Ibarat di sekolah, Salatiga adalah guru dan teladan dalam toleransi. Ia layak digugu dan ditiru murid-muridnya. Tak terkecuali olehku, Jombang.
*
Sejak lama aku selalu merasakan atmosfir paseduluran saat berkunjung ke banyak gereja, khususnya gereja-gereja berafiliasi Jawa. Para umat dan pendetanya selalu nyemanak, enak diajak ngobrol dan rendah hati.
Begitu pula saat aku tiba di GKJ Sidomukti Salatiga. Gereja ini berulang tahun yang ke-32. Masih belum terlalu tua memang, jika misalnya dibandingkan dengan GKJW Bongsorejo Jombang.
Sabtu pagi (13/12), perayaan ulang tahunnya diperingati dengan jagongan lintas agama. Tempatnya di ruang ibadah. Cukup luas. Muat 150 orang.
Yang hadir sekitar 130an orang. Banyak orang Islam. Yang berjilbab tidak sedikit.
Aku ketemu banyak kawan lama, misalnya Pdt. Gunawan Yuli, Mas Suwarto Adi, Pdt. Izak Lattu, Gus Bahruddin Qoryah Tayyibah, Pdt. Roy dan tentu saja tuan dan puan rumah; Pdt. Eben serta Pdt. Maya. Aku baru tahu nama terakhir tadi adalah pendeta di GPIB .
Yang tidak aku sangka-sangka, datang juga pendeta supersenior GPIB, mahaguru Perjanjian Lama UKDW, almukarrom wa shohibul fadhilah, Pdt. Gerrit.
"Masyaalloh, Prof. Matur nuwun," ujarku bersalaman dan memeluknya.
Ia datang ditemani Daniel mahasiswanya. Pdt Gerrit memang istimewa. Sejak dulu selalu terlihat dikelilingi cowok-cowok ganteng dan, rata-rata, pintar.
"Betapa beratnya menjaga citra Salatiga," kataku.
Sebagai guru, Salatiga sangatlah layak dijadikan contoh toleransi. Kota ini perlu terus dijaga agar tetap sehat dan menginspirasi.
Itu sebabnya, aku sendiri sedikit agak mengkhawatirkan "kesehatan,' kota sejuk nan asri ini. Beberapa jurnal yang aku baca menyatakan Salatiga terbilang cukup rapuh dibalik kewibawaannya.
"Ada satu gereja yang konon belum dapat IMB sejak 12 tahun lalu. Bahkan ada yang telah mengantongi IMB namun belum bisa membangun sejak lama, di kota ini. Ini tantangan kita semua," kataku kepada forum.
Yang membuatku kaget dan gembira adalah cerita dari Gus Bahruddin, pendiri Qaryah Thoyyibah, yang hadir saat itu. Ia menceritakan ada rombongan frater live in di pesantrennya beberapa minggu. Dan ia mempersilahkan mereka beribadah di pesantrennya.
"Gus Bahruddin ini level wali. Cocok dadi rois aam," kataku.
Setelah selesai acara, aku diantar Pdt. Roy dan Sidik Pramono melakoni ziarah singkat ke kampus UKSW. Ini pertama kali aku masuk di dalamnya, setelah beberapa kali hanya lewat di depannya.
Pagi sebelum acara, aku sempatkan jalan kaki, menyusuri beberapa jalan di Salatiga. Aku sengaja tidak pakai alas kaki. Model gelandangan. Beberapa tatapan mata melihatku dengan aneh. Biarin saja.
Aku pengen sekali berlama-lama di kota ini, kota yang menurutku selalu menyediakan atmosfir mistis cum akademik. Sayangnya, aku harus balik ke Jombang via Stasiun Solobalapan.
"Tak antar, gus," kata Pdt. Maya bersama bu Eko yang menjadi sopirnya. Aku tidak sempat bertanya siapa nama sebenarnya bu Eko. Eko adalah suaminya, salah satu wakil rektor UKSW, yang menjadi jemaat GKJ Sidomukti.
Selamat ulang tahun, GKJ Sidomukti. Selamat menyongsong natal. Gusti paring berkah.(*)



No comments:
Post a Comment