Mewahidkan Nusron

Aksi berani Nusron Wahid menghadapi wakil MUI dan beberapa narasumber dalam kisruh 'penistaan agama' oleh Ahok di ILC menuai banyak simpati dan kecaman. Dengan stylenya yang meledak-ledak, Ketua PBNU ini mengingatkan para pihak agar tidak sembarangan memaksakan tafsir atas al-Quran
. Menurutnya, hanya Allohlah yang punya otoritas final atas kebenaran ayat-ayatNya, bukan MUI.
Selama ini, kiprah Nusron dalam membela kelompok minoritas bisa dikatakan belum ada yang melampaui. Saya masih ingat gerakannya dalam kasus Yasmin maupun Cikeusik. Atas sikapnya ini, khususnya saat Ahok dihajar dengan isu SARA, berhamburan meme dan broadcast di social media dan private chat service yang isinya mengkritik Nusron, dari aspek materi hingga pribadi mantan Ketua umum GP Ansor ini.
Oleh banyak orang, Nusron dituduh kerap mengkapitalisasi nama 'Wahid'. Bagi kalangan muslim-sunni-nahdliyyi, apalagi yang berlatar belakang pesantren, WAHID adalah semacam jaminan mutu yang kerap dinisbatkan ke kiai Wahid Hasyim, putra hadratusy syaikh Hasyim Asy'ari salah satu pendiri NU asal pesantren Tebuireng.
Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, Lily Wahid, Umar Wahid, Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid, Inayah Wahid, Ipang Wahid adalah sekian banyak individu yang menyandang gelar 'wahid' karena aspek biologis.
Begitu kuatnya pengaruh klan Wahid di komunitas Islam Indonesia, membuat saya kerap mencandai peserta kelas pemikiran Gus Dur di beberapa daerah. 'Kalau nama belakang kalian tidak ada WAHID-nya, kalian harus  menghasilkan karya tulis agar bisa dikenang", begitulah saya meminjam pesan Imam Ghazali.
Wahid: Biologis vs Ideologis
Bisakah seseorang menyandang status Wahid (via Gus Dur) meski ybs bukan keturunannya? Kita tentu bisa bersilang pendapat, namun istilah 'anak' tidak selalu dimaknai sebagai keturunan biologis. Kita tentu sangat sering mendengar istilah 'anak tuhan', 'anak sekolah', 'anak jalanan'. Kesemuanya itu tidak merujuk pada relasi genetis. Adalah hal yang mustahil jika tuhan, sekolah dan jalanan bisa melahirkan atau mengadopsi anak, setidaknya untuk saat ini. Bagi saya menjadi anak ideologis Wahid (via Gus Dur) merupakan keniscayaan.
Sepanjang keterlibatan saya di Jaringan GUSDURian dan berinteraksi dengan istri dan putri-putri GD, saya mengumpulkan serpihan informasi menyangkut kehendak GD atas sosok ideal dari -katakanlah- para anak (ideologis)nya.
Kita tahu Gus Dur adalah marja' bagi tidak sedikit orang. Merupakan hal lumrah bagi mereka untuk merasa seperti dia. Ada yang cukup memakai kaos bergambar GD, mengiriminya alfatihah tiap hari, atau dengan cara menziarahi makamnya di Tebuireng.
Bahkan, saya pernah menjumpai sekumpulan orang keturunan Tionghoa yang menyanyikan Indonesia Raya dekat pusara GD, di saat ratusan peziarah lain khusyuk mengaji. Pendek kata, setiap orang, sekali lagi, punya cara masing-masing untuk jadi anak-anaknya.
Saya pernah mendengar bahwa GD selalu mendorong siapapun, termasuk anak-anaknya, untuk menjadi sosok yang orisinal alias menjadi diri mereka sendiri.
Orisinalitas tersebut menurut saya merupakan konsep yang menarik karena mengandung dua hal. Pertama, setiap orang punya sesuatu yang bersifat unik -sesuatu yang tidak mungkin ditiru karena kemusykilannya, biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat given, misalnya ciri fisik maupun hal-hal sejenis. Anda tidak perlu memaksakan diri sebagai hetero -hanya karena GD seorang hetero- untuk meneladaninya. Atau, ngotot punya 4 orang anak perempuan seperti halnya Gus Dur.
Kedua, orisinilitas justru perlu dipahami sebagai kesungguhan meneladani sesuatu yang memang memungkinkan. Menurut Alissa Wahid dalam Bapakku Bukan Perekayasa Konflik, para anak ideologis Gus Dur bisa diukur melalui kesungguhannya meneladani dua hal; karakter dan nilai-nilai dasar Gus Dur.
"Kalau memang mengaku sebagai penerus Gus Dur, jalani saja apa yang selama ini diteladankan Gus Dur: integritas terhadap nilai-nilai dasar Gus Dur, demi umat. Tunjukkan bahwa mereka berjuang berlandaskan prinsip ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, persaudaraan. Tunjukkan bahwa mereka punya karakter sederhana, sikap ksatria, dan bertumpu pada kearifan tradisi. Tunjukkan saja bahwa mereka memang tidak terlibat korupsi, bertindak demi rakyat. Tunjukkan saja pembelaan kepada semua kaum minoritas yang akhir-akhir ini makin muram nasibnya di Indonesia. Itu cukup untuk mengambil hati rakyat," ujarnya dalam tulisan yang diunggah 26 Februari 2013 lalu.
Nusron yang Wahid
Entah apakah Nusron Wahid termasuk dalam kategori di atas. Namun pembelaannya terhadap kesetaraan hak politik seorang Kristen-Tionghoa menjelang pilkada Jakarta patut kita apresiasi, pada saat yang lain memilih bergerombol di barisan silent majority.
Mungkin saya berlebihan, namun lantangnya Nusron membela hak politik Ahok mengingatkan saya akan kiprah Gus Dur dalam Kasus Tabloid Monitor pada 1990 silam. Pembelaan cucu hadratusy syaikh ini terus berlanjut pada sengkarut perkawinan Konghucu Lany Guito dan Budi Wijaya tahun 1996, goyang ngebor Inul, hingga tindakan 'bunuh diri' membela Korban 65 --tanpa mempedulikan persepsi publik atas dirinya.
Ke-wahid-an Nusron jelas tidak bersangkutan secara genetis dengan keluarga Gus Wahid Hasyim. Untuk hal ini, baik Nusron, Alissa Wahid, bahkan Gus Salahuddin Wahid telah mengklarifikasinya.Namun jika boleh jujur, dalam kasus ini, saya agak kesulitan untuk tidak memasukkan Nusron sebagai anak ideologis Wahid melalui jalur Gus Dur.
Wallohu A'lam.

No comments:

Post a Comment

Featured Post

EMPAT TIPE IDEAL PERKAWINAN BEDA AGAMA (PBA); KAMU ADA DI MANA?

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2023 semakin menyulitkan mereka yang ingin PBA tanpa mengubah kolom agama di KTP. SEMA a quo secara ...

Iklan

Tulisan Terpopuler