Pages

Monday, December 29, 2025

GKJW Tempursari dan 10 Gelang Umroh

Gelang batu, yang aku beli sepaket dengan perjalanan umroh, menandai apresiasiku terhadap toleransi di Tempursari Lumajang. 

Sebelum berangkat, aku sudah mempersiapkan kebutuhanku untuk 3 hari di Tempursari Lumajang. 

Aku masukkan sepaket gelang batu mungil oleh-oleh umroh ke dalam tas ransel, beserta beberapa potong baju dan perlengkapan perang lainnya. Aku belum tahu kepada siapa gelang tersebut akan aku berikan. 

Tempursari merupakan nama desa sekaligus kecamatan di ujung ujung barat daya/laut Lumajang. Jarak dengan Samudera Hindia hanya 5 menit saja. Benar-benar terpencil dalam arti yang sesungguhnya. 

Aku membutuhkan waktu sekitar 5,5 jam naik mobil dari Tempursari menuju Terminal Arjosari Malang. Belum lagi ditambah waktu tempuh Arjosari-Bungurasi Surabaya hingga Terminal Lama Jombang. 

Dengan jarak yang sedemikian jauh, aku berpikir perlu memberikan sesuatu yang bisa diingat komunitas Tempursari. Sesuatu yang bersifat personal. Apalagi aku sudah meyakini mereka pasti akan memberikan sesuatu yang bersifat personal juga.

Benarlah adanya; kuliner silih berganti dikirimkan ke rumah dinas (kapanditan) Pdt. Rinto, tempatku menginap selama di sana. Anak muda dan jemaat gereja silih berganti menyambangiku. Kami ngobrol bahkan hingga larut malam.

Mbah Ngadiyo, jemaat senior, mengundangku secara khusus makan ikan bakar di pinggir pantai, sekitar TPI Karangmenjangan. Pemilik warung jilbaban.

"Mereka masih saudara saya, gus," kata Mbah Ngadiyo sembari bercerita tentang abrasi yang terus menggerus bibir pantai.

Aku melihat sendiri bagaimana abrasi meluluhlantakkan pantai, akibat keserakahan penambangan pasir. Abrasi memaksa proyek jalur lintas selatan "terhenti" dan konon dialihkan merangsek ke dalam.

Sepanjang perjalanan pulang pergi dari pastori ke pantai, aku mengamati bangunan rumah ibadah. Otakku menghitung cukup banyak masjid dan mushalla. 

Selain papan nama yang berafiliasi dengan NU, menempel di beberapa gedung, aku memperhatikan beberapa papan nama dan umbul-umbul Muhammadiyyah dan organisasi perempuannya. 

Muhammadiyyah selama ini dikenal sebagai organisasi berbasis perkotaan. Keberadaannya di wilayah terpencil seperti Tempursari menunjukkan setidaknya dua fenomena; Tempurasi telah beranjak menjadi perkotaan, atau wilayah ini memang dianggap serius sebagai medan kristenisasi --sehingga membuat organisasi Muhammadiyyah perlu turun gunung.

Aku juga menjumpai sekilas musholla kecil tidak jauh dari gereja Tempursari. Jika tidak salah, namanya "Aiman" Nama ini terasa asing untuk ukuranku sebagai orang NU. Sangat jarang aku temui nama musholla seperti itu. 

Aku tersadar setelah meihat lebih dekat; simbol dan warna yang bukan-NU; saudara tuanya -- Muhammadiyyah. 

"Kamu sudah pernah sowan ke musholla tersebut, To?"
"Belum, gus. Tutupan terus,"
"Jangan pernah tidak mengundang pengurus tersebut saat ada acara gereja,"
"Pasti, gus, namun kayaknya jarang hadir," ujar Rinto.

Acara jagongan toleransi di GKJW Tempursari diselenggarakan malam hari, Rabu (20/8/2025), untuk merayakan hari ulang tahun gereja ini. 

Beberapa jam sebelum acara dimulai, aku mengontak Riduan, salah satu penggerak GUSDURian yang ternyata rumahnya satu kecamatan di Tempursari. Ia selama ini aktif dan dibesarkan dalam Jaringan GUSDURian Probolinggo saat mengambil S1 di Pesantren Paiton.

 Aku menawarinya transit dulu di pastori dan untuk bersama-sama datang ke lokasi. Jarak pastori dan lokasi hanya ratusan meter. Cukup berjalan kaki.

"Saya asli orang Tempursari, gus. Saat ini sedang berproses menjadi guru ASN di madrasah ibtidaiyyah dekat sini," ujarnya saat kami bertemu di pastori Pdt. Rinto. 

Dia mengenakan seragam dinas pengurus GP Ansor yang aku sendiri tidak punya. Alm. ayahku pernah memilikinya.

Kami bertiga terlibat dalam obrolan bernas, khususnya menyangkut analisis situasi toleransi di Tempursari. Dengan posisi Riduan sebagai Sekretaria GP Ansor Tempursari, aku merasa laju gerakan toleransi di sana akan semakin mantap.

"Gus, kamu nanti ikut ngasih sambutan sebentar ya," ujarku pada Riduan. 
"Mboten, gus, sudah ada ketuanya," ujarnya menolak halus. 

Namun aku bersikeras agar ia mau menyampaikan gagasannya. Upaya ini aku maksudkan agar relasi gereja dan GP Ansor semakin tampak di permukaan, di hadapan peserta seminar. 

Riduan akhirnya mau memberi sambutan, setelah moderator acara memintanya. Ia tidak punya lain nampaknya di hadapa seratus lebih peserta. 

Malam itu, aku merasakan forum cangkrukan tidak hanya berjalan dengan lancar, namun juga disertai berbagai keterbukaan. Semua wakil Forkopimcam hadir dipimpin langsung Sekcam tempursari, yang kebetulan pengurus Musholla Aiman yang aku sebut tadi. 

Para tokoh agama Islam, termasuk takmir masjid kecamatan juga hadir. begitu pula beberapa wakil badan otonom NU seperti Fatayat, Muslimat, GP Ansor dan IPNU/IPPNU. 

Setelah memberikan presentasi selama 40an menit, aku mempersilahkan para peserta mengajukan pendapat maupun pertanyaan, jika ada.

"Saya barusan pulang umroh, punya oleh-oleh gelang etnik. Saya kasihkan bagi penjenengan yang mau bertanya maupun berpendapat," ujarku memprovokasi forum. 

Rupanya provokasi ini cukup ampuh. AKu melihat beberapa orang mengacungkan tangan, kebanyakan orang Kristen.

"Buset, ini pendeta-pendeta kok pada angkat tangan pulal," batinku. 

Memang di forum tersebut ada beberapa pendeta, kebanyakan perempuan dari GKJW, yang dikomandani oleh kawanku, Pdt. Yuli. Ia datang jauh-jauh dari Pronojiwo, membelah hutan belantara.

Aku suka dengan keterbukaan mereka. Tidak sedikit orang kristen mengeluh betapa toleransi sangat menurun dalam beberapa tahun ini. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada orang Islam yang terasa semakin mengambil jarak dengan mereka. 

"Kami kerap bingung ini ada apa sih? Padahal biasanya baik-baik saja," kata salah satu penanya. 

Dalam forum tersebut aku tidak mendengar peserta Islam dari Tempursari yang menjawab secara clear keresahan tersebut. Mungkin mereka juga agak kebingungan bagaimana harus menjawabnya. Takut salah menjawab. 

Aku berupaya menjawab hal tersebut dengan segenap keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Entah mereka puas atau tudak atas jawabanku.

Aku sangat puas atas forum malam itu aku karena memang tak membebaninya secara muluk-muluk. Bagiku setiap upaya menyatakan perasaan, sungguhpun belum mendapat jawaban memuaskan, patut diapresiasi. 

Sebagai orang luar Tempursari, aku senang sekali melihat mereka bertemu; Islam-Kristen dalam acara yang spesifik terkait toleransi. Tidak setiap hari aku melihat banyak orang Islam Tempursari mau mengunjungi GKJW ini. 

Saat acara selesai, para tamu langsung dipersilahkan menikmati makan malam. Aku melihat cukup banyak ibu-ibu warga jemaat GKJW masih tetap duduk manis di bawah terop. 

Aku tahu mereka tengah berbaik hati mempersilahkan para tamu makan terlebih dahulu. Hanya saja, mereka nampak sekali terlihat canggung berinteraksi dengan orang Islam, padahal banyak dari mereka yang telah saling kenal. 

Bagiku, sekali lagi, kecanggungan ini agak menyiksaku. Aku harus berbuat sesuatu.

"Ibu-ibu, hayuk bangkit dong, ndak usah malu-malu. Anggap saja ini gereja njenengan," teriakku gemes pada ibu-ibu tadi. Sontak mereka tertawa dan mau bergerak. 

Peserta akhirnya lebih membaur, saling melayani, saling berinteraksi dan bercakap-cakap. Bagiku pemandangan indah ini menusuki otakku untuk berpikir lebih mendalam.

Aku kemudian membagikan 10 gelang pada peserta yang mengangkat tangan. Mereka senang sekali, terutama para pendeta. Ada yang juga meminta secara khusus padaku meski tidak mengangkat tangan. 

Karena masih mengantongi beberapa gelang, aku selanjutnya mendekati takmir masjid yang ikut dalam acara. Aku berjongkok di hadapannya, dan menghaturkan gelang padanya dengan dua tanganu. 

"Kiai, sudilah menerima tanda persahabatan saking kulo," ujarku.

Cara yang sama juga aku lakukan pada mas Sekcam, sembari berkata lirih, "Mas, nitip dulur-dulur GKJW nggih," Dia tersenyum sembari mengangguk.

Kira-kira 3 minggu setelah aku meninggalkan Tempursari, Pdt. Rinto mengirimkan foto padaku; isinya ia sedang duduk di lantai kayu berhadapan dengan seorang kiai. Ia memberi caption seperti ini, "Update info, akhirnya aku dapat sowan ke ponpes yang ada di Tempursari, setelah dihubungkan oleh Pak Jatmiko (Pak Wo) heheh,"

Aku senang sekali mendengar update dari Rinto. Nampak sekali ia melakukan apa yang aku minta sebelum pulang; jangan lelah melakukan kunjungan tipis-tipis ke masjid dan pesantren di Tempursari.

"Dan lucunya, gus, beberapa hari setelah kegiatan kita, aku disambangi oleh salah satu tokoh NU. Beliau Kesra di Pronojiwo. Beliau agak marah-marah karena kami nggak ngundang beliau hadir. Biasanya beliau diundang. Tapi karena aku baru ada di Tempursari alhasil tidak terpikirkan olehku. Alhasil, aku mohon ampu atas ketidaktahuanku ini wkwkwkwkw"

Aku semakin senang atas update ini. Semoga gelang-gelangku membawa keberkahan di sana. Aku berdoa.(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

GKJW Tempursari dan 10 Gelang Umroh

Gelang batu, yang aku beli sepaket dengan perjalanan umroh, menandai apresiasiku terhadap toleransi di Tempursari Lumajang.  Sebelum berangk...