WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO

Press Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) Jawa Timur

"WUJUDKAN TEMPAT PEMAKAMAN UMUM (TPU) DESA SOOKO KECAMATAN SOOKO MOJOKERTO"


Jaringan Islam Antidikriminasi (JIAD) Jawa Timur mendukung upaya serius GUSDURian Mojokerto dalam upaya pemberian keadilan akses pemakaman bagi warga non-Islam desa Sooko kecamatan Sooko Kabupaten Mojokerto.

Upaya ini merupakan rentetan terjadinya diskriminasi jenazah bu Emi dan Pak Totok yang tidak bisa dimakamkan di desanya sendiri karena alasan agamanya (cek beritanya di https://tinyurl.com/yhsdhvm2)

Beberapa hari lalu, GUSDURian Mojokerto secara resmi mengirimkan surat ke otoritas desa Sooko. Isinya, terkait klarifikasi seputar status tanah makam desa; apakah khusus untuk warga Islam saja atau terbuka bagi semua warga desa. 

Hingga saat ini surat tersebut belum direspon oleh Kepala Desa tanpa alasan yang jelas. Padahal sebenarnya masalah ini tidak perlu terjadi manakala pemerintahan desa bersetia pada empat pilar bangsa; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

Sebagai catatan, terdapat lebih dari 100 warga desa Sooko yang beragama selain Islam. Kejelasan nasibnya saat meninggal dunia masih terancam tidak bisa dikuburkan di desanya sendiri. Padahal, saat pengadaan tanah makam tersebut, mereka juga terlibat urunan pembiayaan.

Terkait hal ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendukung sepenuhnya langkah advokasi GUSDURian Mojokerto terkait hal ini;

2. Mendesak kepada Kepala Desa dan BPD Desa Mojokerto untuk mengeluarkan keputusan yang isinya menetapkan makam desa sebagai tempat pemakaman umum (TPU);

3. Mendesak kepada Bupati Mojokerto untuk memastikan seluruh desa di kabupaten memiliki TPU, bukan hanya Makam Islam saja;

4. Menyerukan kepada semua elemen lintasagama untuk ikut serta memperjuangkan hal ini;

5. Meminta kepada semua pihak mengirimkan pesan dukungan berisi, "Saya Aan Anshori (ganti dengan nama Anda), pengajar Universitas Ciputra (ganti dengan afiliasi Anda), mendukung Kepala Desa Sooko menyediakan tempat pemakaman umum (TPU) bagi seluruh warga desa -- apapun agama, ras, suku dan etnisnya," Kirim pesan tersebut ke WA Kades Sooko https://tinyurl.com/ydrtp97k dan Camat Sooko https://tinyurl.com/yz9k2ht3 

Jombang, 25 Juli 2021

Aan Anshori


*Narahubung GUSDURian Mojokerto; Imam Maliki (+62 855-3694-0161) Kukun Triyoga (+62 812-3086-0673)

ISMAIL ATAU ISHAQ? TIGA FAKSI ISLAM DAN UPAYA PEMBACAAN ULANG

Dalam drama percobaan penyembelihan oleh Abraham, siapapun yang Anda dukung; apakah Ishaq atau Ismail, aku sama sekali tidak keberatan. Sepenuhnya aku bisa memahami hal itu. Aku sungguh sangat senang seandainya kita bisa tumbuh dan berkembang sampai pada posisi Gus Dur dalam urusan ini;“Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishaq, tidak jadi disembelih. Jadi buat apa diributkan,” Bagi banyak orang, posisi Gus Dur memang terasa lebih menenangkan, lebih rekonsiliatif, ketimbang kita gegeran karena terperosok dalam rezim binerik --Ishaq atau Ismail.

Yang hendak aku tawarkan dalam tulisan ini adalah seputar cara pandangku kenapa Islam terasa lebih memilih Ismail ketimbang Ishaq dalam drama percobaan penyembelihan oleh bapaknya, atas nama perintah Tuhan. Sebagai catatan, aku belum membaca semua karya tulis di Google Scholar berkaitan dengan topik ini. Sehingga bisa jadi telah ada sarjana yag relah menulisnya namun belum aku sebut karyanya. Untuk hal ini, aku minta maaf.

BASIS AWAL

Aku mencukupkan diriku pada teks alquran sebagai sumber primer. Dalam tradisi Sunni-Nadliyyin yang aku tahu, jika ingin mempelajari al-Quran lebih mendalam, seseorang akan sangat disarankan untuk membaca tafsirnya. Namanya juga tafsir, kebenarannya tetaplah relatif dan tidak bisa dianggap sejajar dengan al-Quran. Jumlah kitab Tafsir cukup banyak dan beragam. Tergantung juga pada madzhab keislamannya. misalnya Sunni. Syiah, atau Ahmadiyyah.

ALQURAN DAN PENYEMBELIHAN 

Di kitab suciku, teks seputar upaya percobaan penyembelihan anak Ibrahim, setidaknya, tergambar dalam Alquran Surah 37 (al-Saffat, rombongan/barisan Malaikat) ayat 102. Namun, demi memahami ceritanya lebih utuh, aku akan beberkan ayat 100-113. Aku gunakan terjemahan/tafsir milik Quraish Shihab yang ada di tanzildotnet.

37:100; Ya Tuhan, berikanlah aku keturunan yang saleh yang akan melanjutkan misi dakwah setelah aku.

37:101; Kemudian malaikat memberinya kabar gembira berupa anak yang cerdas dan sabar.

37:102; Anak itu pun lahir dan tumbuh. Ketika anak itu menginjak dewasa dan telah pantas mencari nafkah, Ibrâhîm diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."

37:103; Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Kemudian Ibrâhîm membaringkannya dengan posisi pelipis di atas tanah sehingga siap disembelih.

37:104-105 ; Allah mengetahui kebenaran Ibrâhîm dan anaknya dalam melaksanakan cobaan tersebut. Kemudian Allah memanggilnya dengan panggilan kekasih, "Wahai Ibrâhîm, sesungguhnya engkau telah memenuhi panggilan wahyu melalui mimpi dengan tenang, dan engkau tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya. Cukuplah bagimu itu semua. Sesungguhnya Kami akan meringankan cobaan Kami untukmu sebagai balasan atas kebaikanmu, seperti halnya Kami membalas orang-orang yang berbuat baik karena kebaikan mereka."

37:106; Sesungguhnya cobaan yang Kami berikan kepada Ibrâhîm dan anaknya adalah bentuk cobaan yang menjelaskan inti keimanan dan keyakinan mereka kepada Tuhan semesta alam.

37:107; Kami menebus anak itu dengan sembelihan yang besar, sebab datangnya atas perintah Allah.

37:108; Kami abadikan Ibrâhîm dengan pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang setelahnya.

37:109; Salam kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrâhîm.

37:110; Seperti balasan yang menolak bencana itu, Kami akan memberi balasan orang-orang yang berbuat baik dengan melaksanakan semua perintah Allah.

37:111; Sesungguhnya Ibrâhîm termasuk hamba-hamba Kami yang tunduk pada kebenaran.

37:112; Dengan perintah Kami, malaikat memberi kabar gembira kepadanya berupa kedatangan seorang anak, yaitu Ishâq, meskipun istrinya mandul dan sudah putus asa untuk mendapatkan anak. Anak itu nantinya akan menjadi seorang nabi yang termasuk orang-orang saleh.

37:113; Ibrâhîm dan anaknya Kami berikan keberkahan dan kebaikan di dunia dan akhirat. Di antara anak keturunannya ada yang berbuat baik dengan keimanan dan ketaatan, dan ada pula yang menzalimi diri sendiri dan jelas-jelas tersesat karena kekafiran dan kemaksiatan yang dilakukannya.


TIGA FAKSI

Dari berbagai terjemahan al-Quran yang aku bisa akses, hanya terjemahan milik Kementerian Agama RI yang berani menyebut kata “Ismail,”secara gamblang saat menerjemahkan/menafsirkan ayat 102. Selain milik Kemenag, aku juga mengecek beberapa terjemahan berbahasa Inggris dan Indonesia, misalnya; Shahih International, Maududi, Mubarakpuri, Pickthall, Qarai, Qaribullah & Darwish, Sarwar, Shakir, Wahiduddin Khan, Yusuf Ali, dan tentu saja Quraish Sihab. Tidak ada satupun dari mereka yang menyebut nama“Ismail,” Alih-alih, mereka menggunakan kata “anaknya” (anak Ibrahim). 

Di titik ini, untuk mempermudah penggolongannya marilah kita sebut saja mereka ini kelompok netral. Tidak disebutnya nama Ismail oleh mereka bisa jadi merupakan hal wajar karena kata Ismail memang tidak ada dalam atar 100-113. 

Selain kelompok netral, al-Qurtubi (d. 1272) —dalam Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an— saat menjelaskan QS. 37:102 menyampaikan adanya dua kelompok lagi dalam khazanah intelektual Islam; pro-Ishaq dan pro-Ismail. Dibelakang pendukung Ishaq, terdapat nama-nama seperti Ali bin Abi Talib, Abu Zubair, Abdulah bin Mas’ud, Muqatil bin Sulayman, al-Abbas bin Abdul Muthalib, dan Said bin Jabir. Sayangnya, al-Qurtubi sepertinya kurang mengelaborasi lebih jauh argumentasi kelompok pro-Ishaq.

Sedangkan di barisan kelompok pro-Ismail —yang berpandangan bahwa Ismail sebagai sosok pilihan Tuhan yang akan dikorbankan— terdapat nama-nama, diantaranya, Abu Tufail Amir bin Watsilah, Abu Huraira, Ibn 'Arabi, Ibn Kathir, al-Maududi, dan hampir semua orang Islam yang tiap tahun menyelenggarakan Iduladha. 

Jika boleh menduga, argumentasi kelompok pro-Ismail sangat mungkin demikian; jika narasi ayat-ayat di atas dibaca secara kronologis, maka ayat 100-112 menceritakan seorang anak yang akan disembelih. Siapa anak itu? Entahlah. Namun kelompok pro-Ismail sangat mungkin akan berkata; pastilah bukan Ishaq sebab dia baru disebut pada ayat 113. 

"Kan ya tidak masuk akal ada orang disembelih padahal ia belum dilahirkan?," --barangkali demikian afirmasi sederhananya. Maka, dengan afirmasi seperti inilah seluruh bangunan epistemologi pro-Ismail dalam Islam mendapat basis legitimasinya. Namun justru di titik ini, legitimasi tersebut, menurutku, tidaklah sesederhana.

MENYELIDIKI AFIRMASI

Ada hal yang membuatku penasaran kenapa Alquran terasa memilih "jalan lain," --dianggap condong memilih Ismail-- ketimbang narasi Perjanjian Lama yang diyakini Yahudi dan Kristen. Dua agama ini memang unik; bersekutu terkait siapa yang akan dikorbankan Ibrahim, namun dalam banyak aspek, Kristen justru terasa melakukan "pemberontakan," terhadap ajaran Yahudi melalui Perjanjian Baru-nya. 

Kenapa Kristen bisa rukun dengan Yahudi dalam soal Ishaq, seperti Jokowi dan Prabowo-Sandy dalam kabinet Indonesia sekarang? Sangat mungkin karena keduanya berkepentingan menjaga kemurnian garis keturunan Ibrahim dari Sarai ketimbang Hagar. Sarai dan keturunannya dianggap lebih mulia dan terhormat ketimbang Hagar yang hanya seorang budak --sungguh pun keduanya digauli dengan penis yang sama.

"Mbak, kalau aku baca ceritanya Hagar di Alkitab, betapa ia sangat terlunta-lunta. Dia ini budak yang dikondisikan minder dengan majikannya. Saat ia mulai memperoleh konfidensi karena sanggup memiliki anak Ismail. ia harus menerima penindasan dari Sarai sang majikan yang berkomplot dengan Abraham —bapak dari anaknya," kataku pada seorang kawan, pendeta perempuan. 

Hagar, tambahku, laksana“sudah jatuh tertimpa tangga pula,”Dia harus menerima kenyataan Tuhan yang ia cintai justru malah tampak bersekutu dengan Sarai-Abraham. Alih-alih menolong, El-Roi —nama Tuhannya Hagar-- justru meminta perempuan ini kembali ke keluarga Abraham, menerima dengan ikhlas penindasan dari Sarai, nyonyanya. Sungguh, betapa menakjubkannya El-Roi!

