. Suaraku tidak sempurna. Berkali-kali aku ngomong sesuatu namun yang keluar dalam bentuk bunyi hanya 60-70 persen saja. Terkorupsi entah di mana.

"Kepegelen, Gus, istirahat dulu. Nanti akan pulih," kata Romo Sabas, sekembalinya aku dari STAINU. Romo Sabas juga memintaku tidur di pastorinya. Aku mengiyakan. Panitia yang telah menyiapkan tempat beristirahat di rumah dinas seseorang bisa memakluminya.

Aku terus berusaha menormalisasi suaraku dengan cara terus ngomong. ternyata semakin sering ngomong suaraku semakin terkorupsi. Aku benar-benar panik karena sore harinya aku harus mengisi acara di TVRI Surabaya. Tubuhku benar-benar penat. Jika dihitung, aku memang nonstop berbicara lebih dari 8 jam, sejak pukul 15 hingga 23.30.

"Gusti, tolonglah aku," pintaku lirih sembari merebahkan tubuh di kasur. Sebenarnya aku malu sekali meminta tolong padaNya. Maksudku, betapa tidak tahu dirinya aku ini; menggunakan pemberianNya dengan ugal-ugalan kemudian meminta tolong saat rusak.

Yang mengagetkanku, panitia kemudian berinisiatif mengantarkanku sampai rumah. Membawa tubuhku yang lungkrah dari Pacitan menuju Jombang. Mungkin begitu besar anugerah yang aku terima sehingga tubuhku meminta penyesuaian. Penyesuaian yang tidak mudah. Tuah Kota Pak SBY memang benar-benar dahsyat.(8)

KECEMBURUAN MENYINGKIRKAN MEGHAN?

Masih soal Mehan-Harry sebab kisah Kaesang-Felli berlangsung antiklimaks, sedangkan Ata-Laurel terlalu normatif.

Banyak sekali orang berspekulasi terkait kenapa Meghan "disingkirkan," oleh keluarga kerajaan Inggris hingga akhirnya ia memutuskan pindah ke Los Angeles sekeluarga. Oprah Winfrey mengupas habis masalah ini melalui pengakuan Meghan dan Harry dalam wawancara eksklusifnya.

Yang cukup mengejutkanku, sekitar  menit 1:04:08 Oprah mengajukan pertanyaan tajam pada Harry apakah keluarga kerajaan menerima Meghan pada awalnya.

"Yes, better than I expected," kata Harry. Menurutnya semua anggota keluarga menyambut Meghan dengan sangat baik. 

"But it really changed after the Australia tour, after our Asia Pacific's tour," tambahnya..

"After I announced my pregnancy with Archie. That's our first tour.," Meghan menimpali pasangannya.

"And, it was also the first time that family got to see how incredible she's with the job. And that brought back memory," lanjut Harry menyudahi penjelasannya. 

Suasana menjadi senyap sekita 3 detik. Terasa sangat lama. Semuanya terdiam. Hingga Oprah menyambar dengan pernyataan yang ia ulang dua kali. 

"I am thinking because I watch the ground," kata sembari menanyakan apakah keduanya juga "watch the ground," -- Tiga kata ini sangat mungkin bermakna agar lebih berhati-hati.

Oprah selanjutnya mengkonfirmasi Harry apakah yang dimaksud "memory," adalah perjalanan ayah-ibunya, Charles dan Lady Di, ke Australia.

Aku kemudian mencari informasi mengenai perjalanan orang tua Harry ke Australia. Ternyata, terjadi pada tahun 1983, saat aku masih kelas dua SD. 

"The Crown has put Prince Charles and Princess Diana's Royal visit to Australia in 1983 in the spotlight. So what happened?" 

Itulah judul tulisan di portal online Australia abc.net.au yang aku temukan di internet. 

Duh Gusti, aku baru sadar telah salah mendengarkan; yang dimaksud Oprah adalah "I watched The Crown," bukan "I watched the Ground," 

The Crow adalah tayangan di Netflix yang mengisahkan perseteruan dan rivalitas politik serta kisah percintaan selama Ratu Elizabeth II berkuasa.

"Do you watch the Crown," tanya Oprah. Harry dan Meghan mengangguk. Pada musim keempat tayangan tersebut, tambahnya, ada tayangan Charles-Diana berkunjung ke Australia. Harry mengkonfirmasi bahwa itu yang ia sebut dengan "memory,"

"So are you saying that they were (hence?) some jealousy?' sergap Oprah.

Meghan dan Harry terdiam beberaoa saat. Dengan agak terbata-bata --sangat mungkin karena berat menjawabnya-- Harry kemudian meresponnya begini.

" Look I... I wish that we all learnt from the past. But to see how effortless it was from Meghan to come in to the family so quickly in Australian and across New Zealand, Fiji and Tonga, and just be able to connect with the people in such a..."  

Oprah buru-buru memotong Harry; bukankah hal yang demikian itu yang kamu dan keluarga inginkan --supaya Megan bisa diterima semua pihak.

Harry mengiyakan hal tersebut seraya menambahkan Meghan tidak hanya dapat diterima keluarganya namun juga dunia, khususnya negara-negara persemakmuran,

"She had one of the greatest assets to the commonwealth that family could've ever  wishful," ujar Harry.

Rasanya semua menjadi semakin jelas kenapa Meghan disingkirkan dengan cara membuatnya tidak nyaman. Apakah media di Inggris bersekongkol dengan kerajaan untuk memuluskan penyingkiran tersebut? Meghan dan Harry memiliki pendapat menarik. 

Dan, tentu saja, hanya yang punya video lengkap wawancaralah yang tahu persis pendapat Meghan dan Harry. 

Kamu punya? :)


Nanda dan Kernel GKI

Kabar gembira itu akhirnya datang padaku. "Mas, aku mau ditahbiskan," kata Firmanda.

Jika boleh jujur, lebih dari 4 kali aku bertanya padanya kapan momentum paling didambakan seluruh kader GKI yang berproses menjadi pendeta tiba.

Menjadi pendeta di GKI mungkin seperti mahasiswa Ph.D, atau orang yang sedang berproses menghafal al-Quran atau bait Alfiyah ibn Malik -- penuh onak dan duri; menuntut tidak hanya kecerdasan dan intelektualitas namun juga kedewasaan, kerendahan hati dan kesabaran yang hampir tak terbatas, tujuh puluh kali tujuh kali. Aku sendiri tidak yakin akan lolos jika mencoba.

Entah faktor apa yang membuat Nanda mampu bertahan dalam proses panjang di GKI, namun marilah kita cukupkan untuk meyakini bahwa menjadi pendeta bukanlah proses yang sepenuhnya matematis dan logis, namun juga ada faktor lain, yakni divine calling. Faktor ini, meski minor, namun sangatlah menentukan.

Divine calling, ibaratnya, adalah kernel -- unsur mahapenting dalam sistem operasi komputer berbasis Linux. Sebagaimana kernel, divine calling tidaklah statis. Alih-alih, ia dinamis, menyesuaikan kebutuhan para penggunanya.

Kernel GKI sendiri telah bermetamorfosis sedemikian canggih; mendorong gereja yang awalnya berbasis etnis Tionghoa menjadi sebuah institusi kekristenan yang kompatibel dengan semangat keragaman Indonesia.

Untuk urusan kompabilitas ini, menurutku, kapasitas Nanda sudah sangat siap berproses dan melayani Indonesia melalui GKI. Hal ini setidaknya telah aku saksikan sendiri; bagaimana ia terlibat dalam kerja kolaboratif saat memimpin tim warna-warni mempersiapkan acara sahur keliling ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid beberapa tahun lalu.

Ketika itu, pastori GKI Sepanjang benar-benar bertransformasi menjadi arena komuni global, tempat bertemunya para penggerak lintasagama mempersiapkan acara tersebut, siang-malam.1

Tidak mungkin hal ini terjadi jika seandainya kernel GKI tidak terbaharui setiap waktu. Interaksi GKI Sepanjang dengan banyak pihak akan senantiasa menjaga proses pembaharuan ini. Semakin kernel terupdate, semakin peran GKI Sepanjang dan GKI-GKI lainnya akan memengaruhi wajah kekristenan, dan itu akan berdampak pula terhadap situasi Indonesia yang sedang berjuang.

Selamat atas penahbisan Penatua Firmanda menjadi bagian penting dari kernel kependetaan di GKI dan kebinekaan Indonesia.(*)

 

1 Cerita tentang ini aku singgung dalam tulisan, “Ujian Cadar Natasya di Acara Bu Shinta,” https://www.terakota.id/%EF%BB%BFujian-cadar-natasya-di-acara-ibu-sinta-nuriyah-abdurrahman-wahid/

VIDEO 416

Beberapa hari lalu, Pdt. Sisca dari Papua mengontakku sembari mengirimkan undangan. Isinya, undangan menghadiri ibadah perayaan ulang tahun GPI (Gereja Protestan di Indonesia) dan permintaan membuat video pendek ucapan selamat.

Aku terperanjat saat melihat berapa usia gereja ini. "Hah?! 416 tahun? Tua sekali," batinku. Ini gereja paling tua yang pernah bersinggungan dengan kehidupanku. 

Aku kemudian mengaktifkan kalkulator di gadget, menghitung 2021 dikurangi 416. Hasilnya 1605. Apakah ini tahun yang dianggap titik tolak pendirian gereja ini? 

Dengan penasaran, aku berusaha mencari tahu informasi terkait GPI di internet. Tahun ini merujuk pada ibadah pertama De Protestantche Kerk in Nederlandsch-Indie di Benteng Victoria Ambon, Selasa 27 Februari. 

Ibadah ini diklaim sebagai cikal bakal gerakan protestan di Indonesia, bahkan Asia. Kira-kira seratusan tahun sebelumnya, kerajaan Demak telah berdiri sebagai mercusuar politik islam di Jawa. Walisongo, sebelum akhirnya dipindah ke Pajang.

Aku belum pernah ke Masjid Demak maupun ke Pajang. Aku juga tidak pernah bertemu secara fisik dengan Pdt. Sisca. Kabarnya ia berada di Papua setelah beberapa waktu lalu sempat berdinas di GPI Jakarta. 

Meski demikian, hal in tidak membuatku canggung berkomunikasi dengannya. Sebelumnya, kami berdua cukup sering berkomunikasi untuk sebuah zoominar di GPI.

Ketidakcanggunganku dengannya, serta GPI, sebagian juga dikarenakan aku sudah lebih dulu kenal dengan ketua umumnya; Pendeta Liestje Sumampouw. Aku kerap memanggilnya "kak" -- Kami satu geng di working-team project PGI.

Awalnya aku pikir GPI hanya seperti denominasi lain, misalnya, GKI, GPIB, GKJW, GKJ, GPM dan yang lain. Namun rasanya aku tidak sepenuhnya tepat.

GPI ternyata juga seperti PGI --organisasi payung dari beberapa denominasi gereja. Terdapat sekitar 12 gereja-gereja bagian mandiri di GPI, antara lain GMIM, GMIT, GPIB, GPIBT, GPID, GPIG, dan lainnya.

"Ternyata kekristenan di Indonesia begitu banyak lekukannya," gumamku. Selama ini aku hanya mengangggap kekristenan bersifat tunggal tanpa layer. Pengetahuan baru ini semakin melengkapi database keagamaanku sebagai Muslim. Aku bisa menggunakannya, misalnya, untuk membantu teman-teman Muslimku saat mempelajari ragam denominasi kekristenan Indonesia.

Mungkin sikapku ini agak tidak lazim. Seharusnya aku tetap bersetia memelihara warisan kemarahan historis Islam-Kristen, mirip seperti kontestasi keluarga vampire Cullens versus klan werewolf Jacob dalam Twilight. 

Hanya saja, aku berpikir kemajemukan Indonesia harus dijadikan modalitas untuk memutuskan pewarisan tersebut. Muslim dan Kristen --juga agama/keyakinan lainnya-- perlu saling mendukung. 

Aku membayangkan, jika sebuah masjid dibangun, warga non-Islam berbondong-bondong bergotong royong. Sebaliknya, saat gereja, pura, vihara, klenteng, dan sanggar pamujan didirikan, orang-orang Islam datang membawa aneka kebutuhan pembangunan.  

"Sist, aku akan membuat video ucapan selamat namun nampaknya aku tidak bisa hadir dalam acara. Bentrok dengan acara lain" kataku kepada Sisca sembari meminta maaf.

Pada hari H, Pendeta Liestje mengontakku melalui WA sembari mengirim link zoom. Kode agar aku bisa bergabung.

"Kak, sorry nggak bisa join. Tapi kemarin beta kirim video via Pdt. Sisca. Dirgahayu GPI ke-416. Majulah kekristenan di Indonesia," kataku.

PENGHORMATAN ATAS PARA KORBAN

MUNGKIN
baru buku ini yang secara khusus berani menyenggol sisi gelap pesantren, kaitannya dengan kekerasan seksual. Minimnya kajian tentang isu ini di pesantren bukannya tanpa alasan. Salah satunya, sangat mungkin karena pesantren senantiasa dipersepsikan dekat dengan Nahdlatul Ulama, organisasi afiliasiku.

Organisasi ini tidak hanya sangat besar  namun, yang lebih penting, ia kini tengah menangguk spotlight panggung politik nasional serta dianggap sebagai  dewa penyelamat bagi toleransi Indonesia. 

Terasa ada kerikuhan, kesungkanan, jika kekerasan seksual dalam pesantren terlalu diekspose ke luar. Aib harus ditutupi, bukannya malah diumbar. Ketimpangan relasi perempuan atas lelaki bukannya tidak disadari oleh kalangan internal pesantren. Mereka sangat sadar. 

Itu sebabnya kita perlu bergembira ria dengan munculnya gerakan, KUPI, misalnya. Singkatan dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia. 

Hanya saja, suara-suara tajam mengecam berbagai kasus kekerasan seksual di pesantren, dari kalangan pesantren sendiri, masih jauh dari lantang.

Setahuku ForMujeres, inisiator buku ini, lahir dari keprihatinan beberapa santriwati (dan juga santri?) atas ulah nista anak pemangku pesantren Shiddiqiyyah Ploso Jombang. Mereka secara gigih terus mendorong kasus kekerasan seksual ini tidak "masuk angin," 

Betapa tidak, kasus yang  ditangani sejak 2019 hingga kini belum masuk persidangan. Pelakunya? Mungkin cekikikan membaca tulisan ini. Padahal statusnya sudah sebagai tersangka. Entah sampai kapan keadilan bagi para Korban terpenuhi.

Ijtihad ForMujeres melalui buku ini bisa dikatakan merupakan terobosan luar biasa, karena diinisiasi orang-orang dengan latar belakang pesantren. Bunga rampai ini, menurut salah satu penggagasnya, setidaknya memuat tulisan sebagai berikut.

1. Remuk Redam Melawan Kekerasan Seksual di Pesantren/Tsamrotul Ayu Masruroh

2. Kekerasan Seksual di Pesantren: Upaya Membayar Janji yang sulit Ditepati/Aan Anshori

3. Menakar Pesantren Dalam Jangkar Keadilan Gender/Nurul Bahrul Ulum.

4. Membangun Dunia Pendidikan Aman dari Kekerasan Seksual/Siti Aminah Tardi.

5. Consent dan Perwujudan Nilai Islam/Rika Rosvianti

6. Membunuh Mitos Kekerasan Seksual yang Usang/Kalis Mardiasih.

7. Respon Islam Atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual/KH. Husein Muhammad

8. Fikih Anti Kekerasan Seksual Untuk Dunia Tanpa Kekerasan/Ayu Rikza.

9. Gerakan Perempuan Islam Dalam Jihad Gender dan Kritik atas Kapitalisme/Rizki Amalia Affiat.

Formujeres perlu dirawat dan dipastikan bisa menjadi besar. Sebab, pesantren membutuhkannya untuk membersihkan citranya yang tercoreng segelintir oknum yang memiliki pesantren.

Aku menyumbang satu tulisan. Berisi analisa dengan suguhan data kasus yang berhasil aku daapatkan. Aku sendiri membutuhkan keberanian untuk menuliskannya, demi penghormatanku atas Formujeres, Pesantren dan utamanya para Korban.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler