Rilis sweeping buku yang dianggap menyebarkan Komunisme.

Rilis terkait sweeping buku yang dianggap menyebarkan Komunisme.


Terkait peristiwa sweeping buku-buku yang dianggap menyebarkan Komunisme oleh aparat Kediri di sebuah toko buku di Pare, maka menjadi penting bagi kami, Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) untuk menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mengecam aksi tersebut karena bertentangan dengan semangat kemerdekaan intelektual, termasuk yang berkaitan dengan Peristiwa 1948, 1965 dan setelahnya. Aksi pemberangusan tersebut juga berlawanan dengan salah satu prinsip syariah, yakni kewajiban agama untuk menjaga kemerdekaan berfikir (hifdz al-'aql).
2. ‎Meminta aparat hukum dan militer untuk menghentikan fobia-komunisme yang nantinya bisa menimbulkan kegaduhan politik yang kontraproduktif bagi semangat reformasi;
3. ‎Meminta kepada semua pihak agar secara serius melindungi kemerdekaan dan kebebasan intelektual, bukan malah menyebarkan teror-psikologis;
4. ‎Menyerukan kepada masyarakat agar tidak ragu membaca semua karya-karya yang berkaitan dengan sejarah masa lalu Indonesia, terutama yang berkaitan dengan PKI dan Komunisme, agar semakin dewasa dan adil dalam menyikapi sejarah.

Demikian atas perhatiannya disampaikan terima kasih.


Jombang, 28 Desember 2018

Aan Anshori
Kordinator
Twitter @aananshori

DARI PAYAKUMBUH KE SINLUI; LGBT DAN WAJAH MILENIAL

Meski sama-sama bisa dikategorikan sebagai generasi millenial, namun dua kelompok beda agama di dua kota merespon isu LGBT secara kontras.

Di Payakumbuh, Rabu (7/11), ratusan anak-anak muda bersama orang dewasa turun ke jalan mengecam LGBT dengan segala argumentasinya. Mereka berdemonstrasi dalam rangka deklarasi perang terhadap apa yang dianggapnya sebagai penyakit masyarakat. LGBT disejajarkan dengan minuman keras, perjudian serta perzinahan.

Penyejajaran ini sungguh problematik mengingat ada pemaksaan logika di dalamnya. Sejak kapan transgender, lesbian, homoseksual maupun biseksual adalah kejahatan? Jangankan masuk dalam dalam aktifitas pidana, terkategorisasi sebagai penyakit mental pun tidak, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Tampak sangat jelas anak-anak millenial Payakumbuh tersebut belum mendapatkan edukasi tentang konsep dasar gender dan seksualitas dalam diri manusia.

Sungguhpun demikian, mereka tidak bisa disalahkan karena guru-guru mereka juga terlalu malas belajar. Padahal guru-guru ini telah menikmati gurihnya 400an triliun dana pendidikan dalam APBN 2018.

Saat berdemo, ada sesorang anak yang mengangkat poster berbunyi "Seanjing-anjingnya anjing jantan tidak akan kawin dengan anjing jantan," Poster ini menunjukkan betapa katroknya mereka yang menganggap absennya homoseksualitas di dunia binatang.

Padahal, buku hasil riset Bruce Bagemihl berjudul "Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity," telah menjelaskan panjang soal itu. Di dalam risetnya, Bagemihl menggambarkan secara gamblang homoseksualitas terdeteksi pada ratusan spesies.

Anak-anak millenial Payakumbuh bisa jadi tidak pernah menemui dan berdialog secara rendah hati dengan teman-teman LGBT. Kiranya anak-anak tak berdosa ini seperti telah terjangkiti virus homofobia dari guru-guru mereka. Virus ini menjadi sangat mematikan karena biasanya bercampur dengan ekstrak agama yang terkenal sangat ampuh efeknya.

Situasi yang kontras terjadi di sekolah SMA Katolik St. Louis (baca Sinlui) Surabaya. Anak-anak millenial sekolah itu malah justru diperbolehkan gurunya mengundang Eky, kawan saya yang gay, untuk berbagi pengetahuan seputar dirinya dan pengalamannya, Rabu (7/11).

Saya menebak, sejak awal sangat mungkin ada preteks negatif dalam benak mereka terkait LGBT. Namun tampak jelas hal itu disikapi secara dewasa dan rendah hati dengan cara mencari tahu. Apa yang lebih rendah hati ketimbang memosisikan dirinya sebagai pihak yang belum tahu atas hal tertentu dan belajar langsung dari yang bersangkutan?

Ya, Eky yang homo itu, alih-alih dipersepsi sebagai pendosa dan "berpenyakitan," malah justru diposisikan dalam strata terhormat di kelas itu; menjadi "sang guru," --sebutan formal bagi siapapun yang diundang dalam kelas resmi sekolah tersebut.

Terlepas dari sikap yang akan diambil anak-anak Sinlui nantinya, perjumpaan langsung dengan "sang guru" akan memberi mereka bekal yang cukup untuk menemukan bagaimana "wajah tuhan" terimplementasi di diri mereka menyangkut kelompok LGBT.

Pastinya akan sangat berbeda dengan para milenial Payakumbuh yang lebih dulu memilih citra Tuhan yang menghujat, koersif dan intimidatif. Pencitraan yang muncul akibat kurangnya pengetahuan seperti ini juga pernah terjadi 53 tahun lalu saat politik Islam merespon Pembantaian 65-66.

Kala itu, hampir semua organisasi politik Islam bersikap sangat keras terhadap PKI dan siapapun yang dianggap pengikutnya, terutama kelompok abangan. Mereka mengintimidasi dan mempersekusi kelompok ini dengan berbagai motif, salah satunya menambah pengikut melalui konversi agama.

Namun sayangnya, hal itu tidak sepenuhnya berhasil. Catatan Ukur dan Cooley tahun 1979 dalam "Jerih dan Juang: Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia," menunjukkan ratusan ribu orang, kebanyakan di pulau Jawa,. justru memilih Kristen dan Katolik sebagai cangkang baru relijiusitas. Mereka merasa dua agama ini lebih akomodatif terhadap situasi psikologis yang dialaminya saat itu.

Dalam hal penyikapan terhadap LGBT, milenial Islam Payakumbuh dan Katolik Sinlui telah menawarkan dua model yang sangat kontras, seperti langi dan bumi. Dan yang menggelisahkan, Islam Payakumbuh ini merupakan satu-satunya model yang diterapkan oleh institusi pendidikan Islam di Indonesia yang jumlahnya mencapai hampir satu juta lebih dengan topangan puluhan triliun dana APBN tiap tahun.

Kita butuh lebih banyak model pengajaran seperti Sinlui agar Indonesia lebih beradab terhadap warganya yang punya identitas gender dan orientasi seksual berbeda dengan kebanyakan.

Satu Melawan Enam; Ada Tionghoa di Gereja Jawa


Setelah sempat jeda cukup lama, bedah buku narasi memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia," kembali disulut lagi. Penyelenggaranya, gabungan beberapa organisasi dengan tim kecil dari GUSDURian Klaten dan GKJ Karangdowo, Sabtu (3/11), di Aula Klasis Klaten Timur dekat stasiun Klaten.

Kerja kilat beberapa hari membuahkan forum diskusi yang gayeng dengan Pak Yahya Yusuf dari UKDW sebagai pembedahnya. Ya, Tionghoa dibincang di gereja Jawa.

Enam penulis yang semuanya bukan-Tionghoa hadir memberi kesaksian atas apa yang mereka tulis. Gus Jazuli Klaten hadir memberikan sambutan dan mengikuti bedah buku sampai selesai.

Kerennya buku ini, aku kira, terletak dari kejujuran para penulis menarasikan kisah hidupnya ketika bersinggungan dengan kelompok Tionghoa. Lail, salah satu penulis misalnya, perlu menapaktilasi kembali persahabatannya dengan Lily, teman Tionghoanya, yang telah terputus 25 tahun agar tulisannya selesai. "Saya bersusah payah mencarinya kembali agar bisa menyelesaikan tulisan," ungkapmya.

Cerita Doni sungguh dramatis. Pendeta gereja GKJ di wilayah Ambarawa ini sejak awal memang punya ketidaksukaan dengan kelompok Tionghoa. Hingga pada suatu ketika ada rombongan mahasiswa/i teologi yang belajar di gerejanya. "Bajigur, lha kok Cino kabeh. Matek aku," ungkapnya yang disambut gelak tawa peserta bedah buku. Namun justru di sanalah titik baliknya.

Buku ini keren, terlepas dari masih perlunya perbaikan-perbaikan minor. Jika boleh jujur, belum ada yang bisa menandingi buku setebal 435 halaman ini, yang berisi cerita nyata 73 penulis saat bergulat dengan ketionghoaan. Sebagian besar penulisnya bukanlah Tionghoanya, dan semuanya menulis secara sukarela.


Kalau kamu tertarik mengadakan bedah bukunya, aku akan kasih 2 buku gratis dan mengupayakan 1-2 penulis hadir dalam acara tersebut.

Tak perlu berharap ada dukungan finansial untuk penyelenggaraan acara tersebut karena aku percaya kamu mampu mengupayakannya sendiri.

Jika berminat, jangan sungkan menghubungiku ya. Seluruh keuntungan penjualan buku ini digunakan untuk mencetaknya kembali.

*** Thank to Dhyana, Ilham, dan semua pihak. Upahmu besar di Surga.

Kafir dan Ogah Masuk Gereja: Upayaku Memuaskan Yuli


Seorang perempuan muda, Yuli namanya, berdiri untuk bertanya pada sesi kedua seminar nasional Sumpah Pemuda bersamaan dengan ulang tahun ke-70 Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Lucas Surabaya, Minggu (28/11), di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.

Setelah menceritakan sedikit pergumulan keluarganya, dia menyodorkan dua pertanyaan kepadaku. "Anak saya berumur 4 tahun pernah bertanya kenapa saya dan kakaknya memilih kafir dan tidak masuk Islam. Bagaimana menjelaskan persoalan keyakinan pada anak seusia dia?" katanya.

Lalu ia dengan masygul menceritakan ayahnya yang tidak mau masuk ke dalam gereja saat ia menerima pemberkatan perkawinan. Yuli nampak masih sangat heran bagaimana hal itu bisa terjadi pada seorang ayah ketika putrinya melangsungkan salah satu momen terpenting dalam hidupnya.

"Mbak, saya bukan psikolog dan belum pernah mengalami hal itu. Tapi saya percaya dua peristiwa yang kamu alami pasti sangat berat," aku mulai menjawabnya dengan keterbatasan yang nyata.

Menjelaskan konsep kekafiran pada anak usia empat tahun agar ia bisa paham tanpa kuatir terjebak logika binerik salah-benar rasanya cukup menantang. Sama menantangnya dengan menjawab pertanyaan; kamu lebih suka ayah atau ibu.

"Yul, katakanlah pada anakmu, kekafiran adalah 'emoh menyayangi orang lain,' Setelah itu, kamu tanya balik ke dia apakah kakaknya menyayanginya atau tidak. Dengan demikian, tandaskan juga bahwa kekafiran tidak ada hubungannya dengan agama yang dianut orang," tambahku.

Keberanianku merevisi konsep kekafiran klasik sepenuhnya berpijak pada ijtihad Ibn Asyur, syaikh al-Islam asal Tunisia yang beraliran Sunni-Maliki. Ia berpandangan kemerdekaan beragama dijamin dalam Islam merujuk pada QS. 2:256.

Menurutnya, berbagai ayat bernuansa permusuhan terhadap non-Muslim, misalnya QS. 9:73; 66:9; 2:193, bersifat spesifik karena saat itu kelompok non-Muslim menyerang umat Islam pasca penaklukan Makkah.

Itu sebabnya, ayat-ayat permusuhan tersebut berlaku khusus dan tidak bisa mengalahkan ayat universal seperti ayat tentang jaminan kemerdekaan beragama. Asyur nampak ingin menyatakan semua agama mengajarkan kebaikan. Jika ada orang berbuat jelek atas nama agama maka yang salah adalah interpretasinya, bukan agamanya.

Menganggap orang lain jelek atau jahat hanya karena perbedaan agama merupakan hal yang kurang tepat dan perlu dikoreksi. "Jelek itu perilakunya, bukan agamanya," kataku menambahkan.

Kini, aku harus menjawab pertanyaan kedua Yuli terkait penolakan ayahnya masuk gereja saat pemberkatan perkawinannya. aku meyakinkan Yuli bahwa setiap orang punya keterbatasan. Tidak elok seandainya kita memaksakan kehendak. "Tugas kita adalah menyayangi seseorang dengan tulus sembari terus bersabar memberinya pengertian," kataku.

Kala itu, sangat mungkin ayah Yuli, menurutku, berfikir keimanannya akan bergeser jika harus memasuki gereja. Ia semacam menghadapi dilema; melihat dari dekat pemberkatan anaknya, atau harus "menggadaikan" imannya. Dan ia memilih yang kedua --pilihan yang nampanya melukai Yuli.

"Mungkin ceritanya akan lain, Yul, jika aku hadir dan ikut masuk ke gereja. Anggap saja beliau sungkan mau masuk karena nggak ada kawannya," selorohku disambut tawa beberapa peserta seminar.

Yuli barangkali satu dari sekian banyak orang yang mengalami peristiwa seperti itu. Ya, peristiwa tersebut muncul akibat model edukasi keagamaan Islam yang bersifat literal dan klasikal.

Ia sangat mungkin telah menyimpan pertanyaan itu sejak lama dan bingung hendak ditanyakan kepada siapa. Atau bisa jadi ia telah mendapat jawaban namun kurang memuaskan dirinya.

Semoga ia terpuaskan olehku.(*)

Dismantling churches, dismantling Islam


Aan Anshori**
Tebuireng, Jombang

Three churches in Jambi were recently forced to close by the municipality due primarily to pressure from Islamic organizations, including the local branches of the Islamic Defenders Front (FPI) and the Indonesian Ulema Council (MUI), as well as the Jambi Interfaith Communication Forum (FKUB).

The official reason for the closures of the Indonesian Huria Christian Church (HKI), Indonesian Methodist Church (GMI) and the Assemblies of God Church (GSJA) cited a permit for public worship. City authorities had apparently taken into account that the churches had been established for more than 10 years and that they had already applied for the permit, although no permit had been granted to date.

This situation calls to mind the worsening situation for the Christian community in Indonesia. According to the Indonesian Communion of Churches (PGI), more than 1,000 churches have been closed in the last 20 years.

My own data shows that under the administrations of Soeharto and BJ Habibie, 456 churches were forcibly closed and 156 others were vandalized. During the administrations of Abdurrahman Wahid and Megawati Soekarnoputri, at least 232 churches were closed and 92 others vandalized, while up to 2010 under the Susilo Bambang Yudhoyono administration, at least 2,442 churches were attacked.
According to the Wahid Foundations national survey released in July 2016, almost 60 percent of adult Muslims in Indonesia resented non-Muslims, including ethnic Chinese, and also said they felt the lingering threat of communism — which has been associated with non-Muslim Chinese-Indonesians since the political upheaval of the 1960s that was partly blamed on China.

Could it be worse?
As a Muslim raised in the Sunni tradition, I experienced anti-Christian hostility as a part of Muslim teachings. From early on, I was raised to believe that no other religion was superior to ours. In the absence of visible Jews — who our teachings said we should hate above all others — the group that earned our greatest resentment was the Christians.

As Muslims, we considered Christianity a betrayal of faith and that Christians had to be “saved” by forcing them to convert to Islam. According to this line of thinking, Christians had betrayed the oneness of God, because we were taught that they were polytheists through imagining God as comprising three entities.

According to our classic teachings, Islam is the final successor to the earlier Abrahamic religions of Judaism and Christianity, and anyone rejecting this belief was categorized as an infidel (kufr).

The Quran contains over 160 verses that mention jihad, which is largely understood as a command to fight non-Muslims that — according to many classical Islamic jurists and Quranic Sunni scholars such as Ibn Hazm and Ibn Kathir — therefore abrogated the 124 verses that call for tolerance, compassion and peace.
In addition, hostility towards Christianity, unfortunately, is literally deemed “sacred” in the Holy Quran. For instance, Surah al Baqarah verse 120 is always cited, wrongly, as justification that Christians will not rest from proselytizing Muslims; whereas this verse actually speaks about a very specific moment when the Jews in Medina deplored the Prophet Muhammad's decision to no longer pray (qibla) in the direction of Jerusalem, according to the scholar al-Wahidi in Asbab al-Nuzul (Contexts and occasions of the revelations of the Quran). In early Islam, as Tabari recorded in Tarikh Rusul wal Muluk (History of prophets and kings), the prophets and early Muslims all used to pray towards Jerusalem.

Sadly, incorrect teachings regarding these verses have been used in the Islamic-Christian conflict of Indonesias political and religious history. From Mujibburrahmans published dissertation, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order (2006), we learn that some Islamic leaders were deeply hurt by mass conversions to Christianity following the witch-hunt against suspected communists in 1965-66. According to J.S. Aritonang and Karel Stennbrink in A History of Christianity in Indonesia, "More than a million persons were willingly baptized as Catholics, as well as Protestants, in Indonesia” at the time.

For many Islamic leaders, clerics and even scholars, such experiences seemed to justify what they understood from the Quran, that Christians did and would try to convert as many Muslims as possible. This understanding, then, was dogmatically turned into a negative stereotype against all Christians and was widely spread through the Islamic education system. Most Sunni Muslims in Indonesia follow the Shafi'i school (madzhab), known to contain the strictest paradigm on supposed infidels compared to other schools.

So whats next?
I believe religious desegregation in society is the key to solving Indonesias faith-related problems, based on my own experience dealing with the intolerant and prejudiced views many young Muslims hold toward Christianity.

With the Gus Dur Network (Jaringan GUSDURian), named after the late NU leader and former Indonesian president Abdurrahman Wahid, I have conducted many interfaith youth forums, especially in West and East Java, challenging dozens of young Muslims to meet Christians, mostly in churches. From there, I urge them to confront their fear of churches, the cross and Christianity itself, as well as to dismantle their prejudices on Christianization. This has worked so far, and I often ask them to write down their personal experiences and share them on social media, so that other people can learn from them.

Desegregation, again, should be the strategy that the national education system integrates into its curriculum, starting from elementary schools. As such, the administration of President Joko “Jokowi” Widodo should immediately order the Religious Affairs Ministry and the Education and Culture Ministry to reconstruct any Islamic teachings that are not in accordance with the interfaith spirit or Indonesia's diversity.

The two ministries should prioritize at least two policies: the reinterpretation of any intolerant Islamic teachings and mandating schools, at any level, to facilitate interfaith visits, including diverse places of worship.
Further, Jokowi and all religious leaders should declare a moratorium on the closure of any places of worship, particularly churches, and make serious efforts in implementing it, whatever it takes. Prior to such measures, Jokowi must persuade at least the two largest moderate Islamic organizations, the NU and Muhammadiyah, which have significant roles in the MUI.

With his fairly high ratings, if Jokowi continues to promote tolerant Islam with running mate Ma'ruf Amin at his side, he should not worry about losing the “Islamic vote” in the next presidential election.(*)
-

* first published in The Jakarta Post
**The writer is obtaining a masters in Islamic family law at Hasyim Asy'ari University in Tebuireng, Jombang, East Java, and an active member of the Gus DurNetwork (Jaringan GUSDURian) community organization.

MELINDUNGI KEHORMATAN


Press Rilis Jaringan Islam Antidiskriminasi terkait Intervensi Militer terhadap Pembatalan Seminar Sejarah di Universitas Negeri Malang 24 Oktober 2018.

MELINDUNGI KEHORMATAN


Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Mimbar kemerdekaan akademik terus mengalami cobaan dan penodaan. Kali ini terjadi pada rencana seminar sejarah yang siselenggarakan di Universitas Negeri. Acara yang sedianya dihelat 24 Oktober ditunda tanpa batas waktu. Penundaan ini terjadi sebagai akibat dari intervensi militer setempat -Korem dan Kodim- kepada pihak kampus. Kedua institusi militer tersebut dikabarkan sukses memaksa panitia untuk "menunda" acara sampai batas yang tidak pasti.

https://historia.id/modern/articles/aparat-militer-larang-seminar-sejarah-di-universitas-negeri-malang-P3qLE

Sangat mungkin "penundaan" ini disebabkan adanya nama Prof. Asvi Warman Adam yang dikenal gigih menyuarakan urgensi kejujuran penulisan sejarah Indonesia. Ia memang diakui sangat kritis terhadap narasi mapan menyangkut Peristiwa G30S.

Dengan berani pula, ia pernah memberi kesaksian di Pengadilan Rakyat Internasional (International People's Tribunal) di Den Haag terkait apa yang dialami Tertuduh PKI dalam kurun 1965-66. Keberaniannya berdiri menantang arus utama narasi sejarah 65 nampaknya membuat seminar tersebut dianggap bisa "mengganggu stabilitas nasional,"

Atas penundaan ini, Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD) perlu menyatakan sikap sebagaimana berikut:

1. Sangat menyayangkan gagalnya seminar tersebut. Upaya intervensi militer terhadap kemerdekaan akademik tidak hanya menunjukkan bertentangan dengan demokrasi namun juga bertabrakan dengan salah satu tujuan syariah (maqashid al-syariah) yakni perlindungan terhadap kemerdekaan berpikir secara jujur dan saintifik (hifd al-aql)

2. Meminta militer dan semua pihak agar melindungi kehormatannya sendiri dengan cara mempertimbangkan untuk mampu berfikir rasional sekaligus tidak bersikap kekanak-kanakan dalam menyikapi isu 65-66, serta berusaha keras untuk sembuh dari penyakit PKI-fobia. Sikap-sikap psikologis seperti ini acapkali tidak hanya menyebabkan hak warga untuk mendapatkan informasi dan berkumpul menjadi terhambat, namun lebih jauh menghalangi perjuangan menuntut keadilan bagi Korban 65-66.

Sebagai kekuatan politik di Indonesia saat ini, PKI sudah lama pupus dan tidak ada. Itu sebabnya, merawat PKI-fobia ini harus dijauhi karena telah terbukti lebih banyak mudlarat (destruksi) ketimbang manfaatnya.

3. Mendesak kepada pemerintahan Jokowi agar melengkapi pencapaian kesuksesannya dengan cara memastikan Korban 65-66 bisa direparasi hak-haknya, serta meminta militer untuk tidak lagi menghalangi kebebasan akademik.

Demikian.


Wallohu al-muwaffiq ila aqwamith al-thariq
Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.

Jombang, 11 Oktober 2018

Aan Anshori
Kordinator
08155045039 (WA)
aan.anshori@gmail.com

Gusdurian dan Ciganjur; Sebuah Tafsir Personal


"Nek pengen melok gerakan politik praktisnya Gus Dur, nang Yenny wae, Mas. Nek melu aku, gak oleh ngomong politik praktis," kata Mbak Alissa, imam kedua Ciganjur setelah bu Sinta Nuriyah, suatu ketika. Yenny Wahid adalah imam ketiga, Anita Wahid dan Inayah Wahid adalah imam keempat dan kelima, berurutan.

"Lho katanya Gusdurian netral, kok ndukung salah satu capres?" tanya temanku. Begini, sepanjang yang aku pahami, Gusdurian adalah para pengagum sekaligus penerus perjuangan Gus Dur. Kata itu sifatnya generik. Siapapun boleh mengklaim dirinya sebagai Gusdurian, kecuali undang-undang menentukan lain.

Secara umum, menurutku, Gusdurian dibagi dua; Ciganjur dan non-Ciganjur. Gusdurian non-Ciganjur adalah mereka yang tidak mengikuti arahan langsung dari Ciganjur namun tetap merasa mengamalkan ajaran Gus Dur. Contoh yang paling ekstrim adalah Cak Imin.

Pria ini adalah figur paling unik. Dibesarkan dan dididik berpolitik (protege) langsung oleh Gus Dur, namun ia juga merupakan satu-satunya orang yang sanggup membuat Gus Dur mengeluarkan surat pernyataan keras menyangkut dirinya. Isinya, selama PKB masih dipimpin olehnya maka partai ini dilarang menggunakan apapun yang berkaitan dengan Gus Dur demi mendulang suara. Aku masih simpan foto suratnya. Namun harap jangan dipelintir aku tidak suka dengan PKB. Itu dua hal yang berbeda.

Kembali ke soal Gusdurian faksi Ciganjur. Di dalam keluarga ini, ada 5 imam sebagaimana yang aku jelaskan di atas. Kelimanya berbagi peran untuk merawat dan meneruskan perjuangan Gus Dur. Setiap imam punya pengikut masing-masing. Pengikutnya, tentu bisa disebut Gusdurian juga.

Yang paling menonjol gerakannya ada 3 orang; bu Sinta Nuriyah dengan Puan Amal Hayati, Alissa Wahid dengan Jaringan GUSDURian (JGD) dan tentu saja Yenny Wahid dengan Barisan Kader (Barikade) Gus Dur.

Yang aku pahami, Mbak Yenny kedapuk meneruskan ide dan gerakan politik praktis Gus Dur. Mendesain parpol, berelasi antarelit parpol, maupun mendistribusi kadernya ke parpol, itu urusan dia.

Di sisi lain, ada Alissa Wahid. Dialah yang diberi mandat merawat perjuangan Gus Dur dalam aspek non-politik praktis. Perempuan ini "menjahit" ratusan anak muda (dan senior) untuk tumbuh bersama. Tidak untuk membangun sebuah partai, namun menciptakan barisan masyarakat sipil, dalam arti gerakan kritis non-pemerintah dan non-partisan. Alissa meneruskan perjuangan panjang Gus Dur jauh sebelum pria ini mendirikan PKB.

Apakah Jaringan GUSDURian yang dikomandani Alissa Wahid bukan sekedar kedok saja, untuk menyuplai gerakan politik yang dikomandani Yenny? Rasanya kok tidak. Sekitar enam tahunan berproses bersama Jaringan GUSDURian, aku tidak merasakan skenario itu.

Justru yang terberat di Jaringan GUSDURian ini, menurutku, adalah keharusan non-aktif dari JGD kalau aktifisnya ingin berproses di parpol, misalnya nyaleg. "Jangan bawa-bawa GUSDURian di arena kontestasi politik praktis!" Itu kuncinya. Oleh sebab itu, cukup mudah mengidentifikasi mana pasukannya Alissa dan Yenny. Pasukan Alissa terlihat dari gesture dan kosakatanya; LSM banget! -- pengorganisasian, pendidikan kritis, advokasi dan hal-hal seputar itu. Bahkan tak jarang orang-orangnya sangat kritis pada partai politik.

Jadi, kalau ada orang yang mendeklarasikan diri sebagai Gusdurian, maka tanyalah "Ciganjur atau non-Ciganjur?" Jika dijawab "Ciganjur" maka susuli dengan pertanyaan lanjutan "Siapa Imamnya?" Dari sini akan kelihatan rantai komando dan karakternya.

Terhadap semua pengikut para imam Ciganjur, aku selalu melihatnya sebagai keluarga besar di mana persaudaraan harus terus digelorakan. Misalnya, beberapa bulan lalu aku dengar ada kelompok MAFINDO. Di dalamnya ada Mbak Anita Wahid. Maka siapapun yang berkecimpung di sana, aku anggap Gusdurian dan kami beririsan di pusaran Ciganjur meski beda imam. "Oooo genknya Mbak Anit ya.." atau "Oooo pasukannya Mbak Yenny ya" atau "Oalah..kamu orangnya ibuk to" Kata "ibuk" merujuk kepada bu Sinta Nuriyah.

Yang tak kalah penting, dalam perspektifku, berelasi dengan gerakan Ciganjur adalah kesediaan untuk melayani (khidmat) dan berkorban. Bahkan tidak jarang harus menerima kenyatan untuk "disalib" karena memperjuangkan sebuah prinsip, sebagaimana Gus Dur atau Ahok.

Sekali lagi, Gusduriannya mbak Yenny itu berpolitik praktis melalui Barikade Gus Dur. Sedangkan Jaringan GUSDURian-nya Mbak Alissa tidak berpolitik praktis. Arah gerakan 2 imam dan 3 imam Ciganjur lain adalah SAMA; merawat dan meneruskan cita-cita Gus Dur. Caranya saja yang berbeda.

Jadi clear ya.

I love you!

IPT 65 di Antara Kepungan Empat Kelompok


SELASA 16 Juni lalu, saya diundang KONTRAS Surabaya menghadiri sebuah diskusi terbatas seputar Peristiwa 1965. Jika dihitung, sudah 50 tahun tragedi yang menewaskan ratusan ribu tertuduh PKI ini berlalu. Hampir semuanya dieksekusi tanpa melibatkan pengadilan. Lima kali ganti presiden tidak juga mampu menuntaskan persoalan ini secara bermartabat.

Kalau hendak disederhanakan, pertanyaan pendek menyangkut Peristiwa ini adalah apakah Tragedi paling kelam dan memalukan dalam sejarah modern Indonesia ini hendak diselesaikan atau dilupakan saja. Jika opsi pertama diamini, pertanyaan lanjutan telah menanti; dituntaskan melalui mekanisme hukum, atau cukup diselesaikan secara adat, misalnya memakai ritual potong kerbau atau bancakan jajan pasar. Problemnya selalu berputar-putar di dua pertanyaan tersebut.

Kabar terakhir, Pemerintahan Jokowi telah membentuk sebuah tim yang ditugasi menyelesaikan 6 kasus pelanggaran HAM berat selama ini, termasuk Peristiwa 65. Dengan berbagai argument, kemungkinan besar ritual potong kerbau akan dipilih untuk menyelesaikan Peristiwa tersebut.

Apakah ini memuaskan? Kita tentu bisa berdebat. Namun jika mau fair, Jokowi harusnya dengan rendah hati menemui para Korban atau keluarganya, menanyai dan berdialog dengan mereka menyangkut apa yang mereka kehendaki, sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden Gus Dur.

Harus diakui, pengungkapan Peristiwa ini memang membuat banyak orang merasa sangat rikuh. Situasinya mirip seperti korban perkosaan berjamaah yang menuntut keadilan agar peristiwa itu diungkap. Sang Korban sadar jika pelakunya berserak; dari tukang tambal ban hingga komandan, dari preman hingga tokoh agama. Motif perkosaannya pun variatif. Ada yang sejak awal berencana menodai korban, namun tidak sedikit yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan, banyak yang mengaku terpaksa ikut memerkosa karena takut diperkosa-balik jika tidak mau memerkosa. Jargon-heroiknya kala itu, ‘memerkosa atau diperkosa!”

SALAH PAHAM IPT 1965
Kembali ke acaranya KONTRAS. Diskusi sore itu terfokus pada rencana perhelatan International People’s Tribunal 65 (IPT) di Den Haag Oktober mendatang. IPT ini semacam sidang mahkamah rakyat internasional untuk “memeriksa dan mengadili” siapa yang bersalah dalam Peristiwa 65. Akan tetapi, bukankah Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma yang mengatur soal Pengadilan Pidana Internasional? Betul. Justru karena hal itu ‘persidangan’ ini dibuat.

Tujuan utamanya, untuk memecah kebuntuan hukum dan memberikan political pressure bagi pemerintah Indonesia, agar segera menuntaskan Peristiwa ini. Bagi yang aktif berkecimpung di dunia advokasi, tentu sangat memahami signifikansi stategi shaming and naming dalam memperjuangkan sebuah kasus.

Rencana IPT 1965 ini sempat jadi pembahasan serius di organisasi dimana saya menjadi pengurus dan mempunyai kartu anggota. Mungkin karena tidak mendapat informasi memadai mengenai IPT 1965, tidak sedikit elite organisasi saya yang memilih resisten. Mereka mempersepsi tribunal ini tidak hanya akan ‘mendakwa’ para leluhur yang memang terlibat aksi kekerasan 1965. Namun lebih jauh, IPT juga akan menyeret organisasi saya ke kursi pesakitan.

Minimnya informasi tentang IPT 65 pada gilirannya mendorong organisasi saya merespon terlalu jauh’. Dalam berbagai forum, selalu dikumandangkan bahwa IPT ini akan mendakwa para kiai, selain pemerintah. Kumandang ini pada sekian menit berubah menjadi ajakan berjihad manakala dikunci dengan satu kalimat heroik, ‘Apakah kita, sebagai santri, rela kiai kita –yang telah berkorban membela Negara dan kehormatan umat islam korban 1948- dipermalukan seperti itu oleh antek-antek PKI?!.”

Kesalahpahaman tentang IPT masih saya temukan, setidaknya dari paparan mas Mun’im Dz -saat beliau menjadi pembicara –bersama Gus Sholah- dalam bedah Buku Benturan NU-PKI, Kamis 7 Mei 2015. Waktu itu saya hadir –meski tidak sampai selesai- bersama ratusan santri dan mahasiswa dari BEM se-Jawa Timur di Gedung Yusuf Hasyim Tebuireng.