Penderitaan Hagar dan Ismail nampaknya belum reda, kataku. Pada saat akhirnya Ismail memiliki adik —Ishaq yang lahir dari rahim Sarai, lihatlah, betapa njomplangnya perlakukan Ibrahim terhadap keduanya. Persis seperti perlakukan Jakarta terhadap Jawa atas Papua. Abraham mengusir Hagar dan Ismail; agar Sarai dan Ishaq bisa hidup tenang bersamanya?

"Menurutku, peristiwa yang terjadi pada Hagar dan Ismail adalah salah satu cerita penindasan domestik berbasis kelas sosial dan gender. Namun yang semakin menggangguku, kenapa ya aku sangat jarang mendengar para pendeta menggunakan cerita ini dalam khotbahnya," kataku. Perasaan ini persis seperti yang aku alami saat menemukan fakta kurang terapresiasinya Yesus dalam komunitas Islam --sungguhpun Alquran menceritakan sosok ini melebihi hampir semua Nabi dan Rasul.

Dalam kasus Hagar dan Ismail. marilah kita bayangkan bagaimana kondisi psikologis keduanya --terutama Ismail. Anak kecil ini senyatanya telah dirawat dalam kurusetra domestik yang sungguh tidak sehat; menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya menganakemaskan Ishaq dan Sarai ketimbang memberikan perlakukan yang setara pada ia dan ibunya. 

Tak perlu gelar psikolog untuk bisa memahami Ismail akan selalu dikurung oleh perasaan marah, terbuang, tertindas, dan diselimuti kobaran kebencian yang meluap. Maka, benarlah adanya jika Perjanjian Lama mendefinisikan Ismail sebagai, "Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua 4 saudaranya,"

SARAI ENVY?

Aku merasa, jangan-jangan masih ada diantara kita yang terjebak Sarai Envy--sebuah kondisi psikologi seseorang yang secara tak sadar meminggirkan peran dan posisi orang atas dasar kecemburuan kelas sosial tertentu (majikan terhadap budaknya) seperti yang dialami Sarai. 

Bagi siapapun yang mengaku sebagai pewaris "keturunan," Ishaq, —baik secara biologis maupun ideologis— Sarai Envy adalah metode dan strategi yang sangat ampuh --sekaligus berbahaya-- untuk menjaga klaim kemurnian pewarisan tersebut. Sarai Envy akan menstimulasi siapapun untuk tidak rela menyaksikan Ismail dan followernya mendapatkan kesetaraan dan kesejajaran rasa hormat.

Itu sebabnya, menurutku, cerita Ishaq yang "terpilih," untuk dikorbankan dan juga disunat lebih bernuansa teologis ketimbang historis. Nuansa teologis tersebut sangat kuat beraroma bias Ishaq terhadap Ismail. 

Dalam imajinasiku, jika cerita ini terus dilanggengkan dengan semangat Sarai Envy maka Hagar dan Ismail —beserta ratusan juta pendukungnya— akan merasa semakin terpinggirkan. Jika ini terjadi, maka resistensi Ismail Cs. dalam menuntut balas akan semakin keras, salah satunya dengan cara melontarkan wacana tanding untuk "mengoreksi klaim telogis yang sudah mapan," terkait siapa yang sesungguhnya terpilih untuk dikorbankan oleh ayahnya saat itu. Aku kuatir dunia Islam-Kristen-Yahudi justru akan terasa tidak semakin membaik. 

TUHAN YANG MEMBAYAR HUTANG

Aku menduga kuat narasi Al-Quran, yang tidak secara tegas menyebut nama Ismail namun meletakkan kelahiran Ishaq dalam ayat lanjutan penyembelihan, sedang menantang kita agar terus berpikir ulang. Misalnya, seperti yang ada dalam pikiranku saat ini; apakah narasi Alquran ini bukan semacam gently reminder Tuhan bagi siapa saja yang pikirannya masih terjangkiti Sarai Envy secara akut. 

Peringatan lunak ini sekaligus bisa jadi merupakan upaya El-Roi "menebus kesalahannya" di masa lalu karena "membiarkan" Hagar dan Ismail hidup dalam ketatnya penindasan domestik kala itu.

Dengan menggunakan Alquran, Tuhan --jika kita meyakini Dia adalah sutradara yang sama dalam drama domestik Ibrahim-Ismail-Ishaq narasi Yahudi, Kristen dan Islam-- seperti sedang menuliskan lanjutan drama ini. Isinya, rekonsiliasi dan romantisme Ibrahim bersama Ismail -- putra yang pernah ia sengsarakan -- saat membangun tempat suci di Makkah (QS 2:124-129) maupun mensejajarkanya dalam galaksi para Nabi/Rasul. 

Pada saat yang bersamaan, sang sutradara ini juga meletakkan relasi Ishaq-Ismail dalam tensi yang jauh dari menenangkan --ketimbang di sekuel Perjanjian Lama. Kata "Ismail," disebut sekitar 12 kali dalam Alquran; enam kali disebut bersamaan dengan Ishaq (dan bapaknya) dalam posisi setara (QS.2:133, 136,140; QS.3:84, QS.4: 163), tiga kali disebut bersama nabi/rasul lain minus adik dan bapaknya (QS.6:86, QS.38:48, QS.21: 85), satu kali disebut sendirian (QS.19:54) dan bersama Ishaq (QS.14:39), serta dua kali disebut bersama bapaknya saat membangun Ka’bah (QS.2: 125,127)

Anda tahu berapa kali nama Ishaq disebut dalam Alquran? 17 kali! --lebih banyak dari Ismail. Dan tidak ada satu pun yang bermuatan konfrontatif; tidak terhadap ibunya, bapaknya, maupun tidak terhadap ibu tiri dan kakak tirinya. 

AKHIR: SIAPA YANG DIKORBANKAN?

Siapa yang (telah) akan dikorbankan oleh Abraham sudah sangat jelas di al-Quran; yakni anaknya! Kita bisa menetapkan pilihan; pro-Ishaq, pro-Ismail, atau netral. Semua pilihan tersebut tidak hanya ditopang banyak tokoh/sarjana Islam namun juga, di sisi lain, memiliki konsekuensi. Salah satunya, ketika pilihan tersebut tercampuri fanatisme maka dunia Islam-Kristen-Yahudi akan semakin gelap. Itu berarti, kita mungkin gagal mengambil hikmat dari drama domestik keluarga Abraham.(*)

--Daftar Bacaan--

1.Alkitab SABDA™, https://www.alkitab.sabda.org/home.php

2.MW Pickthall, The Glorious Qurʼan: Translation. TTQ, INC., 2001.

3.Means, E. G. "Genesis, and: Hagar and Sarai, and: Remembering Being Is Birth, and: Natality." Colorado Review 44.1 (2017): 140-145.

4.Tanzil - Quran Navigator, https://tanzil.net/, © 2007-2021 Tanzil Project

5.Ali, Abdullah Yusuf. English translation of the Holy Quran. Lushena Books, 2001.

6.https://www.englishtafsir.com/Quran/37/index.html#sdfootnote57sym

7.Al-Qurtubi, Abu Abdu Allah. (2003). Tafsir Al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam Al- Qur’an (Al-Qurtubi's Interpretation of the Holy Quran). Riyadh: Dar Alam Al-kutub.

8.Afsar, Ayaz. "A Comparative Study of the Intended Sacrifice of Isaac/Ismail in the Bible and the Qur'ān." Islamic studies (2007): 483-498.

9.Sayyid Abul Ala Maududi - Tafhim al-Qur'an - The Meaning of the Qur'an, http://www.englishtafsir.com/

Ada Yesus dan Petrus dalam kata Id(ul) Adha dan Id(ul) Fitri


Seorang kawan, cewek lulusan Teologi UKDW yang jadi PNS di Kemenag, mengingatkanku; penulisan yang benar adalah "iduladha," atau "idulkurban," -- bukan "idul adha," atau "idul kurban,"

"Digabung ya, gus, tidak dipisah," tulisnya di wall FBku.

Aku merasa seperti penjual soto Lamongan yang sedang menerima order nasi dan kuah soto dicampur, dijadikan satu --padahal biasanya terpisah.

Aku tak hendak mendebatnya selain mengatakan aku masih menunggu penjelasan dari KBBI kenapa dua diksi tersebut harus digabung, padahal "biasanya," terpisah. 

"Mungkin KBBI tidak siap berpisah, takut LDR, Feb," kataku mencoba jenaka. 

Selama ini ku selalu mengartikan kata "id," dalam dua hari raya dengan kata "kembali,"; Idul Fitri berarti "Kembali ke fitrah penciptaan manusia," dan Idul Adha bermakna "Kembali berkorban,"

Namun siang ini, rasanya aku harus mengoreksi pemahamanku terkait kata "id," Kata ini menurutku lebih tepat diartikan sebagai "perayaan," atau "festival," 

Sebab secara historik, munculnya dua hari raya ini merupakan respon Islam awal (saat Nabi masih hidup) ketika hijrah ke Medina dan menyaksikan penduduk asli (komunitas Yahudi) merayakan dua perayaan. 

Sangat mungkin Nabi merasa perlu umat Islam memiliki hari raya sendiri dalam rangka memperkuat konsolidasi keimanan umat. Jika benar demikian, maka yang terjadi selanjutnya adalah cara kerja normati interrelasi kebudayaan;  amati, tiru dan modifikasi. Informasi seputar hal ini setidaknya terekam dalam Musnad Ibn Hanbal No.11595, 13058, 13210.


Id sebagai momentum bersuka cita juga dapat ditemui dalam Shahih al-Bukhari No. 3931.  Di hadits tersebut, Aisha menceritakan kenangannya bersama sang suami (Nabi Muhammad). 

Saat itu mereka berdua sedang menikmati alunan lagu yang dinyanyikan dua penyanyi perempuan, merayakan hari Bu'ath --pertempuran besar antara dua suku Yahudi Madinah; Aws dan Khazraj.

Saat keduanya asyik menikmati, datanglah Abu Bakar -- ayah Aisha yang sekaligus mertua Nabi. "Instrumen musik adalah setan," seru Abu Bakar sembari menatap dua penyanyi. 

Nabi menjawabnya dengan santai "Biarkan saja, Abu Bakar. Setiap bangsa memiliki perayaannya, dan hari ini adalah perayaan kita,"

Id dalam makna "hari raya/perayaan/festival," bahkan terekam dalam al-Quran. Dan yang mengagumkan, ayat tersebut merujuk pada perkataan Yesus kepada para muridNya (hawariyyun). 

قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللهم رَبَّنَآ اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ تَكُوْنُ لَنَا عِيْدًا لِّاˆوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنْكَ وَارْزُقْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ

Isa putera Maryam berdoa, "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau, beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama." (QS. Al-Maidah (5):114)

Terjemahan Inggris versi Yusuf Ali maupun Shahih International memberi arti kata " 'idan," dengan "festival," 

English - Sahih International:

"Said Jesus, the son of Mary, "O Allah, our Lord, send down to us a table [spread with food] from the heaven to be for us a festival for the first of us and the last of us and a sign from You. And provide for us, and You are the best of providers."

English - Yusuf Ali:

"Said Jesus the son of Mary: "O Allah our Lord! Send us from heaven a table set (with viands), that there may be for us - for the first and the last of us - a solemn festival and a sign from thee; and provide for our sustenance, for thou art the best Sustainer (of our needs)."

Oleh al-Quran, Yesus diceritakan mampu menghadirkan satu set meja hidangan, lengkap dengan aneka makanannya, dari Tuhan secara magis. Mungkin seperti para pesulap atau kisah-kisah keajaiban para Rasul dalam banyak kitab suci.

Yang menarik, Tafsir versi Kemenag RI, sebagaimana yang aku miliki, mencoba merelasikan ayat ini dengan "Doa Bapa Kami," dalam Matius 6:11 serta laparnya rasul Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:9-12. 

Aku sempat tercenung sesaat; ini apa-apaan ya? Apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh kitab suciku?

Jika mau jujur, QS.5:114 memang tidak cukup gamblang menjelaskan; dalam konteks apa persisnya Yesus menghadirkan makanan bagi para muridNya. Jangan-jangan ayat ini tentang Perjamuan Akhir sebelum Yesus dikhianati dan akhirnya disalibkan. Entahlah.

Namun dalam jamuan akhir tersebut, aku hanya membayangkan bagaimana cara Yesus saat melayani para muridNya; Eh kamu, ya kamu... Sotonya dipisah atau campur? (*)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler