JAWA DI ANTARA GUEST HOUSE DAN KURUSETRA ISLAM-KRISTEN

**ditulis untuk merayakan HUT ke-92 GKJ Bhayangkara Purwokerto

Jika ke Purwokerto, hanya ada dua tempat yang biasa aku jadikan jujugan menginap; kantor GUSDURian Banyumas dekat alun-alun dan guest house Gereja Kristen Jawa (GKJ) Bhayangkara Purwokerto, belakang Polres. Tidak jarang aku jalan kaki dari GKJ dan kantor GUSDURian. Lumayan jauh. Sekitar 2 kilometeran.

Dari sekitar 340an gereja milik GKJ sangat mungkin guest house GKJ Purwokerto yang paling sering aku tiduri. Guest house GKJ biasanya diperuntukkan bagi para pendeta yang "tukar mimbar," -- istilah bagi pendeta yang melayani diluar jemaatnya.

Meski aku bukan pendeta, GKJ Purwokero berbaik hati menampungku di sana. Mungkin mereka menerapkan prinsip; fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh teman-temannya. Tak peduli apapun agamanya -- mirip seperti yang ada dalam konstitusi.

Tidak hanya memberiku tempat tidur, mereka juga berbaik hati memberiku makan dan minum selama di sana. Namun tang paling penting justru, aku berkesempatan belajar kekristenan model GKJ Purwokerto.

Pada setiap kesempatan mengunjungi komunitas non-Islam, aku memposisikan diriku seperti mahasiswa jurusan studi agama-agama. Setiap tempat adalah medan pembelajaran memahami liyan. Pembelajaran ini tidak bertujuan apapun selain untuk bisa mengenali agar tidak salah paham.

Pada banyak kesempatan, selama di sana, aku sering ikut nimbrung saat ada pertemuan formal maupun informal. Aku pernah menyaksikan para adiyuswa (sebutan jemaat lansia) senam zumba di halaman gereja. Kebetulan salah satu pendetanya, Maria Puspitasari, cukup lihai dalam aspek ini.

Beberapa kali juga aku ikut sit-in bersama jemaat, baik sewaktu ibadah maupun pendalaman Alkitab. Jika ada yang tidak aku pahami --, misalnya, terkait liturgi maupun penggunaan bahasa Jawa level tinggi, aku biasanya bertanya pada Pdt. Maria dan mas Yohannes Triwidiantono. Untuk urusan bahasa aku lebih sering ke nomor dua ketimbang nomor satu. Menurutku, nomor satu "tidak terlalu Jawa" meski sangat Jawa. Bahasa jawanya kurang medok.

Jawa dan Kekristenan di Indonesia adalah hal yang unik. Agama ini hadir saat islam berusaha mati-matian menguasai pangsa pasar agama di kalangan suku Jawa. Kekristenan Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari nama, salah satunya, seperti Radin Abas --sebelum berubah menjadi Kiai Sadrach-- senyatanya telah berhasil mengambil hati banyak orang Jawa pascaperang Jawa. Kekristenan ini seperti menawarkan model keselamatan alternatif selain Islam.

Sadrach, begitu pula Tunggul Wulung dan Coolen, adalah faksi Kristen yang memilih mempertahankan identitas kejawaannya, ketimbang model kekristenan londo yang juga banyak pengikutnya. Mereka, terutama Sadrach, menggunakan berbagai simbol kejawaan untuk menjelaskan teologi kristen trinitarian. Sangat mirip dengan strategi sinkretisme-mistis yang digunakan Islam kala "menaklukkan," Jawa. Mungkin itu sebabnya ia mendapat banyak pengikut di kalangan Jawa.

Saat kekristenan Jawa di bawah Sadrach berkembang, tidak sedikit orang Islam yang marah. Hampir semua gereja yang dibangun pengikut Sadrach dibakar, antara 1882-1884.

Sadrach memang fenomenal. Ricklefs mencatat lelaki yang pernah belajar di Pesantren Jombang (Tebuireng?) ini sebagai tokoh lokal paling berpengaruh dalam kekristenan di Jawa Tengah.

Hingga 1900, terdapat sekitar 20.000 orang Kristen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah ini kira-kira 0,1 persen saja dari populasi di Jawa. Angka ini tentu saja sangat kecil dibanding dengan jumlah orang Jawa yang berislam.

Namun pada 1967-1970, jumlah orang Indonesia yang berpindah Kristen meningkat tajam. Sekitar hampir 1 juta orang. Gereja-gereja di Jawa mendapat pengikut baru yang tidak sedikit. Ukur dan Cooley memperkirakan GKI Jawa Timur mendapat 17 persen, GKJTU 15,5 persen, GITJ 12,2 persen, GKJ dan GKJW masing-masing 9 persen.

Banyak elit Islam saat itu, bahkan hingga kini begitu terluka melihat peristiwa ini. Kemarahan mereka semakin mendidih terhadap kekristenan. Mereka menganggap kekristenan tengah "mencuri," orang-orang Islam. Diksi kristenisasi di Indonesia jika mau dilacak, menurutku, berakar dari peristiwa ini.

Peristiwa ini, bagi banyak orang Jawa-Islam, terasa seperti goresan pada luka yang pernah ditorehkan Sadrach. Aku sendiri pernah dikondisikan untuk merasakan luka tersebut, luka yang dikreasi agar banyak orang Islam, khususnya Jawa, marah pada Kekristenan.

Jika kini aku merasa tengah berproses agar bisa sembuh dari luka sejarah tersebut namun mungkin tidak bagi banyak muslim-Jawa lainnya. Mereka sepertinya masih memilih merawatnya dengan cara pandang klasik. Aku bisa merasakan itu, termasuk saat tidur di guest house yang hanya berjarak kurang dari 5 cm dari masjid yang dibangun secara unik.

Keunikan ini menyeret rasa penasaranku untuk menelisik dan menuliskannya, sekitar 2-3 halaman. Namun pada akhirnya aku memilih untuk tidak mempublikasikannya atas saran beberapa orang. Aku respek pada mereka meski sempat agak kecewa dengan mereka.

Saran mereka semakin membuatku percaya dan bersyukur Jawa akhirnya tidak lagi dimonopoli total oleh Islam. Monopoli, dalam hal apapun --termasuk agama, tidaklah sehat bagi jiwa dan tubuh bangsa. Kita butuh keragaman. Keragaman membuat kita memiliki banyak opsi dan kita merdeka memilih opsi tersebut seraya harus tetap menghormati pilihan lain.

Selamat ulang tahun ke-92 GKJ Bhayangkara Purwokerto. Majulah kekristenan Jawa untuk merawat kebinnekaan Indonesia. Biarlah guest house tetap terbuka untuk orang-orang sepertiku.


Ttd

Aan Anshori
Jawa-Islam-Nahdlyyin-GUSDURian

1 comment:

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler