Pages

Thursday, December 25, 2025

Hari Mualaf atau Perayaan Natal?




Gimana kalau begini saja; mengubah ejekan atau provokasi menjadi lelucon, supaya hidup lebih ringan untuk hal yang lebih baik.

Contohnya adalah terkait seruan provokatif hari muallaf pada saat natal tiba. Menurutku, seruan tersebut dinyalakan jelas dari ruang hati yang dipenuhi iri hati dan sedikit kedengkian. Tak mengapa.

Menurutku, siapapun yang menyerukan jargon tersebut sedang mengalami kekalutan melihat kenyataan banyak orang Islam yang ikut gembira menyambut natal 

Bagi mereka, para penyeru hari mualaf, kenyataan ini sungguh mengecewakan mereka. Mereka berharap semakin banyak oran Islam mengecam dan mengolok Natal. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Mereka memang pantas kecewa sebab banyak orang Islam dan Kristen justru saling menguatkan dalam momen Natal. Orang Islam tersebut datang dengan konfidensi ke perayaan-perayaan Natal, menyampaikan sukacitanya. 

Provokasi hari muallaf sama sekali tidak berdampak apapun terkait relasi indah ini, kecuali terhadap sebagian kecil orang Kristen yang masuk perangkap mereka. Ya, mereka dengan emosional merespon ulah sebagian orang Islam yang memprovokasi Natal dengan jargon tersebut. 

Sekali lagi, hari mualaf adalah provokosi yang insignifikan; disampaikan oleh orang yang putus asa dan, celakanya, direspon pula oleh mereka yang putus asa. 

SALIB 3 METER
Tanggal 14 Desember lalu aku menghadiri natal di GKA Zion Jombang. Natalnya meriah. Dihadiri banyak tokoh lintas agama. Aku juga turut diundang meski bukan tokoh. 



Kemeriahan juga sangat terasa sekali ketika aku datang ke GKJW Tropodo Sidoarjo, 21 Desember, atas undangan Pdt. Ridha menggunakan bis. Aku harus datang karena ia telah menyumbang banyak bagi kehidupan toleransi di Jombang saat melayani di GKJW Bongsorejo. 

Aku datang bersama Fatur, founder Griya Rahmatan lil Alamin. Ia penggiat UMKM yang punya art gallery. Fatur membantu pengadaan salib raksasa setinggi 3 meter untuk GKJW Tropodo. 

Natalan di sana juga dimeriahkan penampilan anak-anak difabel. Mereka menyumbangkan lagu bertema natal. Aku mengagumi semangat inklusifitas natal gereja ini saat banyak orang memilih menyembunyikan mereka yang difabel.

KEHUJANAN DI PASAR MOJODUWUR
Yang paling gres, tanggal 24 Desember kemarin. Untuk pertama kalinya aku natalan di sana meski sangat sering berkunjung ke pastorinya. Gereja ini dilayani Pdt. Yodi, yang pernah aku ceritakan saat ia menempuh studi di UKSW Salatiga bersama Pdt. Rinto. 



"Gus, datang ya pas natalanku. Biar pernah ke Wonosalam natalan," ujarnya sembari mengirim undangan via WA. 

Acaranya jam 17.00. Aku datang bersama Rifan. Melalui rute Mojoagung, kami berdua datang lebih awal. Takut hujan. Wonosalam daerah pegunungan. Sangat sensitif terhadap cuaca. 

Benar, kami kehujanan di tengah perjalanan, tepatnya di Pasar Mojoduwur. Hujan mendera kami dengan sangat emosional. 

Kami menerjangnya setelah agak reda. Di wilayah Bareng, hujan menggila lagi. Motor kami ngos-ngosan hingga pastori.

Tak seberapa lama, datanglah Wildan, lulusan Ma'had Aly Tebuireng yang sedang menulis tesis di CRSC UGM. Ia memang aku minta datang agar melengkapi risetnya secara sosiologis dan psikologis. 

"Gus, saya izin sholat dulu nggih. Ini Barat sebelah mana ya," katanya agak kebingungan. 

Acara natal di GKJW Wonosalam berlangsung meriah. Suasana kegembiraan terpancar dari menit pertama hingga terakhir. Tamu lintas agama hadir banyak. 

Setelah Kapolsek Wonosalam sambutan, tiba giliranku. Aku mengapresiasi cukup banyak jemaat GKJW yang mengenakan peci hitam sepertiku. Menurutku, peci hitam adalah identitas nasional, bukan hanya milik agama tertentu.

Begitu pula dengan Natal. Perayaan kelahiran Kristus juga milik semua umat manusia karena ia lahir untuk kita semua -- setidaknya menurut Gus Dur.

Gus Dur mungkin berbicara dalam konteks agamanya. Dalam alQuran, kelahiran Isa/Kristus mendapat ucapan selamat langsung dari kitab ini. Bahkan, satu-satunya dari galaksi para nabi dan rasul dalam Islam. 



"Umat Islam tak perlu takut imannya keropos jika datang ke perayaan Natal atau mengucapkan selamat natal," ujarku.

Tak seberapa lama setelah sambutan, para tamu dikejutkan oleh kedatangan mbak Wiwin Sumrambah, anggota DPRD Provinsi Jatim. Ia disertai kawanku, Endah, warga GKJW juga. 

Dalam sambutannya ia mengajak peserta merefleksikan semangat Natal dalam suasan negeri yang tidak baik-baik saja. Negeri ini tengah dilanda bencana alam yang menuntut sensitifitas berskala nasional. 

Aku setuju dengan mbak Wiwin; bencana alam lebih patut mendapat atensi ketimbang provokasi hari muallaf.

Kami berdua sempat ngobrol guyon saat makan, apalagi aku memilihnya saat pemilu meski ia mungkin tidak menyadarinya.(*) 

No comments:

Post a Comment

Featured Post

Hari Mualaf atau Perayaan Natal?

Gimana kalau begini saja; mengubah ejekan atau provokasi menjadi lelucon, supaya hidup lebih ringan untuk hal yang lebih baik. Contohnya ada...