MELAYANI GEREJA MELAYANI INDONESIA


Persinggunganku meladeni kunjungam GPIB ke Tebuireng dan Tambakberas, Minggu (21/8), menyisakan sebuah refleksi seputar konsep melayani.

Saat banser tengah dikritik habis di kalangan internal karena rutin menjaga gereja saat Natal, mereka tetap kukuh dengan pendiriannya. Salah satu alasannya, dengan mengutip pendirian Gus Dur; bahwa yang sedang dijaga Banser adalah Indonesia.


Gus Dur seolah mengatakan pada kita semua --terlepas betapa sulitnya memahaminya, "Sebagai mayoritas, yang memiliki berbagai macam privilese --termasuk paramiliter, NU harus melindungi Indonesia, salah satu caranya adalah dengan memastikan saudaranya yang berbeda agama dapat merasakan kedamaian dan rasa tenang saat beribadah,"


Sebagai santri madzhab GUSDURian, aku terinspirasi dan berusaha melakoni hal. Sekuat tenaga --sungguhpun tidaklah mudah. Inspirasi itu pelan-pelan membentuk jati diriku; apa yang aku inginkan dalam hidup dan bagaimana cara mewujudkannya. 

Aku merasa seperti seorang jongos dalam relasi antaragama, khususnya Islam-Kristen. Kalau ada orang Islam yang butuh berelasi dengan Kristen/Katolik atau agama lain, aku berusaha membantu mereka. Misalnya, untuk kebutuhan kunjungan, mengenal ajaran agamanya, berteman, atau apa saja. 

Pun, sebaliknya. Jika ada gereja yang ingin berelasi dengan Islam, dalam bentuk yang sama, aku pun dengan senang hati membantunya. 

"Selamat datang di Pesantren Tebuireng," ujarku berkali-kali kepada puluhan orang yang turun dari dua bis besar dan 5 mobil. Mereka adalah rombongan majelis sinode GPIB. Jumlahnya sekitar 70an orang. Banyak temanku di sana. 

Aku seperti tour-guide mereka yang memang sedang ingin mengenal pesantren lebih jauh, khususnya Tebuireng ---tempat bersemayamnya KH. Abdurrahman Wahid.

Aku mendampingi Gus Lukman, yang mewakili pengasuh Tebuireng, membawa rombongan ke makam Tebuireng. Mereka bisa masuk ke lokasi terdalam makam atas kebijakan pengelola makam. 



"Dalam tradisi kami, orang-orang yang kami anggap dekat dengan Gusti hanya mati fisiknya. Mereka tetap kami anggap hidup. Makam ini seperti Yerusalem, diziarahi banyak orang," ujarku pada rombongan. 

Saat itu, selain rombongan GPIB, ada sekitar seratusan lebih peziarah membanjiri makam Tebuireng. Semuanya muslim. Lantunan teks Arab menderu mengurung makam. Persis seperti dupa yang meluap-luap.

Aku tidak tahu bagaimana perasaan semua anggota rombongan GPIB berada di tengah lautan suara ini. Senang? Miris? Begidik? Galau? Biasa saja? Sangat mungkin ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka. 

Tabur bunga dilakukan beberapa pendeta, di atas pusara Gus Dur, salah satunya. Puluhan kamera mengabadikan banyak momen.

"Kak, kalau misalnya mau berdoa, silahkan ya. Ndak papa," ujarku pada Pdt. Elly Debell, salah satu pengurus sinode. 
"Boleh?" katanya dengan muka agak serius. Tatapan konfirmasi. Seperti tidak terlalu percaya. 
"Boleh dong," ujarku.

Kak Elly kemudian meminta seluruh rombongan mendekat ke pusara, termasuk yang di luar pagar. Aku terus menunjukkan gesture ke kak Elly dan rombongan agar tidak ragu berdoa secara kristiani ke pusara Tebuireng.

Di tengah deru ratusan orang mengaji, ia memimpin doa secara Kristen. Khusyuk. Begitu pula anggota rombongan, termasuk aku yang berada di samping agak belakang kak Elly.

"Sebentar lagi, kita akan menuju Pesantren Assaidiyyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas," ungkapmu saat mengantar mereka ke kendaraan.

Aku melihat ada perasaan gembira terpancar dari mayoritas rombongan GPIB saat meninggal Tebuireng. Tak lupa aku berpamitan ke Pak Lukman, tour guide Tebuireng, serta Gus Kikin, pengasuh pesantren.

