Saragih Nomor Berapa? 16? 17? 18?

"Aku ucapkan selamat bagi kalian yang sudah sampai pada level ini. Jangan sampai nggak lulus ya. Ikuti setiap prosesnya dengan baik," kataku menyapa peserta katekisasi GKI Pandok Indah Jakarta, Sabtu (8/8).

"....and you should be proud of yourself. Sebab bisa jadi kalian adalah angkatan pertama katekisasi yang sangat unik karena ternodai orang yang dianggap tidak selamat dalam doktrin klasik kekristen," lanjutku tertawa cekikikan di forum.

Aku tidak tahu perasaan mereka kala itu. Niatku hanya guyon. Menertawakan batas-batas teologi antara Kristen dan Islam, yang terkadang sangat nggilani. Nggilani adalah bahasa Jawa dari disgusting. Jika diucapkan dengan penuh emosi a la Jombangan, tulisannya; nggguuuuuuuuilani. 

Menurutku, adalah nggilani jika seorang muslim merasa kecewa atau bahkan marah, saat menemukan teman, saudara atau bahkan pacarnya, memilih keselamatan melalui agama lain --misalnya Kristen. Begitu juga sebaliknya. 

Jika kamu ke Jakarta naik pesawat dan geram,gemes, marah melihat yang lain naik kereta api atau bahkan jalan kaki, pertanyaannya; kamu sehat?

"Gus, gimana pandangannya terkait pacaran beda agama?" kata salah satu satu katekisan. Cewek --entah Tionghoa atau Batak, lupa aku. Aku baru tahu kalau banyak orang Batak di GKI PI.

"Pacaran beda agama itu bagus jika dilakukan dengan kedewasaan tinggi. Namun tentu tidak mudah karena mensyaratkan kedewasaan dua belah pihak," kataku. Tidak banyak orang yang benar-benar sukses berelasi campur oleh karena  niatnya tidak tulus sejak awal. 

"Tidak sedikit pemuda islam yang model beragamanya seperti sales MLM, mencari pacar Kristen untuk diislamkan. Jika ketemu yang seperti ini, sebaiknya hindari. Pikirkan ulang. Cinta  sebenarnya kan memerdekakan, bukan malah menjajah. Just follow your heart," kataku.

Aku senang sekali  berdiskusi dengan mereka. Mengetahui gairah mereka yang menggebu-gebu tentang Islam adalah hal yang menyenangka. Mereka seperti kakak yang terpisah sangat lama dengan adiknya, dan akhirnya bertemu. Jasa Pdt. Joas dan Pdt. Bonnie begitu besar.


"Dik, jihad dan mati syahid itu apa sih?"
"Dik, kabarnya nabimu menikahi gadis di bawah umur. Gimana sih cerita sebenarnya?"
"Dik, gimana sih sebenarnya pandanganmu dan kawan-kawanmu seputar model bertuhan a la tritunggal yang dianut kakak? Tuhanku satu lho, dik, bukan tiga,"
"Dik....
"Dik....

Begitu banyak pertanyaan mengemuka --dari seorang kakak yang telah lama terluka oleh adiknya. Pertanyaan yang tulus campur geregetan.

"Dik, katakan padaku, kenapa teman-temanmu nakal banget kalau ketemu teman-temannya kakak? Kakak harus bagaimana?"

Aku meminta maaf sembari memohon mereka senantiasa tidak kehilangan harapan.

 "Hanya kalian yang bisa menyadarkan. Jika kami tantrum dan kalian menyerah pada kami, nggak peduli, kami tidak akan sembuh. Aku tahu banyak dari kalian yang jengkel, marah dan nggak peduli, bahkan takut. Mari kita berani," kataku.  

Keberanian bagiku bukanlah sebatas menunjukkan rasa tidak takut. Lebih jauh, "Daring is to do what is right in spite of the weakness of our flesh," -- aku mengutipnya dari film The Help. 
***

Meski hanya 1,5 jam namun aku senang sekali bersama mereka. Semoga mereka juga. Aku berharap bisa ketemu mereka kembali.  Jika tidak salah lihat, ada 112 orang yang ikut katekisasi GKI Pondok Indah, Sabtu (8/8), via Zoom. Rata-rata anak-anak muda. Millenial. 

Saat masuk aku langsung disapa Alex, calon pendeta di gereja tersebut yang selama ini bertindak sebagai laison officer. Tiba-tiba muncul seorang perempuan di layar besar zoom. Terlihat senior. Aku menduga ia orang penting di GKI PI. Sekelas penatua. Aku tahu dia Batak dari nama yang tertera. 

"Hai mbak... Apa kabar? Saragih nomor berapa? 16? 17? 18?" aku langsung  menyapanya. Ia terlihat begitu keras mengingat kembali berapa nomor punggungnya.(*)


Laaafff



UJI NYALI KATEKISASI

Selama hidup, dua kali aku mengisi katekisasi. Dua-duanya dilaksanakan oleh GKI Sidoarjo. 

Katekisasi bisa dikatakan semacam forum internum. Fungsinya, sebagai penguat iman kristen. Jika tidak salah, katekisasi adalah tahapan sangat penting bagi orang Kristen untuk memantapkan pilihan beragama mereka. 

Saat di GKI Sidoarjo, aku diminta mempresentasikan Yesus dalam perspektif Islam. Dan, pada katekisasi kedua, aku membincang soal ibunya, the Virgin Mary. 

Dua katekisasi tersebut dilaksanakan secara terbuka di gereja. Terbuka artinya siapapun boleh ikut. Seingatku, banyak sekali peserta dari luar. Tidak hanya Protestan, namun juga Hindu, Islam, Penghayat dan Katolik. 

Katekisasi ketiga rencananya berlangsung besok malam, Sabtu (8/8). Penyelenggaranya masih tetap GKI. Kali ini GKI Pondok Indah Jakarta, tempat dua orang temanku yang melayani di sana. 

Aku pernah ke sana. Gerejanya, bagus pakai banget. Sayangnya, katekisasi besok malam tidak bertempat di gereja. Semua digeser ke Zoom dan tertutup --selain Katekisan nggak boleh masuk. Kabarnya, ada live di Youtube. Namun hanya orang internal yang bisa mengakses.

Lalu, apa yang akan aku sampaikan di forum katekisasi besok?

Inilah yang aku anggap sebagai katekisasi paling berat. Sebab, aku diminta menjelaskan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta. 

Pertanyaan sudah dikumpulkan terlebih dahulu dari para peserta. Dan dua jam lalu, Alex, calon pendeta GKI, mengirimkannya padaku. 

Saat aku buka, terserak hampir 50 pertanyaan! Sangat variatif ---dari soal pakaian perempuan, kiblat, alkohol, babi, pembunuhan atas nama agama, kenabian, Yudas, ISIS, pahala dan surga, hingga usia Aisha yang di bawah umur. 


"Ya Alloh, Lex. Banyak banget! Suka aku dengan kekritisan mereka pada agama Islam," kataku sembari meringis.

Aku benar-benar mengapresiasi semangat mereka mengetahui tentang agama yang selama bertahun-tahun digunakan sebagai atas nama untuk mempersekusi Kekristenan. Tidak hanya di Indonesia namun juga di seantero jagad raya. 

Pertanyaan mereka, rata-rata, berisi gugatan meski banyak juga yang tidak. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekali lagi, sangat jelas tergambar keingintahuan mereka tentang Islam. Tidak dalam kerangka, keyakinanku, ingin masuk Islam namun lebih pada; kenapa bisa berwajah demikian. 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak hanya harus dijawab -- agar semakin benderang dan meminimalisir kegalauan yang tak terpuaskan -- namun juga perlu mendasarkan jawabannya dalam tatakan kejujuran. 

Betapa capeknya jika aku harus berapologetika menjawab 50 pertanyaan kaliber ujian master?! Capek dan penat. 

Namun bukan soal capeknya, sebab aku bisa menyembuhkannya dengan pijitan.   Akan tetapi jawaban beraroma apologetika hanya akan menyisakan persoalan baru yang cenderung membebani masa depan. Dan itu tidak cukup dewasa. 

Aku sendiri paling males jika pertanyaanku dijawab dengan model seperti itu. 

Dan yang lebih utama, jika aku menjawab dengan model itu aku merasa kurang menghargai ketulusan dan upaya serius GKI PI mengundangku. Aku yakin mereka telah bersusah payah mewujudkan relasi yang sungguh tidak lazim ini. Salutku untuk kalian.

Semoga ada cukup waktu untukku menjawab seluruh pertanyaan.





Orientasi Seksual; Takdir atau Konstruksi? Belajar dari Chrisye

Ini pertanyaan klasik seputar seksualitas yang hingga kini belum ada kata sepakat. Para ahli kejiwaan dan masyarakat awam sepertiku terbelah menjadi dua kubu. Kubu konstruksi sosial mencibir lawannya --kubu takdir-- malas berfikir. 


Ya, jawaban "takdir," memang seperti response jalan pintas. Persis seperti orang yang gagal mengoptimalisasi akalnya. Kenapa orang menjadi miskin? Takdir! Kenapa perempuan tidak boleh melampaui laki-laki? Takdir! Kenapa orang Kristen kerap tertindas di tengah mayoritas Muslim? Takdirnya memang seperti itu! 

Pendekatan "takdir," sangat beda dengan kubu konstruksi sosial. Kubu kedua ini bersusah payah menelisik, membongkar dan menyatukan kepingan untuk mencari penjelasan ilmiah atasnya. Kerapkali cara ini berhasil pada banyak persoalan. 

Namun untuk urusan orientasi seksual, menurutku, kedua kubu harus berdamai dan  menerima kenyataan mereka tidak bisa egois untuk menang secara mutlak dan binerik. 

Belajar dari Chrisye"

Kalian tahu siapa ini?" tanyaku sembari menampilkan foto penyanyi legendaris Indonesia yang sudah meninggal.

"Bukannya itu Chrisye?" jawab Lidya Kandowangko yang malam itu menjadi moderator Zoominar "Haruskah Kita Memusuhi LGBT," Selasa (14/6).

Aku membenarkan tebakan Lidya. Namun apakah kita pernah menyangka Chrisye adalah Tionghoa? Jika Anda tidak pernah berpikir demikian, maka sama denganku. Tak pernah terlintas dibenakku penyanyi bersuara emas ini ternyata keturunan Tionghoa.

Aku baru tahu ketika salah satu kawan Tionghoa, peneliti, mengabarkan kisah dramatis bagaimana Chrisye memberi pengakuan. Chrisye dikabarkan mengaku Tionghoa kepada penulis biografinya di detik-detik terakhir proses penyelesaian buku tersebut. Dengan perasaan sangat berat, Chrisye menceritakan alasan kenapa ia selama ini cenderung tidak mau terbuka ke publik menyangkut ketionghoaannya. Hal ini berkaitan dengan pengalaman buruk yang pernah ia terima. 

"Itu peristiwa yang menancap cukup dalam di benak saya," kata Chrisye, sebagaimana ditulis tirto.id "Biografi Chrisye, Keturunan Cina dan Kisah Buruknya Jadi Minoritas,"

Chrisye kecil pernah mengalami perundungan hebat pada suatu siang. Segerombolan anak meneriakinya "Cina Lo," setelah sebelumnya menyambit kepala Chrisye dengan batu hingga berdarah. Chrisye memilih tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Ketionghoaannya dikunci rapat belasan tahun hingga ia tidak lagi kuat menahannya. Ambrol di depan penulis biografinya.

"Lalu apa hubungannya Chrisye, orientasi seksual, takdir dan konstruksi sosial?" tanyaku kembali di forum.

Orientasi seksual, dalam pendapatku, sama seperti identitas ketionghoaan Chrisye, atau kejawaanku. Identitas kesukuan maupun orientasi seksual tidak bisa dipilih atau dinegosiasikan. Ia sepenuhnya given. Langsung datang dari Tuhan. 

Yang tidak kalah penting, sebagaimana halnya Chrisye, setiap orang memiliki kemerdekaan untuk mengakui --atau tidak mengakui-- atas identitas tersebut. Selama kurang lebih 30 tahun Chrisye memilih menyembunyikan jatidirinya. 

Ia mungkin berfikir dan merasa tidak aman manakala ketionghoaannya diketahui publik. Konstruksi sosial senyatanya telah begitu memengaruhi keputusan Chrisye, baik saat menyembunyikan diri maupun ketika memutuskan berterus terang, pada akhirnya.

Begitu pula terkait orientasi seksual. Tuhan selama ini telah memasangnya pada setiap orang. Kebanyakan memang heteroseksual. Konstruksi sosial telah menyebabkan individu yang diberi anugerah orientasi non-heteroseksual mengalami persekusi selama 1.973 tahun lamanya -- bahkan hingga sekarang. Selama itu pula mereka dilabeli sebagai pendosa dan mengidap penyakit jiwa. 

Label ini kemudian di review para psikiater di Amerika pada 23 Desember 1973 dan, melalui voting ketat, telah menghasilkan konsensus baru terkait orientasi seksual. Heteroseksual tidak lagi dianggap supreme, sebagai satu-satunya yang benar, karena homoseksualitas dan orientasi seksual lainnya telah diakomodasi. Para agamawan juga mulai melihat dan menyesuaikan kembali tafsiran teks kitab suci mereka 

Namun demikian, meski secara legal orientasi non-heteroseksual telah dinyatakan bukan sebagai penyakit, namun tidak berarti individu non-heteroseksual bisa merdeka dengan sendirinya. Konstruksi sosial yang dialami masing-masing dari mereka sangat menentukan apakah mereka mau terbuka atau tidak dengan identitas yang ia miliki. 

Tuhan telah memberi orientasi seksual kepada kita semunya. Kita sepenuhnya memiliki kemerdekaan untuk mengakui dan merayakannya, seperti halnya Chrisye dengan ketionghoaannya.

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler