MINORITAS ADALAH

Kalau kamu merasa menjadi minoritas dan merasa agak sensitif saat kata tersebut sering dinarasikan  ke ruang publik, mungkin sebaiknya kau berpikir ulang.

Saat mengisi acara seminar pendidikan politik dan doa lintasagama di GPIB Pniel Surabaya, Sabtu (16/12), seorang pendeta perempuan senior GPIB, "menggugat" penggunaan istilah minoritas. Menurutnya, kata tersebut bernada merendahkan dan berpotensi kontraproduktif bagi pembangunan kerukunan dan keragaman di Indonesia. 

Aku tak mampu memungkiri; sangat mungkin ia, sebagaimana banyak kawan-kawanku non-Islam dan/atau non-Jawa yang hidup di wilayah Islam-Jawa, memiliki pengalaman hidup tidak mengenakkan sebagai kelompok minoritas --disubordinasi, dimarginalisasi, bahkan didiskriminasi serta tak jarang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis.

Menjadi minoritas dalam konteks Indonesia adalah hidup sebagai warga negara kelas dua, yang kehadirannya kerapkali dipandang tidak ada saat pertemuan RT maupun rapat kelurahan, apalagi hadir dalam kontestasi pencalonan pilkada maupun pilpres.

Konstitusi memang tidak memperbolehkan adanya pembedaan. Namun konstitusi adalah onggokan kalimat indah yang tak berkutik dan hanya baru bisa hidup ditangan manusia. Sayangnya, tak semua manusia Indonesia sepenuh hati berjalan seiring konstitusi. 


Realitas kehidupan di Indonesia saat ini masih dalam fase barbarik; yang terkuat --biasanya identik dengan mayoritas-- akan mudah mendapatkan hak-haknya; yang terkuat, bahkan, bisa melanggar etika dan hukum tanpa perlu takut dan malu mendapat sanksi sosial atau hukum.

Sebaliknya, yang lemah --minoritas-- harus mati-matian jumpalitan untuk mendapatkan kesetaraan hak. Bahkan tak jarang ia diharuskan "tahu diri" atau "sadar posisi" saat hidup di masyarakat tanpa boleh berteriak, "Mau nggak sesekali hidup dalam posisi kami?"


Minoritas, dengan demikian, didefinisikan sebagai yang boleh dikalah, yang dapat ditindas, dan yang harus manut dengan tatanan yang diatur mayoritas. Hidup memang tidak adil bagi kelompok minoritas.

Aku menduga kuat, pendeta ini sedang berupaya agar tak terluka lebih dalam, terutama saat kata minoritas dipanjatkan ke ruang publik. Kata itu, baginya, sangat mungkin akan memicu luka dan perasaan ketertindasan yang bersemayam dalam dirinya dan memori kolektif orang-orang yang hidup bersamanya.

"Ipend, kata minoritas memang kadang terasa menyakitkan namun kita tidak bisa melarang orang mengucapkannya, sungguh pun kita tak setuju dengannya," ujarku.

Kata minoritas, tambahku, mungkin sama seperti lalat saat kita makan. Ia mengganggu namun tak bakal membuat kita mati. 

Kata minoritas, lanjutku, juga seperti debu di jalanan Surabaya. Sulit rasanya melarang debu bertebaran di kawasan jalan Rajawali. Debu akan terus ada. Ia mengganggu, betul. Namun sangat kecil kemungkinan kita akan mati saat menghirup udara Surabaya saat ini. 

"Kenapa kita tidak mati meski ada lalat dalam makanan dan debu di sekitar kita?" tanyaku balik. 

Kita tidak mati karena memiliki ketahanan tubuh yang sanggup melawan dua hal itu. Jika tubuh kita ringkih, kurang vitamin dan olahraga, serta jiwa dan pikiran tidak merdeka, daya tahan tubuh kita akan melemah. Di titik ini, lalat dan debu akan sanggup memporak-porandakan metabolisme tubuh. Secara teori, kita hanya bisa mati terkait kesehatan jika lalat dan debu bertemu dengan penyakit-penyakit yang telah bersarang terlebih dahulu dalam tubuh kita. Komorbid.

"Nggak usah terlalu terganggu dengan kata minoritas. Anggap aja kita sedang makan di pinggir jalan. Ada lalat dan debu. Dinikmati saja karena kita memiliki kekebalan tubuh lebih baik," kataku.

Dan lagi, tambahku, jika kita merasa minoritas, bukankah kita seharusnya bangga akan hal itu? Tidakkah jenderal selalu lebih sedikit ketimbang non-jenderal? Bukankah jumlah Tuhan tidak mungkin lebih banyak ketimbang ciptaanNya? Dalam pemilu, calon wakil rakyat selalu minoritas jika dibandingkan dengan para pemilih. 

Aku pernah dengar seorang pendeta mengutip ayat; banyak yang terpanggil namun sedikit yang terpilih. Menurutku itu ayat keren.

"Ipend, supaya imunitas kita lebih kuat, aku usul, bagaimana kalau kita yakini saja bahwa minoritas adalah mereka yang-terpilih BUKAN yang-terpanggil. Setuju kah?" kataku.

Aku harus berterima kasih pada Pdt. Meggi dan seluruh jemaat GPIB Pniel Surabaya atas forum keren tersebut. Di sana aku bertemu banyak kawan, termasuk beberapa kawan Penghayat Sapto Darmo, GKJW dan HKBP serta Katolik. 

"Pulang lewat stasiun mana, gus?" tanya Roni Fauzan yang sangat baik hati mengantarku.
"Stasiun Semut, stasiun minoritas." sahutku. (*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler