DERU PBA DI BECOMING INDONESIA

Di kampusku Ciputra, tidak ada Fakultas Hukum. Entah kenapa. Mungkin 5 tahun lagi baru ada. 


Namun pagi kemarin, Jumat (5/5), aku bereksperimentasi, mencoba mengajak mahasiswa/i matakuliahku "Becoming Indonesia," berselancar tipis ke dunia hukum. 

Aku meminta mereka membaca putusan/penetapan PN Surabaya terkait perkawinan beda agama (PBA) yang diajukan Rizal Adikara dan E. Debora Sidauruk.

Pagi tadi mereka mendengarkan presentasi dua kelompok terkait asimilasi dan akulturasi melalui perkawinan beda agama/etnis. Mereka banyak memapar aspek sosial dan psikologis. 

UDENGAN BALI DAN KEKERASAN AGAMA

Entah kenapa aku tiba-tiba ingin pakai udeng Bali saat ngajar. Selasa, 2 Mei, aku memakainya sejak dari Aloha Sidoarjo menuju Citraland. Motoran tanpa helm. Aku melanggar hukum. Temanku tidak membawa helm rupanya. Sungguh aku menyesal. 

Aku baru tahu corak udengku adalah poleng. Warnanya seperti papan catur.


"Mengingatku pada pohon di Bali, Pak. Banyak yang dibebat dengan kain bermotif seperti itu," kata salah satu mahasiswa Religion saat di kelas.

Betul, motif poleng sering dijumpai sebagai pengikat pohon atau lainnya. Rupanya, ini merupakan simbol ekspresi terima kasih (gratitude) atas kontribusi yang diberikan oleh yang-dibebat. Pohon memberikan kontribusi luar biasa atas alam raya. Jika kita membebatnya dengan poleng, itu artinya kita berterima kasih. Tidak boleh ditebang. 

Yang patut juga direnungkan dalam motif poleng adalah penggabungan dua warna; hitam putih. Yin-yang. Negatif-positif. Siang-malam. Baik-buruk.

Ini mengingatkan kita agar mensyukuri apapun yang diberikan kepada kita, sungguh pun tidak semuanya baik. Artinya, kita kurang pas jika hanya bersyukur atas anugerah kebaikan. Alih-alih, kita juga dituntut berani mengapresiasi apa saja yang tidak mengenakkan bagi kita. 

Kalau kita punya kawan pengkhianat, syukurilah. Jangan tidak dianggap sebagai kawan. Begitu pula jika memiliki aib, dosa, kesalahan --jangan membencinya. Harus disyukuri.


"Itu sebabnya, aku bebat kepalaku dengan udeng Bali, sebagI perasaan syukur. Otakku ini telah menuntunku berbuat baik dan buruk selama hidup hampir 50 tahun. Aku berusaha menjadi baik," ujarku pada para mahasiswa. 

Kebetulan sekali pagi itu kami mendiskusikan topik kekerasan agama dan konsep sesama. Aku mengajak para mahasiswa menyadari banyak agama monoteistik sering bersikap ambigu. Satu sisi mengklaim sebagai pembawa damai, namun di sisi lain, menyebabkan kesengsaraan luarbiasa bagi umat lain.

"Yang salah bukan agamanya, pak. Tapi bagaimana ia ditafsirkan," sahut salah satu mahasiswaku.

"Nah, justru dalam argumentasimu itu aku mengendus anasir penyangkalan. Hanya mau buah nangkanya tapi emoh getahnya. Padahal nangka itu ya semuanya; getah, kulit, biji, aroma, rasa manis, termasuk pohon dan daunnya," ujarku.

Aku selanjutnya menantang mereka berani menginklusi doktrin dalam kitab suci mereka melalui esai pendek. Ada 5 agama yang dipeluk keseluruhan mereka. Satu mahasiswa mengaku agnostik.

Esai tersebut sekurang-kurangnya mengeksplorasi jawaban atas 2 pertanyaan; (a) temukan sebanyak mungkin teks dalam kitab sucimu yang (1) berpotensi dijadikan pembenar melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda, (2) berisi ajaran tentang kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, cinta-kasih; (b) bagaimana idealitas pembacaan atas dua kelompok teks tersebut agar kita tidak melakukan kekerasan? 

"Esai akan mendapatkan tambahan nilai untuk matakuliah ini," ujarku mengiming-imingi tip biar mereka makin semangat .(*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler