Termenung di Hadapan Salib GKJW Banyuwangi

Oleh Fina Mawadah

Entah aku harus memulai ini dari mana,  yang jelas semua hal apapun itu pasti ada permulaan, pasti ada yang pertama, pertama aku masuk Banyuwangi, pertama masuk kampus, dan kali ini untuk pertama kalinya aku masuk gereja.

Menjadi yang minoritas atau bahkan satu-satunya sudah sering kualami. Satu-satunya mahasiswa fakultas ekonomi prodi manajemen semester VI UNTAG Banyuwangi yang berasal dari Sumatra (Lampung), menjadi  satu-satunya yang tidak memahami bahasa Madura ketika event silaturahim dan diskusi bersama sahabat-sahabat PMII Jember, Situbondo, Bondowoso dll.

Tapi hari ini, malam ini, 10 Juni 2017, di sini, di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Banyuwangi, aku menjadi minoritas bahkan satu-satunya yang memakai hijab dalam acara buka bersama dan sarasehan.

Ragu bercampur takut ketika menerima pesan dari aktifis GUSDURian Banyuwangi, mas Ahmad "Tejo" Rifa'i, yang berisi ajakan untuk acara ini.  Bagaimana tidak, ini bukanlah hal biasa bagiku, lagi pula ini berbarengan dengan acara komisariat PMII Untag, yaitu  bukber dan diskusi dengan sahabat Anggi Dian Pratama Putra sebagai pemantiknya.

Namun atas dasar sungkan dan malu ketika menolak maka kuputuskan untuk meng"iya" kan ajakan ini.

Ragu, takut, deg-degan kembali kurasakan saat kaki ini melangkah untuk pertama kalinya memasuki halaman gereja. Namun perasaan ini seketika pecah ketika mendapat sambutan hangat dari bapak-bapak dan ibu-ibu umat Kristen di halaman tersebut.

Perasaan itu kembali muncul bahkan semakin keras ketika dihadapkan dengan hidangan buka puasa; nasi, takjil dan seperangkatnya yang telah siap untuk disantap. Takut yang kurasa karena pikiran-pikiran yang terlintas di kepala ini; "Bolehkah ini? Dosakah ini?"

Semua itu tertimpa oleh rasa malu ketika aku hanya diam, tidak makan dan minum apapun. Tidak inginnya ada ketersinggungan oleh pihak tuan rumah dan sebagai perwujudan nilai toleransi maka dengan Bismillahirrahmaanirrahiim kuberanikan diri untuk menyantap hidangan itu, meskipun dalam keadaan takut sehingga makanan ataupun minuman serasa sulit untuk ditelan.

Suasanapun mencair mengalir perlahan, setelah berbuka puasa kami rombongan melaksanakan ibadah shalat maghrib di mushala yang berada di dalam RSUD  blambangan, karena kebetulan GKJW terletak tepat di depannya. Aku pun mencurahkan segala apa yang kualami dan kurasakan pada saat itu dalam bingkai do'a kepada sang khaliq Allah SWT.

Nampaknya, lamanya waktu yang kuhabiskan menuai reaksi dari salah satu rombongan yaitu mas Bibit Ari Wijaya (Bejo). Dengan bercanda, ia berseloroh "Sangking takutnya (masuk gereja) shalatnya sampai lama," Ini menandakan bahwa ketakutan yang kurasakan begitu kentara dan dapat dipahami oleh orang lain.

Kamipun kembali memasuki gereja dalam acara selanjutnya yaitu sarasehan. Tempatnya yang di dalam gereja --tempat beribadah. Kami duduk di barisan paling depan dan posisiku duduk adalah tepat di depan salib yang dipasang dengan indahnya di aula gereja tersebut.

Perasaan yang ada dalam diri ini semakin kacau dan tidak menentu, gejolak yang ada dalam hati, dag dig dug jantung serasa dua kali lebih cepat. Pikiran yang terus berkutat pada pertanyaan "Bolehkah? Benarkah? Dosakah?" Gemetar merinding dan wajah yang tegang adalah wujud nyata yang nampak pada tubuh ini.

Sarasehan pun mengalir, dimoderatori oleh pendeta Kristanto. Sebelum dimulai kami pun diperkenalkan satu persatu. Malu luar biasa kurasakan saat itu.

Ketika narasumber pertama, Pendeta Natael Hermawan, wasekum PGI Jawa Timur, mulai menyampaikan materi dengan 2 titik pembahasan yaitu terkikisnya  toleransi dan intolerans di negeri ini. Padahal ruh dari Pancasila adalah gotong royong tanpa memandang suku, ras maupun agama. Artinya, Indonesia adalah rumah bersama. Semua untuk semua. Gus Dur pernah berkata "Tidak penting agama ataupun sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu,"

Narasumber yang kedua, mas Tejo, mengajarkan kami tentang UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana salah satu poinnya adalah kebebasan pribadi. Hal ini mengandung makna kebebasan beragama, "Yang namanya keyakinan itu tidak bisa dipaksakan," ujarnya.
Sampai di sini gemetar yang kualami semakin tidak terasa.

Memasuki pemaparan dari narasumber yang ketiga yaitu Gus Aan Anshori dari Jombang. Gejolak yang ada dalam diri yang sebelumnya sudah mulai tenang, kembali terasa bahkan semakin akut. Gemetar merinding dan wajah tegang semakin terlihat jelas. Bagaimana tidak, alangkah mengerikannya sesuatu ketika hanya dipahami secara tekstual bukan secara kontekstual, akan menjadi suatu persoalan besar di negeri ini.

Aku terlahir dari keluarga muslim, bisa dikatakan muslimku ini adalah muslim turunan dari orang tua. Aku hidup dan dibesarkan dilingkungan mayoritas muslim di desa Pulau Jaya (salah satu desa di kab. Lampung Selatan). Dan akupun bersekolah di madrasah (ibtidaiyyah, tsanawiyyah, dan aliyah) yang semua siswa dan guru nya adalah muslim.

"Lakum diinukum waliadin," menjadi peganganku, kupahami itu dengan artian selagi kita tidak mengganggu, mengusik, melarang mereka untuk beibadah dan begitupun sebaliknya, hal itu cukup. Selebihnya apapun yang mereka lakukan aku tidak mau ikut campur lebih dalam, selagi tidak keluar dari patron kita Pancasila.

Orang tua, guru ngaji, guru di sekolah tidak pernah mengajarkan untuk melarang untuk bergaul dengan yang berbeda (agama),  tidak melarang untuk menerima pemberian, bahkan mengajarkan untuk hidup saling berdampingan.  Hal tersebut membuat konstruksi diri yang kubuat untuk diri sendiri. Saya menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah heterogen, dan sangat indah ketika dapat hidup dan berjalan secara berdampingan. Namun saya membatasi diri untuk tidak ikut campur hal apapun, melainkan cukup sebatas tidak mengganggu mereka melaksanakan ibadah.

Jangankan untuk memasuki rumah ibadah agama lain, sebatas mengucapkan selamat pada hari-hari besar mereka, aku ragu tak berani dan akhirnya memutuskan untuk tidak. Hal ini bukan karena aku dilarang tapi dengan konstruksi yang telah terbangun dan juga tidak biasa melakukan itu sedari kecil.

Entah seperti apa kontruksi yg terbangun di lingkungan tempat aku dibesarkan. Namun yang kurasakan, secara garis besar semua dapat berdampingan, namun sama-sama tidak mau ikut campur hal-hal yang mendasar. Hanya sebatas tidak mengganggu.

Dan malam ini sesuatu yang baru terjadi dalam diri ini, tidak sekedar hanya ucapan, bahkan akupun masuk dan makan di dalam gereja bersama saudara-saudara yang berbeda. Gemetar merinding terasa berfluktuasi pada tubuh ini, ringan, sedang, semakin keras bahkan sangat terasa dan terlihat saat berlangsungnya sarasehan, kemudian semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Bagaimana tidak, semua yang ada di sini menerima kami dengan sangat hangat dan baik-baik, tak ada perbedaan di antara kita. Toleransi tercipta nyata di sini. Selain itu puisi yang dibawakan Taufiq Wr Hidayah, salah satu GUSDURian yang juga dikenal sebagai budayawan Banyuwangi semakin menyadarkan kita bagaimana kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Nilai-nilai toleransi sangat dirindukan. Tak sadar air mata pun mengalir dengan sendirinya.

Banyak sekali hikmah yang bisa didapatkan. Sudahilah memahami sesuatu hanya secara tekstual, sudah saat bongkar konteks yg terkandung dari teks tersebut. Beradalah dalam level toleransi. Kita hidup sebagai makhluk Tuhan yang memmpunyai kewajiban untuk beribadah dan kita juga sebagai makhluk yang berbangsa dan bernegara. 

Sebagai bangsa, Indonesia adalah Negara dengan Pancasila sebagai ideologi dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan. Sudah saatnya kalimat "Ketika Gus Dur hidup kami tenang, dan sekarang setelah beliau wafat kami was-was," kita ganti dengan "Hari ini kami rasakan sama halnya seperti Gus Dur masih hidup." Menjadi tugas kita semua masyarakat Indonesia untuk mewujudkan hal itu. Amin.

10 comments:

  1. mantap2.....sebagai muslim yg insaallah slalu berbagi untuk hanya kebahagiaan bersama

    ReplyDelete
  2. Hanya sebuah curhatan kecil, yang mudah-mudahan mengandyng nilai kebaikan walau hanya sebesar biji sawi. mohon bimbingannya Gus,

    ReplyDelete
  3. Terbaca dan terinspirasi , di lanjut fina 😊

    ReplyDelete
  4. Waduh....mantap dan indahnya toleransi. Sukses Vina ya...dan gelorakan toleransi.

    ReplyDelete
  5. Pengalaman yang menarik. Alhamdulillah.....

    ReplyDelete

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler