DEDIK KETUA PANITIA


Namanya Dedik. Anak paling depan, yang berbaju telur asin. Dia mungkin bukan anak sembarang. Namanya akan tercatat dalam sejarah sebagai pioneer. Tidak hanya di kampusnya namun juga di luar.

**
"Gus, ayo foto dulu. Kali ini bersama para alumni Tambakberas," ajak Dedik, sesaat setelah bedah buku "Sejarah Agama," Karen Amstrong usai di sekretariat Roemah Bhinneka.

ia kemudian memanggil Ali, kawan sesama alumni Tambakberas, sepertiku. Tidak seberapa lama, dua orang teman diskusinya, beragama Kristen dan Katolik, ikut gabung.

Dedik dan Ali adalah dua mahasiswa prodi Studi Agama-Agama di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Meskipun terbilang beda jauh angkatannya namun keduanya sealmamater denganku di Pesantren Tambakberas. 

Ali dan Dedik generasi millenial. Masuk Tambakberas sekitar tahun 2015, jika tidak salah. Lha aku? Masuk tahun 1988. Jauh sebelum mereka lahir. Barangkali.

Saat di Tambakberas, Dedik mengaku tinggal di Ribath (asrama) Al-Muhibbin. Tempatnya Yai jamal dan Gus Kholik. Sedangkan aku di Assaidiyyah. Ujung selatan dan ujung utara kalau di google map.

Dedik ini, rupanya, beberapa kali bertemu denganku di berbagai kesempatan. Hanya saja, aku tidak terlalu memperhatikan. 

Aku memang mudah bertemu banyak orang. Namun, juga mudah tidak mengingatnya. "Rek, sepurane ya. Memoriku sangat terbatas. Aku mudah lupa pada hal-hal yang orang lain tidak. Itu sebabnya, jika ingin aku mengingat kalian secara permanen, berilah impresi padaku. Ndak harus baik. Impresi jelek pun boleh," kataku suatu ketika.

Nah, entah bagaimana ceritanya, setelah bertemu di bedah buku, Dedik mengontakku. Ngajak ngopi. Kebetulan ia sedang sambang ke Tambakberas. Kami pun akhirnya ngopi. 



Dia bercerita tentang kehebohan di pondoknya. Gara-gara, ia pasang foto, bersamaku di depan salib, di story WAnya. Para alumni seangkatan maupun adik kelasnya di Tambakberas terusik untuk mengomentari unggahan tersebut. 

Dengan aksinya seperti itu, menurutku, ia tergolong alumni yang berani. Biasanya, tidak sedikit lulusan pesantren yang memiliki nyali mengumbar hal tabu seperti itu. 

Nah, yang makin mengagetkanku, Dedik ternyata didaulat menjadi ketua pelaksana perayaan Natal lintas agama, 19 Desember nanti di Radio Mercury FM Surabaya, dekat Taman Bungkul.

Informasi ini aku dapatkan dari Erin dan Mas Irianto, keduanya adalah temanku yang juga aktifis di Roemah Bhinneka. 


Aku sama sekali tidak menyangka jika ketua panitianya akan dijabat oleh orang Islam, lulusan Tambakberas pula. Ini barangkali pertama kalinya dalam sejarah.

Jika ingatan ini tidak salah, gagasan membuat perayaan Natal lintasgama tahun ini tercetus dariku. Pada saat itu kami para aktifis Roemah Bhinneka lagi nongkrong di depan Radio Mercury FM setelah acara talkshow bulanan.

Ada beberapa anak muda lintasagama. Ikut nngkrong bersama kami. Termasuk Dedik dan beberapa gerombolannya. 

Aku sudah tidak lagi mengikuti perkembangan atas usulanku tersebut. Aku memang seperti itu; suka melempar gagasan, nggak peduli, namun akan "ngamuk," jika tidak direalisasikan. Forgive me. My bad.

"Kami sudah 4 kali rapat untuk persiapan acara Natal itu, gus," kata Dedik. Betapa aku sangat bahagia dengan informasi perkembanga ini. 

Rupanya mereka cukup serius terkait hal ini. Empat kali rapat adalah indikator nyata yang tidak bisa dianggap remeh.

Saat aku menginap di rumah Mas Irianto, aku sempat menanyakan keberlanjutan rencana tersebut. 

"Jalan terus masssssss," katanya sembari terus mendadas snack yang disajikan mbak Sita, belahan hatinya. 

Diam-diam, aku bersyukur ada orang seperti Dedik dan Ali. Lulusan pesantren, "tersesat," di jurusan Studi Agama-agama -- dan tidak nanggung "ketersesatannya,"

Aku yakin ada banyak sekali orang-orang seperti Dedik dan Ali. Mereka merasa resah terhadap doktrin klasik yang dijejalkan saat di pesantren. 

Keresahan ini, bagi banyak pemangku pesantren, dianggap sebagai hal yang subversif. Padahal, menurutku, hal ini justru merupakan indikator keberhasilan pembelajaran. 

Kok bisa?

Iya, dalam model pembelajaran yang baru saja dirilis Menteri Nadiem, terdapat dua tingkatan. 

Pertama, Lower Order Thinking Skills (LOTS) --bercirikan; remembering, understanding dan applying.

Sedangkan kedua, yang lebih tinggi; Higher Order Thinking Skills (HOTS). Cirinya; analyzing, evaluating dan creating.

Apakah kamu telah seperti Dedik? (*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler