Kegagalan yang Menggairahkan

Gagal kok menggairahkan? Mungkin itu yang Anda lontarkan pada judul ini. Namun iya, aku benar-benar merasakan gairah atas kegagalan tersebut. 

Ceritanya, barusan aku dikontak salah satu, katakanlah, adikku. Sebut saja Juwita. Ia calon pendeta di sebuah gereja. Bukan gereja kalian kok. 

Dalam pandanganku, Juwita termasuk calon pendeta yang cukup progresif. Passionnya terhadap gerakan lintasiman begitu menggelora. Ia nampak dengan mengagumkan mempercayai kuatnya persekusi terhadap agamanya lebih dikarenakan minimnya perjumpaan. 

“Kalau jarang berjumpa, orang bakal terperosok pada prasangka, gus. Prasangka adalah akar dari segala kekerasan,” katanya pada suatu ketika. Ia telah lama berencana mengundangku di katekisasi. Dimintanya aku memberikan pandangan kepada anak-anak muda gerejanya seputar maraknya kekerasan berbasis agama. 

Sungguh mulia sekali bukan? Namun demikian kemuliaan terkadang seperti merpati; ia jinak tapi mudah pergi jika didekati.

**

“Gus, aku habis berperang, berusaha mempertahankanmu di katekisasi. Tapi sepertinya aku gagal,” tulisnya. 

Aku tidak melihat wajahnya. Namun dugaanku, kesedihan telah nangkring lama di pelupuk matanya.

“Duh Juwita, betapa kamu membuatku terharu dan tidak enak. Aku terharu karena kamu melakukan hal yang cukup berani. Tidak enak; karena kamu harus berperang melawan saudara-saudaramu di internal. Thank you ya,” ujarku.

“Ga papa Gus.. Tugasku kan memang. Dan yang membuatku prihatin sih sebetulnya. betapa di tahun 2020 saudaraku masih berfikir dengan sangat eksklusif. Tidak mudah sangat, tapi ya ini tantanganku Gus, cuma untuk saat ini aku belum cukup kuat punya fondasi. semoga kelak ketika fondasiku sudah lebih kuat, kondisi bisa lebih baik ya.” balasnya.

“Ta, sebagaimana pernah aku singgung; kondisi seperti ini adalah imbas dari kuatnya doktrin tertentu tanpa mengenalkan doktrin lainnya. Termasuk doktrin atas trinitas. Sebenarnya aku tahu sejak lama di internal islam; betapa kejamnya dampak doktrin unitarian atas trinitarian. But to be honest, aku tidak menyangka hal ini juga berdampak relatif sama di kalangan trinitarian.” timpalku. “… Too much love will kill you. Too much unitarian will kill Trinity. And too much Trinity will kill unitarian as well? Gelap rasanya dunia ini, Ta,” aku terus nyerocos di whatsapp.

Aku melanjutkan, “Kadang aku mikir; apa Arianus, Tertullian dan St. Athanasius merumuskan doktrin unitarian dan trinitas yang sangat spektakuler ini agar pengikutnnya membenci pengikut ajaran lain? Sedih aku,”

“Bukannya Arius dan Athanasius juga dua pihak yg saling bersengketa demi klaim doktrin terbenar? Bukannya konsili yang memutuskan doktrin-doktin itu sarat dan sangat kental dengan politik yg kejam? jadi wajar, bila hasil dari keributan dan kebencian adalah kebencian lebih lanjut,” Juwita terus menderu. Terlihat sekali kematangannya dalam berteologi. Jujur. Emoh bersilat lidah khas teologia-apologetik.

Aku terus membalasnya sembari tiduran, “Iya, harusnya kita meletakkan perseteruan teologis dan politis mereka seperti halnya dalam insiden Daud dan Betsyeba. Yakni, nggak boleh ditiru..😓

“Yup.. dan disalahpahami. Menyedihkan. bahkan kemudian menggunakan bahasa2 yg sangat agamis untuk mendukung gagasan ini. Tapi rasanya sudah terlanjur gus. Mengubah apa yg sudah dihidupi puluhan tahun itu tidak mudah sama sekali,” ia dengan cepat membalas chatku.

“Iya, Ta, namun aku selalu percaya perubahan aku datang; semakin Kristen/Islam seseorang, semakin ia mempercayai adanya keselamatan di luar keyakinannya. Terasa aneh memang. But it worked for me at least.😬

“Iya gus, sangat paham aku dengan itu. Sedihnya lagi, menurutku dialog tidak akan pernah bisa terjadi bila semua berangkat dengan prasangka.. dan orang-orang ini berangkat dengan prasangka. khawatir sekali mereka kalau kamu akan mengislamkan anak-anak katekisanku. Betapa sebuah pandangan yang sangat dangkat tentang indahnya jalan bersama,” Juwita tak kalah sengitnya membalas pesanku.

Rasanya makjleb ketika membaca diksi “islamisasi,” di kalimatnya. Uluhatiku terasa ditusuk peniti. Aku tak menyangka itu akan ada dalam benak teman-teman Juwita. Diksi itu termasuk hal yang membuatku tidak nyaman, Diksi yang sangat kuat aura kolonialnya, sekuat kata “normalisasi,” yang disemburkan untuk intensi mengubah orientasi seksual seseorang. “Jahat,” --meminjam istilah Cinta pada Rangga.

“Juwita, aku merasa ada kekuatiran kuat di internal gerejamu. Aku bisa memahami hal itu meski tidak ada niat seupil pun terbersit di pikiranku untuk islamisasi. I don't want to convert anyone because I love the way they choose their religion. Sometimes love shows itself so dangerous, don't you think? ☺” aku terus membalas chatnya.

“Hehehe... its okey Gus.. Tugas kita yang sudah paham dan siap berjalan bersama walau tak sama untuk terus bergerak to? Yang penting kita saling support, kelak akan ada masanya dimana orang mulai membuka mata dan sadar pentingnya menikmati hidup bersama,” ia membalas dengan penuh optimisme. Betapa beruntungnya gerejanya mendapat calon pendeta sepertinya. Betapa bangganya kampus almamaternya. Betapa senangnya ibu dan bapaknya. Dan yang terpenting, betapa beruntungnya Indonesia memiliknya.

“Juwita, aku pasti senang jika kita terus berjalan beriringan. I promise you,” pungkasku.

Ya, kami berdua gagal mengantarkanku. Namun percakapan ini menggairahkanku untuk tidak patah. Sayup-sayup aku mendengar suara di pikiranku; fight, win, fight, win, fight, lose, fight harder!

 

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler