AKIK YANG KYUT; HAUL GUS DUR, HAIL GUS DUR

Aku diberi akik sangat indah oleh seseorang ketika Haul Gus Dur. Inikah pertanda dari langit?

***

Sudah cukup lama aku tidak sambang ke kawan-kawan GDian Nganjuk. Aku lupa kapan terakhir kali ke sana. Jika mau dirunut-runut, aku terbilang ikut membidani proses kelahiran GDian Nganjuk. 

Saat itu, jika ingatan ini masih stabil, proses kelahirannya mengambil tempat di IAIN Kediri. Aku diundang menjadi salah satu narasumber bersama kawanku Gus Taufik al-Amin, sekitar pertengahan Desember 2019. 

Beberapa penggagasnya, antara lain, Pdt. Frans Tamunu, Gus Arif, Maulana Sutikno, Pdt. Demsi, kawan-kawan Penghayat, serta banyak elemen lainnya. Saat itu Yuska, sebagai perwakilan presidium GDian Jawa Timur, juga hadir mengukuhkan. Aku masih ingat ikut menumpang mobilnya ke Surabaya. 


Empat tahun berlalu. 

Aku memacu motorku menembus rintikan hujan malam menuju Nganjuk, Minggu, 21/1. Aku diundang mereka mengisi diskusi dalam rangka Haul Gus Dur 14, topiknya 'Meneladani Budaya, Etika dan Demokrasi Gus Dur," 


Lokasi acaranya di markas Jemaat Ahmadiyyah Indonesia Nganjuk yang terletak di kecamatan Baron. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari Jombang.

"Gus, nanti kita ketemu di Alfamart ya. Lalu kita ke lokasi bareng-bareng," kata Pdt. Demsi melalui WA. Ia tergolong sangat aktif berkiprah di GDian Nganjuk meski, terus terang, tidak mudah baginya. 

Kami berdua tiba di lokasi. Ternyata tidak terlalu jauh dari Alfamart. 

Aku melihat puluhan orang sudah menunggu. Separuhnya lebih adalah warga JAI. 

Satu per satu aku salami. Tak terkecuali Maulana Nasir, penanggung jawab JAI Nganjuk, pindahan dari Sintang karena konflik beberapa tahun lalu. 


Tak kusangka aku bertemu dengan Pdt. Bobby, GPIB Tarokan Kediri. Aku kaget tak menyangka akan bertemu malam itu. Selain mereka aku juga bertemu Gilang, mas Agus, mas Kaka, Gus Zaenal, dan banyak lagi kawan. 

"Gus, sebaiknya kita makan dulu sebelum makan," usul mas Agus, dari Klenteng Nganjuk. 
"Setuju, mas. Tapi kita berdoa dulu ya. Aku usul Pdt. Bobby yang memimpin, jika diijinkan Maulana Nasir," kataku sembari memandang Maulana Nasir. Ia terlihat mengangkat jempol. 

Bobby yang duduk di sampingku terlihat agak gupuh. Mungkin tak menyangka akan ditodong seperti itu.

Diskusi berjalan sangat gayeng, menurutku. Aku memaparkan bagaimana mudahnya memahami moral, model berislam dan berdemokrasi a la Gus Dur. 

"Kunci utama memahami Gus Dur adalah memahami bagaimana ia memahami relasinya dengan keesaan Tuhan. Setelah paham, akan sangat mudah mengerti kenapa Gus Dur seperti itu," ujarku meyakinkan mereka. 

Aku lalu memapar empat tahapan orang memaknai keesaan (tauhid/monoteisme) Tuhan. Setiap tahapan, aku jelaskan segamblang mungkin beserta implikasinya terhadap orang lain. Ya, setiap pilihan kita bertauhid akan memiliki konsekuensi serius terhadap orang yang berbeda memahami Tuhan. 

"Misalnya, kalau kita memaknai esa adalah satu secara letterlijk dan ketat maka kita yang Islam akan kesulitan mengakui kekristenan juga monoteistik. Kita biasanya terjerembab mengira Kristen bertuhan tiga," kataku sembari melirik Pdt. Demsi dan Pdt. Bobby. 

Aku menawarkan tahapan ketiga dan keempat sebagai pilihan kita, yakni tahapan misteri-terbuka dan sate. 

Misteri terbuka adalah keyakinan bahwa eksistensi tuhan bersifat misterius. Ia ada dan memiliki eksistensinya sendiri. Siapapun tidak tahu diriNya secara pasti. Namun demikian, Tuhan memperkenankan diriNya ditafsirkan manusia. Tidak ada tafsir yang benar dan salah karena untuk hal tersebut kita perlu pembanding yang hanya Tuhan saja yang tahu. 

Sedangkan keesaan sate adalah keyakinan bahwa Tuhan itu senantiasa mengiringi ciptaannNya. CiptaanNya adalah "Dia" --imago dei. Siapapun yang berbuat jahat atau baik pada ciptaanNya dianggap juga melakukan hal serupa pada Tuhan. Tuhan dan ciptaanNya seperti daging dan tusuk dalam makanan bernama sate. Daging tanpa tusuk tidak dapat dinamakan sate, pun sebaliknya. Daging dan tusuk adalah esa, bernama sate.

"Aku rasa Gus Dur di level sate. Kira-kira mudeng nggak ya dengan penjelasanku ini?" tanyaku ke hadirin
"Mudeng!" 

Aku mempersilahkan mereka merefleksikan empat tahapan keesaan ini dalam dirinya dan dapat mengambil tahapan terbaik sesuai kapasitasnya.

Presentasiku selanjutnya dipertajam oleh pemaparan Gus Zaenal, Mas Agus, Mas Kaka serta Maulana Nasir. 

Sebagai mubaligh Ahmadiyyah, Mln. Nasir menceritakan kisahnya saat menghadapi penyerangan JAI di Sintang. Saat itu ia diBAP penyidik terkait peristiwa tersebut. 

"Yang tidak saya sangka, ternyata penyidiknya ngaku Gusdurian. Kami akhirnya akrab karena merasa dipersatukan," ujarnya mengenang peristiwa itu.

Setelah diskusi selesai, sebelum berdoa yang dipimpin Maulana Nasir, acara dilanjutkan dengan pengukuhan pengurus baru GDian Nganjuk SCD. Forum internal mereka rapat secara cepat. Aku hanya menyaksikan saja. Tidak ikut berbicara.

Mereka aklamasi memilih Gilang sebagai kordinator baru. Wakilnya adalah Pdt. Demsi. Sedangkan Yusril didapuk menjadi sekretaris. 

Gus Zaenal dan Pdt. Bobby diminta memberi sedikit petuah-petuah. Setelah itu giliran ketiganya berbicara. 

Doa penutup dilarungkan oleh Maulana Nasir. Diamini semuanya yang hadir. Setelah itu semuanya menyalami pengurus baru dan berfoto bersama. 

"Aku pamit dulu ya, rek. Wis bengi," ujarku kepada mereka. 
"Gus, sebentar, tolong ini diterima. Sepertinya cocok untuk Gus Aan," kata Maulana Nasir.

Wow akik yang kyut!(*)

No comments:

Post a Comment

Featured Post

MENULIS SEPERTI BERAK!

Aku lupa siapa yang mempopulerkan jargon di atas. Jika tidak salah, itu omongan Abdullah Idrus, salah satu penulis idola Pramoedya Ananta T...

Iklan

Tulisan Terpopuler