"Matur nuwun, Gus, telah bersedia melayani rombongan GPIB," ujarku sembari mencium tangan Gus Kikin.


Aku datang terlebih dahulu di Tambakberas, menemui Ning Um yang sudah siap-siap di lokasi. 

Rombongan GPIB akan diterima di Pesantren Bayt Al-Quran, unit pengembangan pendidikan pesantren Tambakberas yang diasuh Gus Muhammad Imdad, putra sulung Ning Um. Unit ini memang dikhususkan bagi mereka yang berkehendak menghafalkan Al-Quran.


Saat rombongan datang, beberapa santri sedang berbaris menunggu giliran untuk "setor," hafalan ke ustadznya. Pemandangan ini menarik minat beberapa anggota rombongan.

"Ini adalah salah satu fase rutin di seluruh pesantren yang fokus menghafal Al-Quran. Tidak setiap hari kan kawan-kawan menjumpainya?" ujarku pada mereka.

Banyak dari rombongan GPIB minta izin masuk masjid --tempat "setoran," berlangsung-- untuk mengabadikan proses para santri. 


Sangat mungkin ini pengalaman baru, tidak hanya bagi mereka namun juga para santri. Sebab, tidak setiap hari para santri setor dilihat para pendeta.

"An, kita terima mereka di lantai atas pesantren ya, soalnya masjid dipakai setoran," ujar Ning Um.
"Inggih,"

Aku yang didapuk menjadi moderator dalam forum ramah tamah tersebut berusaha sekuat tenaga mencairkan kekakuan-kekakuan. 


"Ini kenapa ya Pdt. Paulus sambutannya agak tegang? Biasanya kalau khotbah lancar sekali," godaku pada Ketum GPIB yang disambut tawa para peserta. 

Selain Ning Um yang hadir, forum menjadi semakin lengkap karena Kiai Hasan dan Gus Imdad juga hadir. Kiai Hasan adalah suami Ning Um. 

"Npunten Kiai Hasan, Pdt. Paulus ini, kalau dalam struktur NU, selevel dengan Gus Yahya Staquf lho," ujarku.
"Oh ya? Ketua PBNU berarti ya," ujarnya.

Aku memang berusaha menjembatani agar siapapun dapat memahami dunia kekristenan dan struktur organisasinya. Kalau aku ngotot memakai kata "sinode," "mupel," "jemaat" pasti agak sulit dicerna. Paling enak, mencari padanan dalam struktur yang sudah dipahami.


"Jadi yang hadir saat ini, katakanlah, merupakan rombongan PBNU dan perwakilan PWNU seluruh Indonesia," ujarku mengibaratkan.

Baik Ning Um, Kiai Hasan dan Gus Imdad, ketiganya memberikan pandangan seputar Islam, pesantren dan komitmen keindonesiaan. Pantikan ini tak pelak menyulut animo banyak peserta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. 

Forum berjalan begitu gayeng dan penuh kehangatan persahabatan. Itu sebabnya, waktunya molor. 

Kehangatan tersebut mungkin salah satunya disebabkan karena ada irisan antara GPIB dan pesantren ini; Ning Um dan Gus Imdad adalah lulusan UIN Sunan Kalijaga --tempat puluhan pendeta GPIB menyelesaikan studi master dan doktoralnya.

"Boydo, ndak usah sungkan dengan kakak angkatanmu ya. Kalian ini satu almamater," ujarku pada Pdt, Boydo kepada Ning Um. 

Sebelum meninggalkan Tambakberas, rombongan GPIB meninggalkan kenang-kenangan. Mereka menanam beberapa pohon di areal pesantren.


Aku melihat ada semangat dan ketulusan terpancar, baik di Tebuireng dan Tambakberas. Semangat menghormati dan  melayani setiap orang yang bersilaturahmi, tak terkecuali gereja. 

Namun kemampuanku terbatas. Aku tidak dapat membaca pikiran Gus Kikin, Ning Um, Kiai Hasan dan Gus Imdad dibalik keramahan dan kehangatan penyambutan rombongan GPIB.

Namun sangat mungkin mereka, yang memang sudah terdidik mempertahankan identitas keindonesiaan, berpikiran; melayani gereja merupakan bagian dari melayani Indonesia.(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler