Ayat Keramat


"Iku ayat keramat," kata Gus Mujib, kawanku saat mondok di Tambakberas 33 tahun lalu, barusan.

Ia mengatakan itu saat aku ngomong sendiri, dengan perasaan heran, saat qori' (pelantun al-Quran) membacakan QS. Al-Imran 169-170. 

Aku memang tidak menyangka ayat tersebut dilantunkan dalam acara haul (commemoration) KH. Ach. Nasrullah Abd. Rohim dan 100 hari bu Nyai Zubaidah, belahan hatinya, malam ini, Rabu (11/11). Mereka berdua adalah kiai dan bu nyaiku.


Sepanjang perjalanan motoran menuju Tambakberas, aku berpikir keras, bagaimana menempatkan ulang sosok yang telah meninggal dunia, yang kita anggap penting dalam galaksi spiritualitas kita; apakah mereka benar-benar telah meninggalkan kita, atau bagaimana. 


Aku langsung teringat ayat keramat tersebut. Aku mewiridnya terus sembari berusaha membenamkan dan menghayati maknanya; bagi sebagian orang, kematian itu tidak berlaku. Yang ada adalah hidup terus menerus. 

"Kalau orang yang sudah mati, ya sudah, ndak usah dipikirkan lagi. Mati ya mati. Nggak usah diratapi, apalagi diglorifikasi sedemikian rupa," kata seorang kawan beberapa waktu lalu.

Itu sebabnya, tambah kawan itu, yang mati tidak butuh doa. Justru yang harus didoakan adalah yang masih hidup.

Mungkin ia benar; berkeinginan agar kita tidak dibebani aneka perasaan yang malah justru berpotensi membuat kita tidak bisa move on. 


Mungkin ia berfokus pada yang hidup ketimbang yang telah mati. Dan itu, menurutku, hal yang sangat masuk akal. 

Namun bagaimana jika yang telah mati tidak sepenuhnya mati, ia sebenarnya masih hidup --mungkin dalam dimensi lain, mungkin dalam memori orang-orang yang tidak ingin membiarkannya mati? Mungkinkah? 

Ayat keramat yang disebut Gus Mujib tadi memuat eksposisi ilahi seputar ketidakmatian para jihadis, crusader, para kekasih Tuhan yang gugur di medan lagi. 

"Tidak. Tidak. Mereka yang terbunuh di jalanKu sebenarnya tidak mati. Sebaliknya, mereka hidup di sampingku bergelimangan anugerah," kira-kira seperti itu Allah berfirman.

Haul malam ini bisa dianggap sebagai upaya merawat memori kolektif kami atas sosok Abah Nas dan Bu Nyai Dah. Beliau berdua diposisikan sebagai figur yang hidup --alih-alih dianggap mati. 

Keduanya, juga jutaan tokoh yang telah meninggal, perlu dihidupkan untuk membimbing yang masih hidup agar menjadi lebih baik. Kalau mereka dimatikan oleh yang hidup, aku merasa hal itu justru merugikan kita semua.  

Menghidupkan yang sudah mati adalah strategi utama bagaimana agama dan kepercayaan beroperasi memengaruhi para pengikutnya. Tanpa strategi ini, agama dan kepercayaan akan kesulitan menemukan dan merawat mereka, pengikutnya.

Sekarang Nabi Musa sudah tidak bisa kita jumpai  --begitu juga dengan Siddharta Gautama, Yesus, Athanasius, Nabi Muhammad, Imam Ghazali, Luther, Calvin dan yang lain. Namun mereka terus dihidupkan oleh para pengikutnya demi memperkuat spiritualitas dan komunitasnya.

Terkait ini, ada cerita unik. Sekira 3 jam sebelum ke Tambakberas, aku berdiskusi di sebuah WA grup. Anggotanya cuma 4 orang. 

Salah duanya adalah aku dan alm. Mas Steve Suleeman. Grup ini berkaitan dengan GKI Yasmin. 

Aku masih berusaha "menghidupkan," mas Steve. Mengajaknya ngobrol dan me-mention-nya --seperti tidak ada peristiwa kematiannya.

Ia tentu tidak bisa mereply percakapan kami dengan gaya normatif. Namun kami percaya ia menjawab kami dengan caranya --dan itu bersifat personal. 

"Yesus itu secara fisik kan ya ndak ada, namun dunia kan tidak hanya cukup disokong oleh fisik saja. Sebagaimana Yesus, Mas Steve akan selalu ada, hadir bagi yang merasakan 😁😁," begitu jawabku pada kawan bicaraku. 

Semua karena ayat keramat.

Lamat-lamat aku mendengar Kiai Marzuki Mustamar menyampaikan gagasannya di forum haul.(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler