PERTAMA KALI SEJAK GEREJA INI BERDIRI


Meski seringkali posting terkait gereja dan kekristenan selama Ramadlan namun baru tadi sore aku buka bersama di gereja. Acara ini murni inisiatif mereka. Inisiatif tersebut tidak pernah aku duga sebelumnya.


Sekitar seminggu lalu, telponku berdering. Panggilan dari seseorang yang telah lama aku tahu meski tidak kenal secara akrab. Namanya Mastuki Pandi. 

Aku tahu dia karena kami sama-sama di sebuah grup WA para aktifis dan jurnalis Jombang. Mastuki juga anggota komite sekolah di institusi tempat pasanganku pernah mengajar. 

Yang terbaru, aku dengar ini menjadi salah satu caleg dari partai oranye --partai yang aku tahu tidak terlalu dekat dengan isu pluralisme dan kebhinekaan. 

"Halo, mas. Ini aku, Mastuki. Sampeyan ngerti gereja GKA Zion di Tunggorono? Ini aku sedang bersama pendeta dan pengurusnya," ujarnya di ujung telpon.

Hatiku langsung tidak enak. Pikiranku sudah berpikir liar, "Duh, pasti ada masalah ini," 

Entah kenapa, aku selalu merasa bertanggung jawab jika ada kejadian persekusi terhadap rumah ibadah, khususnya di Jombang. Sangat mungkin hal itu disulut oleh obsesi personal melihat Jombang sebagai barometer toleransi; di mana setiap orang merdeka beribadah dan berkeyakinan. 

Sejak kemelut HKBP di Jombang beberapa tahun lalu, aku memang sudah tidak pernah mendengar lagi persekusi gereja di Jombang. Kemelut tersebut sempat membuat Jombang lumayan menghangat. 

Aku terus berpikir, ada urusan apa Mastuki bertemu dengan para elit GKA Zion Tunggorono. Jangan-jangan ia sedang menekan gereja ini agar tidak boleh beribadah. 

"Iya, aku kenal mereka. Onok opo yo, mas?" aku mencoba tetap tenang.

"Gini, mas. Aku kan ketua RT. Gereja mereka masuk di RTku," tambahnya.

Aku makin deg-degan. Dalam modus operandi persekusi rumah ibadah, seringkali RT dan RW menjadi garda terdepat kelompok mayoritas mendaratkan nafsu arogansinya. 

Yang aku tahu, mayoritas penghuni perumahan Tunggorono adalah orang Islam. "Wah cilaka! Bakal ramai lagi di media nih," batinku.

"Piye, mas? Ada masalah apa?" tanyaku memburu.

"Ini lho, kami sedang menggagas buka bersama di halaman gereja. Aku langsung teringat njenengan kalau urusan lintas agama,"

Ploonggg....

Tanpa berpikir lama, aku langsung menghamburkan apresiasi dan janji manis untuk datang dalam acara tersebut, padahal aku belum memeriksa jadwalku terlebih dahulu.


"Apa Pdt. Made ada di situ, mas?" tanyaku. Pdt. Made adalah gembala utama di GKA Zion Jombang. Aku cukup akrab dengannya.

"Nggak mas, ini ada Pendeta Suyanto dana beberapa pengurus," tambahnya.

"Tolong berikan telponnya ke dia. Aku ingin berbicara dengannya," jawabku. 

Otak dan pikiranku terus berputar mencari tahu apakah aku masih mengingat Pdt. Suyanto. Sayangnya, aku gagal menemukan wajahnya dalam memoriku. Meski demikian aku sangat percaya diri dia pasti mengenalku.

"Halo, gus..." ujarnya di ujung telepon.

Aku selanjutnya berbicara panjang lebar. Isinya, apresiasi besar atas inisiatifnya mengadakan buka bersama di depan gereja untuk warga sekitar. Menurutku, tidak semua geraja berani mengambil inisiatif tersebut. 

Sore tadi, Selasa (2/4), aku memacu motorku ditengah mendung pekat yang menyelimuti kota Jombang, mengarahkanya ke Perumahan Pondok Indah di Tunggorono. 

Aku telah ditunggu oleh Pak Sholeh, kawanku -- guru Injil GKJW Jombang. Ia memang aku ajak ikut acara karena rumahnya dekat dengan gereja tersebut. Sebelum ke lokasi, aku terlebih dahulu mampir ke rumahnya. 

Aku mengenal Pak Sholeh sudah sangat lama. Kami sama-sama aktif dalam gerakan lintas iman di Jombang. 

Sekitar pukul 17.00 kami mendatangi lokasi buka bersama. Ada terop lumayan besar di depan gereja. Gereja ini meski berstatus Pos PI namun bangunannya cukup megah. Mungkin lebih megah ketimbang gereja induk di Jl. Pahlawan.

Kursi telah ditata rapi, menghadap ke baliho depan. Kami berdua disambut dengan akrab oleh beberapa majelis termasuk Ev. Suyanto. 

Jam 17.05 belum ada warga yang hadir. Tak seberapa lama, Pak RT Mastuki datang. Ia mengenakan jaket Banser. Aku menyalami dan memeluknya. 

Lirih aku sampaikan rasa terima kasihku. Ini adalah buka bersama pertama kali yang dihelat sejak gereja ini berdiri lebih dari 25 tahun. 

Acara dimulai sekitar 17.15. Semua kursi terisi penuh. Sebagian besar perempuannya berjilbab. 

Setelah dua sambutan disampaikan Rev. Suyanto dan Cak Mastuki, pembawa acara mempersilahkanku maju, menyampaikan gagasan seputar acara ini. 

Aku maju saja meski tanpa punya konsep yang jelas. Pelan-pelan aku ceritakan pada forum kronologi acara dan apresiasiku pada acara ini.

Sebelumnya aku mengutip ayat tentang janji Gusti terhadap mereka yang mau bersyukur atas nikmat yang telah diberikannya. 

"Dalam al-Quran, Gusti pernah berjanji akan terus mengucurkan anugerah bagi siapa saja mau bersyukur. Jamuan buka bersama ini adalah ucapan rasa syukur. Gusti Alloh akan menambahkan rejekinya pada gereja ini," ucapku.

Selanjutnya aku mengupas ketersambungan perintah puasa dalam Islam dengan agama-agama sebelumnya. Artinya, orang Islam tidak bisa lagi merasa puasa adalah monopolinya. Dalam Kristen dan agama lain juga ada perintah puasa. 

"Dalam al-Quran, Tuhan meminta kita puasa agar menjadi pribadi yang bertaqwa. Taqwa bermakna; menjadi anugerah bagi sekelilingnya. Istilah al-Qurannya, rahmatan lil alamin. Kalau bahasa al-Kitabnya, menjadi terang, menjadi garam," tambahku. 


Aku menyampaikan gagasanku segayeng mungkin. Beberapa kali hadirin tertawa-tawa karena joke-joke yang aku berikan. Saking gayengnya, aku tak mampu menutup pidatoku dengan baik karena adzan tiba-tiba menyeruak. 

"Saya berharap buka bersama ini terus ditradisikan tiap tahun. Setuju nopo mboten?"

"Setujuuu uuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu," respon semua peserta.

Sebelum pulang aku sempat berbincang dengan majelis gereja dan Pak RT, meminta mereka untuk terus menjadikan perumahan ini sebagai teladan dalam interaksi antaragama. Bagiku, orang Islam akan sangat sulit toleran tanpa bantuan orang Kristen dan penganut agama lain.(*)

ANJANI DI ANTARA PELANGI


Perjalanan buka dan sahur keliling Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (SNAW) senantiasa menjadi magnet bagi kelompok marginal, tak terkecuali mereka yang memiliki identitas gender dan seksual non-mainstream -- biasa dikenal sebagai kelompok pelangi. Anjani adalah call sign SNAW di lingkungan Paspampres yang rutin mengawalnya.


***


"Halo mbak, dari pengajian waria al-Ikhlas Surabaya ya? Monggo mlebet," sapaku kepada rombongan yang baru datang. Tampilan mereka beragam. Ada yang menggunakan jubah maskulin. Beberapa mengenakan busana muslimah mirip sosialita. Jumlah mereka sekitar 8-9 orang. 


Mereka diundang menghadiri acara buka bersama SNAW di Griya Rahmatan lil Alamin Prapen Pandaan, Jumat (29/3). Kehadiran mereka tampak cukup mencolok, membuat undangan lain, mau tidak mau, memperhatikan mereka. 


"Mas Aan!" 


Aku mendengar teriakan agak kenes. Rupanya dari Mbak Sofa Latjuba, salah satu pentolan pengajian yang hadir agak telat. Sampai saat ini aku tak ingat siapa nama aslinya. Sofa Latjuba adalah nama panggung dari aktifis transpuan senior berdarah Madura yang juga merupakan elit dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).



Aku langsung menghampirinya, menyalami dan tak lupa cipika-cipiki. Buru-buru aku mempersilahkan masuk lokasi acara sebab SNAW sudah tiba di lokasi.


Saat sesi dialog, Sofa tampil mengajukan pertanyaan ke SNAW. Dengan gaya kenesnya, ia menceritakan ada dua pengajian yang ada di lingkungan waria Surabaya; satu pengajian Islam dan satunya untuk Kristen, namanya PHDI jika tidak salah. 


"Acara malam ini memang merepresentasikan Indonesia. Hampir semua komponen masyarakat hadir di sini," kata SNAW dalam ceramahnya. 


Selain komunitas pengajian waria al-Ikhlas, acara yang dihadiri lebih dari 500 orang itu juga dihadiri oleh komunitas Narasi Toleransi, dipimpin oleh Mikha, aktifis transpuan yang sudah malang melintang di kawasan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. 


Ia hadir bersama sekitar 8 orang anggota komunitasnya. Ada gay, transman, lesbian dan waria. Mereka datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya.


Saat acara berlangsung, Narasi Toleransi ikut menyumbang musikalisasi puisi. Saking semangatnya mereka membawa sendiri satu gamelan untuk mengiringinya.  Seluruh rangkaian acara dapat dinikmati melalui channel Youtube NU Pasuruan. https://www.youtube.com/live/CTJ_pZnJ5JM?feature=shared


Al-Ikhlas dan Narasi Toleransi tidaklah sendiri. Masih ada satu komunitas pelangi lain; Peduli Napas -- didirikan oleh, salah satunya, Gus Fikri, seorang transman asal Mojokerto.


Setelah acara, aku sempat ngobrol bersama Narasi Toleransi dan Peduli Napas. Obrolan juga diikuti oleh beberapa panitia dari Gusdurian Pasuruan serta Ketua Griya Rahmatan lil 'alamin, Fatur.


Obrolan tentu saja masih seputar gender, seksualitas dan agama. Topik ini terasa seperti anggur (wine), semakin tua semakin enak dinikmati.


"Gus, ada salah satu anak yang menyangka sampeyan itu waria lho," ujar salah satu orang. Tentu saja aku tertawa kecil sembari menambahkan hal itu bukanlah yang pertama. 


"Terlalu sering aku disangka demikian. Aku juga pernah dituduh Tionghoa, Batak, dan Kristen karena sering bergaul dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi padaku. Terima kasih," ujarku


Sebagaimana ditegaskan Sofa Latjuba, Gus Dur dan Keluarga Ciganjur dikenal sebagai pembela militan kelompok minoritas gender dan seksual, khususnya waria. Ia berharap komitmen tersebut tetap dipegang selama-lamanya. 


Terima kasih, Anjani!(*)


** Beberapa foto aku ambil dari wall mbak Laura Perez Maholtra



https://www.facebook.com/share/p/Sf9D5bffqT1Nfi6v/?mibextid=oFDknk


 

ANJANI DI ANTARA PELANGI


Perjalanan buka dan sahur keliling Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid (SNAW) senantiasa menjadi magnet bagi kelompok marginal, tak terkecuali mereka yang memiliki identitas gender dan seksual non-mainstream -- biasa dikenal sebagai kelompok pelangi. Anjani adalah call sign SNAW di lingkungan Paspampres yang rutin mengawalnya.


***


"Halo mbak, dari pengajian waria al-Ikhlas Surabaya ya? Monggo mlebet," sapaku kepada rombongan yang baru datang. Tampilan mereka beragam. Ada yang menggunakan jubah maskulin. Beberapa mengenakan busana muslimah mirip sosialita. Jumlah mereka sekitar 8-9 orang. 


Mereka diundang menghadiri acara buka bersama SNAW di Griya Rahmatan lil Alamin Prapen Pandaan, Jumat (29/3). Kehadiran mereka tampak cukup mencolok, membuat undangan lain, mau tidak mau, memperhatikan mereka. 


"Mas Aan!" 


Aku mendengar teriakan agak kenes. Rupanya dari Mbak Sofa Latjuba, salah satu pentolan pengajian yang hadir agak telat. Sampai saat ini aku tak ingat siapa nama aslinya. Sofa Latjuba adalah nama panggung dari aktifis transpuan senior berdarah Madura yang juga merupakan elit dari Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos).



Aku langsung menghampirinya, menyalami dan tak lupa cipika-cipiki. Buru-buru aku mempersilahkan masuk lokasi acara sebab SNAW sudah tiba di lokasi.


Saat sesi dialog, Sofa tampil mengajukan pertanyaan ke SNAW. Dengan gaya kenesnya, ia menceritakan ada dua pengajian yang ada di lingkungan waria Surabaya; satu pengajian Islam dan satunya untuk Kristen, namanya PHDI jika tidak salah. 


"Acara malam ini memang merepresentasikan Indonesia. Hampir semua komponen masyarakat hadir di sini," kata SNAW dalam ceramahnya. 


Selain komunitas pengajian waria al-Ikhlas, acara yang dihadiri lebih dari 500 orang itu juga dihadiri oleh komunitas Narasi Toleransi, dipimpin oleh Mikha, aktifis transpuan yang sudah malang melintang di kawasan Kediri, Tulungagung dan Trenggalek. 


Ia hadir bersama sekitar 8 orang anggota komunitasnya. Ada gay, transman, lesbian dan waria. Mereka datang dari Kediri, Blitar, Malang dan Surabaya.


Saat acara berlangsung, Narasi Toleransi ikut menyumbang musikalisasi puisi. Saking semangatnya mereka membawa sendiri satu gamelan untuk mengiringinya.  Seluruh rangkaian acara dapat dinikmati melalui channel Youtube NU Pasuruan. https://www.youtube.com/live/CTJ_pZnJ5JM?feature=shared


Al-Ikhlas dan Narasi Toleransi tidaklah sendiri. Masih ada satu komunitas pelangi lain; Peduli Napas -- didirikan oleh, salah satunya, Gus Fikri, seorang transman asal Mojokerto.


Setelah acara, aku sempat ngobrol bersama Narasi Toleransi dan Peduli Napas. Obrolan juga diikuti oleh beberapa panitia dari Gusdurian Pasuruan serta Ketua Griya Rahmatan lil 'alamin, Fatur.


Obrolan tentu saja masih seputar gender, seksualitas dan agama. Topik ini terasa seperti anggur (wine), semakin tua semakin enak dinikmati.


"Gus, ada salah satu anak yang menyangka sampeyan itu waria lho," ujar salah satu orang. Tentu saja aku tertawa kecil sembari menambahkan hal itu bukanlah yang pertama. 


"Terlalu sering aku disangka demikian. Aku juga pernah dituduh Tionghoa, Batak, dan Kristen karena sering bergaul dengan mereka. Aku menganggapnya sebagai bentuk apresiasi padaku. Terima kasih," ujarku


Sebagaimana ditegaskan Sofa Latjuba, Gus Dur dan Keluarga Ciganjur dikenal sebagai pembela militan kelompok minoritas gender dan seksual, khususnya waria. Ia berharap komitmen tersebut tetap dipegang selama-lamanya. 


Terima kasih, Anjani!(*)


** Beberapa foto aku ambil dari wall mbak Laura Perez Maholtra



https://www.facebook.com/share/p/Sf9D5bffqT1Nfi6v/?mibextid=oFDknk


 

KURMA; BUAH SANG MESIAH?


Jika kalian, para pengikut Gusti Yesus, masih meneruskan tradisi war takjil, jangan lupa memasukkan kurma dalam daftar perburuan. Buah ini, dalam al-Quran, memiliki kaitan sangat erat dengan perjuangan hidup-mati Maryam saat melahirkan Isa/Yesus. 


** 
Kurma, sebagaimana unta, kerap diolok banyak orang sebagai salah satu buah yang memiliki agama; Islam. Sangat mungkin karena buah ini kerap dikaitkan dengan berbagai kuliner-ilahia Islam. Jangan pernah pulang dari berhaji tanpa membawa buah kurma. Sangat tidak afdhol. 

Pasanganku dan Cecil sangat doyan kurma. Ia bisa membelinya hingga 4-5 kilogram seketika di olshop. Kadang aku berpikir ia dan Cecil adalah penyuka kurma garis keras. 

"Bagus untuk diet, mas" katanya.

Tentu aku sudah tahu narasi di atas. Yang secara sadar baru aku ketahui adalah kaitan kurma dengan Maryam, mamanya Yesus. Adalah Ning Um, bu nyaiku di Tambakberas yang menyegarkan kembali ingatan ini melalui Facebook beberapa waktu lalu.  

Aku tak pernah berfikir bahwa pohon yang disandari Maryam saat melepas penat dalam perjalanan solo bersama Yesus dalam kandungan adalah kurma. 

Al-quran memang memiliki narasi sendiri seputar proses kehamilan dan kelahiran Yesus. Jika dibandingkan dengan Alkitab; ada bagian yang sama namun ada juga yang berbeda. 

Salah satu yang berbeda adalah Maryam, dalam al-Quran, digambarkan melalui masa-masa sulit hamil hingga melahirkan secara SENDIRIAN --hanya ditemani secara virtual oleh Jibril. 

Dalam Alkitab, penggambarannya agak berbeda. Maryam diceritakan kerap ditemani Yusuf --sang tunangan (yang bukan papanya Yesus?) -- termasuk saat melakukan perjalan jauh mengunjungi Elisabeth; dari Nazaret ke Yehuda. 

Terhadap penggambaran Maryam berjuang sendiri atas kehamilannya dalam al-Quran, aku hingga hari ini terus berpikir; kenapa al-Quran memilih cerita seperti ini? Kenapa ia berbeda dengan 4 Injil yang telah ada -- Matius, Markus, Lukas dan Yohanes? 

Saking penasarannya, aku sempat bertanya Gemini Google; jika ada, dari mana cerita ini kemungkinan diadaptasi oleh al-Quran. Gemini angkat tangan, "The Quranic story regarding the birth of Jesus (referred to as Isa in the Quran) isn't explicitly attributed to any one source," 

Pada tahap selanjutnya, rasa penasaranku terus menggulir; pesan substantif apa yang sesungguhnya ingin disampaikan al-quran? Apakah kitab ini sedang meyakinkan pembacanya bahwa kehamilan tanpa bapak biologis merupakan hal yang mahasulit bagi perempuan, yang oleh karenanya ia dan bayinya bersifat suci tak boleh diolok? Atau seperti apa? 

Seperti halnya Hagar yang digambarkan mengalami masa sulit sendirian tanpa pasangan, melalui cerita Maryam, apakah al-Quran sedang mengobarkan keteguhan dan kemandirian perempuan pada masa-asa yang sangat sulit dan kompleks? Entahlah.

Maka, dia (Maryam) mengandungnya, lalu mengasingkan diri bersamanya (bayinya) ke tempat yang jauh.

Saat rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Maryam berkata, “Oh, seandainya aku mati sebelum ini dan menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan (selama-lamanya). 

Di saat seperti ini, Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah, meminta Maryam agar tidak bersedih, "Sungguh, Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak kepadamu. Makan, minum, dan bersukacitalah engkau,"

Jibril mewanti-wanti kepada Maryam untuk menyiapkan semacam template jawaban seandainya bertemu orang dan ditanyai perihal bayinya,"Sesungguhnya aku telah bernazar puasa (bicara) untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini."

Aku membayangkan Maryam berada di padang pasir, sendirian, bersusah payah dengan kehamilan 9 bulannya, hanya mengkonsumsi kurma dan air hingga ia melahirkan Isa/Yesus. Dua hal itu merupakan sumber nutrisinya, terutama kurma --buah yang berkontribusi pada kelahiran sang Mesiah.

**

Tidak. Aku tak hendak mengislamkan Yesus. Siapalah aku ini. Ia sudah bergelar Mesiah --sedemikan tinggi derajatnya. Bagiku, Islam juga mengakui hal itu dengan cara dan tradisinya sendiri --yang kadang masih dicurigai oleh mereka,  pengikut Yesus garis keras.

Menganyam Kesucian Maryam


Dalam tradisi Islam, sosok Maryam (mamanya Yesus/Isa) sangatlah mentereng. Pangkatnya; perempuan terbaik sejagad raya (was thofaki ‘ala nisai al-‘alamin). Perempuan ini tetap dianggap suci sungguhpun ia --saat hamil Yesus/Isa-- dianggap tidak mengalami kelaziman proses sebagaimana manusia lainnya. Ia diyakini hamil tanpa intervensi lelaki, melainkan langsung "diintervensi" Tuhan. Uniknya, Al-Quran, pada kenyataannya, justru membuka peluang terbukanya tafsir terbalik; kehamilan Maryam dimungkinkan berjalan layaknya manusia biasa, dengan intervensi laki-laki yang tidak sembarangan.

Maryam 17

Ada satu ayat dalam al-Quran yang menarik untuk dieksplorasi menyangkut kehamilan Maryam. Ayat tersebut adalah QS. Maryam 17.


فَاتَّخَذَتۡ مِنۡ دُوۡنِهِمۡ حِجَابًا فَاَرۡسَلۡنَاۤ اِلَيۡهَا رُوۡحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا‏ ١٧


"lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna."


Kenapa ayat ini menarik? Sebab, ayat ini barangkali menjadi jawaban atas mitos "kesucian" Maryam atas kelahiran Yesus/Isa dari rahimnya. Kesucian perempuan ini begitu kuat dipertahankan demi menjaga sebuah motivasi religius, salah satunya, untuk melindungi keistimewaan Yesus/Isa.


Doktrin kesucian Maryam selama ini dipahami dengan sederhana, yakni ia hamil tanpa "sentuhan seksual" lelaki. Dalam narasi klasik Kristen, Maryam dipersepsi tetap perawan meski ia sendiri diwartakan memiliki suami. Agak sulit diterima akal ada seorang suami tidak menggauli istrinya pada saat yang sama tidak ditemukan informasi akurat Yusuf( suami Maryam) seorang gay atau mengalami impotensi.


Mitos kesucian Maryam nampak semakin dipertegas dalam al-Quran. Kitab suci ini menggambarkan Maryam tidak memiliki pasangan --baik pacar maupun suami. Alih-alih sebagai perempuan binal penganut free sex, Al-quran justru dengan tegas mendeskripsikan Maryam sebagai perempuan sholihah. Pekerjaannya sehari-hari-hari adalah menyembah tuhannya. Siang dan malam. Tidak ada waktu untuk hal-hal yang bersifat rekreatif.


Lalu dari mana ia bisa mendapatkan kehamilan atas dirinya? Sim salabim; ia bisa hamil atas kehendak Tuhan. Kehendak tuhan terkadang bisa dinalar oleh logika dan akal sehat dan kadang juga tidak membutuhkan. Nampaknya, kehamilan Maryam selama ini dalam tradisi Islam dipahami dalam format kedua tadi. Kun fayakun --Jadilah, maka jadilah.


Saya termasuk orang Islam yang percaya al-Quran tidak mungkin bertabrakan dengan akal sehat, logika, maupun ilmu pengetahuan. Jika ada ayat yang memiliki nuansa melawan akal sehat, saya akan mencoba mencari celah jawaban agar ayat tersebut tidak bertabrakan dengan ilmu pengetahuan. Dalam pemahaman saya, sederhananya begini; secara teologis, Tuhan memiliki bahasaNya sendiri. Tidak ada satupun orang yang mengklaim tahu persisnya apa dan bagaimana bahasa tersebut. Namun, tatkala Tuhan memutuskan perlu "berbicara" kepada sebuah peradaban maka, secara logis, ia harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami peradaban tersebut. Untuk apa Tuhan ngotot menggunakan bahasaNya jika pada akhirnya ia tahu kehendakNya tidak dapat dipahami peradaban tersebut? Tuhan tidaklah sebodoh itu.


Namun, bagaimana seandainya tidak berhasil merekonsiliasi ketegangan antara ayat dan logika, saya biasanya memilih "memarkir" ayat dan menggunakan ilmu pengetahuan (sains) sebagai pegangan sembari berharap mampu merekonsiliasi keduanya dalam titik tertentu.


Dalam konteks al-Quran yang berbicara atas kehamilan Maryam yang hidup sendiri (single), dan dipakai sandaran untuk sampai pada kesimpulan kehamilan Maryam adalah keajaiban atas kehendak tuhan tanpa melalui proses manusiawi bertemunya sperma dan sel telur, saya susah menerima kenyataan tersebut.


Peradaban ini telah memiliki hukum sendiri; kehamilan hanya terjadi manakala sperma bertemu sel telur. Jika Tuhan bersikukuh menabrak hukum tersebut, Dia bisa jadi akan dituduh tidak menghargai tatanan yang sedari awal telah ia izinkan berproses menjadikan ilmu pengetahuan sebagai instrumen pentingnya.


Celah Muasal Kehamilan Maryam

Ketika menelusuri proses kehadiran Yesus/Isa dalam QS. Maryam, saya menaruh sedikit kecurigaan terhadap ayat 17. Di sana terekam penggambaran kehadiran Roh Tuhan (Jibril) di depan Maryam, face to face, dalam kesempurnaan bentuknya (sawiyya) sebagaimana manusia pada umumnya. Dalam arti, Jibril menemui Maryam, yang pada waktu itu sendirian, tidak secara ghaib. Alih-alih, al-Quran, sekali lagi, menggambarkan Jibril hadir dalam rupa manusia. Sarjana Aisha Bewley bahkan menggunakan kata "handsome" saat menerjemahkan ayat 17 tersebut.


Jibril saat itu, menurut al-Quran, diutus Alloh menemui Maryam, untuk mengabari perempuan ini rencana Tuhan seputar kehamilannya. Menjadi layak diselidiki lebih jauh apakah perjumpaan ini berlangsung secara langsung ataukah melalui mimpi. Banyak para penafsir al-Quran mengindikasikan perjumpaan keduanya terjadi secara langsung, dalam posisi sadar. Namun demikian, ada satu penafsir al-Quran, Mawlana Muhammad Ali, mengatakan sebaliknya. Dalam "The Holy Quran with Commentary," Muhammad Ali meyakini keduanya bertemu dalam mimpi, "This shows that it was in a vision that the spirit came, and the conversation that follows also took place in a vision. The word tamaththala (“it appeared”) used here lends support to this, for the word signifies assuming the likeness of another thing, and this happens only in a vision. Further the spirit or angel of God appears to His chosen ones only in a vision, and angels are not seen by the physical eye."


Saya sendiri lebih memilih meyakini Maryam dan Jibril berjumpa secara langsung. Imam al-Mahalli dan al-Suyuti dalam Tafsir Jalalyn bahkan mendeskripsikan QS. Maryam 17 sebagai berikut;

فاِتَّخَذَتْ مِن دُونهمْ حِجابًا﴾ أرْسَلَتْ سِتْرًا تَسْتَتِر بِهِ لِتُفَلِّي رَأْسها أوْ ثِيابها أوْ تَغْتَسِل مِن حَيْضها ﴿فَأَرْسَلْنا إلَيْها رُوحنا﴾ جِبْرِيل ﴿فَتَمَثَّلَ لَها﴾ بَعْد لُبْسها ثِيابها ﴿بَشَرًا سَوِيًّا﴾ تامّ الخَلْق) (Demikianlah dia berhijab dari mereka, dia menyelubungi dirinya dengan kerudung untuk menyembunyikan dirinya saat dia mencuci rambutnya dari kutu atau mencuci pakaiannya atau membersihkan dirinya dari haid; kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami Jibril dan dia tampak di hadapannya setelah dia mengenakan pakaiannya menyerupai manusia yang proporsional sempurna dalam bentuk fisik). 


Tafsir Ibn Abbas malah menginformasikan kehadiran Jibril dalam bentuk manusia terjadi sesaat setelah Maryam mandi suci sebagai tanda telah selesainya siklus menstruasinya, “(Dan telah memilih pengasingan dari mereka) agar dia bersuci setelah selesai haidnya. (Kemudian Kami kirimkan kepadanya Ruh Kami) Utusan Kami Jibril setelah dia selesai menyucikan dirinya (dan dia dianggap seperti manusia sempurna)”


Jika boleh membayangkan, perjumpaan Jibril dan Maryam barangkali seperti scene pertemuan antara Kata dan Algren dalam film The Last Samurai. Saat itu Algren menemui Kata sesaat setelah perempuan ini selesai mandi dari pancuran. Keduanya memang pada akhirnya saling jatuh cinta. 


Mungkin imajinasi ini terlalu vulgar untuk diposisikan menggambarkan relasi Jibril dan Maryam --dua entitas ciptaan yang berasal dari dua dimensi yang berbeda. Di sinilah krusialnya kata "sawiyya" yang disematkan Allah dalam al-Quran. Jibril saat bertemu Maryam tidak lagi sepenuhnya berupa malaikat namun ia telah bertransformasi menjadi manusia sepenuhnya --termasuk dengan segenap atribut seksualitas heteroseksualnya. Al-Quran sama sekali tidak menyebutkan secara literal apakah pada akhirnya Maryam dan Jibril --dua sosok suci tak tercela ini-- terlibat dalam adegan asmara.


Al-quran dalam hemat saya memang tidak perlu harus sedemonstratif itu untuk menggambarkan kehendak tuhan "berbahasa" yang dipahami ilmu pengetahuan dalam peradaban manusia. Tuhan telah saya anggap cukup jelas dengan maksudNya melalui simbol berupa kata "sawiyya," dalam QS.19:17 tadi.


Keder Karena Kader

Dengan kalimat yang lebih lugas, saya terprovokasi membayangkan bahwa kehamilan Maryam --dalam konteks al-Quran-- merupakan proses alamiah, hasil konsekuensi logis "hubungan," antara Maryam dan Jibril. Terus terang saja, saya tidak menemukan penafsir al-Quran yang berani memposisikan diri mendukung "kekurangajaran," cara pandang ini, sebelum akhirnya saya menemukan tulisan pendek Yulia Riswan, peneliti The Global Quran Universitas Freiburg Jerman, berjudul "Qur’an Translation Of The Week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation Of The Qur’an By A Migrant Intellectual, Kader Abdolah,"


Yulia dalam tulisan tersebut mengabarkan pandangan Kader Abdolah, imigran Iran yang kini menetap di Belanda dan menghasilkan menerbitkan terjemahan al-Quran versinya sendiri, terhadap relasi Maryam dan Jibril. Abdollah tanpa malu-malu melukiskan perjumpaan keduanya dalam nuansa tafsir yang, menurut Yulia cukup dipengaruhi oleh corak Persia, terasa lebih vulgar dan lebih manusiawi.


"Maria stond naakt in de rivier. Opeens verscheen er een knappe man. Maria schrok en rende naar de struiken om zich te verstoppen. Wees niet bang, Maria, riep de man, ik ben de engel Ghabriel. Ik kom om je een kind te geven. De engel wist Maria over te halen, verleidde haar achter de dadelbomen en maakte haar zwanger." (Maria berdiri telanjang di sungai. Tiba-tiba seorang lelaki tampan muncul. Maria ketakutan dan berlari ke semak-semak untuk bersembunyi. Jangan takut, Maryam, lelaki itu berseru, akulah malaikat Ghabriel. Aku datang untuk memberimu seorang anak. Malaikat itu membujuk Maria, merayunya di balik pohon kurma dan menghamilinya.)


Belum pernah saya temukan tafsir atas diri Maryam terkait kehamilannya seperti ini. Jika Kader Abdolah hidup di Indonesia sangat mungkin karya kontroversinya akan memantik kemarahan publik secara luas. Bahkan, ia bisa dipenjarakan atas gagasannya ini. Namun seandainya kita mengamini tafsiran Kader Abdollah maka dengan demikian proses kehamilan Maryam atas bayi Yesus/Isa menjadi "selaras" dengan akal sehat dan kinerja ilmu pengetahuan seputar reproduksi manusia. Tidak ada lagi "kuasa misteri," dalam diri Maryam atas kelahiran Yesus/Isa. Dengan demikian, kelahiran sang juruselamat ini sepenuhnya melalui kelaziman proses reproduksi manusia pada umumnya. 


Lantas, akankah "kesucian," Maryam menjadi hilang, tergerogoti atas keterusterangan al-Quran melalui tafsir Kader Abdollah? Ini merupakan tantangan bagi kita semuanya. Sebab, selama ini doktrin menyangkut kesucian Maryam --yang bertumpu pada keperawanan-- bisa jadi merupakan konstruksi cara pandang klasik yang bias-patriarkhi. Bias ini mengguratkan garis sangat tegas untuk mengkategorisasi perempuan baik-baik dan suci dalam indikator yang sangat purbawi, yakni mampu menjaga keperawanannya atau tidak. Standar kebaikan moral perempuan yang selama ini acapkali diteropong dengan ukuran keperawanan telah lama dipertanyakan relevansinya. Para pendukung kesucian Maryam dalam skema klasik ini tak pelak akan menolak mentah-mentah tafsir Abdollah dan segenap upaya menjelaskan kehamilan Maryam secara lebih manusia --yang itu akan berakibat pada keniscayaan atas ketidakperawanan Maryam.


Tafsir Abdollah dengan demikian bisa jadi menawarkan alternatif cara pandang baru atas "kesucian" -- yakni, Yesus/Isa lahir dari dua manusia yang suci. Kesucian Maryam terletak pada ketaatannya mengabdi pada Tuhan. Sedangkan Jibril, ayah Yesus/Isa, merupakan duta besar resmi yang suci (“ruhana” --roh kudus Allah) yang menjelma sebagai manusia atas izin dari Tuhan. Meskipun begitu, kesucian ini senyatanya dapat dikritisi lebih jauh dalam perspektif ikatan perkawinan. Bisa jadi kekudusan dua insan ini ternyata belum dianggap suci mengingat relasi seksual mereka berdua tidak diikatkan pada institusi perkawinan pada saat itu. Keduanya bisa dituduh melakukan perzinahan non-perselingkuhan (adultery) --- Maryam dan Jibril tidak sedang terikat perkawinan dengan pihak lain pada saat peristiwa itu terjadi.


Mengunci Kesucian

Doktrin kesucian yang mengelilingi kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa selama ini lebih bertumpu pada aspek keperawanannya. Penjagaan atas doktrin ini sangat mungkin dipengaruhi oleh obsesi patriarki atas idealitas sosok perempuan. Perspektif ini, jujur saja, tak lagi relevan dipertahankan karena terlalu sederhana mengukur moralitas perempuan dari aspek tertentu ketubuhannya. Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya, memposisikan Maryam tetap perawan padahal ia senyatanya mengandung bayi sungguh bertentangan dengan akal sehat dan ilmu pengetahuan yang berlaku universal. Al-Quran membuka peluang terjadinya rekonsiliasi antara dogma kesucian yang ada dalam teks dan ilmu pengetahuan seputar kehamilan Maryam atas diri Yesus/Isa. Dengan demikian, doktrin kesucian dan kekudusan Maryam sesungguhnya terletak pada sosok lelaki yang "bersama" Maryam saat itu, yaitu Jibril, utusan suci Tuhan yang disebut dalam QS.19:17 sebagai ruhuna (God's soul). Entah tafsir kesucian mana yang benar atas misteri kehamilan Maryam. Wallohu a'lam.()


-----

Daftar bacaan


Abdalhaqq, M., & Bewley, A. (1999). The Noble Qur’an: A New Rendering of its Meaning in English. Dubai: Bookwork.

Abdolah, K. (2008). De Koran. Een Vertaling.

Ali, M. M. (2002). The Holy Qur’ån. English Translation. https://www.ahmadiyya.org/english-quran/a-prelim.pdf

Hamza, F. (2007). Tafsir al-Jalalayn. Royal Aal Al-Bayt Institute for Islamic Thought Amman. Jordan.

Stowasser, B. F. (n.d.). Mary. In Encyclopaedia of the Qurʾān. Brill. Retrieved March 11, 2024, from https://referenceworks.brillonline.com/entries/encyclopaedia-of-the-quran/mary-EQCOM_00113?s.num=0&s.f.s2_parent=s.f.book.encyclopaedia-of-the-quran&s.au=%22Stowasser%2C+Barbara+Freyer%22&s.q=mary

Yulia Riswan. (2024, February 23). Qur’an translation of the week #186: Dutch Qur’an Translation: A Literary Adaptation of the Qur’an by a Migrant Intellectual, Kader Abdolah - GloQur- The Global Qur’an. https://gloqur.de/quran-translation-of-the-week-186-dutch-quran-translation-a-literary-adaptation-of-the-quran-by-a-migrant-intellectual-kader-abdolah/

تفسير الجلالين | 19:17 | الباحث القرآني. (n.d.). Retrieved March 4, 2024, from https://tafsir.app/jalalayn/19/17

موقع التفير الكبير. (n.d.). Altafsir.Com. Retrieved March 4, 2024, from https://Altafsir.com



AKTA PERKAWINAN SATU PAKET


Di Dukcapil Denpasar, perkawinan beda agama (PBA) dapat dilaksanakan. Calon pengantin tidak perlu mengubah kolom agama di KTP. Tidak hanya mendapat surat/akta perkawinan, mereka juga akan mengantongi KK dan KTP baru, termasuk agamanya.


**

Iseng, aku mengontak layanan whatsapp Dukcapil Kota Denpasar Bali, tertarik mendapatkan perkembangan terkait layanan PBA. Kenapa Denpasar? Karena aku berpikir kota ini mayoritas berpenduduk Hindu yang menuntunku pada hipotesis "kota paling toleran," 

Mungkin ini stereotype positif yang telah ada dalam benakku. Sudah sejak lama aku menduga wilayah berpenduduk mayoritas non-Islam akan relatif cenderung toleran dan -- katakanlah -- lebij Pancasilais. Namun aku menyadari bisa sepenuhnya salah dengan asumsi tersebut. 

Faktor kedua yang mendorongku menghubungi Dukcapil Denpasar mungkin karena dampak konsultasi PBA yang dilakukan, sebut saja, Vicky, beberapa waktu lalu. Vicky, cowok Muslim, akan melangsungkan PBA dengan kekasihnya, Juliette -- Katolik, bukan nama sebenarnya-- di Bali. Aku sendiri tidak tahu persis alamat formal keduanya dalam KTP.

"Mengingat makin sulitnya pencatatan PBA akhir-akhir ini, tidak ada salahnya jika kamu coba mengontak Dukcapil Denpasar --apakah mereka dapat mencatatkan PBA kalian," saranku pada Vicky. 

Aku selanjutnya menghubungi nomor whatsapp layanan Dukcapil Denpasar. Aku disambut dengan sopan via WA. Berikut percakapan kami.

***
Aan : Selamat siang, Admin. Mau bertanya apakah dukcapil Denpasar bisa mencatat perkawinan beda agama -- misal Katolik-Islam dan telah mendapatkan pemberkatan dari Katolik? Matur suksma.

Dukcapil Denpasar: Terima kasih telah menghubungi Layanan Pengaduan Disdukcapil Kota Denpasar. Silahkan informasikan kami apa yang bisa kami bantu, terima kasih.

[2/20, 12:19] Aan Anshori: Selamat siang, Admin. Mau bertanya apakah dukcapil Denpasar bisa mencatat perkawinan beda agama -- misal Katolik-Islam dan telah mendapatkan pemberkatan dari Katolik? Matur suksma.

[2/20, 12:19] Dukcapil Denpasar: Terima kasih telah menghubungi Layanan Pengaduan Disdukcapil Kota Denpasar. Silahkan informasikan kami apa yang bisa kami bantu, terima kasih.

[2/20, 12:21] Dukcapil Denpasar: pencatatannya tetap satu agama
[2/20, 12:22] Dukcapil Denpasar: jika sudah dapat kk dan akta baru bisa perubahan agama lg dgn melampirkan surat perubahan agama
[2/20, 12:23] Aan Anshori: Terima kasih Admin. Berarti ketika mendaftar pencatatan perkawinan kolom agama di KTP harus sama ya?

[2/20, 12:23] Aan Anshori: Matur suksma, Min.
[2/20, 12:24] Dukcapil Denpasar: tdk hrs sama
[2/20, 12:26] Aan Anshori: Owwh...
[2/20, 12:29] Aan Anshori: Jadi, kolom agama di kTP catin boleh berbeda (Islam dan Katolik) dan Dukcapil mengeluarkan surat perkawinan yang menyebutkan keduanya beragama Katolik dan Islam? Atau Katolik-Katolik? Sorry, Min. Saya berusaha lebih bisa memahami. Matur suksma.
[2/20, 12:33] Dukcapil Denpasar: jika baru pengajuan melampirkan ktp yg berbeda agama. jika sudah selesai di proses / sudah jadi aktanya sudah satu paket jd dapat ktp agama sama
[2/20, 12:34] Aan Anshori: Terima kasih, Admin.
[2/20, 12:34] Aan Anshori: Sehat dan bahagia selalu.
[2/20, 12:35] Dukcapil Denpasar: Terimakasih telah menghubungi kami Admin Taring Dukcapil melalui what's app, semoga pelayanan kami dapat membantu sesuai dengan harapan anda, mohon maaf apabila kami ada salah dalam penyampaian informasi dan penggunaan bahasa, Salam Sewaka Dharma Melayani Adalah Kewajiban.
***

Pendek kata, di Dukcapil tersebut, PBA dilayani. Calon pengantin tidak perlu mengubah kolom agama di KTPnya --terutama yang non-Katolik. 

Jika Dukcapil menganggap syarat administrasinya sudah lengkap, surat/akta perkawinan akan diterbitkan, bersama dengan KK dan KTP baru untuk calon pengantin. 

Dalam dua dokumen tersebut, KK dan KTP, akan tercetak agama yang sama; aku menduga tertulis Katolik. Sangat mungkin tidak tertulis "Islam" mengingat perkawinan dilakukan tidak dalam yuridiksi KUA. 

Jika salah satu dari mereka, misalnya, ingin kembali ke agama asal, dia tinggal mengurus surat perpindahan agama. Surat ini akan digunakan untuk mengubah KK maupun KTP terbaru. 

Mungkin ini cara terbaru negara merespon PBA setelah Mahkamah Agung secara resmi menerbitkan surat melarang para hakim di pengadilan negeri mengabulkan permohonan perkawinan beda agama setahun lalu. 

Saat tulisan ini aku posting, aku sedang menunggu respon dari whatsapp layanan Dukcapil Kota Manado terkait pertanyaan serupa. Belum dijawab sejak dua hari lalu.

Bagaimana dengan Dukcapil di daerah kalian?

AKIK YANG KYUT; HAUL GUS DUR, HAIL GUS DUR

Aku diberi akik sangat indah oleh seseorang ketika Haul Gus Dur. Inikah pertanda dari langit?

***

Sudah cukup lama aku tidak sambang ke kawan-kawan GDian Nganjuk. Aku lupa kapan terakhir kali ke sana. Jika mau dirunut-runut, aku terbilang ikut membidani proses kelahiran GDian Nganjuk. 

Saat itu, jika ingatan ini masih stabil, proses kelahirannya mengambil tempat di IAIN Kediri. Aku diundang menjadi salah satu narasumber bersama kawanku Gus Taufik al-Amin, sekitar pertengahan Desember 2019. 

Beberapa penggagasnya, antara lain, Pdt. Frans Tamunu, Gus Arif, Maulana Sutikno, Pdt. Demsi, kawan-kawan Penghayat, serta banyak elemen lainnya. Saat itu Yuska, sebagai perwakilan presidium GDian Jawa Timur, juga hadir mengukuhkan. Aku masih ingat ikut menumpang mobilnya ke Surabaya. 


Empat tahun berlalu. 

Aku memacu motorku menembus rintikan hujan malam menuju Nganjuk, Minggu, 21/1. Aku diundang mereka mengisi diskusi dalam rangka Haul Gus Dur 14, topiknya 'Meneladani Budaya, Etika dan Demokrasi Gus Dur," 


Lokasi acaranya di markas Jemaat Ahmadiyyah Indonesia Nganjuk yang terletak di kecamatan Baron. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari Jombang.

"Gus, nanti kita ketemu di Alfamart ya. Lalu kita ke lokasi bareng-bareng," kata Pdt. Demsi melalui WA. Ia tergolong sangat aktif berkiprah di GDian Nganjuk meski, terus terang, tidak mudah baginya. 

Kami berdua tiba di lokasi. Ternyata tidak terlalu jauh dari Alfamart. 

Aku melihat puluhan orang sudah menunggu. Separuhnya lebih adalah warga JAI. 

Satu per satu aku salami. Tak terkecuali Maulana Nasir, penanggung jawab JAI Nganjuk, pindahan dari Sintang karena konflik beberapa tahun lalu. 


Tak kusangka aku bertemu dengan Pdt. Bobby, GPIB Tarokan Kediri. Aku kaget tak menyangka akan bertemu malam itu. Selain mereka aku juga bertemu Gilang, mas Agus, mas Kaka, Gus Zaenal, dan banyak lagi kawan. 

"Gus, sebaiknya kita makan dulu sebelum makan," usul mas Agus, dari Klenteng Nganjuk. 
"Setuju, mas. Tapi kita berdoa dulu ya. Aku usul Pdt. Bobby yang memimpin, jika diijinkan Maulana Nasir," kataku sembari memandang Maulana Nasir. Ia terlihat mengangkat jempol. 

Bobby yang duduk di sampingku terlihat agak gupuh. Mungkin tak menyangka akan ditodong seperti itu.

Diskusi berjalan sangat gayeng, menurutku. Aku memaparkan bagaimana mudahnya memahami moral, model berislam dan berdemokrasi a la Gus Dur. 

"Kunci utama memahami Gus Dur adalah memahami bagaimana ia memahami relasinya dengan keesaan Tuhan. Setelah paham, akan sangat mudah mengerti kenapa Gus Dur seperti itu," ujarku meyakinkan mereka. 

Aku lalu memapar empat tahapan orang memaknai keesaan (tauhid/monoteisme) Tuhan. Setiap tahapan, aku jelaskan segamblang mungkin beserta implikasinya terhadap orang lain. Ya, setiap pilihan kita bertauhid akan memiliki konsekuensi serius terhadap orang yang berbeda memahami Tuhan. 

"Misalnya, kalau kita memaknai esa adalah satu secara letterlijk dan ketat maka kita yang Islam akan kesulitan mengakui kekristenan juga monoteistik. Kita biasanya terjerembab mengira Kristen bertuhan tiga," kataku sembari melirik Pdt. Demsi dan Pdt. Bobby. 

Aku menawarkan tahapan ketiga dan keempat sebagai pilihan kita, yakni tahapan misteri-terbuka dan sate. 

Misteri terbuka adalah keyakinan bahwa eksistensi tuhan bersifat misterius. Ia ada dan memiliki eksistensinya sendiri. Siapapun tidak tahu diriNya secara pasti. Namun demikian, Tuhan memperkenankan diriNya ditafsirkan manusia. Tidak ada tafsir yang benar dan salah karena untuk hal tersebut kita perlu pembanding yang hanya Tuhan saja yang tahu. 

Sedangkan keesaan sate adalah keyakinan bahwa Tuhan itu senantiasa mengiringi ciptaannNya. CiptaanNya adalah "Dia" --imago dei. Siapapun yang berbuat jahat atau baik pada ciptaanNya dianggap juga melakukan hal serupa pada Tuhan. Tuhan dan ciptaanNya seperti daging dan tusuk dalam makanan bernama sate. Daging tanpa tusuk tidak dapat dinamakan sate, pun sebaliknya. Daging dan tusuk adalah esa, bernama sate.

"Aku rasa Gus Dur di level sate. Kira-kira mudeng nggak ya dengan penjelasanku ini?" tanyaku ke hadirin
"Mudeng!" 

Aku mempersilahkan mereka merefleksikan empat tahapan keesaan ini dalam dirinya dan dapat mengambil tahapan terbaik sesuai kapasitasnya.

Presentasiku selanjutnya dipertajam oleh pemaparan Gus Zaenal, Mas Agus, Mas Kaka serta Maulana Nasir. 

Sebagai mubaligh Ahmadiyyah, Mln. Nasir menceritakan kisahnya saat menghadapi penyerangan JAI di Sintang. Saat itu ia diBAP penyidik terkait peristiwa tersebut. 

"Yang tidak saya sangka, ternyata penyidiknya ngaku Gusdurian. Kami akhirnya akrab karena merasa dipersatukan," ujarnya mengenang peristiwa itu.

Setelah diskusi selesai, sebelum berdoa yang dipimpin Maulana Nasir, acara dilanjutkan dengan pengukuhan pengurus baru GDian Nganjuk SCD. Forum internal mereka rapat secara cepat. Aku hanya menyaksikan saja. Tidak ikut berbicara.

Mereka aklamasi memilih Gilang sebagai kordinator baru. Wakilnya adalah Pdt. Demsi. Sedangkan Yusril didapuk menjadi sekretaris. 

Gus Zaenal dan Pdt. Bobby diminta memberi sedikit petuah-petuah. Setelah itu giliran ketiganya berbicara. 

Doa penutup dilarungkan oleh Maulana Nasir. Diamini semuanya yang hadir. Setelah itu semuanya menyalami pengurus baru dan berfoto bersama. 

"Aku pamit dulu ya, rek. Wis bengi," ujarku kepada mereka. 
"Gus, sebentar, tolong ini diterima. Sepertinya cocok untuk Gus Aan," kata Maulana Nasir.

Wow akik yang kyut!(*)

BERSYUKUR DUA UNSUR BUYA SYAKUR

Buya Syukur telah gugur di medan laga bangsa yang tidak baik-baik saja. Serangan intoleransi atas nama kemegahan agama seperti tak pernah surut. Ia bersama puluhan tokoh lainnya berjuang membela kemegahan Islam dengan titik pijak dan cara berbeda dari kebanyakan. 


Hampir semua orang meratapi kepergiannya, tak rela ada ksatria yang tak lagi ikut berjuang. Ratapan ini sesungguhnya memiliki sentimen negatif; seperti orang yang bertumpu pada kerja orang lain untuk sesuatu yang harusnya dikerjakannya sendiri. 

Indonesia memang lebih dari pantas bilamana merasa kehilangan Buya Syakur (BS). Ia adalah salah dari sedikit ulama Indonesia yang berani mengambil jalur terjal berislam, khususnya menyangkut relasi Islam-Kristen.

Tak dapat disangkal jumlah ulama, akademisi Islam, maupun ulama-akademisi di Indonesia tak terhitung banyaknya. Semuanya memainkan perannya sesuai keberanian masing-masing dalam melukiskan Islam di ruang publik. Selain Panji Gumilang, Buya Syakur tergolong memiliki keberanian di atas rata-rata. 

Dari mana ia memperoleh asupan keberanian tersebut? Aku tidak tahu. Tak pernah aku bertemu dengan beliau, apalagi nyantri khusus di pesantrennya. 

Hipotesisku menyatakan, sumber utama keberaniannya terletak pada kemandiriannya. Aku menduga ia telah "selesai" dengan dirinya sendiri. Hidupnya, aku kira, tidak tergantung pada individu atau kelembagaan, lebih-lebih terkait aspek finansial. 


Kalau kehidupan ekonomi dan sosial kita masih belum mandiri, sulit rasanya bisa bersuara lantang dan mandiri. Seorang ASN, tokoh agama yang digaji institusinya, petugas partai, pekerja, pebisnis, memiliki ketergantungan pada patronnya. Semakin kuat dependensinya semakin ia sulit merdeka

Aku tidak mengatakan profesi-profesi di atas jelek. Sebaliknya, mereka terhormat dan ada harga yang harus dibayar untuk mempertahankan kehormatan itu. 

BS juga membayar hal itu kepada bosnya, yakni sang Pencipta. Bos BS sebenarnya sama dengan bos profesi-profesi tersebut. Hanya saja, ketergantungan kita pada kedagingan sesungguhnya menciptakan bos-bos kecil yang nyata. Sayangnya, sebagian dari kita biasanya lebih takut pada bos-kecil ketimbang Bos-besar.

BS rasanya memilih langsung tergantung dan berelasi dengan bos-Besar. Ia memiliki konfidensi; apapun yang ia katakan sepenuhnya merupakan penghayatan keislamannya dan, ini yang terpenting, akan dipertanggungjawabkannya langsung padaNya. 

Aspek lain yang menurutku sangat mungkin melekat dan mengkontribusi keberanian BS di ruang publik adalah pengetahuannya. Begini; orang akan cenderung fanatik jika pengetahuannya terbatas, tak meluas. Santri atau kiai yang sangat tekun mengkaji satu madzhab fiqh tanpa mau melihat madzhab-madzhab lainnya akan mudah terperosok pada jurang fanatisme. 

Fanatis adalah semacam sifat dari sikap dan pandangan seseorang yang menunjukkan antusiasme berlebihan serta pemujaan tak-kritis intensif terhadap topik/sosok tertentu, biasanya dalam isu agama atau politik. 

Mungkin situasinya mirip dengan para pendukung capres-cawapres saat ini. Bagi pendukungnya, capres tertentu tidak bisa dan tidak boleh salah. Sebaliknya, capres lain sudah pasti divonis salah dan jelek.

Dalam hal beragama, fanatisme ditandai dengan kekukuhan atas satu madzhab tertentu, menutup pintu atas kehadiran madzhab lain. Baginya, tidak ada kebenaran di luar madzhabnya. 

Jika tidak sedikit tokoh Islam bersikap konfrontatif dan apatis atas keberadaan gereja, natal maupun warisan budaya lokal, Buya Syakur rasanya tidak seperti itu. Ia tidak hanya berpikiran terbuka namun, lebih jauh, juga berani menyuarakannya. 

Fanatisme adalah tantangan terberat dalam beragama. Fanatisme tak terelakkkan karena tiap madzhab merasa dirinya paling benar. Sebagai konsekuensinya, sikap ini pasti meminta tumbal untuk disalahkan, yakni madzhab lain. 

Para pengikutnya kerap diwajibkan hanya boleh membaca/mengkaji literatur madzhabnya sendiri. Akses terhadap madzhab lain akan dikunci rapat-rapat. Cara seperti ini jamak dilakukan, dibalut dengan slogan "demi kebaikan para pengikut,"

Dalam soal perkawinan beda agama (PBA) misalnya, masyarakat Islam Indonesia seperti dikondisikan hanya boleh menerima satu madzhab pemikiran saja, yakni madzhab yang tidak memperbolehkan PBA. Padahal, terdapat keragaman madzhab sekaligus keragaman cara pandang. 

Dengan demikian, kita harus berani mengakui bahwa (hukum) Islam sebenarnya berwarna-warni. Tidak tunggal. Tidak sewarna saja. 

Intelektual Jasser Auda pernah mencatat setidaknya ada sembilan madzhab; Maliki, Hanafi, Syafii, Hanbali, Ja'fari, Zaydi, Zahiri, Ibadi dan Mu'tazili. Setiap madzhab memiliki epistemologinya masing-masing.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika institusi pendidikan Islam hanya mengajarkan satu madzhab saja tanpa merasa perlu mengenalkan 8 madzhab lain, apa yang bisa kita bayangkan? Mereka niscaya akan mempercayai hukum Islam hanya satu warna warni saja. 

Rasanya, BS bukanlah tokoh yang hanya paham satu madzhab. Sebab jika tidak, BS tidaklah mungkin menjadi BS seperti ini. Pengetahuan BS terkait hukum Islam bisa dikatakan warna-warni.


Boleh percaya boleh tidak, kewarna-warnian hukum Islam dalam tradisi klasik terekam sejak lama. Salah satunya dalam karya masterpiece Ibnu Rusyd -- Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Ini salah satu kitab raksasa yang merekam keragaman sikap hukum setidaknya 4 madzhab di kalangan Sunni; Maliki, Hanafi, Syafii dan Hanbali, terkait banyak topik. 

Kemarin aku membacanya sekilas pada waktu termenung mencari jawaban apakah posisi wali dalam pernikahan bersifat mutlak wajib ada. Ternyata, para ulama terbelah menjadi dua pendapat. Ada yang memutlakkan, ada juga yang tidak. Bahkan, juga terkait posisi saksi dalam pernikahan.

Kitab ini menawarkan oase pemikiran berbasiskan penalaran rasional berbasis penafsiran teks suci. Siapapun yang membaca dan memahaminya niscaya sulit baginya bersikap fanatik. 

Aku percaya BS tidak hanya memiliki namun juga memahami isi dari kitab tersebut. Keberaniannya mengoptimalkan akal rasio dalam membaca teks sesungguhnya merupakan legasi yang perlu kita syukuri untuk diteruskan. 

Kesedihan atas gugurnya BS bagiku bercampur dengan rasa syukur. Mungkin jika BS masih ada, kita cenderung ongkang-ongkang, enak-enakan, karena tugas mulia mencitrakan Islam rahmatan lil alamin kita bebankan pada beliau. Kini, kita tidak bisa begitu lagi. Kita harus menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh BS, mau tidak mau. 

Matur nuwun, Buya Syakur. 

Kembalilah menghadap Tuhanmu dengan perasaan gembira dan merdeka. Fadkhuli fi 'ibadi wadkhuli jannati.(*)

---
** Auda, Jasser. Maqasid Al-Shari'ah as philosophy of Islamic law. International Institute of Islamic Thought (IIIT), 2022.
** Dictionary, Merriam-Webster. "Merriam-webster." On-line at http://www. mw. com/home. htm 8.2 (2002).
** Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1: Referensi Lengkap Fikih Perbandingan Madzhab. Vol. 2. Pustaka Al-Kautsar, 2002.

Featured Post

PERTAMA KALI SEJAK GEREJA INI BERDIRI

Meski seringkali posting terkait gereja dan kekristenan selama Ramadlan namun baru tadi sore aku buka bersama di gereja. Acara ini murni ini...

Iklan

Tulisan Terpopuler