Yang saya tahu, IPT 65 akan mendakwa state-actor (terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu. Panel ‘hakim’ nantinya akan memeriksa sejauh mana peran mereka berdasarkan bukti dan kesaksian yang dikumpulkan oleh prosecutor. IPT 1965 -sepanjang yang saya tahu- tidak akan menyeret dan menjadikan leluhur, tetua dan organisasi saya sebagai bagian dari Terdakwa. Jika salah satu sumber utama IPT, asumsi saya, adalah warisan penyelidikan pro yustisia Komnas HAM 2012 lalu, maka setidaknya ada 3 pihak dalam militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

Pertama, komandan pembuat kebijakan, yakni Pangkopkamtib periode 1965 hingga 1969, dan Pangkopkamtib periode 19 September 1969 sampai setidaknya akhir 1978. Kedua, Komandan yang memiliki kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya, yakni para Penganda dan/atau Pangdam periode 1965 hingga 1969, dan periode 1969 sampai akhir 1978. Ketiga, individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan.[2]

EMPAT FAKSI
Dalam dinamikanya, terdapat 4 faksi besar di organisasi saya dalam menyikapi Peristiwa 65. Faksi pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama, PKI adalah satu-satunya dalang G30S. PKI dan pengikutnya harus terus dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan setimpal atas perilaku mereka selama ini, terutama saat pecah Peristiwa Madiun 1948. Berbagai analisis/tafsir historis – seperti yang dikemukakan Anderson, McVey, Wertheim, Robinson, Cribb, dll- yang menunjukkan adanya kemungkinan dalang lain harus ditolak.
Kedua, pelaku (militer – sipil) telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan NKRI dan umat Islam waktu itu, yang bahkan mereka (pelaku) seharusnya mendapatkan penghargaan karena membela Negara. Oleh karenanya pelaku tidak perlu meminta maaf. Ketiga, mengkampanyekan antikebangkitan PKI merupakan tugas suci yang harus digelorakan terus menerus. Keempat, sejarah tidak perlu diluruskan karena dianggap sudah benar. Membincang ulang peristiwa 1965-66 dianggap membangkitkan memori lama yang bisa berujung pertumpahan darah lagi. Kelompok ini juga menuding para-pihak yang membantu Korban 65 sebagai bagian dari kospirasi yang digerakkan oleh luar negeri untuk menghancurkan Indonesia dan Islam. Para-pihak ini dianalogikan sebagai si Penebang kayu dalam cerita Penebang Kayu dan Serigala.[3]

Faksi kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi rekonsiliasi-konservatif meneguhkan keyakinannya pada hal-hal berikut. Pertama , menyesalkan terjadinya Peristiwa 1965, namun demikian masih meyakini PKI mengkhianati negara, dan sebagai satu-satunya dalang Peristiwa G30S. Sejarah tidak perlu diluruskan. Upaya hukum bagi pelaku tidak perlu dilakukan. Begitu juga dengan berbagai regulasi antikomunis; tidak perlu dicabut.
Kedua, Peristiwa 65-66 perlu dipahami sebagai konflik horizontal yang menempatkan PKI dan masyarakat sipil sebagai korban, oleh karenanya TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI karena hanya akan membawa bangsa ini melangkah mundur. Ketiga , Negara tidak perlu minta maaf. Meski demikian jika PKI berkehendak minta maaf, organisasi saya –menurut faksi ini- siap memaafkan. Keempat , mempercayai rekonsiliasi di level akar rumput telah berjalan secara alami, dan tidak perlu diselebrasi karena justru akan menimbulkan dampak yang kontra-produktif bagi rekonsiliasi itu sendiri. Prinsipnya, silence will heal.
Kelima , upaya menggaungkan kembali Peristiwa 1965 dengan mencitrakan PKI seolah sebagai Korban merupakan bentuk provokasi[4] dan upaya mengadu domba, yang oleh karenanya perlu dilawan.

Faksi rekonsiliasi-moderat meyakini bahwa; 1) masalah utama Peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI dan underbouw-nya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Organisasi saya dan PKI merupakan korban keadaan. Non-state-actors tidak dapat menghindar dari instruksi tentara. Opsi yang tersedia adalah membunuh (PKI) atau dibunuh (karena dianggap PKI). Mereka harus saling memaafkan. Meskipun keterlibatan PKI sangat jelas dalam Peristiwa G30S NAMUN mereka bukan satu-satunya dalang. Sejarah G30S perlu diluruskan berbasis fakta persidangan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk menilainya sendiri. 2) Negara perlu meminta maaf kepada Korban BUKAN kepada PKI. 3) Proses rekonsiliasi harus terus dilakukan bertumpu pada ketulusan, kejujuran, keterbukaan, dan mensyaratkan luruhnya prasangka, serta dibincang secara terbuka dengan melibatkan semua pihak. Pada titik ini, Negara harus merehabilitasi para Korban dan memastikan tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. 4) Konstitusi memberikan jaminan hak kemerdekaan berpikir dan menyatakan pikiran. Oleh karenanya, Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dianggap tidak lagi compatible saat ini, meski pencabutannya perlu menuggu momen yang tepat. Namun demikian kelompok ini masih keberatan PKI berlaga kembali dalam kancah politik nasional. Keberatan ini juga berlaku terhadap munculnya partai baru yang akan melakukan cara-cara sebagaimana PKI, dan (5) penyelesaian secara hukum -dengan mendakwa state-apparatus saat itu- akan sia-sia, sebab banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Upaya ini dianggap tidak sebanding dengan kegaduhan politik yang justru akan menimbulkan gelombang-balik menghantam para Korban.
Sedangkan yang terakhir adalah

Faksi rekonsiliasi-progresif. Kelompok ini dengan sadar mengakui keterlibatan militer dan organisasi saya. Oleh karenanya, kelompok ini secara terbuka mengakui kesalahan, meminta maaf dan ikut terlibat aktif menyuarakan keadilan bagi korban, sembari terus menggalang rekonsiliasi dengan semua pihak. Lebih jauh, bagi kelompok ini, jika Peristiwa G30S dibuka kembali maka akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. Banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Oleh karena itu biarlah pengadilan yang akan menentukan mana yang benar[5]. Pun, regulasi yang masih bersifat diskriminatif menyangkut Peristiwa ini perlu dicabut, tidak terkecuali TAP MPRS XXV/1966 MPRS.

Kelompok ini berpandangan konstitusi tidak melarang ideologi apa pun. Bahkan, kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya)[6]. Proses perumusan Tap MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan jikapun ia secara politik bersalah[7]. Secara tajam, kelompok ini menuding TAP MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam nafsu (kekuasaan), dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri.”[8]


KELUAR DARI KEPUNGAN
Dalam konteks demokrasi, perbedaan pandangan menyangkut Peristiwa 65 merupakan hal lumrah, sepanjang tidak digunakan untuk membungkam yang lain, apalgi menghalangi siapapun menuntut apa yang menjadi haknya. Mencermati 4 peta kelompok di atas, sangat jelas IPT menghadapi tantangan serius dari kubu antirekonsiliasi, rekonsiliasi-konservatif, dan faksi rekonsiliasi-moderat. Ketiganya berpandangan IPT merupakan upaya lancang yang tidak hanya akan menambah kekacauan situasi yang sudah ‘kondusif’, namun juga secara nyata berintensi membangunkan macan tidur. Saya mebayangkan terdapat dua pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh IPT 65. Pertama, meminimalisasi kesalahpahaman dengan kelompok-kelompok kontra-IPT 65, terutama tiga kelompok tersebut di atas. Kedua, meyakinkan mereka bahwa penyelesaian melalui jalur yudisial merupakan masa depan terjadinya rekonsiliasi yang sebenarnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ketiga faksi ini bisa menerima gagasan IPT yang secara fundamental telah ditolak ketiganya sejak awal? Saya berpandangan terdapat celah yang bisa mempersatukan Korban 65 dengan-setidaknya dua dari tiga faksi tersebut (rekonsiliasi-moderat dan konservatif), yakni dengan cara terus menggali apa yang disebut ‘keduanya adalah korban’.
Begini, saya kerap mendengar dari banyak pihak di internal organisasi saya bahwa para pelaku (sipil) pembantaian juga merasa menjadi korban keadaan.

Mungkin perasaan ini dianggap mengada-ada dan terkesan apologetis. Namun jika mau ditelisik lebih jauh, kita tentu bisa memahami kondisi ini, setidaknya melalui jargon ‘ membunuh atau dibunuh’. Jargon ini merupakan mantra sakti yang sangat terkenal untuk mengeskalasi pembantaian, setidaknya dalam kurun Oktober-Januari 1966 di Jawa Timur.

Temuan saya, mantra tersebut digunakan militer memaksa organisasi-organisasi kontra PKI melalui dua jalur. Pertama, memprovokasi organisasi-organisasi tersebut agar “membunuh (PKI), atau (jika tidak membunuh, mereka yang akan) dibunuh (oleh PKI)’.[9] Kedua, mengintimidasi mereka dengan mengintrodusir pemahaman bahwa “(mereka harus) membunuh (PKI) atau (mereka akan) dibunuh (karena dianggap PKI).[10]

Beban psikologis ini perlu diapreasi dan didialogkan secara bersama, agar prasangka semakin terkikis, dan rekonsiliasi pun menjadi sesuatu yang lebih konkrit serta bertenaga. Ujungnya, penyatuan ini akan bergerak mendorong negara memenuhi keadilan yang telah lama raib secara lebih bermartabat, yakni meminta negara secara konkrit bertindak menyangkut tiga hal; mengungkap kejujuran sejarah 1965, menghentikan impunitas pelaku (militer) melalui upaya hukum, dan memberikan reparasi bagi Korban.

Harus disadari sejak awal, upaya ke arah sana bukanlah hal mudah. Kekuatan-kekuatan antirekonsiliasi akan terus bergerak memadamkan ikhtiar mulia tersebut, dengan dukungan faksi garis-keras di militer dan kelompok Islam radikal-kanan. Mereka bertiga akan menggunakan segala cara agar faksi rekonsiliasi -baik konservatif maupun moderat- tidak menyeberang ke kubu progresif. Dalam upaya berebut pengaruh ini, jujur saya katakan, tiga kelompok tadi bisa dikatakan relatif berhasil mengkarantina faksi konservatif dan moderat agar tetap resisten terhadap gagasan IPT. Bahkan saat ini, mereka telah mulai meransek ke faksi progresif, pelan-pelan melucuti pendukungnya agar tidak lagi setia terhadap tiga tuntutan tersebut.

Semakin kelompok rekonsiliasi-progresif memilih absen memperkuat komunikasi dengan 3 kelompok lain, maka peluang meraih dukungan akan semakin mengecil. Lantas, bagaimana cara membangun komunikasi dengan para elite di organisasi yang masih berciri feodal? Mudah. Kuncinya adalah silaturahmi, dalam rangka menjelaskan persoalan secara utuh, tanpa pretensi untuk saling menjatuhkan.

Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam menggalang dukungan banyak pihak, diperlukan juga kekukuhan pendirian, serta keberimbangan dalam ngemong para pihak yang terlibat. Gus Dur -saya kira- merupakan contoh kecil dari sedikit yang bisa dijadikan marja’. Dalam pemerintahannya yang begitu cepat berlalu, dia telah meletakkan model dasar -ideal- dalam membangun kerangka kerja pembelaan Kasus 65 -dari perspektif pemimpin formal (presiden) yang berasal dari organisasi yang tangannya dianggap berlumuran darah.

Misalnya, dia kukuh bersetia pada kemanusiaan dan keadilan; mengakui kesalahan organisatorik dan mendukung upaya keadilan bagi siapa saja yang merasa jadi Korban. Terhadap TAP MPRS XXV/1966, Gus Dur menganggap regulasi tersebut layaknya slilit regulatif yang harus dicungkil. Pendirian tersebut tidak lantas menyurutkan langkah Gus Dur mengkomunikasikan gagasannya ke banyak pihak, termasuk kepada elit organisasinya sendiri, meski tidak banyak mendapat dukungan. Posisinya yang kurang menguntungkan tersebut nampak semakin ‘terpuruk’ tatkala -di lain pihak- dirinya mendapat cibiran keras dari Pram terkait permintaan maafnya, juga pada saat beberapa korban 65 malah justru menuntutnya ke pengadilan – bersama dengan para mantan presiden lainnya. Sikap Gus Dur? Dia tidak patah arang. Dua kali dia mengunjungi rumah Pram –dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI- untuk mencairkan kebekuan. Gus Dur juga meresmikan sebuah panti jompo yang dihuni oleh penyintas 65, dan memberikan kata pengantar pada bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI.

Saya melihat IPT 1965 merupakan upaya meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur, terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan. Yang saya heran, kenapa Gus Dur begitu percaya diri mendukung pengungkapan Peristiwa ini melalui ranah hukum –padahal semua tahu organisasinya ikut terlibat aktif, terutama di Jawa Timur? Bukankah secara politik langkah ini mengesankan ia tengah menyerahkan leher organisasinya untuk ditebas?

Saya menduga, terdapat dua kemungkinan kenapa Gus Dur memilih laku tersebut. Pertama, sangat mungkin dia tengah mempraktekkan apa yang pernah ia katakan, ‘melanggar hak hukum seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan pandangan hidup menjadi seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang baik harus mengatakan bahwa apa yang salah adalah salah dan apa yang benar adalah benar, terlepas dari kita menyukainya atau tidak.”

Kedua, barangkali Gus Dur meyakini jika mekanisme hukum justru akan membuktikan bahwa organisasinya memang dalam kategori korban. Lebih jauh, sangat terbuka kemungkinan dia tengah mempercayai bahwa rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kepastian hukum, yang secara simultan disusuli dengan pemaafan kolektif, pengungkapan kebenaran sejarah, penghentian diskriminasi, dan pemberian reparasi bagi korban. Wallohu a’lam.

Jombang, 11 Ramadhan 2015


---------
* dipublikasi pertama kali di
http://kontrassurabaya.org/diskursus/ipt-65-diantara-kepungan-4-kelompok/
Catatan kaki:
[1] Nahdliyin, No. Kartanu. 13.120612.0288.02
[2] Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966 tertanggal 23 Juli 2012
[3] Kisah Penebang Kayu dan Serigala bisa dibaca dalam tulisan Yusuf H berjudul Kenapa Kita Menentang Komunis, dimuat Republika 29 April 2000.
[4] Secara spesifik, kelompok ini keberatan dengan apa yang mereka sebut sebagai dramatisasi jumlah korban Pembantaian 1965-66. Menurut Mas Munim Dz, jumlah korban kurang dari 20.000 orang. Para pembela PKI dianggap memainkan statistik jumlah korban untuk mengglorifikasi kepentingan mereka.
[5] Rabu, 15 Maret 2000, Terhadap Korban G30S/PKI Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf, Jakarta, Kompas
[6] Gus Dur menyatakan hal tersebut sebagaimana di harian Kompas, 5 April 2000.
[7] Kompas, 22 April 2000
[8] Kompas, 1 April 2000.
[9] Upaya adu domba-domba dengan model provokasi ini –misalnya- sangat tampat tersirat dari testimoni alm. Pak Ud, Killing Communists. Dalam beberapa paragraf akhir tulisan tersebut, Pak Ud menceritakan militer selalu menyodorkan daftar nama kiai yang katanya akan menjadi target ‘penculikan’ PKI. Pak Ud pada akhirnya meragukan list tersebut benar dibuat PKI. Dia menutup testimoninya dengan kalimat, ‘there are two possibilities: one is that PKI was trying to confront its political enemies. But now I’m not sure whether the level of awareness among PKI members could really have been that high”, lihat McGlynn. John H, Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incident & Images, 2007. Testimoni tentang daftar yang seolah-olah dibuat PKI – namun sebenarnya dibuat oleh militer untuk memojokkan PKI, juga diceritakan oleh Gus Sholah (Salahuddin Wahid) dalam tulisannya PKI dan Rekonsiliasi, Republika, Kamis 6 Nopember 2003.
[10] Dalam tulisannya, Gus Sholah menceritakan ada orang yang dipaksa menjadi eksekutor tertuduh-PKI, Jalan Mendaki Rekonsiliasi, Situs NUOnlline, 2 Oktober 2006. Penjelasan yang sama juga saya dengar dari beliau beberapa kali saat membincang persoalan ini, salah satunya pada 13 Januari 2015 di Tebuireng.

DUA RAMADLAN DI GKI DARMO SATELIT SURABAYA; CATATAN 29 TAHUN


Saya berhubungan dengan banyak gereja GKI. Tidak hanya di wilayah sinode Jawa Timur, namun juga Jawa Tengah serta Jawa Barat. Memang belum ke semua dari sekitar 227an gereja milik GKI, namun pada setiap yang saya kunjungi, semuanya mengesani dengan kadar masing-masing. Jika saya anggap unik, perjalanan tersebut kerap saya tuangkan ke dalam tulisan yang agak panjang.

Salah satu GKI yang sempat memaksa saya menulis adalah GKI Darmo Satelit (Dasa) Surabaya. Gereja ini, seperti halnya GKI Sulung, terbilang sangat menjaga kesuciannya dari asap rokok. Keluar gerbang adalah hal yang biasa kami, para perokok, lakukan agar tetap bisa mendupai bait Allah kami.

Terus terang saja, meski agak keki, namun saya bisa sepenuhnya memahami hal itu, sebagaimana saya juga bisa memahami prosesnya bertumbuh menuju kedewasaan sebagai gereja yang tumbuh di lingkungannya.

Saya sangat senang pernah diberi kesempatan menjadi saksi atas dua momen pertumbuhan kedewasaannya. Pertama, saat saya dan kawan-kawan diijinkan menggunakan salah satu ruang untuk berdiskusi isu yang sangat pelik menyangkut gereja dan minoritas gender dan seksualitas.

Saya ingat betul saat itu bulan Ramadlan dan saya belum mandi meski didapuk menjadi fasilitatornya. Seingat saya, ini GKI kedua yang saya ikuti yang memperbolehkan isu ini dibahas dalam gereja. Satunya adalah GKI Jombang pada tahun 2014. Proses di GKI Dasa ini kemudian saya tuliskan agak panjang.
https://geotimes.co.id/kolom/sosial/menguji-salib-lgbti-di-gereja-kristen/

Kedua, ketika saya diundang sebagai pembicara dalam bedah buku narasi Tionghoa di GKI Dasa pada Ramadlan tahun lalu. Saat itu pula saya menyaksikan untuk pertama kalinya gereja itu mengundang bu lurah setempat dan beberapa warga muslim untuk bersedia berbuka puasa di GKI Dasa. Sekitar 28 tahun gereja ini berdiri dan baru saat itu membuka pintunya bagi warga sekitar yang berbeda agama, untuk merayakan acara suci bukan agama Kristen. "Ini sangat luar biasa," batinku sembari menulis artikel ini. https://www.asumsi.co/post/pascateror-bom-secercah-asa-di-gki-dasa-surabaya

Saya berani bertaruh, dua momentum ini bisa terlaksana setelah melalui pergumulan panjang di internal mereka. Pergumulan ini sekaligus menandai keyakinan saya akan kontribusi GKI Dasa dalam kancah perkembangan pendewasaan demokrasi di Jawa Timur di masa mendatang.

Selamat ulang tahun ke-29, GKI Dasa! Tetaplah menjadi progresif!

Aan Anshori

TERJEBAK GENERASI MILENIAL MENDOAN


Rasanya aku belum bisa jauh-jauh dari Purwokerto. Baru saja aku mengunjunginya selama beberapa hari, kini aku sudah harus kembali lagi ke sana.

Takdir akan mempertemukanku lagi dengab puluhan adik-adikku di jurusan Studi Agama-agama IAIN Purwokerto. "Kalian sadar nggak? Jurusan kalian tuh seksi banget. Lebih seksi sedikit ketimbang Tarbiyah namun sejajar keseksiannya dengan jurusanku Syariah," kataku berseloroh saat memompa semangat mereka di Klenteng Hok Tek Bio. Mereka pun bersorak kegirangan.

Ah, dasar generasi milenial (di kota) Mendoan!

Tapi aku suka mereka. Terakhir kali kami ketemu, mereka sangat konfiden sebagai muslim(ah) milenial yang tidak bermadzhab MICIN. Cirinya, tidak alergi masuk rumah ibadah lain dan berdialog dengan pemeluknya, terutama gereja.

Di tengah begitu riuhnya urgensi #revolusimental dan pendidikan Pancasila, ciri di atas adalah indikator yang cukup konkrit dan terukur (measurable) untuk itu. Seringkali pendidikan kewargaan dan Pancasila dipapar tanpa mengindahkan indikator output dan outcomenya, atau diberikan kepada mereka yang sudah tidak perlu lagi. Sehingga tidak heran jika banyaknya proyek Pancasilaisasi atau #revolusi belum berbanding lurus dengan menurunnya kadar intoleransi berbasis agama di kalangan generasi milenial.

See you guys in Purwokerto!

DI GKI GATOT SUBROTO; INDONESIA BUTUH KESABARANMU


Setelah "membombardir" Pdt. Adon, Pdt. Maria dan Pdt. Theofanny dengan 11 pertanyaan menohok tentang kekristenan, puluhan mahasiswa/mahasiswi prodi Studi Agama-agama IAIN Purwokerto menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa.

Gema lagu itu menelusup di setiap sudut ruang ibadah Gereja GKI Gatot Subroto Purwokerto, tempat pertemuan berlangsung selama lebih dari 2 jam. "Bagaimana caranya agar kita kuat menghadapi tekanan orang yang tidak setuju dengan kami yang masuk gereja?" tanya seorang mahasiswi.

Saya pun menjawab bahwa tidak semua orang akan bersetuju dengan semua tindakan kita, apalagi yang menyangkut relasi Islam-Kristen. Tugas kita adalah bersabar pada dua aras.

Pertama, hindari membenci orang yang pandangannya tidak sejalan dengan kita. Ingat, kataku, menurut Gus Dur setiap orang pada dasarnya baik. Jikapun tidak, maka ia sesungguhnya sedang dalam proses menuju baik. Itu sebabnya kita harus bersabar dalam menghadapi mereka.

Kedua, kesabaran juga perlu dimaknai sebagai keteguhan kita untuk konsisten melakukan apa yang kita anggap baik. Jika kita berhenti melakukan sesuatu karena cemoohan mereka, maka kita tergolong orang yang tidak sabar.

"Nah adik-adikku, ada ribuan mahasiswa di kampusmu namun hanya puluhan yang mampu berbuat seperti kalian saat ini; mendatangi gereja dan berdialog secara terbuka melucuti prasangka. Jangan pernah takut. Demi keragaman Indonesia, imani satu hal; semakin dibully maka kalian akan semakin sexy! _I am very proud of you!"_ kataku disambut tepuk tangan peserta.

_....Nusa bangsa dan bahasa, kita bela bersama._


Aan Anshori
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

https://youtu.be/v2oKWxObPCo

SURAT UNTUK CECIL DAN GALANG; AYO BERHIJRAH


Dear Cecil dan Galang,
Aku lewatkan tahun baru hijriyah kali ini di Purwokerto, ibukota kabupaten Banyumas.

Meski selevel kecamatan, cukup banyak jejak institusi besar yang sangat jarang dimiliki kecamatan-kecamatan lain. Ada katedral dan ada Bank Indonesia. Kabupaten ini juga memiliki dua pengadilan negeri serta dua pengadilan agama.

Sebelum digabungkan menjadi satu dengan Banyumas, sangat nampak Purwokerto merupakan kota yang cukup penting di masa lalu, semacam situs berperadaban tinggi yang membuat banyak orang tertarik berhijrah ke sini.

Purwoketo mengingatkan Ayah kepada Madinah, kota tempat Nabi Muhammad berhijrah 1440 tahun lalu. Madinah adalah kota Yahudi berperadaban tinggi. Salah satu cirinya, perempuan Madinah dikenal kritis dan tidak gampang tunduk pada nalar patriarki.

Itu sebabnya mereka relatif punya posisi tawar yang setara dengan laki-laki. Kabarnya, Umar bin Khattab sempat gusar dengan istrinya yang berubah menjadi kritis padanya. "Ini pasti karena terkontaminasi perempuan Anshar (Madinah)," kata Umar

Ada sekitar 66 klan Yahudi di sana sebelum akhirnya mereka digilas dan digantikan komunitas muslim. Transisi ini sendiri tidak membutuhkan waktu lama, kurang dari 10 tahun sejak Nabi hijrah ke kota ini tahun 622 masehi.

Dear Cecil dan Galang,
Saat di Purwokerto kemarin, ayah melihat pawai dari sekolah-sekolah Islam. Mereka berbaris dan berarak menyusuri jalanan kota itu. Persis seperti hijrah Nabi.
Hijrah bisa diartikan "berpindah," atau "meninggalkan," Ayah memaknainya sebagai kesediaan seseorang meninggalkan era kegelapan menuju peradaban yang lebih manusiawi. Istilah Quraniknya; min al-dlulumati ila al-nuur.

Kelak jika besar nanti, kamu berdua akan tahu betapa Negeri yang terlihat tenang dan adem ayem ini sebenarnya menyimpan keganasan akut.

Tidak sedikit dari orang yang seagama dengan kalian melakukan kekerasan dan persekusi kepada pemeluk agama minoritas. Ngeri sekali datanya.

Itu sebabnya, Senin (10/9) ayahmu sangat bersyukur bisa membawa hampir 100 orang berhijrah agar tidak menjadi predator atas nama agama. Mereka adalah mahasiswa/mahasiswi jurusan Studi Agama-agama IAIN Purwokerto, kampus yang belum pernah ayah singgahi.

Bersama teman-teman GUSDURian Banyumas, ayah mengajak mereka untuk mengenal 9 nilai Gus Dur di Klenteng Hok Tek Bio Pasar Wage. Ayah melihat sendir mereka tidak lagi canggung masuk ke klenteng, berdiskusi dengan Js. Mariyati dan selfie di sudut-sudut klenteng.

Mereka juga sangat antusias mengikuti kesaksian Bhikku Agus dari padepokan Astha Brata Kemutug Baturaden. "Te, ceritain dong ke mereka bagaimana pergulatan spiritualitas panjenengan hingga akhirnya menjadi Buddhist," kataku kepada laki-laki jebolan beberapa pesantren ini.

Usai di klenteng, ayah membawa mereka ke tempat paling menyeramkan bagi banyak orang Islam; gereja! Ayah memilih GKI Gatot Subroto yang tidak jauh dari Klenteng. Pendetanya, Adon, adalah teman ayah. GKI Gatsu sudah seperti rumah sendiri karena ayah bisa numpang tidur di salah satu kamarnya, kapan saja.

Kunjungan di gereja ini tidak kalah hebohnya dengan di klenteng. Para mahasiswa sangat antusias bertanya dan mengomentari soal kekristenan; dari Trinitas hingga film The Nun. Diakhir acara, tiga pendeta yang hadir di acara tersebut; Adon, Maria (GKJ), dan Stefanie, berdoa dan mengangkat tangannya untuk memberi berkat semua yang hadir.

Pertemuan di GKI Gatsu yang merupakan destinasi akhir dari hijrah hari itu ditutup dengan peneguhan keindonesian. Kami menyanyikan lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" berjamaah.

Dear Cecil dan Galang,

Itulah sekelumit cerita dari perjalanan ayahmu yang terus berupaya menjadikan dunia ini lebih baik, di mana setiap orang bisa saling menghormati dan mencintai. Namun demikian, tidak semua orang bisa memahami ayahmu. Kelak, sangat mungkin kalian berdua akan mendengar pengakuan orang yang mengagetkan. "Ooooo jadi kamu anaknya Aan Anshori ya. Bapakmu dulu itu tukang ngajak orang Islam ke gereja dan membela kelompok LGBT,"

Ayah hanya berharap kalian tidak malu dengan cibiran itu. Sebab, kalian berdua harus tahu, tidak sedikit orang yang membenci ayahmu. Sangat mungkin karena mereka belum memahami visi yang kami bangun dalam beragama. Andai mereka memahami visi ayah, niscaya mereka akan bahu-membahu membantu banyak orang untuk berhijrah.

Namun jangan kuatir, ayah tidak sendirian. Selain 3 pendeta tadi, ada banyak orang seperti ayah GUSDURian Banyumas, misalnya Mbak Ory, Gus Chumedy Yusuf, Kholis, Zahro, Ester dan puluhan lainnya. Mereka nantinya adalah teman-teman kalian jika sudah dewasa. Semoga kalian berdua bisa mengenal mereka.(*)

GEREJA "KURANG IMAN" DI TITIK 30


Kurang Iman adalah olokan-mesra yang pernah aku dengar dari teman-temanku pendeta di GKI. Olokan itu kabarnya sering dilontarkan oleh denominasi kekristenan lain yang, katakan, lebih kharismatik dan let's just say pietis. Olokan seperti ini juga pernah aku dapat saat beberapa orang memlesetkan PMII, almamaterku; dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menjadi Pergerakan Mahasiswa Insyaalloh Islam.

GKI sendiri kepanjangan dari Gereja Kristen Indonesia. Salah satu sinode Protestan terkemuka yang bercikal dari gereja etnis Tionghoa. Ia selanjutnya tumbuh menjadi denominasi terbuka dengan identitas Keindonesiaan yang sangat kuat. Kiprahnya dalam menjaga keragaman identitas Indonesia sudah tidak lagi bisa saya pertanyaan.

Olokan "kurang iman" barangkali muncul oleh karena wajah GKI yang dianggap tidak lagi "konsisten" menghidupi nilai klasik kekristenan. Nilai ini bertumpu pada semangat penginjilan dalam koridor konversi iman. Dalam Islam sendiri, harus aku akui, nilai klasik seperti ini masih kuat melekat sebagai tujuan dakwah, bahkan hingga sekarang. Entahlah.

Aku pribadi sudah lama melucuti nilai klasik itu dari diriku. Malu. Islamisasi selanjutnya aku pahami sebagai kewajiban menjadi rahmat bagi semesta, bukan mengubah agama seseorang. Mengubah agama orang adalah hal yang menjijikkan sebab setiap individu bisa tumbuh menjadi baik dalam imannya masing-masing, teorinya.

Saya merasa sangat dekat dengan GKI, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tidak terhitung berapa banyak temanku yang kini menjadi pendeta maupun teolog di sinode tersebut; Andri, Yoses, Andreas, Boy, Samuel, Anang, Leo, Virgo, Adon, Dinna, Dimas, Sigit, Novi, Himawan, Ida Sianipar, Steve Suleeman, Gidyon, Pelangi, Sutrisno, Susan, Sandy, Florentia, Agustina, Iwan, Agus, Stefanus, Novarita, Michael, Bonnie, dan Simon Filantropa. Itu hanya beberapa saja. Masih banyak yang lain.

Saking dekatnya, aku tidak hanya pernah makan, minum, numpang tidur bersama salah satu dari mereka, namun juga berproses lebih jauh; menjadikan gereja GKI sebagai tempat mendadar penguatan relasi antariman bagi banyak muslim muda. Ya, gereja mereka sering aku gunakan sebagai laboratorium pengasahan sensitifitas keislaman mereka agar semakin tajam dan toleran--bukan sejenis keislaman yang tumpul-intoleran yang malah bisa menyakitkan liyan.

Di GKI Jombang, misalnya, untuk pertama kalinya aku ajak Cecil dan Galang ikut menghadiri perayaan Natal tiga tahun lalu sembari menikmati pagelaran wayang Potehi di dalam gereja. Gereja itu menjadi saksi puluhan anak muda Islam asal Puger Jember yang terlibat dalam program inklusi sosial milik Lakpesdam NU Jawa Timur.

Begitu dekatnya aku, aku bahkan bisa mengusulkan agenda kegiatan lintas iman di program kerja tahunan GKI, baik di level kabupaten, klasis, maupun sinode wilayah. Aku memang benar-benar tidak tahu malu; bukan jemaat tapi ikut ngusulin program kerja.

Tanpa rasa malu pula, saat penahbisan Yoses di GKI Sidoarjo, aku mengatakan bahwa adikku ini bukan "hanya milik" GKI. Ia sejatinya putra Indonesia yang pengasuhannya "dititipkan" ke GKI, namun tanggung jawabnya tidak terbatas pada komunitas GKI, namun pada Indonesia.

Ya betul, aku ikut menumpangkan tanganku, bersama para pendeta GKI dan perwakilan lintas agama, di atas kepala Yoses saat ia ditahbiskan 21 November 2016 lalu. Aku juga ikut duduk di atas, dekat mimbar, bersama puluhan pendeta dari berbagai sinode, ketika Bonnie Andreas diteguhkan menjadi imam baru GKI Pondok Indah, digeser dari Cileduk.

Dengan potret seperti ini, sebagai serpihan kecil dalam percaturan gerakan Jaringan GUSDURian yang hingga kini aku geluti, aku bisa katakan, GKI adalah "our strong ally," selain Katolik, GKJW dan kelompok lain.

Jadi, jika olokan "kurang iman" adalah salib yang harus kalian panggul untuk menjaga keragaman NKRI bersama kami, just be it!

Happy 30th Anniversary, GKI!

*Aan Anshori*

Benarkah Bu Mun Ikut Menikmati Dana Haram Kapitasasi BPJS Jombang?

Teman-teman Media, aku kaget sekali membaca berita di bawah. Dalam kesaksiannya di depan majelis hakim pengadilan tipikor dengan terdakwa Nyono Suharly, dr. Samijan, suami Inna mantan plt. Kadinkes Jombang, mengaku telah memberikan sejumlah uang kepada Mundjidah Wahab (MW), saat itu sebagai wabup dan EUC, putrinya. Uang tersebut diakui Samidjan sebagai bagian dari dum-duman uang haram hasil penjarahan dana kapitasi puskesmas yang dilakukan Inne.

Meski pengakuan Samidjan disampaikan di bawah sumpah namun menurutku perlu ditindak lanjuti dengan klarifikasi dari dua orang Tertuduh agar tidak menjadi fitnah. Aku mendorong kedua pejabat publik tersebut berani mendatangi KPK untuk meminta diperiksa. Jika memang benar sebagaima tuduhan Samijan, keduanya perlu segera mengembalikan uang yang telah diterimanya, serta dengan berani meminta maaf ke publik dan berjanji tidak mengulanginya lagi.

Langkah ini bagi MW, yang baru saja ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilihan bupati, sangat penting agar ia tidak tersandera oleh kasus ini dan bisa memimpin Jombang dengan hati bersih dan kepala tegak. Noda ini jika tidak segera diklarifikasi akan berdampak serius bagi soliditas dan integritas antardinas. Kota Santri semakin terkenal sebagai kota jorok korupsi.


Aan Anshori
Direktur Link

-----

*Sidang kasus Bupati Jombang, saksi sebut dana Kapitasi Puskesmas juga mengalir ke Mundjidah*


LENSAINDONESIA.COM: Aliran dana kasus dugaan suap yang mengakibatkan Bupati Jombang non-aktif Nyono Suharli Wihandoko turut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terungkap di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya pada Jumat (06/07/2018).
Hal ini setelah dr. Samijan satu dari saksi yang dihadirkan mengungkapkan bahwa hasil potongan dana Kapitasi dari 34 Puskesmas se-Jombang tidak hanya diserahkan kepada Nyono saja. Tetapi juga Wabup Jombang Mundjidah Wahab.
Samijan yang merupakan suami dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang, Inna Silestyowati yang telah divonis 2 tahun 6 bulan penjara ini menyebut Nyono menerima sebesar Rp275 juta.
Sedangkan untuk Munjidah diserahkan secara bertahap. Yang pertama diserahkan diserahkan melalui ajudan Bupati bernama Makruf Ropi’i kepada seorang ajudan Munjudah sebesar Rp 150 juta. Uang ini kabarnya akan dinakan untuk kegiatan Muslimat NU Pusat.
Lalu berikutnya diserahkan melalui Ema Umiyatul Chusnah anak Mundjidah Wahab yang menjabat anggota DPRD Jombang sebanyak dua kali yaitu Rp75 juta dan Rp50 juta. Uang yang diterima Ema ini juga disebut untuk kegiatan Muslimat di Jatim dan Jombang.
Samijan mengetahui siapa saja yang menerima aliran dana kapitasi tersebut karena dirinya merupakanperantara dari istrinya, yaitu Inna Silestyowati.
Dalam sidang yang digelar di Ruang cakra Pengadilan Tipikor Surabaya pukul 16:30 WIB tersebut Jaksa KPK menghadirkan lima orang saksi. Mereka diantaranya, Plt) Dinkes, Inna Silestyanti, Samijan (suami Inna), Wakil Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jombang, Puji Umbaran, Ajudan Bupati, Misbakul Munir, Ajudan Bupati, Makruf Ropi”i.
Sementara itu, usai menjalani persidang dengan agenda keterangan saksi pada Jumat (20/07/2018) kemarin, Nyono Suharli juga membenarkan bahwa Wabub Jombang juga menerima aliran dana Kapitasi Puskemas tersebut.
“Di sidang kemarin kan semua sudah diceritakan. Katanya itu untuk kegiatan untuk kegiatan Muslimat,” ungkapnya.
Nyono Suharli juga mengaku haran dan bingung dengan sepakterjang Inna Silestyowati yang ‘berjalan’ atas inisiatifnya sendiri untuk memotong dana kapitasi seluruh Puskesmas. Terlebih hal itu dilakukan dengan mengatasnamakan perintah bupati.
Muncul dugaan, pemotongan dana kapitasi Puskesmas tersebut merupakan inisiatif Inna Silestyowati sendiri yang sebelumnya disebut sangat ingin menjadi kepala dinas kesehatan.
“Saya tidak pernah punya ini inisiatif (menyuruh Inna) melakukan itu semua,” tegas Nyono.
Nyono pun menceritakan, sebelum semua itu terjadi dirinya sangat intens melakukan kegiatan santunan-santunan kepada masyarakat. Dan secara kebetulan, dalam program santunan tersebut, doker Samijan (suami Inna) ikut berkiprah dalam kegiatan tersebut.
Setelah program tersebut berjalan, Inna menyampaikan bahwa ingin ikut berpartisipasi. “Jadi saat itu Bu Inna bilang ke saya, Pak saya mau ikut kumpulkan santunan teman-teman kepala Puskesmas. Lha kebetulan saya waktu itu kok nggak tanya duit itu dari mana. Cuma dia bilang santunan dari para Kepala Puskesmas. Akhirnya kita buat kegiatan santunan tiga kali itu, diantaranya acaranya yang di Pendopo,” ungkap Nyono.
“Jadi sebenarnya saya tidak pernah punya inisiatif, perintah, ide (menarik uang) semacam itu. Kalau saya punya inisiatif seperti itu (pungutan) kan tidak baru sekarang ini saya lakukan, tentu itu saya lakukan sejak dinas yang dulu. Saya tidak punya inisiatif semacam itu,” pungkas Nyono. @LI-13

https://www.lensaindonesia.com/2018/07/24/sidang-kasus-bupati-jombang-saksi-sebut-dana-kapitasi-puskesmas-juga-mengalir-ke-mundjidah.html

Cerita Dibalik Aksi Solidaritas di GKI Diponegoro


Tanggal 16 Mei, saat mengunjungi Paroki SMTB bersama kawan-kawan, sebuah pesan masuk ke nomorku,dari Andri Purnawan, pendeta GKI Darmo Satelit. Isinya, draft _broadcast_ undangan woro-woro kegiatan di GKI Diponegoro, salah satu lokasi pengeboman.

Aku agak kaget mengingat Andri bukanlah pendeta di GKI Dipo. Ia juga bukan pejabat struktural sinode wilayah yang punya kewenangan menjelajah di luar gereja yang diampunya. Namun aku memahami situasi saat ini, pascapemboman, butuh figur yang mau bergerak.

Adalah Michael Andrew yang terus memotivasi Andri agar GKI Dipo membuka pintunya untuk aksi solidaritas pascatragedi. Michael memang paling suka memprovokasi orang untuk berbuat baik. Dan nampaknya Andri terlecut olehnya. Aku tahu, tak mudah bagi Andri meyakinkan internal GKI.

Drat woro-woro aku kirim balik ke Pdt. Andri, dengan menambahkan beberapa narahubung selain dirinya. Ada tiga nama yang aku masukkan; Michael, Yuska dan Mas Irianto. Lengkap dengan nomor telponnya. "Nama-nama itu sudah dikonfirmasi?" tanya Andri via WA. Aku mengiyakan karena saat itu aku bersama ketiganya di SMTB.

Selanjutnya aku membuat poster sederhana untuk acara di GKI Dipo itu. Foto dua perempuan berjilbab yang salah satunya mencium mawar, hasil jepretan Andy Budiman. Aku memakai foto itu dengan intensi tunggal; menunjukkan betapa kami, umat Islam, ingin membayar dosa bom itu. Tak ada yang lain.

Tanggal 18 malam aku meluncur ke GKI Dipo motoran bersama Adi Acong. Aku melihat penjagaan cukup ketat di depan gereja. Situasi ini seakan menunjukkan betapa alotnya negoisasi psikologis pascapemboman. Aku menduga.

Di sana, sudah menunggu banyak teman dari berbagai elemen. Aku memeluk dan menyalami sebagian dari mereka, sebelum ranselku digeledah metal-detector dan disuruh membuka. "Ini kabel charger laptop, mas," karaku pada petugas yang agak melotot melihat kabel hitam menyembul dari ransel hitamku.

Masuk di halaman GKI Dipo, situasinya mirip pasar malam. Begitu banyak orang yang hadir. Campur bawur. Aku sangat senang sekaligus agak tersiksa. Tersiksa karena aku melihat tanda "No Smoking" di halaman. "Matek aku," rutukku.

Memang, sebagian besar gereja milik GKI ditata dengan konsep tidak ramah perokok. Aku bisa memahaminya. Betapa besar cinta-kasih mereka terhadap kami, para perokok. "Tubuhmu itu bait Allah. Jangan kau rusak dengan rokok," demikian yang kerap aku dengar.

Itu sebabnya, perokok bisa dikatakan hidup dalam ketertindasan. Dan menariknya, Yesus yang aku tahu justru bersama orang-orang yang tertindas. Aku menghibur diriku sendiri, sembari menuju ruang ibadah, tempat acara berlangsung.

Aku mengambil tempat duduk di lantai atas. Menjauhi kiri-kanan panggung yang sudah diisi ratusan orang. Ada yang ndoprok di lantai dan ada yang duduk di kursi. Ruang gereja itu benar-benar penuh sesak orang. _"Cuk, akehe wong sing teko,"_ batinku merasa senang.

Aku larut bersama ratusan dari mereka. Di balkon atas tempatku duduk, aku bisa dengan leluasa menikmati pemandangan di bawah. Suasananya begitu larut penuh emosi ketika beberapa orang mulai memberi kesaksian saat bom meledak. Aku tak bisa menyembuyikan rasa maluku. Sebelumnya, Andri sudah mengingatkanku bahwa sangat mungkin teman-teman Dipo akan sedikit ekspresif mengungkapkan kedukaannya. Dan itu memang benar-benar terjadi.

Aku menundukkan kepala. Guilty feeling. Rasanya aku tak berani menghadapi begitu banyak orang Kristen di ruangan itu. Malu. "Aku di sini saja," batinku.

Namun takdir berkehendak lain. Pdt. Andri yang sudah naik panggung dekat mimbar memanggil namaku dengan mikrofon. "Saya minta kawan saya dari Jombang maju bersama saya di sini," ucapnya keras sembari memanggil namaku.

Aku pun turun dari balkon dituntun ratusan pasang mata. Kami berdua kemudian mulai menjadi jenderal panggung mengorkestrasi acara selama beberapa jam.

_The pain will make us much stronger._

I love you, GKI Dipo!

Undangan Menulis Narasi Memori Tionghoa 2 "Ternyata Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia"


Sebulan lalu, buku narasi memori "Ada Aku di antara Tionghoa dan Indonesia" mendapat sambutan luar biasa dari publik. Buku ini berisi kumpulan kisah duka dan suka cita 73 penulis. Mereka juga menyisipkan mimpi Indonesia yang lebih toleran terhadap Tionghoa.

Kehadiran buku itu sekaligus memprovokasi hasrat banyak orang untuk menulis kisahnya sendiri, agar kelak menjadi pelajaran bagi peradaban Indonesia yang perlahan mulai agak rasis.

Kami mengundang semua pihak untuk terlibat menulis di proyek narasi memori Tionghoa jilid II. Syaratnya? Tulisan merupakan kisah nyata pengalaman penulis saat berinteraksi dengan identitas Tionghoa. Kami ingin pembaca bisa belajar langsung dari pengalaman penulis, baik sebagai Korban maupun Pelaku.

Panjang tulisan 900 hingga 1.300 kata, tunduk pada kaidah berbahasa Indonesia yang benar, memakai pola 5W+1H, dan belum pernah diterbitkan sebelumnya. Batas akhir pendaftaran 22 Mei namun bisa ditutup sewaktu-waktu jika kuota 50 penulis telah terpenuhi.

Apakah penulis akan mendapat honor? Tidak. Kami tidak punya uang. Namun, penulis akan mendapat 1 buku gratis setelah diterbitkan.

Anda tertarik? Silahkan mendaftar melalui link ini. Jangan ragu mengontak Aan Anshori (WA/Telegram 08155045039) jika ada hal yang kurang jelas.

Kisah Anda sangat berguna bagi peradaban ini.

I love you!

*Aan Anshori*
08155045039
IG @gantengpolnotok
Twitter @aananshori

PSM IAIN Salatiga, you're not alone!

Dulur-dulur, kita bahagia saat paduan suara IAIN Salatiga tampil di Paskah GKJ Sidomukti. Kini kabarnya mereka tengah mengalami banyak tekanan dari berbagai pihak.

Untuk itu, sudilah mengirimkan pesan solidaritas melalui Zein +62 856-4015-8371, salah satu aktifis mahasiswa IAIN Salatiga. Mereka butuh apresiasi dan dukungan moril kita.

Berikut contoh yang aku kirim;
"Zen, aku Aan Anshori, GUSDURian Jombang. Aku sangat mengapresiasi penampilanmu dkk di GKJ kemarin. Aku tahu ada banyak tekanan terhadap kampus dan PSM. Jangan takut, jangan menyerah. Salam hormat- Aan Anshori"

Mohon di-CC ke Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi +62 815-7739-031

Jika tidak keberatan, sudilah juga memforward dukungan itu ke nomor WAku 08155045039

Suwun,

Aan Anshori

Order Buku Tionghoa

Teman-teman yang baik, silahkan mengklik link ini untuk membeli buku Narasi Memori "Ada Aku di antara Tionghoa," Jika ada kesulitan, silahkan WA/Telegram ke 08155045039.

Aan Anshori

Undangan Narasi Memori "Melampaui Rasa Takut"


Project narasi memori "Melampaui Rasa Takut" adalah inisiatif menuliskan pengalaman unik/menegangkan seputar interaksi dengan kekristenan, misalnya pertama kali masuk gereja, ikut natal, berteman dengan orang Kristen, dll. Contoh tulisan yang bisa dirujuk adalah "Termenung di hadapan Salib GKJW Banyuwangi" karya Fina Mawaddah PMII Untag Banyuwangi

Tujuan project ini adalah untuk memperkuat dialog hubungan Islam - Kristen di Indonesia melalui penarasian memori kader/alumni PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).

Project ini bersifat mandiri, tidak didukung oleh lembaga donor, parpol atau institusi sejenis lainnya.

Beberapa hal penting:
1. ‎Penulis adalah kader/alumni PMII dari mana saja.
2. ‎Tulisan merupakan pengalaman pribadi (melihat, melakukan, mendengar) penulis, non-fiksi, dan belum pernah dipublikasi sebelumnya.
3. ‎Ditulis dalam gaya bebas, memenuhi kriteria 5W+1H (what, when, where, who/whom, why, and how), sebanyak 700-1000 kata, dan dikirim ke pmii4diversity@gmail.com PALING LAMBAT 5 Mei 2018
4. ‎Editor berhak mengedit tulisan jika diperlukan
5. ‎Penulis menyertakan profil pendek yang memuat sekurang-kurangnya data identitas PMII, misal, _Aan Anshori, Mapaba 2000 Komisariat Pattimura PC PMII Jombang_
6. ‎Penulis akan mendapat buku gratis jika sudah diterbitkan
7. ‎Informasi lebih lanjut bisa mengontak WA/Telegram 08155045039

Thank

Aan Anshori

Kenapa Saya Tidak Bisa Ber-Tafsir LGBT di Aswaja Center?


Hari Rabu (17/1) jam 16:13, gadget saya berbunyi. Ada pesan WA masuk, dari Yusuf Suharto kawan saya:

"Mas Aan, atas nama panitia kami mengundang Mas Aan Ansori mengisi Seminar Tafsir LGBT pada Sabtu, 20 Januari 2018 ini. Semoga Mas Aan bisa nggih? Nanti ada Kiai Musta'in Syafii"

Pada pukul 17.14 di hari yang sama, saya balas.

"Wahh acara bagus. Aku senang ente mulai tertarik mengkaji isu ini. Sayangnya, aku terlanjur punya acara lain. Aku tunggu tulisannya ya.. Suwun."

Meski sudah menyatakan tidak bisa, sehari kemudian, Kamis (18/1) jam 11.20, ia tetap mengirimkan surat permohonan menjadi narasumber. Saya berfikir, kenapa tetap mengirimkan surat padahal saya tidak dapat hadir. Ini tentu agak di luar kelaziman. Akan tetapi saya melihat hal itu sebagai hasrat positif panitia yang menggebu-gebu.

Setelah saya baca, acara yang akan dilaksanakan nanti berbentuk "seminar" dengan judul "Tafsir LGBT dan Lintas Iman" Sayangnya, dalam surat tersebut tidak disebutkan dengan siapa saja saya akan dipanelkan, apalagi dalam perspektif lintas iman --yang pastinya akan melibatkan para tokoh agama lain.

Di luar itu semua, meski dipanel dengan siapa saja, saya tetap tidak bisa datang karena sudah terlanjur punya janji dengan kelompok lain, di hari dan jam yang sama.

Secara personal, saya sangat mengapresiasi kerja Aswaja Center yang telah begitu sigap merespon isu ini, tentu dengan harapan bisa meminimalisir perasaan LGBT-fobia.

Saya juga meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada panitia karena belum bisa memenuhi undangan terhormat tersebut. Namun demikian, saya akan berupaya sekuat tenaga untuk menulis gagasan saya terkait tema yang diusung agar bisa menjadi medium pembelajaran bagi khalayak umum, juga sebagai bentuk terima kasih saya kepada teman-teman Aswaja Center.

Jika berkenan, silahkan baca beberapa tulisan saya terkait LGBT, sebagai media saling belajar.

Perihal Lesbian dalam al-Quran

Mencambuki Homoseksual, Mencambuki Keislaman Kita

Why did Indonesia's most prominent moderate Islam group take a stance vs LGBT?

Hadits LGBT: Ikut Tifatul atau Muslim-Bukhari?

Warna-warni waria zaman Nabi: Dari Mak Comblang hingga pengusiran

A Gusdurian's oath vs the heteronormative credo,

Tuhan Pelangi di Mahkamah Konstitusi,

Apakah Homoseksual Masuk Surga?

Homofobia di Universitas Andalas


Matur suwun.

Aan Anshori

Yang Terhormat Ibuku


Lihatlah perempuan yang aku lingkari. Itu adalah ibuku, Alfiyah. Ia putri kedua alm. Abdul Wahab, kiai kampung di Plemahan Sumobito Jombang yang pernah menjadi anggota DPR kabupaten dari Partai NU hasil Pemilu 1955.

Ibuku adalah kembang desa, suaranya merdu, dan sangat mandiri secara ekonomi. Ia bekerja menjaga toko pracangan yang ia bangun sejak dari nol di Pasar Mojoagung. Dalam aspek ekonomi, bapakku yang lebih fokus ngurusi politik dan perLSMan sangat beruntung mendapatkannya.

Entahlah, kenapa ibuku memilih dia dari sekian banyak laki-laki yang mengejarnya. Ibu tidak pernah bercerita padaku, kecuali bahwa hubungan mereka tidak direstui oleh ibu dari bapakku.

Nenekku, disamping sudah punya calon istri untuk bapakku, nampak cukup terancam dengan kosmpolitanisme ibuku. Ibuku itu sangat mudah bergaul dengan siapa saja. Yang aku ingat, setiap kali berjalan, ia selalu menyapa orang yang dikenalnya -bahkan ketika yang disapa itu tidak sedang melihatnya sekalipun.

Ia tidak segan berteriak hanya untuk mendapat perhatiaannya. Aku kadang sampai malu, "Nek wonge mboten semerap mbok nggih mboten usah diceluk, buk," kataku suatu ketika menahan malu.

Alfiyah muda juga merupakan vocalist grup samroh di kalangan perempuan NU di kecamatan Mojoagung. Grupnya manggung di mana-mana; dari Seketi hingga Suwaru, dari Jonggrong hingga Klampisan.

Saat beromantika dengan bapakku, ibuku adalah seorang janda. Ia dicerai suaminya karena dianggap mandul setelah perkawinan mereka berlangsung 12 tahun. Kata orang-orang yang sezaman dengan ibu, ibuku nangis tanpa henti, tak mau diceraikan.

Bapakku juga berstatus duda dengan dua orang anak; Agus Rifai dan Alifah. Saya menduga, keduanya bertemu melalui kakekku Abdul Wahab, karena bagaimanapun ayah ibuku dan bapakku sama-sama orang politik. Pasti nyambung lah kalau ngomongin Golkar. Aku bisa membayangkan.

Di tengah ketidaksetujuan ibu dari bapakku, bapak akhirnya melamar ibu. Jadilah mereka pasangan suami istri. Tidak lama kemudian lahirlah jabang bayi yang sedang menulis cerita ini. Ibu dan bapakku saling mencintai, namun tetap saja mertua perempuan ibuku (nenekku) tidak kunjung bisa menerima ibu, bahkan ketika aku telah lahir sekalipun.

Bapakku benar-benar bingung dalam realitas yang bertabrakan ini. Ia begitu mencintai istri dan aku namun di sisi lain ia harus berbakti pada ibunya. Bisa dikatakan ibu adalah menantu yang tidak diinginkan. Itu juga yang membuat ibu tidak hidup serumah dengan mertua. Hidup berpindah dari satu kos ke kos yang lain.

Aku bisa membayangkan betapa stressnya bapakku kala itu. Pernah aku mendengar bapakku diminta menceraikan ibuku. I think you know who gave him the order, right? But he said no.

Di tengah relasi yang tidak ideal seperti itu, pernah suatu ketika ada laki-laki yang ingin bermain api dengan ibuku --- cantik dan supel memang terkadang bisa menjadi semacam kutukan. Mungkin maksud laki-laki itu sekedar berteman saja.

Dia baik padaku, suka memberi uang jajan. Mendengar hal itu, bapakku yang lebih sering ke rumah orang tuanya jadi naik pitam. Ia membawa senjata tajam dan datang ke kontrakan kami di daerah Pekunden, tetangga desa Kauman.

Otoritas daerah Pekunden pun jadi heboh dan berusaha menenangkan bapakku. Aku sendiri masih ingat diungsikan ke tetangga kontrakan, rumah wak polo (kadus).

Relasi ibu dan bapakku terus mengalami pasang surut hingga suasananya membaik pascawafatnya nenekku. Kami semua kemudian pindah ke rumah Kauman; berkumpul bersama dua kakakku.

Keluarga kami semakin lengkap dengan kehadiran adikku, Lail, yang lahir saat aku berusia 8 tahun. I love you!

*ditulis saat kehujanan di pos siskamling Nanggalan Watugaluh Diwek dan teras CU Semangat Warga

NU Queer di Warung Daun

Saat usai perhelatan ngopi bareng di Warung Daun Kediri, Kamis (16/11), saya bilang ke Mas Sanusi, direktur LSM Suar, "Mas, kalau mau jujur, NU iki queer lho dalam isu LGBTIQ," ujar saya sembari terbahak-bahak. Queer itu istilah dalam dunia gender dan seksualitas yang merujuk pada sesuatu di luar kebiasaan, aneh, antik, unik, atau kontradiktif.

Contoh gampangnya begini, Bunda Maria dipercaya mengandung tanpa proses yang ghalib, nah itu aneh, queer namanya. Atau, ada mobil yang bisa jalan dengan bahan bakar air, bukan bensin, itu juga queer.

Atau, ada tiang listrik tetap kokoh berdiri sedangkan Fortunernya ringsek dan Setnov katanya benjol sebesar bakpao, itu juga queer, aneh bin ajaib. Dalam isu LGBTIQ, sikap PBNU sudah sangat tegas; menolak dan mengutuk keras. Bahkan merekomendasi Negara untuk aktif membantu rehabilitasi "penderitanya," Anda bisa cek pemberitaan sekitar 26 Februari 2016.

Sungguhpun demikian, yang menarik, sikap ini tidak serta merta diikuti oleh jajaran di bawahnya di banyak daerah. Beberapa badan otonom, lajnah maupun lembaga di level propinsi maupun kabupaten/kota, terlibat dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kelompok LGBTIQ, terutama di isu penanggulangan HIV/AIDS.

Bagi saya, ini queer. Ke-queer-an juga terjadi kemarin di acara cangkrukan di Warung Daun Kediri. Yang datang sangat beragam; perwakilan pemkab, mahasiswa STAIN Kediri, gay, trangender, lesbian, pekerja seks, germo, aktivis, dan lain-lain.

Hampir semuanya pakai qunut kalau subuhan, atau setidaknya nyekar ke kuburan dan melaksanakan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari kematian. Saya yang didapuk memantik diskusi, ya wong NU, begitu juga moderatornya, Mas Sanusi. Yang berdoa malah ketua GP Ansor Kabupaten Kediri, Munasir Huda.

Ancen NU iki Queer kok...:)

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler